01. Seorang Gadis Yang Membenci Eufonium

โ™ฌโ™ฉโ™ชโ™ฉ โ™ฉโ™ชโ™ฉโ™ฌ

"Kau di sini rupanya."

Gadis bermahkota pirang itu terlonjak begitu mendengar suaraku. Kepalanya menoleh dengan wajah sepucat kertas. Ia membuka mulut, meneriakkan namaku dengan nada kaget dan tak percaya, "Pak Venti?!"

Yah, itu reaksi yang normal. Klee tampaknya tak menyangka aku dapat menemukannya secepat ini.

Klee lantas memalingkan muka dengan raut wajah murung, mata ruby-nya menatap sepasang telapak kaki yang terbungkus oleh sepatu cokelat dengan kaus kaki putih. Ia terus menatap sepatunya, sama sekali tak melirik eufonium yang tergeletak di sebelahnya.

Seperti dugaanku, ia belum menerima eufonium maupun menyukainya sebagai partner dalam bermusik.

"Kenapa Bapak ada di sini?" tanyanya sembari mengeratkan pelukan pada lutut. "Bapak seharusnya ada di ruang musik, 'kan? Melatih yang lain untuk perlombaan mendatang."

Jawaban yang sudah terduga. Daripada langsung kembali, gadis ini memilih untuk mengusirku secara halus dengan kata-kata klise. Tapi, aku tidak akan pergi hanya karena penolakan murid yang melankolis seperti anak di hadapanku ini.

Aku pun berdeham panjang. "Hm, kenapa ya Bapak ada di sini?"

Aku mendaratkan pantat di sebelahnyaโ€• duduk dengan posisi kaki selonjor, lalu lanjut menjawab, "Mungkin karena ada salah satu anak didik Bapak yang kabur dari ruang musik sembari membawa alat musiknya?"

Klee mendengkus setengah hati, tampak menyadari sarkasku. Ia pun melirikku dari ujung mata. "Apa Bapak menyindir saya?"

"Menurutmu bagaimana?"

Tak ada jawaban, ia hanya mengangguk dengan senyum kecut. Aku turut mengulas senyumโ€• bukan senyum masam, namun seuntai senyum maklum yang biasa kuberikan kepada anak-anak didikku saat mereka melakukan kesalahan.

Keheningan lainnya menyambut. Hanya suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin terdengar, pula suara samar orkestra yang mengalun dari ruang musik.

Kedua mataku berpaling menatap langit cerah yang ada di atas kami, mengagumi indahnya deretan awan putih beragam bentuk yang berarak pelan di angkasa biru. Serangkaian memori muncul layaknya layar televisi yang baru dinyalakan, memutar ulang kejadian masa lampau dalam kepala bak rekaman film.

"Kenapa kau ada di sini, Klee?" tanyaku tanpa memalingkan pandangan dari langit.

Keheningan lainnya, ia tak menjawab pertanyaanku lagi. Yah, sudah kuduga sih.

"Apa kau tidak menyukai eufonium?"

"Ya, saya membencinya."

Aku terkekeh. Sedikit tidak terduga. Blak-blakan sekali, kukira dia akan diam atau menjawab dengan kebanyakan kata 'anu' atau 'eng'. Namun terlepas hal tersebut, aku senang anak ini akhirnya mulai mau menjawab pertanyaan tanpa ditanya dua kali.

"Jadi ... karena itu kau menolak peranmu dan kabur ke sini?"

Klee mengangguk tanpa mengutarakan sepatah kata. Aku kemudian lanjut bertanya, "Mengapa kamu membencinya?"

"Karena, eufonium tidak mencolok saat dimainkan bersama," balasnya murung. "Tidak seperti terompet, trombone atau french horn yang terdengar jelas saat dimainkan secara bersamaan dalam orkestra."

