вα¢нιяα мєgυяυ [вℓ]
→• ✿ •←
Blue Lock ©Muneyuki Kaneshiro, Yusuke Nomura
“Take you by the hand, you're the only one who understand.”
→• ✿ •←
Di umurmu yang masih dini, jatuh cinta adalah yang tabu; tak bisa dimengerti oleh hati kecilmu yang tak pernah merasakan perasaan hangat nan manis itu.
Tapi mungkin.
Mungkin saja kamu mulai memahaminya ketika ia hadir di hidupmu.
Manis.
Hal yang pertama kamu ingat darinya adalah kata itu.
Langkahmu yang kecil melangkah dan berhenti di depan pintu. Tanganmu mengetuknya beberapa kali sebelum figur wanita dewasa hadir dalam pandanganmu.
Paras cantik wanita itu selalu membuat senyum lebarmu merekah, tak pernah kamu bayangkan bisa tersenyum selebar ini sebelumnya. Apalagi saat wanita itu menyamakan tingginya dengan tubuhmu, menatapmu dan tersenyum hangat.
"[Name] mau main dengan Bachira?"
"Iya, Tante! Bachi di mana?" jawabmu sekaligus bertanya.
Dengan lembut ibu Bachira menjawab, "Maaf ya, tapi Bachira sedang main sepakbola di lapangan."
"[Name] boleh ke sana engga?"
Pertanyaan itu mengundang tawa dari ibu Bachira. Tangannya mengelus suraimu lembut, mengusapnya sesekali.
"Boleh, tapi hati-hati ya?"
"Siap! [Name] pergi dulu tante!"
Kalimatmu itu belum menerima balasan, kamu sudah berlari pergi karena perasaan bahagia membuatmu banyak bersikap.
Di kejauhan kamu menoleh, melambai-lambaikan tanganmu dengan semangat pada ibu Bachira yang menatapmu di ambang pintu rumahnya sambil tersenyum.
Kini netramu fokus pada jalan, berlari dengan hati-hati agar tak mendapat luka; yang kini beralih pada sinar senja yang menyirami parasmu.
Senyuman tipis hadir, kamu mempercepat langkah kakimu untuk bertemu dengan satu-satunya temanmu. Langkah kakimu semakin melambat, bersamaan dengan napasmu yang mulai naik-turun karena lelah.
Keringat yang menetes kamu usap.
Dan langkahmu berhenti.
Matamu melebar, menatap pemandangan yang hadir begitu kamu datang ke tengah lapang.
Rasanya seluruh tubuhmu kaku.
Dan sebuah emosi mulai terbentuk.
Kamu mulai melangkah, mendekati segerombolan anak-anak seumuranmu yang sedang mengerumuni seorang anak, menendangnya, lalu melontarkan kata-kata ejekan.
Kamu mengangkat tanganmu dan hadir di tengah-tengah kerumunan dengan alis yang menukik tajam. Tak jarang kamu mendorong anak-anak yang malah ikut memukulmu hingga anak itu terjatuh.
Mungkin kalian seumuran, tapi soal ini, kamu lebih ahli.
Karena seperti yang orang-orang bilang, sikapmu bergantung pada sikap orang-orang disekitarmu.
Kamu melindungi Bachira dengan emosi yang melonjak naik.
Tanpa terasa satu persatu dari mereka mundur, tak kuasa membalasmu yang bagaikan langit dan bumi.
Hingga menit berikutnya lapangan kini kosong; hanya menyisakan kamu dan Bachira yang sudah babak belur.
Dengan sedikit terbatuk kamu menutupi mulutmu dengan punggung tangan. Tangan kecilmu mengusap pipi yang terkena tanah.
Kini matamu tertuju sepenuhnya pada Bachira yang masih terduduk di tanah, menunduk murung dengan badan yang sudah kotor.
Kamu menyamakan tinggimu dengannya, "Bachi nangis?" tanyamu.
Anak kecil itu menggeleng pelan, masih menunduk namun kini tangannya terangkat dan bergerak mengusap sesuatu di matanya.
"... Bachi engga aneh, kan?"
Kamu mengernyit, "Aneh? Kalau Bachi aneh, berarti [Name] juga aneh karena mau temenan sama Bachi!"
Mendengar hal itu Bachira mendongak, menampilkan wajah kotornya yang kini telah dibasahi oleh cairan bening; menangis dan mengusap air mata yang mengalir.
"[Name] aneh," isaknya.
Kamu mendekat, mengusap air mata Bachira dengan lengan bajumu. Senyuman tipis terus terlukis ketika Bachira malah berganti mengusap air matanya dengan lenganmu.
Tidak.
Kamu tidak merasa keberatan.
Setidaknya hal ini bisa menenangkan temanmu satu-satunya. Melihatnya menangis membuatmu sedih, tentunya.
