ιzєкιєℓ αℓρнєυѕ [ωммαρ]

→• ✿ •←

"I'll give you something unforgettable, an eternal heart."

Who Made Me A Princess ©Spoon

→• ✿ •←

"Bukankah bunga ini cantik? Hei Kiel?"

"Iya, warnanya cocok dengan rambut (h/c)-mu!" ucap laki-laki kecil yang menyentuh beberapa tangkai bunga.

"Aku ingin belajar melukisnya." Tangan yang bergerak itu terhenti, wajah sang empu menoleh pada gadis kecil.

"Bolehkah aku melihatnya setelah lukisan itu selesai?"

Suara polos yang terucap membuat gadis kecil itu mengangguk. "Apa Kiel tahu arti bunga ini apa?"

"Tidak tahu ... memangnya apa?"

Bukannya menjawab, si gadis memegangi dagunya membuat pose berpikir.

Diam-diam Tuan Muda Alpheus itu tersipu, ia senyuman tipis.

"Kalau tidak salah aku baca di buku artinya 'keabadian'! Tapi keabadian apa ya? Ugh ... sepertinya ada lanjutannya tapi aku tidak ingat."

"Bukankah bunga ini cocok untuk kita? Aku ingin kita terus bersama, abadi untuk selama-lamanya agar aku bisa terus menjahilimu!"

Izekiel tidak bergeming. Ia masih diam membisu menatap wajah gadis di hadapannya.

"Kiel? Halo? Apakah ada sesuatu?"

"Ah! Tidak, tadi (Name) bilang apa?"

Sang puan menggembungkan pipinya kesal. "Dasar~ Kau selalu saja begini."

"Maaf, aku tidak sengaja."

(Name) menggenggam tangan Izekiel dan menariknya untuk berjalan mengikuti langkahnya. "Tidak apa-apa! Ayo, kita berkeliling di taman ini lagi!"

Suara alam yang ada di tengah-tengah taman mengisi keheningan keduanya. Untuk sesaat Izekiel lupa bahwa taman ini adalah taman milik keluarganya, tetapi dengan percaya diri gadis yang sedang  menggandengnya malah mengajaknya berkeliling.

Tapi ia tidak protes dan mengikuti langkah (Name).

"Kiel."

"Iya?"

"Arti cinta itu apa?"

"Cinta? Aku baru pertama kali mendengarnya."

(Name) menyuruh Izekiel untuk duduk di sebelahnya, di bawah pohon teduh yang cukup untuk melindungi keduanya dari sinar matahari.

"Kata ayah dan ibuku, cinta itu sesuatu hal yang indah dan terasa hangat."

"Indah ... dan hangat?" beo Izekiel. Netra emasnya tak berkutik dari netra (e/c) (Name) yang berpendar hangat menatapnya.

"Kalau begitu apa Kiel itu cinta?"

Senyap.

Pemuda itu berkedip beberapa kali karena merasa bingung.

"Kiel itu indah! Rambut dan matamu sangat cantik."

(Name) mengangkat tangannya yang masih bertaut dengan tangan Izekiel. "Dan ini juga rasanya hangat."

"Kalau begitu apa (Name) juga cinta?" tanya Izekiel sembari memiringkan kepalanya.

Suara tawa terdengar. Izekiel tersenyum melihat gadis kecil itu tertawa.

Diumur keduanya yang ke-7, dengan taman keluarga Alpheus sebagai saksi bisu bahwa keduanya senantiasa menghabiskan waktu mereka di sana.

"(Name), aku mempunyai sesuatu untukmu."

"Apa? Apakah itu sesuatu yang bisa digunakan untuk melukis?"

"Ini bukan alat lukis, tapi ini cantik seperti (Name)."

"Benarkah? Mana? Aku penasaran!"

Izekiel tersenyum, ia menyelipkan sebuah bunga di antara telinga (Name).

Netra (e/c) itu berbinar-binar. (Name) menyentuh bunga itu dengan hati-hati karena tidak ingin merusaknya.

"Aku memetiknya karena bunga itu mengingatkanku dengan (Name)."

(Name) terkekeh sembari terus mengusap lembut surai Izekiel, tidak memedulikan wajah sang empu yang sudah tersipu malu.

"Terima kasih!"

"Nona (Name)." Gadis itu menoleh.

Ia menatap malas ketika mendapati seorang ksatria yang ia kenal.

"Apakah sudah waktunya? Aku baru bermain sebentar!"

"Iya, Nyonya dan Tuan (Surname) meminta saya untuk menjemput Anda."

Dengan kesal ia berdiri, menepuk pelan gaun yang ia pakai guna menghapus debu dan menggandeng tangan ksatria itu.

"Kapan-kapan kita bertemu lagi ya! Aku ingin menunjukkanmu sesuatu!" serunya dengan senyuman lebar. Tuan Muda itu tersenyum tipis dan mengangguk pelan.

Sebelum beranjak, (Name) mendekatkan kepalanya pada telinga Izekiel, membisikkan sesuatu yang sukses membuat Izekiel menatap dengan wajah bingung.