Aku hanya mengangguk-anggukan kepala sembari berdeham, membiarkan ia melanjutkan penjelasannya. Orang yang sedang merasa bimbang biasanya hanya ingin didengar, bukannya diceramahi selama tiga puluh menit yang malah membuat mereka merasa dipojokkan.

Catat itu, atau teman-teman berpikiran sempitmu akan menganggapmu orang sok bijak.

"Lalu, banyak orang tidak mengetahui namanya. Saat saya menjawab bahwa saya bermain eufonium ketika ditanya saya memainkan alat musik apa dalam anssamble oleh teman-teman, mereka akan menatap saya dengan pandangan bingung sambil berceletuk, 'Eufonium itu apa?' atau 'Memangnya ada alat musik dengan nama seperti itu?' sambil tertawa seakan itu hal yang lucu."

Aku berdeham lagi, masih mendengarkan segala keluh kesahnya. Hm, hm. Jadi, Klee tidak menyukai eufonium karena ini.

Suara yang tidak mencolok serta perundungan dan menjadi bahan tawaan oleh orang lain yang berpengetahuan dangkal soal musik. Alasan yang umum, aku menjadi teringat seorang siswa yang keluar dari klub anssamble beberapa tahun silam karena alasan yang lama.

Aku menoleh, menatap gadis yang masih mendekap lututnya itu. "Tapi kau masih bertahan sampai sekarang, 'kan?"

"Saya tidak ingin merepotkan anggota yang lain." Dia menatap ke langit, menghela napas panjang. "Saya pun sudah terlanjur mengikuti latihan sejauh ini. Jadi, tak ada pilihan lain selain terus bermain."

"Dengan kata lain, kau terpaksa memainkannya?"

Klee mengangguk lagi, senyum sendu menghias rupanya. "Bisa dibilang, saya tidak bisa menerima eufonium sebagai partner saya."

"Lebih tepatnya, 'belum'," sahutku segera, yang mana membuat gadis itu mengerjapkan mata lalu menoleh ke arahku dengan tatapan bingung seperti baru saja melihat manusia mini muncul dari dalam bunga.

Aku tersenyum sembari mengulurkan tangan ke arahnya. "Berikan eufoniummu."

Gadis pirang itu memiringkan kepala dengan air muka yang masih sama. Walau demikian, dia tetap memberikan alat musik tersebut padaku sambil bertanya, "Apa yang akan Bapak lakukan dengan benda itu?"

Aku menerima eufonium yang ia ulurkan padaku. Kukeluarkan resonator yang terpasang, mengelapnya dengan sapu tangan kemudian memasangnya kembali ke tempat semula.

Mataku menatap Klee dengan tatapan penuh keyakinan, melebarkan senyum yang sedari tadi masih terlukis.

"Dengarkan saja."

Aku menghela napas dan mulai memainkan eufonium dalam genggamanku. Kutiup alat musik itu, jemariku menekan tombol-tombol yang mengendalikan setiap katupโ€• menyesuaikan kunci agar nada yang keluar sesuai dengan melodi di dalam kepalaku.

Nada yang indah, terdengar begitu hangat namun kesepian. Lagi-lagi, pikiranku ditarik untuk mengenang masa-masa paling indah kala masih bersekolah dulu.

Masa di mana aku akan melihatnya berlatih sendirian di sini, memainkan eufoniumnya dengan perasaan senang yang kentara layaknya burung yang terbang bebas di angkasa.

Gadis itu tak memedulikan angin yang menerbangkan helaian rambut aurumnya, fokus menyuarakan melodi dengan terus meniup eufonium sembari mengatur melodi dengan jemari lentiknya. Bahkan para burung pun tak lagi berkicau, terdiam akan musik yang ia ciptakan seakan terpesona akan indahnya nada yang diperdengarkan.

Saat selesai memainkan melodi itu, ia akan menghela napas lega yang panjang. Bibir merah mudanya mematri senyum dan sorot matanya ... sorot mata madunya akan tampak berkilauan bak permata.

Sungguh gadis yang memesona.

