Part Lima

"Sayang, karena kita sudah menikah, tentu saja kita pindah dari rumah orang tua. Bukan begitu, Bu?" Leon menatap Sarmi dan diiyakan oleh wanita paruh baya itu.

"Betul sekali. Vina, karena Leon suami kamu, kamu harus ngikut ya. Yang baik-baik, jangan nyusahin," ujar Sarmi pada Lavina.

Lavina terperangah. Pindah rumah? Bersama Leon?

Tak ada angin kencang atau hujan lebat, tiba-tiba Leon membahas tanpa ia ketahui. Ia memicing ke arah Leon, namun Leon mengabaikannya.

Gini-gini, meski menikah dengan Lavina tanpa rencana. Tetap saja perempuan itu istrinya, tanggung jawabnya juga.

Setelah makan malam, Lavina dan Leon sudah berada di kamar. Lavina menatap Leon tajam.

"Kenapa lo tiba-tiba bilang kayak gitu hah? Gue ogah ikut sama lo!" pekiknya tak terima.

"Oh ya? Dan lo terus mau jadi beban orang tua?" sinis Leon menohok Lavina.

"Gue bukan beban orang tua!"

"Terus apa? Usia lo udah berapa Vin? 23 tahun. Dan lo masih di rumah aja tanpa bekerja. Kalau bukan beban, apa namanya?"

Mak nyes, perkataan Leon membuatnya sakit hati.

"Gue juga udah usaha cari kerja."

"Dan hasilnya mana, kosong. Mendingan lo beresin barang lo dan pindah rumah. Meski kita nikah tanpa cinta, tetap aja lo tanggung jawab gue."

"Gue gak mau!" Lavina tak mau pindah, ia terlalu nyaman di rumah ini, bersama kedua orang tua.

"Harus mau," tekan Leon tak ingin dibantah.

"Kok lo maksa sih," kesalnya.

"Iya, gue memang maksa. Ingat, gue sekarang suami lo. Lo kudu nurut sama gue."

"Ini yang gue benci saat nikah. Apa-apa harus nurut sama suami!"

"Terserah, pokok besok kita pindah!" final Leon.

"Hidup gue sudah pilu, tambah pilu saat lo jadi suami gue!" Lavina berujar kesal.

"Harusnya lo bersyukur dapatin suami seganteng gue!" Leon menanggapinya dengan santai.

Lavina mengerucutkan bibirnya kesal. Menghentak-hentakkan kakinya, pada akhirnya ia menurutinya. Lavina menangis tanpa suara, tak ada yang tahu akan perasaannya.

Kenapa sih, Lavina harus menikah dengan Leon? Kenapa ibunya tetap meneruskan pernikahan yang gagal itu. Padahal ibunya tahu, kalau ia dan Leon seperti kucing dan tikus. Tidak pernah akur, tapi malah disatukan.

Lavina tak tahu bagaimana nanti saat mereka menjalani rumah tangga ini.

Ketika Lavina meratapi nasibnya ke depannya, Leon hanya mengamati perempuan itu dari belakang.

Leon tak mungkin berada di sini terus, dan misal bercerai, ia tak mau mempermalukan keluarga Lavina ataupun mamanya. Masa iya, tiga hari menikah, terus cerai. Jadi duda perjaka dong.

"Gitu aja nangis," celetuk Leon ketika melihat punggung Lavina bergetar.

"Huuaa, Leon. Lo jadi suami romantis napa. Gue lagi sedih, hibur kek, apa kek, lo tuh kenapa selalu ngeselin sih." Lavina menghentak-hentakkan kakinya.

"Bilang dong, kalau lo mau gue romantis." Pria itu mendekati Lavina dan memeluknya.

"Huuaa, lo jahat, lo ngeselin!" Lavina menumpahkan tangisannya di dada Leon dan memeluknya. Ingusnya pun ia lap ke baju Leon.

"Tapi gak lo lap juga tuh ingus di baju gue."

"Biarin."

"Vin," panggil Leon.

"Apa, hiks."

"Kok ada yang empuk ya."

"DASAR MESUM!"

****

Keesokan harinya Lavina rela tak rela harus mengikuti Leon. Meski berat meninggalkan rumah dan orang tua tercinta. Lavina terus disadarkan bahwa sekarang dia bukan lagi perawan yang selalu sendiri. Tapi sudah menikah meski antara rela dan tidak rela.

"Hati-hati ya. Nurut sama suami. Jangan malas-malasan," petuah ibunya diangguki Lavina.

Handoko memeluk putrinya. Meski Handoko masih tak rela putrinya pergi dari rumah. Tetap saja, putrinya sudah milik orang. Ada Leon, sebagai suami Lavina, yang menjadi kelurga barunya. Yang akan hidup bersama sampai maut memisahkan.

"Hati-hati."

"Iya, Yah."

Lavina menghampiri Leon di rumah pria itu. Rumahnya hanya sampingnya saja. Seperti lima langkah, sudah sampai. Di sana ia juga berpamitan dengan Rida, sang mertua, yang sekarang ia panggil Mama.

