II. Dim
๊ท๊ฆ๊ทโงหโโง๊ฆ๊ท๊ฆ ๊ท๊ฆโงห.โบ๊ท๊ฆ๊ทโงห๊ฆ
Ajax bangun setelah tertidur satu jam lamanya. Anak lelaki itu bangkit dari posisi tidurnya, mengusap kedua mata untuk memperjelas pandangan. Kedua mata birunya menyapu sekitar, kekecewaan seketika muncul dalam hati tatkala mendapati sang adiratna berambut pirang tidak berada dalam ruangannya.
Pandangannya kini jatuh ke arah nakas. Nampan berisi mangkuk dan gelas kosong serta kue-kue kecil sudah tak ada, tergantikan dengan nampan berisi aneka buah-buahan. Sepertinya, nampannya telah diganti oleh anak buah perempuan itu seperti yang dikatakan.
Ajax bangkit dari tempat tidurnya, kemudian berjalan ke arah pintu besar di sisi lain ruangan. Ia penasaran dengan apa yang ada di luar kamar.
"Kamar ini saja sudah besar sekali, pasti yang ada di balik pintu akan lebih besar lagi," gumam Ajax sambil meraih knop pintu raksasa ruangan tersebut.
Dan benar seperti dugaannya. Saat Ajax menarik knop dan membuka pintu besar itu, ia melihat sebuah lorong panjang dengan langit-langit yang tinggi. Ia mengira akan ada monster yang berjaga di luar, namun tampaknya dugaan tersebut salah. Karena saat ini, yang berada di jalan memanjang tersebut hanyalah dirinya seorang.
Kedua mata safirnya kemudian mengamati lorong itu. Koridor tersebut cukup gelap dengan remang-remang cahaya batu kristal biru di sepanjang dinding sebagai penerang. Pintu-pintu raksasa berjejer sepanjang lorong, menyembunyikan hal yang tak diketahui di baliknya. Daripada merasa takut, Ajax justru terkesima dengan keindahan yang tersaji di depan matanya.
"Indahnya," decaknya dengan penuh kekaguman. "Ini seperti istana di buku-buku cerita dongeng."
Setelah melihat keelokan arsitektur bangunan itu, rasa penasaran Ajax menjadi semakin besar. Ia ingin melihat lebih jauh lagi, ingin melihat setiap bagian dari bangunan raksasa yang dipijaknya saat ini.
Maka dengan rasa penasaran dan gembira yang meluap-luap, Ajax pun mulai menyelusuri koridor tersebut. Lorong itu begitu senyap, suara langkah kakinya menjadi satu-satunya suara yang memecah hening. Hingga akhirnya, telinganya menangkap suara dua pedang yang saling beradu.
Ajax spontan menghentikan langkah. Jari telunjuknya mengorek telinganya selama beberapa detik untuk memperjelas pendengaran, sebelum memfokuskan diri mendengarkan suara nyaring yang diduganya sebagai suara pertarungan.
Usai mendengarkan selama beberapa saat, Ajax mendapati bahwa suara adu pedang tadi bukanlah satu-satunya yang didengarnya. Ada bunyi lain setelahnya. Suara sesuatu yang jatuh, juga bunyi asing di telinga.
Netra Ajax mengamati sekitar, berusaha mencari sumber suara dari pintu-pintu raksasa yang berjejer di lorong. Begitu menyadari bunyi tadi berasal dari ujung koridor, anak lelaki tersebut segera berlari secepat tenaga ke depan. Rasa penasarannya sudah tak dapat ia tahan lagi.
Setelah berlari selama beberapa menit, Ajax akhirnya sampai di depan pintu raksasa berwarna biru gelap dengan ukiran bercahaya biru kehijauan. Suara pertarungan terdengar jelas dari dalam sana, membuatnya semakin yakin bahwa sumber bunyi tadi memang benar berasal dari balik pintu di hadapan.
"Aku penasaran siapa yang sedang bertarung," gumam Ajax sembari menatap pintu besar di depannya. Kemudian, reka adegan sosok pirang yang hendak meninggalkan ruangannya beberapa saat lalu kembali muncul di benaknya.
"Masih ada urusan yang harus kutangani. Jika kau sudah selesai makan, letakan saja peralatannya di atas nakas, bawahanku akan mengurusnya nanti."
Begitu mengingat perkataan yang diucapkan oleh perempuan bergaun putih itu, Ajax mulai bergumam, "Kakak itu memang mengatakan kalau dia punya sebuah urusan. Tapi...."
Sepasang manik birunya kembali menatap pintu besar tersebut. "Apa mungkin yang bertarung di dalam sana adalah benar-benar dia?"
Ajax mulai meragukan perkiraannya sendiri. Perempuan pirang itu memiliki tubuh yang kecil, tangannya pun terlihat terlalu mungil untuk kuat mengangkat sebuah pedang. Membayangkan ia menghunuskan pedang ke arah lawan terasa tidak mungkin.
