Part Tujuh

Kimi menatap Lavina dari atas sampai bawah. Benar-benar tak cocok menjadi saingannya. Kalah jauh, jauh sekali, sehingga Kimi tak habis pikir, KENAPA LEON MENIKAHINYA!

"Kamu pakai susuk apa sehingga Leon mau menikahimu?"

Lavina hampir tersedak makanan ketika mendengar pertanyaan dari Kimi yang terdengar sinis. Sejak Leon turun ke bawah, Lavina mengira perempuan bernama Kimi ini akan mengikuti Leon. Tapi ternyata malah mengamatinya makan dan tetap stay di sini.

Dan pertanyaan apa-apaan tadi? Susuk? Ya kali Lavina pakai susuk supaya Leon terpikat dan menikah dengannya.

Kimi yang tidak mendapatkan jawaban dari Lavina mendengus kesal. Ia tak habis pikir, apa menariknya sosok Lavina sehingga Leon mau menikahinya.

Padahal ia cantik, seksi, impian para pria. Ia juga mendekati Leon sudah lama. Namun respons Leon memang mengambang, seperti memberi harapan dan juga tak pasti.

"Aku gak pakai susuk buat menikah sama Leon," jawab Lavina jujur.

"Tapi gak mungkin kalian menikah. Sedangkan kamu—" ucapan Kimi terputus, tapi dari sotot matanya, Kimi menghina fisik Lavina.

Lavina menghembuskan napasnya pelan. Jangan sampai ia meledak, seperti ia meledak pada Leon.
"Aku memang gak seksi, tolong matanya di kondisikan," ketus Lavina.

"Kamu sadar diri ternyata. Kamu gak cocok sama dia, tapi kenapa menikah dengannya?"

Lavina mengabaikannya, perempuan itu memilih mengabaikan Kimi dan melanjutkan makanan yang tertunda. Menimpali Kimi, tidak ada gunanya.

"Beraninya kamu mengabaikan aku!"

Kimi emosi diabaikan, pada akhirnya ia berlalu menuju ke lantai bawah. Kimi akan bertanya pada Leon. Alasan apa menikah dengan Lavina yang jauh dari teman kencan Leon.

Lavina mengendikkan bahunya. Masa bodoh dengan Kimi. Misal Kimi memang kekasih Leon, bukankah ini akan mudah untuk mereka bercerai? Lavina tertawa, membayangkan akan lepas dari ikatan pernikahannya bersama Leon. Jadi tidak ada lagi membayar uang kompensasi yang diingankan Leon.

****

"Leon, kamu beneran nikah sama dia? Kamu pasti lagi prank, 'kan?" Kimi mengganggu Leon dengan pertanyaan tak unfaedah bagi pria itu.

Sambil mengganti ban motor pelanggan, ia melirik sekilas dan fokus bekerja. Namun rengekan Kimi lama-lama membuat Leon kesal sendiri.

Setelah selesai mengganti ban dan transaksi, Leon menatap jengah Kimi. Bengkelnya tutup lebih awal karena ia akan belanja kebutuhan rumah tangga dengan Lavina.

"Leon!" pekiknya meminta jawaban.

"Iya, gue 'kan udah bilang. Masa lo gak paham sih."

"Aku gak terima! Kenapa harus dia dan bukan aku? Kita lama saling dekat, tiba-tiba kamu nikah. Aku gak mau kamu nikah sama dia. Dia jauh dari tipe kamu!"

Leon membasih tangannya dan menyuruh Deni menutup bengkelnya. Mendengar ucapan Kimi, ia mengerutkan keningnya dan menatap Kimi.

"Emang lo tau tipe gue kayak gimana?"

Pertanyaan Leon membuat Kimi gelagapan. Sejujurnya ia juga tak tahu tipe seperti apa pasangan untuk Leon. Namun melihat wanita mana yang dekat dengannya, ia meyakini kalau Leon suka cantik dan seksi.

Sedangkan Lavina, meski cantik, perempuan itu tak seksi sama sekali.

"Cantik dan seksi 'kan. Sama seperti aku," katanya dengan percaya diri.

Leon terkekeh, menganggap ucapan Kimi hanya candaan saja.
"Sana kamu pulang, udah sore."

"Kamu usir aku?" Kimi menatap Leon tak percaya.

"Bukannya ngusir, tapi bengkel mau tutup."

"Biasanya sampai magrib, kenapa jam segini tutup?"

"Ngantar bini belanja dong. Pulang gih."

Kimi kecewa, ia membalikan tubuhhnya, pergi dari bengkel Leon.
Leon tak peka, mengendikkan bahunya. Baginya Kimi hanya adiknya. Usia mereka juga terpaut 4 tahun.

"Kasian Kimi, bos gak peka-peka lagi," ujar Deni sambil mengamati Kimi pergi.