"Aku sering mendengar orang tuaku mengucapkannya, jadi aku ingin mencoba mengucapkannya padamu, hehe!"

N

etra emasnya menatap keberadaan (Name) yang semakin menghilang.

Perlahan tangannya bergerak memasuki saku celananya, mengeluarkan setangkai bunga kecil yang berwarna senada dengan surai (Name).

"Aku menyukaimu, kuharap kita akan selalu bersama."

Izekiel tertawa kecil dan mendekap setangkai bunga itu dengan rona tipis yang ada di pipinya.

Yang tidak ia tahu adalah, sang gadis mengucapkan hal itu bukan karena meniru kedua orangtuanya. Ia sangat paham maksud sebenarnya dari bisikan yang ia lontarkan.

→• ✧ •←

"Mama, apa aku bisa bertemu dengannya lagi nanti?"

Sang ibu membelai lembut surai buah hatinya. "Tentu, tapi sebelum itu (Name) harus sembuh dulu, setuju?"

"Iya! (Name) akan segera sembuh, tenang saja."

→• ✧ •←

Hari demi hari berlalu, Tuan Muda Alpheus menatap jendela yang terhubung dengan taman.

Pikirannya berandai-andai kapan gadis yang ia tunggu-tunggu datang ke kediamannya lagi.

Sudah lama ia menunggu, namun yang ia dapatkan saat bertanya kepada Duke Alpheus hanyalah gelengan kepala.

Pintu ruangan terbuka.

Izekiel menatap sang Ayah yang memberikannya secarik surat dengan stempel kediaman (Surname).

Dengan bingung ia menerimanya.

Secarik surat itu sukses membuat netra emasnya bergetar gelisah.

"... ini (Name)?"

"Iya, kemarilah, kau tidak mau terlambat mendatanginya, kan?"


"... (Name)."

"Ayah, (Name)—"

Duke Alpheus menggendong Izekiel yang berumur 8 tahun di dekapannya. Perlahan-lahan irisnya berkaca-kaca. Netra emasnya yang polos mulai mengeluarkan cairan bening.

Ia menangis dalam dekapan sang ayah.

Padahal ia begitu menantikan keberadaan sang gadis.

Tetapi kenapa?

Izekiel memandangi batu nisan bertuliskan nama seseorang yang ia kenal sembari menggenggam tangan Zenith kecil.

Sekarang tidak ada lagi suara yang selalu membuatnya tersenyum. Tidak ada lagi genggaman lembut yang tersisa.

Setelah pulang dari sana Tuan Muda Alpheus itu masih tak mau menampilkan raut bahagianya.

Ia terus memandangi taman, tempat terakhir kali ia bertemu dengan teman kecilnya, (Name) (Surname).

Dan tanpa ia sadari, perasaan sebagai seorang 'teman kecil' yang ia anggap biasa semakin lama semakin tumbuh.

Tumbuh menjadi sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, perasaan yang muncul tanpa pernah memandang wujud sang gadis lagi.

Tiga belas tahun berlalu.

Izekiel Alpheus, Tuan Muda Alpheus yang kini resmi meyandang gelar Duke berada di perpustakaan keluarga Duke, menyusuri buku-buku yang ada di rak dengan teliti.

Berapa kali ia berkeliling tetapi tak menemukan sesuatu yang menarik. Semua yang ada di sini telah ia baca entah baru saja ataupun beberapa tahun lalu.

Tangannya mengambil sebuah buku.

Buku dongeng tentang seorang putri yang memiliki paras cantik bak bidadari.

Di dalam cerita, sang putri berada di keluarga yang bahagia bersama kedua orang tua dan seorang kakak.

Dongeng yang memiliki kesan lembut dan indah, ia menyukainya.

Namun Izekiel mengharapkan akhir bahagia bagi sang kakak yang meninggal karena berkorban untuk adiknya.

Rela menukar dan meminum teh adiknya yang berisi racun dan meninggal di umurnya yang ke-delapan.

Tangan Izekiel membalik halaman akhir, sesuatu yang baru saja ia sadari keberadaanya setelah sekian lama.

Di dalam sana terdapat sketsa lukisan yang kakaknya lukiskan untuk sang adik, petunjuk yang menuntunnya memiliki akhir yang bahagia.

Senyuman terlukis ketika hal itu membuat sebuah memori terlintas.

"Hei Kiel! Aku melukis sesuatu, apa kau mau melihatnya?"

"Aku ingin melihatnya!"

"Lihat! Bukankah ini indah? Guru melukisku membantuku melukis ini!" ucap sang gadis tersenyum riang. Laki-laki kecil itu mengangguk, balas tersenyum sembari memakaikan sebuah mahkota bunga di surai (h/c).

"Apapun yang (Name) lakukan sangat indah, seperti malaikat."

"Ma-malaikat?"

Izekiel terkekeh ketika mengingat hal itu. Saat pemuda itu bersandar pada rak di belakangnya, sebuah buku terjatuh.