Namun, anak lelaki itu kemudian teringat dengan sebuah pepatah. 'Jangan menilai buku dari sampulnya'โ yang memiliki arti 'Jangan menilai orang lain dari penampilan luarnya saja.'
Pada akhirnya, Ajax menghela napas panjang. Hanya terus menebak tak akan membuatnya menemukan jawaban.
"Lebih baik langsung kubuka saja," gumamnya sembari meraih knop pintu besar di hadapan. "Aku harap pintu ini tidak dikunci."
Ajax pun mulai memutar knop pintu dengan pelan, mendorong pintu itu perlahan untuk mengintip apa yang ada di baliknya. Dari celah pintu yang kecil, irisnya melebar. Terdapat kilat kekaguman dari sepasang mata samudra tersebut tatkala melihat hal yang menakjubkan.
Gadis pirang yang sebelumnya ia ragukan kekuatannya kini tengah bertarung dengan lincah melawan seorang manusia tinggi berpakaian hitam kebiruan. Dengan sebuah pedang di genggaman, sang puan menangkis setiap serangan yang diberikan sang lawanโ menimbulkan suara nyaring yang bergema di antara dinding ruangan. Tak mau kalah, perempuan itu turut menyerang manusia yang ukurannya dua kali lipat darinya itu dengan memberikan beberapa tebasan cepat. Erangan samar terdengar dari manusiaโ pria raksasa tersebut.
Lelaki dalam balutan pakaian hitam kebiruan itu kini beralih memberikan serangan pada sang gadis. Ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, kemudian menurunkannya dengan cepat seolah ingin menebas kepala pirang tersebut menjadi dua. Namun, lawannya bergerak lebih cepat. Si wanita berambar madu dengan gesit menghindari serangan yang diarahkan padannya, melompat ke belakang dan mendarat dengan sempurna.
Sepanjang pertarungan itu berlangsung, Ajax tak bisa memalingkan pandangannya dari sang gadis bersurai emas. Gerakan perempuan itu sangat cepat, namun juga anggun. Kakinya lincah melompat untuk menghindari serangan, gaun putih pembalut raga berayun seirama dengan pergerakannya, tangan mungilnya dengan luwes memberikan tebasan ke tubuh lawanโ seluruh aksinya terlihat begitu indah seperti seorang peri hutan yang menari di bawah sinar rembulan.
Pertarungan itu berakhir dengan si puan bergaun putih yang mengarahkan ujung pedang di tangan ke arah sang lawan, kakinya menginjak tubuh besar tersebut. Raut wajahnya dingin tanpa ekspresi maupun senyum menghias perangai. Tampaknya, kemenangan yang baru saja diperoleh sama sekali tak membuat dirinya senang.
"Aku yang menang," ucapnya dengan suara dingin sembari mengibaskan pedang ke belakang. "Bangkitlah."
Atas perintah tersebut, pria raksasa di hadapannya langsung bangkit. Ia kemudian menunduk, memberi hormat kepada pempimpinnya.
"Gerakan berpedang anda hebat seperti biasanya, Tuan Putri," puji lelaki besar berarmor hitam kebiruan tersebut.
Sang gadis pirang membalas dengan nada dingin, "Terima kasih. Kau boleh pergi sekarang."
Sang abdi pun membungkukan badan sekali lagi, kemudian membuka portal dan hilang di baliknya. Perempuan porselen itu menghela napas, pedang di genggamannya hilang dan berubah menjadi kilauan keemasan sebelum lenyap di udara.
Kedua ambar emasnya memandang sekeliling, dan jatuh pada celah kecil pintu yang terbuka. Sekilas, ia dapat melihat sepasang mata safir yang tengah menatap dirinya dari sela itu.
Ajax yang tertangkap basah langsung mengalihkan pandangan dan bersembunyi di balik daun pintu. Ia memejamkan kedua matanya, berharap wanita bergaun putih itu tidak menyadari presensinya dan bersikap acuh tak acuh.
Namun, suara ketukan hak yang menggema dalam ruang senyap mulai mengikis harapannya sedikit demi sedikit. Ajax spontan membungkam mulut, berusaha mencegah suara deru napasnya yang memburu terdengar.
Bayangan akan dirinya yang mati di hamparan salju antah berantah membuat anak lelaki itu bergidik ngeri. Ia takut jika perempuan penyelamat hidupnya benar-benar akan mengusirnya dari tempat agung yang dipijaknya saat ini. Ajax tak ingin hal demikian terjadi.
Sebuah bayangan yang menutupi kilau cahaya bulan membuyarkan lamunan. Napas Ajax tercekat. Anak lelaki besurai jingga itu pun menelan ludah, lalu perlahan menoleh ke belakang. Begitu kedua mata birunya bertatapan dengan sepasang netra aurum yang tampak dingin.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
๊ท๊ฆ๊ทโงหโโง๊ฆ๊ท๊ฆ ๊ท๊ฆโงห.โบ๊ท๊ฆ๊ทโงห๊ฆ
Scroll to continue
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top