Part Enambelas

"Aku mau punya anak kembar lima. Cowok semua," ucap Leon dalam keheningan. Pria itu tampak tersenyum sembari membayangkan ada lima anak laki-laki yang mirip dengannya. Aish, Leon mau jadi bapak muda!

Lavina menatap Leon horor setelah mendengar ucapan enteng itu. Anak lima? Yang benar saja! Dikira melahirkan tidak sakit apa! Lavina langsung bergidik ngeri setelah membayangkan.

"Kamu yang hamil?" ketus Lavina. Ya kali hamil kembar lima. Sebesar apa itu perutnya nanti.

"Mana bisa, kamu yang hamil. Gak sabar pengen lihat kamu hamil," kekeh Leon sembari mengelus perut lemak syantik Lavina. Bahkan mencubitnya karena gemas.

"Pengen banget jadi bapak," sindir Lavina.

"Iya dong, biar nanti anak gede, kita masih muda," sahut Leon.

Leon menatap Lavina sambil tersenyum. Saat ini Leon sedang meletakkan kepalanya di pangkuan Lavina. Tangan istrinya dengan lembut mengelus rambutnya. Leon suka dengan sikap Lavina seperti ini.

Berawal dari musuh menjadi suami dan istri.

Mana tahu kalau takdir akan seperti ini.

Menikah muda bukan keinginanya, tapi hebatnya saat disuruh menikah dengan Lavina sebagai pengganti pengantin pria, ia mau-mau aja.

Kalau dipikir-pikir, kenapa Leon mau-mau aja ya? Sebenarnya bisa 'kan menolak dengan tegas. Apalagi mengingat dirinya tak suka dipaksa. Tapi, kenapa malah ia seperti suka rela mengiyakan.

"Vin?" panggil Leon pelan.

"Kenapa?" Lavina menunduk dan menatap Leon.

"Kamu bahagia gak sih, nikah sama aku?" tanya Leon.

Lavina terdiam sejenak. Apakah selama ini ia bahagia atau malah sengsara? Namun dipikir-pikir lagi, Leon bertanggung jawab sekali sebagai suami. Tidak pernah main tangan juga. Apalagi ia juga sudah jatuh cinta dengan Leon. Apalah bisa dikatakan ia tak bahagia?

"Kenapa tanya kayak gitu?"

"Tanya aja, pengen dengar jawaban kamu."

"Aku— bahagia," lirih Lavina tapi masih di dengar oleh Leon.

Leon tersenyum semringah. "Beneran?"

"Iya. Kalo kamu?" tanya balik Lavina. Lavina menunggu Jawaban dari Leon.

"Kalo gak bahagia, ngapain aku ndusel-ndusel kamu."

Senyum Lavina terbit, jadi mereka sama-sama bahagia, 'kan.

"Menurutmu, dalam rumah tangga, apakah cinta juga perlu?" tanya Lavina lagi tapi sedikit gugup. Lavina ingin mendengar jawaban Leon mengenai hal itu.

"Cinta?" beo Leon lalu terdiam.

Sekian lama terdiam, Leon pun berucap, "Bukankah paling utama kesetiaan dan kepercayaan?"

"Jadi cinta gak diperlukan?" Lavina menaikkan alisnya setelah mendengar jawaban Leon. Bukankah cinta juga ada didasari dalam rumah tangga?

"Menurutku, cinta bukan jaminan bertahannya dalam hubungan. Bagiku, setia dan kepercayaan paling utama. Cinta bisa hilang, bukan? Jika kita memilih setia dan percaya, bukankah makna itu sangat besar dari cinta itu sendiri?"

"Aku gak tau." Hanya itu jawaban dari Lavina.

Karena nyatanya, mereka belum mengerti makna cinta itu seperti apa. Hanya kenyamanan yang mereka rasakan, dan tak bisa langsung dikatakan sebuah kata CINTA.

****

"Mas, yakin gak bawa pakaian?"

"Iya, gak usah bawa. Pakaian kamu di sana ada, 'kan?" Lavina tentu saja mengangguk. Pindah di sini, tak semua Lavina bawa. Banyak pakaian yang ditinggalkan di rumah orang tuanya. Begitu juga dengan Leon.

Jadi, jika ke sana dan ke mari, tak perlu ribet memboyong pakaian.

"Kalo oleh-oleh?"

"Nanti beli, sekalian jalan."

"Oke."

Lavina menunggu Leon di depan. Suaminya masih mengunci pintu rumah. Setelahnya, mereka berangkat.

"Tinggi banget," kesal Lavina saat ia akan naik ke motor Leon.

"Makanya jangan pendek." Leon tertawa lalu membantu Lavina naik.

"Ganti aja motornya. Gak nyaman banget."

"Jangan, ini motor kesayangan."

"Kalo gitu, beli baru."

"Iya, nanti kalau uangnya cukup."

Lavina mendengus. Setelahnya ia melingkarkan kedua tangannya di perut Leon sesaat motor itu melaju.