"Kita naik motor?" tanya Lavina tak percaya melihat motor besar milik Leon. Mana ada koper miliknya lagi tepat di samping motor itu. Lalu bagaimana membawanya?

Aduh, Leon memang kampret. Gak habis pikir sama pria itu. Pintar dikit kek.

"Gue bawa motor dan lo jalan kaki," sahut Leon.

"Mending gak ikut lo. Gue pulang aja."

"Eist gak bisa, lo tetep ikut gue."

"Lo gila atau gimana sih," geram Lavina. Ingin sekali memulul kepala Leon supaya waras. Sabar, Lavina, jangan suka marah-marah.

"Lo yang gila. Lo pikir gue bego apa. Mana ada gue bawa motor sedangkan koper lo aja ada dua. Gede-gede lagi."

Tak lama kemudian taksi datang di depan rumah. Lavina jadi paham kalau ia dan kopernya akan menaiki taksi itu.

Lavina mengikuti Leon dari belakang. Ia melihat Leon berbincang dengan sopir taksi dan memasukkan dua koper miliknya di bagasi.

"Lo naik taksi sana."

"Terus lo?"

"Ya bawa motor lah."

"Katanya gak bawa motor. Gimana sih."

"Pahami napa perkataan gue. Udah sana masuk." Leon mendorong Lavina memasuki taksi. Ketika taksi melaju, Leon menaiki motornya setelah pamit pada Mamanya.

Tak lama kemudian, taksi di tumpangi Lavina telah sampai ke lokasi. Di bantu pak sopir, kopernya pun di turunkan. Lavina pikir taksi itu belum dibayar, ternyata sudah dibayar oleh Leon.

Lavina mendongak, ia melihat rumah tingkat dua, di mana di bawah ada bengkel yang terbuka. Bengkel lumayan besar dan juga ramai. Lavina tak menduga kalau Leon memiliki usaha seperti ini. Karena seingatnya, Leon seperti pengangguran, sama sepertinya.

Memang ya, jangan melihat dari penampilan.

Terdengar suara motor mendekat. Leon sampai dan membuka helmnya.
"Masuk, kenapa masih di sini."

"Gu-gue malu," cicit Lavina. Apalagi bengkel Leon rame. Ada beberapa anak muda di sana. Bagaimanapun, Lavina tak terlalu dekat dengan pria. Dekat pun sama ayahnya. Leon juga, kebanyakan adu mulut setiap mereka bertemu.

"Gayamu malu."

Lavina mendengus kesal. Mana Leon berlalu tanpa membantunya lagi. Susah payah, Lavina mendorong dua kopernya. Meski malu mendekat, ia pura-pura percaya diri sampai ia melihat Leon mendekatinya.

Senyum Lavina mengembang. Yah, meski Leon ngeselin, kadang baik hati juga.
"Makasih suamiku," goda Lavina ketika dua koper dibawakan oleh Leon.

"Ya, sama-sama," sahut Leon malas.

"Siapa bos, pacar baru? Tumben di bawa pulang?" celetuk salah satu pegawai Leon.

"Spesial dong. Dia istri gue," sahutnya.

"Apa sih," bisik Lavina mendengar jawaban Leon. Ia malu tahu! Mana wajahnya juga merona.

"Lah kapan nikah bos, kok gak diundang."

"Ngundang lo habisin beras. Dahlah, gue mau ke atas, nganterin istri tercinta. Maklum pengantin baru. Memang situ jomlo."

"Huuuu, sombong, sombong."

Leon terkekeh mendengar sorakan yang lain. Lavina kepalang malu saat Leon bicara ngawur, ia menundukan kepalanya.

"Nih kamarnya. Pakaian lo, taruh di lemari itu," tunjuknya.

"Kok kamarnya kayak cowok?"

"Ya iyalah, 'kan ini kamar gue juga. Gimana sih lo."

Mata Lavina membulat.
"Ki-kita satu kamar?" tanyanya berbata-bata.

"Memangnya kenapa?" Kening Leon mengerut. Kamarnya luas kok.

"Emangnya gak ada kamar lain?"

"Ada." Lavina menghela napas lega.

"Gue tidur di sana."

"Gak bisa."

"Kenapa?"

Leon menggaruk kepalanya yang memang gatal.
"Satu, buat gudang. Memangnya lo mau tidur ke gudang? Gue sih gak papa, sekalian lo jadi penjaga gudang."

Lavina menatap horor Leon. Dengan gemas ia mencubit pinggang Leon hingga mengaduh kesakitan.

"Gue tidur di sini aja." Lavina masuk ke kamar. Mana mau ia tidur di gudang.

"Tidur satu kamar sama gue juga gak rugi kok. Gue bisa angetin lo juga, haha..."

"Ya Gusti, tolong sabarkan hambamu ini, menghadapai suami macam Leon ini."

.
****
11/04/22

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top