Netra itu menatap bingung.

"Aku tidak ingat pernah mempunyai buku seperti ini," monolognya mengambil buku tersebut.

Buku yang tampak kuno, berwarna putih kusam dengan judul yang sudah tidak terbaca.

Ia mengusap debu yang menempel dan membukanya di sembarang halaman.

Halaman 381 terbuka.

Sebuah gambar terpampang jelas di sana.

Izekiel melangkah mendekati jendela yang terhubung langsung dengan kebun keluarga Alpheus dan membuka jendela tersebut.

Buku yang tergenggam ia angkat, berdampingan dengan bunga yang berada tepat di balik jendela.

Itu adalah bunga yang sama.

Ia menatap tulisan yang berada di bawah gambar bunga tersebut.

source : pinterest

Baby breath

Bunga yang memiliki waktu mekar yang cukup lama. Baby breath dapat mekar dari awal musim semi hingga akhir musim gugur, waktu tumbuh bunga ini memerlukan 8 sampai 12 minggu.

Netra emas Izekiel bergulir, membaca tiap kata yang ada mengenai bunga tersebut.

Dan mata itu berhenti bergerak.

Ia membisu dengan alis yang sedikit terangkat.

Baby breath mempunyai makna kemurnian, ketulusan, dan—

"Kalau tidak salah aku baca di buku artinya 'keabadian'! Tapi keabadian apa ya? Ugh ... sepertinya ada lanjutannya tapi aku tidak ingat."

—keabadian cinta.

"Bukankah bunga ini cocok untuk kita? Aku ingin kita terus bersama, abadi untuk selama-lamanya agar aku bisa terus menjahilimu!"

Izekiel memejamkan kedua matanya dan mengecup buku tersebut.

"Aku juga ingin bersamamu untuk selama-lamanya, (Name)," gumamnya dengan wajah sendu.

Sebuah kekehan keluar dari bibirnya. "Namun sepertinya itu permintaan yang mustahil."

Izekiel menutup jendela dan meletakkan buku tersebut pada tempatnya semula. Ia menutup pintu perpustakaan dan kembali ke ruang kerjanya untuk melakukan tugas seorang Duke.














ೃ⁀➷ೄྀ࿐ ˊˎ-









"Apa yang sedang kamu lakukan di sini sendirian?"

Seorang gadis menghentikan gerakan tangannya dan menoleh pada sumber suara.

"Kukira ini adalah tempat yang tidak akan ditemukan orang lain, aku sedang melukis."

Netra (e/c) bergulir, menatap buku yang pemuda itu bawa dan menaikkan sebelah alisnya.

"Kau pergi sejauh ini hanya untuk membaca?"

"Aku hanya kebetulan menemukan tempat ini, apa aku boleh duduk di sebelahmu?"

Gadis itu bergeser, memberi tempat baginya. "Tentu saja."

"Lukisanmu indah, kamu sedang menggambar bunga ini?" tanya sang pemuda sembari menunjuk hamparan bunga-bunga yang berada tidak jauh dari mereka.

Anggukan didapat, si gadis mengambil beberapa tangkai dan menyelipkannya di antara telinga pemuda bersurai putih itu.

"Baby breath itu cocok denganmu."

Ia terkekeh mendengar hal yang baru pertama kali ia dengar itu.

"Siapa namamu?"

"Izekiel."

"Aku (Name), senang bertemu denganmu, kurasa kita akan terus bertemu untuk seterusnya."

Pemuda itu mengangguk dengan senyuman teduh. "Iya, senang bertemu denganmu."

Keduanya kembali diam, hanyut pada kegiatan mereka masing-masing.

Meski begitu hal ini tidak membuat suasana menjadi canggung. Sang gadis tersenyum tipis, melirik pemuda di sebelahnya yang sibuk membaca bukunya sendiri.

Sedangkan sang pemuda? Ia mencoba menetralkan detak jantungnya yang tiba-tiba berdegup kencang.

Entah kenapa ia merasakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang berbeda dari yang sebelumnya pernah ia rasakan.

Satu hal yang pasti adalah baik ia dan perempuan di sebelahnya merasakan hal yang sama.

Tak bisa dipungkiri bahwa keduanya merasa terikat.

Terikat sesuatu yang orang-orang sebut sebagai benang merah.

Benang itu bisa renggang atau kusut, namun satu hal yang pasti adalah ikatan benang itu tidak pernah putus.

𝒶 𝒹𝑒𝓈𝓉𝒾𝓃𝓎 𝓉𝒽𝒶𝓉 𝒻𝒾𝓃𝒶𝓁𝓁𝓎 𝒸𝒶𝓂𝑒 𝓉𝑜𝑔𝑒𝓉𝒽𝑒𝓇

ೃ⁀➷endೄྀ࿐ ˊˎ-

Watashi ketika meliat foto anak bapak Alpheus :

Sori kalo krinj, masih belajar kids 😨👆🏻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top