Part Sembilan

"Kalo gue cemburu, lo bisa apa?"

Leon menatap tak percaya dengan ucapan Lavina. Ia melihat wajah songong Lavina seakan menantangnya.

"Lo be-bercanda, 'kan?" gagap Leon. Sial, wajah memerah.

"Ya iyalah, lo kira gue beneran cemburu? Ayo pulang." Lavina masuk ke mobil dan Leon? Pria itu menghela napasnya pelan.

Leon memutari mobil dan masuk ke sana. Menjalankan mobilnya membelah jalan menuju ke rumah.

Selama perjalanan, mereka hanya diam saja hingga sampai ke rumah. Mambawa belanjaan di rumah, bagian Lavina menata di kulkas dan dapur.

"Enaknya masak apa?" tanya Lavina pada Leon seusai menata belanjaan.

"Terserah."

"Masa terserah. Gue bingung."

"Gue gak pilih makanan, apa pun yang lo masak, gue makan. Asal gak pedas."

Lavina tertawa. Mendengar kata pedas, ia ingat kejadian di rumahnya. Astaga, memang jahat sih dirinya ini. Dengan teganya memberi sambal banyak pada Leon. Padahal ia juga tahu kalau suaminya itu sama sekali tidak suka pedas.

"Kenapa lo ketawa?" Mendengar tawa Lavina, Leon menatapnya curiga.

Lavina mendekati Leon dan duduk di sebelahnya.
"Gue keingat saat lo bolak-balik ke kamar mandi, haha ..."

"Bahagia banget ya," sindir Leon melihat Lavina ngakak.

"Sorry, beb. Lo 'kan suka ngeselin jadi orang."

"Perlu gue kasih kaca?"

"Gak ah. Udahlah, gue mau masak." Lavina beranjak dari duduknya dan mengeksekusi sayurannya agar enak dimakan.

Leon mendungus sesaat. Ia beranjak dari duduknya dan menghampiri Lavina yang cekatan memasak. Benar-benar istri idaman, kalau saja bibirnya berucap lembut dan tidak marah-marah.

"Lihat lo masak gini, kenapa seksi sih, Vin," goda Leon mengamati Lavina dari belakang.

Wajah Lavina merona mendengar ucapan Leon. Namun ia terus mensugesti diri agar tidak baper. Bagaimanapun, Leon tak sungguh-sungguh, pria itu hanya menggoda.

"Gue memang seksi, baru tau lo?" katusnya menutupi kegugupannya.

Leon tergelak membuat Lavina mendelik kesal. Tawa sepuasmu saja!

"Gimana kalo malam ini, gue minta hak gue?"

Lavina terperanjat ketika mendengar suara Leon tepat di telinganya. Lavina memiringkan wajahnya hingga ia dapat melihat wajah tengil Leon. Menghambil napas pelan, Lavina tersenyum manis. Jika Leon bisa menggodanya, kenapa ia tidak bisa. Lo jual, gue beli!

Mematikan kompor, Lavina membalikkan tubuhnya hingga mereka saling berhadapan. Tinggi mereka begitu beda, Lavina hanya sebatas dada Leon. Sehingga bicara dengan pria itu, pasti ia akan mendongak. Hal menyebalkan ketika si pendek bertemu si tiang.

"Apa suamiku ini udah gak sabar, hm?" Mengambil cuplikan dari novel yang ia baca, Lavina melayangkan tatapan genitnya. Dalam hati ia tertawa, pasti Leon akan mendengus karena bukannya menggoda, malah balik digoda.

"Gue harap lo gak nyesel," serak Leon. Tiba-tiba Lavina terpekik saat Leon menggendong Lavina layaknya karung beras

"KYAAA! LEON TURUNIN GUEEE."

BRUK!

"Le-Leon," gagap Lavina melihat pria itu menyeringai kepadanya.

"Kenapa, hm?"

"Ini bercanda, 'kan? Iya, 'kan?"

"Ngapain bercanda, gue minta gak gue malam ini."

"OH TIDAAAAKKKK!"

****

Lavina tahu, Leon suka menggodanya, suka menjahilinya, suka membuatnya darah tinggi. Bahkan, pria itu suka membuatnya baper juga. Bagaimanapun, Lavina juga tak bisa menolak pesona seorang Leon yang tampan, mapan, dan juga idamanable.

Ia tak pernah dekat dengan pria lain selain Ayahnya dan Leon. Perjodohan pun, pada akhirnya barakhir gagal.

Lavina memejamkan matanya kala pagutan mereka tak lepas. Ini ciuman pertamanya, ia tak tahu bagaimana membalasnya. Ini manis, sensasi aneh membuatnya meremang.

