Part Sepuluh

Leon terkekeh geli melihat wajah merah padam Lavina. Padahal 'kan niatnya baik, membantu Lavina mandi karena tubuhnya sedang sakit. Apa salahnya, sih?

"Beneran gak mau gue bantu mandiin, Vin?" tanyanya seraya mengetuk pintu kamar mandi.

"OGAH, SANA JANGAN GANGGU!"

Leon mengendikkan bahunya lalu rebahan di ranjangnya. Karena bengkelnya tutup, ia tak memiliki kesibukan selain bersantai ria. Sebelum menikah sih, pasti Leon sedang main atau kencan dengan gebetan. Sayangnya, sekarang ia sudah jadi suami orang, mana bisa berbuat demikian rupa.

Jadinya Leon hanya memainkan game di ponselnya.

Hingga tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Sosok Lavina keluar dari sana dengan langkah tak seperti biasanya. Lavina sudah berpakain lengkap, apa lagi kalau bukan daster kesayangannya. Bagi Lavina, aktivitas di rumah ya enak pakao daster.

"Lo gak kerja?" tanya Lavina ketika melihat Leon bersantai ria sambil rebahan dan memainkan game.

Bagimana bisa Lavina tahu kalau Leon bermain game? Karena dari suaranya saja sudah jelas dan suara tembakan-tembakan juga terdengar kencang. Pasti itu volume paling tinggi.

"Hari sabtu dan minggu libur," jawab Leon tanpa melihat Lavina. Pria itu masih menembaki musuhnya dan fokus pada permainan.

Lavina mengangguk mengerti. Hari ini hari sabtu. Maka tak heran Leon tak buka bengkelnya. Lavina menyisir rambut sebahunya yang masih basah. Tubuhnya masih tak enak, sehingga Lavina ingin rebahan saja.

"Minggir." Lavina mendorong Leon.

Leon melirik sekilas, namun ia menggeser tubuhnya sehingga Lavina dapat rebahan di sampingnya. Saat gamenya selesai karena kalah, Leon memiringkan tubuhnya menghadap ke arah Lavina.

"Sayangku," panggil Leon dengan nada menggoda.

Lavina melirik sekilas, tak menanggapi Leon.

"Jiah, ngambekan lo, Vin. Masih sakit?"

"Menurut ngana?" sinis Lavina membuat Leon tergelak.

"Maaf deh, gak bakal diulang lagi," ujar Leon membuat Lavina menatap ke arahnya. Lavina mencerna ucapan Leon, apa mungkin Leon tidak akan menyentuhnya lagi? Harusnya ia bahagia, 'kan? Tapi kenapa ia terasa sesak.

Seolah ia habis manis, sepah dibuang.

Tak ada artinya.

"Gue gak bakal beronde-ronde kok. Cukup dua ronde aja ya," cengirnya yang dihadiahi cubitan maut Lavina.

Rasa sesak tadi terasa hilang seketika. Ia pikir Leon— ah, Lavina memerah sekarang.

"Pasti sakit banget ya. Apa perlu gue panggilkan dukun urut?" tawar Leon.

"Gak usah, rehat aja udah cukup," tolak Lavina. Lavina merinding misalkan ia diurut. Pasti akan geli dan sakit secara bersamaan. Leon tak membujuk lagi dan tak memaksa kalau istrinya saja tidak mau.

"Tidur lagi sana, nanti malam gue ajak jalan-jalan di taman kota."

"Taman kota?"

"Iya, di sana ada bazar. Lo pasti demen."

Lavina tersenyum tipis. Ia mengangguk dan menguap. Selain lelah, ia mengantuk juga. Hingga dua menit kemudian ia sudah tidur.

Leon tersenyum tipis, ia membawa Lavina dalam dekapannya lalu tidur bersama.

Hangat.

Leon suka.

****

Malam hari telah tiba. Lavina tak sabar untuk pergi ke taman kota bersama Leon. Membayangkan makanan berjejer dan enak-enak, ia jadi tak sabar mencicipinya.

Untung saja, Lavina tak sesakit tadi. Apalagi ia berendam air hangat hingga tubuhnya rileks. Ia sudah bersiap-siap, dan memakai pakaian kasual. Lavina mengurai rambutnya, dan memberi sentuhan lip tint samar-samar supaya tidak terlihat pucat.

"Cantik banget sih gue," narsis Lavina menatap dirinya sempurna. Bukan berarti ia riya', hanya saja siapa lagi kalau bukan kita sendiri. Ini juga bentuk dari bersyukur dengan apa yang ia miliki.

Lalu, haruskah ia bersyukur menikah dengan Leon?

Meski Leon pria paling ngeselin hingga ia darah tinggi, selama pria itu jadi suaminya, Leon masih bersikap baik.