Orang-orang mengecap orang lain seenaknya sendiri dan berbuat hal-hal yang keji bahkan pada anak seusiamu dan Bachira.
Memikirkannya membuatmu tanpa sadar kamu melamun.
Dan tanpa sadar pula, Bachira telah memelukmu sambil terus terisak. Tanganmu pun bergerak menepuk-nepuk punggung kecil yang tampak rapuh itu.
Dengan lembut kamu berkata, "Ayo pulang, Bachi nanti dicariin Mama—"
...
Kamu bingung.
Yang kamu panggil Mama ....
"... Bachi nanti dicariin Tante," ulangmu, membenarkan yang sebelumnya.
"[Name] engga bakal ninggalin Bachi, 'kan?"
Gerakan tanganmu berhenti. Kamu menatap netra kuning Bachira yang masih berair dan mengusapnya perlahan.
"Engga, [Name] bakalan sama Bachi terus soalnya Bachi temen [Name]!"
"Janji?"
Bagaimana kamu bisa menolak?
Manis.
Pipimu bersemu merah melihat Bachira dan tanganmu terangkat tanpa sadar; kelingking terjulur.
Beberapa detik kemudian, kelingking itu telah bertaut dengan kelingking Bachira.
Kamu bersyukur Bachira sudah kembali tersenyum.
"Aku janji bakal temenan sama Bachi terus!"
Itu janjimu.
Ikrar di bawah sinar senja yang terasa sangat manis.
Tapi sayangnya—
Tidak ada yang mengira ikrar itu akan terputus begitu bertahun-tahun berlalu, bukan?
Kamu tersenyum tipis, menatap punggung seseorang yang dengan gagahnya berada di tengah lapangan. Napas yang naik-turun menandakan bahwa tubuhnya telah bekerja keras.
Netramu selalu mengikuti sesosok insan di sana.
Bola ditendang.
Peluit dibunyikan.
Dan penonton bersorak-sorai.
Kamu ikut bersorak ketika permainan berakhir dengan skor 3-2.
Tanganmu tanpa sengaja mengepal naik, merasakan semangat yang membara meski bukan kamu yang bermain.
Namun semangat itu terhenti sejenak.
Alismu mengerut, menatap seorang pemuda yang berlari ke bangku stadion.
Pemuda dengan nomor punggung 8 itu menatapmu dengan senyuman lebarnya yang lagi-lagi membuatmu ikut tersenyum.
Semuanya terjadi begitu saja; tiba-tiba dan tanpas kamu sadari sang empu telah berada beberapa meter di hadapanmu.
Meski ini telah terjadi berkali-kali kamu masih belum terbiasa. Tanganmu direntangkan lebar-lebar.
Dan dalam sekejap seseorang telah memelukmu erat, menenggelamkanmu di dalam dada bidangnya dengan keringat yang masih membasahi.
Kamu berujar, "Udah dibilang berapa kali kalau mau cuddle bersih-bersih dulu?"
"Gatau? Aku mau meluk kamu, aku mau nunjukin kalau aku bukan orang aneh dan aku mau nunjukin ke semua orang kalau kamu itu orang yang berhasil buat aku ga benci sama diriku sendiri," balasnya tepat di telinga kirimu.
Mungkin benar jika telinga kiri lebih sensitif. Kamu berusaha menutupi rona merah yang kini menjalar di wajahmu dan membalas pelukan Bachira.
"Sayang," panggilmu.
"Mhm?"
"... aku malu."
Mendengar hal itu Bachira melepas pelukannya, masih melingkarkan lengannya pada pinggangmu dengan salah satu tangan yang sudah mencubit gemas pipi kananmu.
"Kamu lucu!"
Kini kedua tangan Bachira telah berada di kedua pipimu, mencubitnya kesana-kemari dan membuatmu semakin malu.
Iya.
Janji masa kecil itu memang telah terputus sejak beberapa bulan lalu.
Ketika Bachira menyatakan perasaannya kepadamu setelah bertaruh kemenangan pada sepakbola melawan sekolah lain.
Saat itu kamu hanya bisa terdiam membisu.
Lidahmu terasa kelu saat penonton ikut bersorai pada kalian ketika Bachira menyatakan perasaannya di tengah-tengah lapangan.
Janji itu memang berakhir.
Lagipula, siapa yang masih mempertahakankan janji pertemanan kepada kekasihnya sendiri?
"Ayo ke rumah, ketemu Mama."
Kamu menatap bingung, "Kenapa?"
"Minta nikah."
Wajahmu sudah memerah padam karena tak kuasa menahan diri. Sebuah pukulan dilayangkan pada punggung gagah Bachira.
Punggung yang beberapa tahun lalu, terasa begitu rapuh dan akan hancur ketika seseorang menyentuhnya.
ೃ⁀➷endೄྀ࿐ ˊˎ-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top