Bersamaan dengan serpihan memori yang berakhir, penggalan melodi yang kumainkan telah mencapai akhirnya. Aku mengehela napas, berusaha mengatur napasku yang sedikit terasa berat. Eufonium memang tak bisa diremehkan.

"Indah...."

Aku menoleh, menyunggingkan senyum begitu mendapati kedua ambar merah itu berkilauan. Raut muka yang mengekspresikan kekaguman. Entah mengapa, mimik tersebut mengingatkanku akan diriku sendiri tatkala pertama kali mendengar lagu ini.

"Iya, 'kan?"

Klee melenggut. "Saya sudah sering mendengar suara eufonium. Namun, ini kali pertama saya berpikir bahwa suaranya begitu indah."

Aku tertawa. "Tampaknya, lagu ini memiliki keajaiban tersendiri, bukan begitu?"

"Benar sekali! Benar-benar ... bagaimana, ya mengucapkannya ... rasanya seperti hati saya menghangat tatkala mendengarnya." Gadis itu meletakkan tangan di atas dada sebelah kiri, lantas mengangkat pandangan dan kembali menyuarakan pertanyaan, "Tapi, dari mana Bapak mendengar lagu ini?"

Ah, sudah kuduga ia akan menanyakan itu.

Senyumanku berubah sendu, telapak tangan mengelus lembut instrumen keemasan dari logam yang masih dalam dekapan. Tatapanku melembut ketika sosok gadis itu kembali muncul dalam ingatan.

"Bapak pertama kali mendengarnya dari seseorang yang sangat menyukai eufonium." Jemariku memainkan tombol-tombol katup eufonium. "Dia jugalah yang membuat Bapak jatuh cinta pada alat musik ini. Melodi yang dia mainkan seakan menyihir pikiran Bapak, membuat Bapak ingin terus mendengar suara alat musik ini berulang kali."

"Kesannya, beliau seperti seorang siren, ya?" Klee menghela napas panjang, mengekspresikan kekaguman. "Memengaruhi pikiran orang dengan lagu. Namun bukannya dengan bernyanyi, tetapi menggunakan nada-nada dari eufonium."

"Siren, ya...," Kekehan kembali keluar dari bibirku. "Yah, mungkin dia adalah salah satu dari mereka."

Memang begitulah kenyataannya. Terbukti dari mana aku menjadi ingin lebih mengenal eufonium sejak mendengar lagu tersebut.

Seperti seorang siren yang menarik para nelayan ke dalam bahaya dengan nyanyian mereka, ia menarik diriku ke dalam dunianyaโ€• membuatku candu dan jatuh hati pada suara yang tercipta dari eufonium. Tentu, juga mengakibatkan tumbuhnya cinta padanya dalam batin.

Memesona dan elok, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan sosoknya.

Oh ya. Perlu kuingatkan maksud siren di sini bukan secara harfiah, hanya sekedar perumpamaan.

"Klee."

"Ya, Pak?"

"Apa kau mau lebih tahu tentang orang itu?"

Klee mengangguk antusias, raut wajahnya tampak cerah. "Mau, Pak! Saya sangat penasaran!"

"Ini akan memakan sedikit waktu. Kau tidak keberatan, 'kan?" tanyaku sembari menelengkan kepala, berusaha mengecek kebenaran dari pintanya.

Anak bermata ruby itu menggeleng, kemudian menatapku dengan penuh rasa ingin tahu terpancar dari rupa. "Sama sekali tidak, Pak!"

Respon yang diberikan membuatku kembali terkekeh. Rasa hangat yang familier kembali menyergap hatiku. Kehangatan ini membuatku semakin terdorong untuk bercerita.

"Baiklah, akan Bapak ceritakan. Tentang dia yang mencintai eufonium."

โ™ฌโ™ฉโ™ชโ™ฉ โ™ฉโ™ชโ™ฉโ™ฌ

|Scroll down to continue the sheets|

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top