"Udah selesai?" tanya Leon yang sedari tadi menunggu Lavina. Pria itu bersandar di depan pintu kamar sambil bersedekap dada. Leon merasa heran, kenapa juga perempuan dandannya lama sekali.

"Udah kok, hehe ..." Lavina sadar bahwa ia terlalu lama. Lavina pun mendekati Leon.

"Uluh-uluh, ganteng banget suami gue." Lavina menatap Leon dari atas sampai bawah. Seperti bodyguard saja. Memakai pakaian serba hitam. Rambut gondrongnya dikuncir ke belakang. Lavina yakin, kalau Leon memotong rambutnya, pasti ketampanannya bertambah. Harus Lavina akui itu.

"Baru tau lo," sahut Leon. Ia menutup pintu kamar dan menggiring Lavina keluar dari rumah.

"Coba lo potong rambut deh, Yon. Pasti cakep banget lo," ujar Lavina asal dan menunggu Leon menyalakan motor kesayangannya.

Setelah motor nyala, Lavina menaiki motor itu dengan susah payah. Soalnya tinggi, sedangkan Lavina pendek. Makanya susah, 'kan.

"Siap?"

"Siap dong, lets goooo!!"

Lavina melingkarkan kedua tangannya di perut Leon. Bukan karena ia sedang modus, itu karena Leon mengendarainya tak main-main. Ngebut dan Lavina merasa tidak bisa membuka mata karena hembusan angin membuatnya memejamkan mata seketika

Lavina kesal, ia mencubit pinggang Leon dan berteriak supaya Leon memelankan kendaraannya.

"Lo tuh mau ngajak jalan apa balapan, sih?" Lavina kesal, rambutnya pasti acak-acakan. Di sisir pasti sulit sekali.

"Maaf deh, gue kira supaya cepet sampai."

"Pelan-pelan aja, gue juga mau lah menikmati jalan-jalan malam hari."

Leon tertawa kecil, andai mereka tidak dalam keadaan bermotor, sudah pasti Leon akan mencubit pipi empuk Lavina.

Tak lama kemudian, mereka sampai ke tempat dituju. Mata Lavina tampak berbinar. Lama sekali ia tak keluar dari rumah. Memang selain ia anak rumahan, Lavina jarang dibolehkan keluar pada waktu malam hari. Habis magrib saja, pasti ia sudah di dalam kamar.

"Ke sana yuk," ajaknya. Menggandeng tangan Leon tanpa malu. Bahkan kini ia melingkarkan tangannya di lengan Leon.

Leon tersenyum tipis dan mengusap kepala Lavina. Ia menuruti keinginan perempuan itu menuju ke stand-stand makanan. Sudah berpapa plastik yang ada digenggamannya.

"Lo yakin itu habis?" tanya Leon saat melihat Lavina ingin membeli lagi.

"Habis lah, gak lihat apa nih perut nampung makanan banyak?" Ia menepuk-nepuk perut lemaknya. Meski berlemak, tapi tak sebanyak itu kok lemaknya.

"Gak usah berlebihan deh, Vin."

Lavina mengerucutkan bibirnya. Lalu menatap Leon penuh permohonan.
"Satu kali aja. Yah, yah?"

"Terserah." Leon mana mungkin menolak, apalagi sikap Lavina diimut-imutkan. Lavina tidak baik bagi kesehatan jantungnya. Makin mereka saling dekat begini, Leon makin— ah sudahlah, ia tak mau membahas.

"Ke sana yuk." Leon manarik Lavina menuju ke arah stand mainan. Leon ingin mencoba bermain dan mendapatkan hadiah.

"Lo yakin bisa?" tanya Lavina setengah berbisik.

"Bisa dong. Lo tau mana target gue?" Lavina menggeleng.

"Target gue gajah itu, kayak lo. Haha ..." Leon tertawa dengan puas. Setelahnya ia berdeham dan fokus pada permainan.

Dua kali gagal membuat Lavina menyemburkan tawanya dan Leon mendengus kesal. Leon bermain sekali lagi dan yakin ini akan berhasil. Dan benar saja, Leon memenangkannya dan mendapatkan gajah yang diinginkan. Meski tak besar, tapi boneka itu sangatlah lucu.

"Spesial untuk istri tercinta." Leon menyerahkan boneka itu pada Lavina.

Meski kesal disamakan dengan gajah, melihat boneka gajah itu sangat menggemaskan, ia pun menerima dengan suka cita.

"Lain kali yang agak gede, biar bisa dipeluk," ujar Lavina memeluk bonek kecil itu.

"Ngapain beli yang gede, kalo gue aja bisa lo peluk?"

****
24/04/22

Akhirnya up, sekian muter-muter ke saudara, ke tetangga. Jadi bisa santai di rumah. Tinggal gak mager ketik ceritanya 🤭🤭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top