"Hooh, kasian ya. Andai Kimi mau sama gue, gue bahagiaakan dia semampu gue," celetuk Rangga. Menyayangkan wanita secantik Kimi patah hati dengan bosnya yang tak peka, malah sekarang sudah tak bujang lagi. Alias, sudah menikah.

"Kayak Kimi mau sama lo aja."

"Gue 'kan bilang andai, gimana sih lo."

Setelah bengkel tutup, Deni dan Rangga pun pulang ke rumah masing-masing. Leon memasuki rumah dan berjalan ke lantai atas.

"Loh, udah mandi aja lo."

"Iyalah, masa gue nunggu lo."

"Iya dong, sekalian mandi bareng."

"Iyuh, ogah mandi bareng."

Leon terkekeh, ia menarik handuk kecil membungkus rambut sepundak Lavina.

"Ih, Leon! Ngapain sih usil banget," kesal Lavina. Mana rambutnya kejambak lagi.

"Lo ngapain keramas, perasaan gue belum minta jatah deh," usil Leon.

"Emang keramas harus begonoh gitu? Sana mandi, bau oli lo."

"Gini-gini bekerja demi koe, Mbrot."

"Preet."

"Gak percaya amat lo."

"Percaya sama lo itu musyrik."

Leon mencebik dan manarik rambut Lavina hingga sang empu memekik kesakitan. Leon tertawa berbahak-bahak dan masuk ke kamar mandi. Umpatan dari Lavina masih bisa Leon dengar. Ia menggeleng-geleng, gak rugi juga nikahin Lavina, bisa jadi hiburannya.

****

"Cewek tadi, pacar lo?" tanya Lavina saat Leon keluar dari kamar mandi. Lavina meneguk saliva sudah payah, melihat Leon telanjang dada.

Digrepe-grepe boleh gak sih?

"Kimi maksud lo?"

"Iyalah, 'kan cuma cewek itu di sini. Memangnya pacar lo ada berapa sih," sewot Lavina.

"Dia bukan pacar gue," jawab Leon.

"Dia cantik ya."

"Iya."

"Gak kayak aku."

"Iya."

"Seksi lagi.

"Bener."

"Putih."

"Iya."

Lavina meremas bantal dan mendengus setelahnya. Jawaban Leon mengiyakan semua ucapannya.

"Ya udah kita cerai aja terus kamu bisa nikah sama dia. Gampang 'kan?"

Leon memakai kaos polosnya lalu mendekati Lavina. Alinya naik sebelah seraya bersedekap dada. Leon heran, apa kurang dirinya? Tampan? Iya. Seksi? Iya. Kekar? Iya. Idaman wanita? Itu mah jangan ditanya lagi.

Ini istri, bukannya bersyukur dapat suami idamanable, malah ngajak cerai.

"Bersyukur kek dapat suami kayak gue. Emang gak waras lo jadi istri."

"Haruskah gue sujud syukur dapat suami nyebelin kayak lo?"

"Lo–"

Leon mendekati Lavina dan mengetekinya.
"Istri durhaka lo. Sopan gitu sama suami?"

"Kyaaa! Lepas ih. Leon, gue gak bisa napas."

"Ampun gak?"

"Gak mau!"

"Harus mau. Kalo enggak, gak bakal gue lepas."

"Iya, iya, ampun. Ampun kang mas Leon."

Leon tersenyum puas. Dan melepas Lavina dari keteknya. Lavina tersenggal-senggal, napasnya memburu seperti sehabis lari. Setelah napasnya lebih baik, ia menarik Leon dan membalas dendam.

Apalagi kalau tidak menjambak rambut gondrong Leon dan menduduki perut Leon.

"Leon nyebelin, kubalas lo. Rasain!"

"Akh, sakit. Lepas."

"Gak mau, rasain lo."

"Istri durhaka."

"Suami durhaka."

Lavina puas membalas dendam. Ia terengah-engah, begitu pula dengan Leon. Posisi mereka tetap sama, Lavina di atas dan Leon di bawah. Mata mereka saling bertemu, saling memandang, namun jangan berharap ada adegan sosor menyosor tanpa sengaja.

Ini jelas bukan drama yang akan terjadi kekhilafan hingga berlanjut ke adegan 18+.

"Gue capek, kali ini kita damai, oke?" Lavina merebahkan dirinya di samping Leon.

Leon memutar bola matanya mendengar ucapan Lavina.
"Gak jadi belanja?"

"Nanti dulu dong, Sayang. Gue rehat dulu. Bertengkar sama lo, bikin capek."

Leon terkekeh, ia menatap ke atas. Beberapa saat mereka tak saling bicara, Leon terdiam mendengar dengkuran halus di sampingnya. Menoleh, Leon dikejutkan dengan keadaan Lavina yang tidur.

"Malah tidur."

****
14/04/22

Part ini gaje banget wakakak. Mulai.mager buat cerita. Gak tau kenapa bisa kayak gini.

Cerota ini selow up ya.

Makasih buat yang masih baca karya aku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top