Tak lama kemudian mereka berhenti di toko kue untuk oleh-oleh. Tak mungkin jika ke rumah orang tua tanpa membawa bingkisan.

Akhirnya mereka sampai ke rumah orang tua mereka. Setelah mengunjungi rumah orang tua Lavina, kini gantian ke rumah orang tua Leon. Dan mereka memilih menginap ke rumah mama Rida.

Lavina menatap kamar Leon. Ini pertama kalinya menginjak kamar suaminya. Dulu, ia hanya bisa melihat dari arah balkon. Kamar Leon seperti kamar pria pada umumnya, bahkan hampir sama seperti kamar di rumah Leon sendiri.

Tak banyak barang di sini. Kamarnya bahkan terlihat rapi. Mungkin sebagian barang telah dipindahkan.

"Mandi gih, nanti bantu mama masak."

Lavina mengangguk dan langsung masuk kamar mandi. Setelah mandi, Lavina menepuk keningnya, ketika sadar bahwa ia sama sekali tak membawa pakaian dari rumah orang tuanya. Hanya handuk yang melilit di tubuhnya.

"Mas!" Lavina memanggil Leon dari kamar mandi. Ia terlalu malu untuk keluar dalam keadaan hanya memakai handuk saja. Meski Lavina sadar bahwa Leon sudah melihat tubuhnya secara sempurna bahkan mungkin sudah hafal.

Tapi tetap saja, dalam keadaan berbeda Lavina punya malu juga.

"Apa?"

"Mau gak ambilin pakaian aku ke rumah ibu? Aku lupa bawa," pinta Lavina di balik pintu kamar mandi.

"Pakai pakaian aku aja."

"Tapi dalamannya?"

Iya juga ya, Leon merutuki kebodohannya.
"Bentar, Yang. Aku ambil dulu." Leon segera keluar dari kamar menuju ke rumah mertuanya. Bisa-bisanya Lavina pelupa.

Lavina menunggu di kamar mandi. Setelah beberapa saat Leon datang membawa beberapa pakaian dan juga dalaman.

Dengan wajah malu, Lavina mengambil pakaiannya yang diulurkan ke arahnya.
"Makasih."

Buru-buru Lavina mengganti pakaian. Karen setelah ini Leon juga mandi.

****

Menuruni tangga, Lavina berjalan menghampiri Mama Rida yang sedang berada di dapur. Tak ada rasa canggung, karena memang Lavina sangat mengenal baik  mertuanya.

"Eh ada kamu." Mama Rida menatap teduh Lavina ketika sang menantu berada di dekatnya.

"Hehe, masak apa, Ma?"

"Telur balado sama capcay," sahut Mama Rida sembari memasak.

Lavina mengangguk mengerti. Kesamaan antara ia dan mertuanya, sama-sama menyukai masakan pedas. Beda sekali dengan Leon yang tidak menyukai masakan pedas itu.

"Papa pulang, loh ada kamu mantu." Papa Leon, Linggar, menyapa Lavina. Sebagai menantu yang baik hati, cantik dan rajin menabung, Lavina menyalami tangan Papa mertua.

"Mandi sana, Mas." Mama Rida menyuruh suaminya untuk mandi. Tentu saja diiyakan oleh pria paruh baya itu.

Lavina membantu Mama Rida sebisanya. Disuruh membuat bumbu, Lavina melakukannya dengan luwes.

"Vin, Leon jadi suami gak ngeselin, 'kan?" tanya Mama Rida. Berharap saat mereka menikah, tak ada seperti saat mereka masih lajang. Bertengkar, adu mulut, dan banyak lagi sikap keduanya.

Bagaikan kucing dan tikus.

Bahkan Mama Rida pernah berucap pada keduanya, kalau suatu nanti mereka akan berjodoh. Dan benar saja, bukan, mereka pada akhirnya menikah.

"Kadang ngeselin, Ma," jawan Lavina jujur. Bagaimanapun, Lavina itu tak canggung dengan Mama Rida.

Mama Rida tertawa kecil.
"Ngeselin banget ya?"

"Gak juga sih, Ma. Kadang-kadang aja. Gak separah dulu." Wajah Lavina merona. Sekarang mereka jarang bertengkarnya. Bukan adu mulut dan saling jambak-jambakan, melainkan saling— ya begitulah. Lavina malu menjelaskan.

"Udah nyicil belum?" tanya Mama Rida lagi sambil senyum-senyum.

"Nyicil?"

"Iya, anak Vin."

Wajah Lavina tambah memerah.
"Ah, Mama ih."

Mama Rida tambah tersenyum lebar. Dari jawaban Lavina sih, udah ahem-ahem gitu. Duh ternyata mereka— pinter juga!

"Yang giat ya, Vin. Siapa tau mama cepat dapat cucu."

****
27/05/22

Akhirnya bisa up meski makin sini makin garing wkwkwk.

Makasih masih membaca cerita abal-abalku wkwkwk.

See you next chapter.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top