"Le-Leon," lirih Lavina saat ciuman mereka terlepas. Bibir Lavina memerah dan membengkak karena ulah Leon.

Leon tersenyum tipis, mengusap bibir bengkak Lavina. Kenapa, terlihat seksi sih, batin Leon menggeram.

"Malam ini, lo milik gue," seraknya. Dan kesialannya, Lavina mengangguk tanpa sadar.  Lavina masih terbuai dengan ciuman Leon.

Saat pakaian mereka terlepas semua, barulah Lavina sadar bahwa ia tak bisa lepas dengan predator seperti Leon.

****

Lavina merengut kesal. Rasanya ia ingin menghabisi Leon saat ini juga. Pinggangnya encok seperti nenek-nenek, tubuhnya sakit semua hingga rasanya ia ingin rebahan saja.

Tapi, ia juga merasa lapar, perutnya terus berbunyi meminta diisi. Untuk berdiri saja ia susah, gimana mau masak.

Dan ke mana sih, si curut berkedok suaminya itu. Sudah membuatnya seperti daging digiling, malah gak ada wujudnya.

Hingga suara pintu terbuka dan sosok Leon masuk membawa nampan berisi makanan menghamipiri Lavina.

"Udah bangun ternyata si putri." Leon tampak bahagia, sampai-sampai Lavina silau dengan senyuman lebar Leon. Pasti pria ini lagi gila, pikir Lavina.

Lavina merapatkan selimutnya, ia masih telanjang dan ia malu dilihat oleh mata Leon.
"Lo yang masak?" tanya Lavina ketika bau makanan tercium di indera penciumannya. Perutnya semakin bergerumuh mampu membuat Leon mendengarnya.

"Gue beli, gak bisa masak soalnya."

Mendengus, dengan hati-hati ia menyandarkan diri di sandaran ranjang.
"Gue laper," keluh Lavina menggapai piring itu. Melihat tangan Lavina tak sampai mengambil, Leon berinsiatif mengambilnya lalu memberikan pada Lavina.

"Jam berapa sekarang?"

"Jam sepuluh pagi."

"Oh, jam sepu— ah apa?! Jam sepuluh?!" kaget Lavina. Pantas saja ia merasa lapar selali. Lah, semalam aja belum makan eh malah digarap Leon.

"Dasar suami gila, udah tau semalam belum makan malah begituan," kesal Lavina memukul lengan Leon berkali-kali. Sekalian meluapkan kekesalannya karena semalam tak membuatnya berkutik.

"Akh, jangan dipukul dong. Menikah aja baru beberapa hari udah main KDRT aja," ringis Leon. Ia tahu, ia salah, bagaimana pun, semalam memang tak bisa ditunda. Sulit untuk dilewatkan.

"Suapi gue," titah Lavina layaknya ratu. Dan Leon pun manut-manut saja.

"Ini salahku."

Lavina menaikan kedua alisnya karena tak bisa naik satu. Lavina menatap aneh setelah mendengar ucapan Leon. Apa pria itu merasa bersalah? Namun setelahnya ia mendengus mendengar lanjutannya.

"Terlalu memikirkan egoku~"

Namun Lavina akui, suara Leon bagus banget. Ia sering melihat dan mendengar Leon menyanyi di balkon kamar dan memetik gitar kesayangannya. Ia pernah terhanyut dengan suaranya, sebelum Leon memergokinya dan semakin gencar menggodanya.

Mengingat itu ia terkekeh geli dan bercampur kesal juga. Usia mereka sudah dewasa, namun mereka kadang seperti anak kecil. Sering bertengkar layaknya bocah yang mainannya direbut.

Hal yang tak Lavina duga adalah, lagu yang dinyanyikan Leon tadi, benar-benar menjelaskan semua. Meski tak semua lirik pria itu nyanyikan karena hanya awalannya saja. Leon merasa egois semalam, tapi ia tak menyesalinya.

Lavina juga awalannya saja menolak, setelahnya ya jangan ditanya.

"Mandinya perlu gue bantuin," tawar Leon dengan senyum tengilnya.

Lavina bergidik ngeri melihatnya.
"Lo macem-macem, gue potong burung lo."

"Ih, atutt."

****
21/04/22

Ciee, akhirnya uhuk uhuk mereka.

Oh iya, gak terasa ya, sudah satu bulan berlalu dan bulan Ramandhan akan berganti Idul Fitri.

MINAL AIDZIN WAL FAIDZIN. MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN.

SELAMAT MERAYAKAN HARI RAYA IDUL FITRI BAGI UMAT MUSLIM.

SALAM DARI MERRY DAN SEKELUARGA.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top