Part Enam

Setelah mengantar Lavina ke atas. Leon turun ke bawah menuju ke bengkel miliknya. Tentu saja pria itu memakai pakaian dinasnya.

Untuk penampilan, jangan ditanya lagi, Leon gagah perkasa, seperti namanya. Tak jarang bengkel miliknya akan ramai dengan beberapa gadis muda yang datang memperbaiki ban motornya kempes. Yang kenyataannya dikempeskan sendiri oleh pemiliknya. Jangankan gadis, janda pun tak ingin kalah. Saking ketampanan Leon yang tak bisa diragukan lagi.

Hanya satu perempuan yang tak terpikat dengan ketampanannya. Siapa lagi kalau bukan Lavina. Memang sih, sikap Leon pada pelanggan dan pada Lavina sangat jauh.

Dengan pelanggan, ia akan ramah, tertawa, dan juga meladeni ala kadarnya. Namun begitu, tetap saja para gadis atau pun janda tetap sering ke sana dengan dalih perbaikan motor. Tentu saja, Leon tak merasa kesal, karena kedatangan mereka, ia bisa mendapatkan uang.

Kalau bersama Lavina, jangan ditanya juga, sikapnya pasti sangat menyebalkan. Dan pastinya membuat perempuan itu mencak-mencak dan darah tinggi.

"Yang ini belum dikerjakan?"

"Belum, Bos."
Leon mengangguk mengerti dan memperbaiki motor itu.

Beberapa waktu berkutat dengan beberapa motor, akhirnya bengkel sepi sehingga mereka dapat beristirahat. Di bengkel, Leon memiliki dua karyawan. Meski ia sebagai bos, ia tak akan menganggur, apalagi hanya melihat saja dan duduk di kursi meja kasir. Ia akan turun tangan karena memang hobinya.

Awalnya memang coba-coba membuka usaha bengkel. Namun siapa yang tahu, kalau pada akhirnya menjadi rezekinya.

"Rang, beli makanan di tempat biasa ya," ujar Leon sambil menyerahkan uang pada Rangga.

Rangga membasuh tangannya hingga bersih dan melakukan perintah Leon.
"Cuma tiga, Bos?"

"Ya iyalah, 'kan cuma kita bertiga. Gimana sih, lo."

Rangga menggaruk kepalanya. Ia melirik Deni, rekan kerjanya, seolah berkata kalau bosnya sedang pikun.

"Terus cewek tadi gimana Bos?" Deni yang bicara. Ya kali, perempuan dibawa Leon tidak dikasih makan.

"Cewek mana?" tanya Leon masih tak ingat akan keberadaan Lavina.

"Yang katanya istri Bos."

"Astaga gue lupa. Maklum, ingatnya bujang mulu sih gue." Leon menyerahkan uang lagi pada Rangga. Biasalah, Leon suka memberi uang pas, no lebih-lebih.

"Cepetan belinya, kasian bini tercinta nanti kelaparan," titah Leon.

Rangga langsung berangkat untuk membeli 4 bungkus nasi.

Deni mendekati Leon dan duduk di sampingnya.
"Lo beneran udah nikah, Bos?" tanya Deni. Deni berpikir kalau Leon hanya bercanda saja. Siapa tahu 'kan, perempuan itu hanya sepupunya, terus numpang hidup.

"Beneran lah. Masa gue bohong sama lo."

"Kapan lamarannya? Kapan nikahnya? Kok gak ada kabar gitu?" Deni masih bertanya karena penasaran.

"Gak ada lamaran, langsung nikah."

"Beneran, Bos? Gak tipu-tipu 'kan?"

"Nipu lo? Gak ada gunanya. Gue udah nikah," sahut Leon jujur. Meski ia tak jujur alasan kenapa menikah. Secara 'kan nikahnya mendadak. Malu juga dong kalau menikahnya karena pengganti plus dadakan seperti tahu bulat.

"Terus Kimi gimana?"

"Kimi? Kenapa sama Kimi?" tanya Leon tak paham.

"Loh, bukannya Kimi gebetan lo, Bos?"

"Cuma gebetan, bukan pacar. Toh, yang deketin bukan gue duluan. Yah, gimana lagi sih, Den. Pesona gue memang gak bisa diabaikan," ujar Leon narsis, meski itu memang faktanya.

Deni pura-pura muntah meski tak dapat dipungkiri kalau pelanggan wanita-wanita datang karena Leon Prakasa. Deni dan Rangga bagai cumi-cumi yang tak ada bandingannya. Hanya bisa gigit jari sambil mengkhayal, kapan ya bisa diincar para wanita.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba.

Sosok Kimi yang dibicarakan datang secara bersamaan dengan Rangga yang habis membeli makanan. Wanita cantik nan seksi itu datang bersama mobilnya. Kimi, wanita yang memakai hotpans, lalu kemeja sifon tanpa lengan, melangkah begitu anggun dan mendekati Leon.

"Hai Leon, beberapa hari aku ke sini, tapi kamu gak ada." Kimi duduk di samping Leon tanpa permisi. Tangannya membawa beberapa makanan khusus untuk Leon.

"Aku bawain makanan di resto yang baru aja di buka. Katanya enak, makanya aku beli buat kita berdua. Hihi," tawanya sambil mengeluarkan makanan itu.

Deni dan Rangga melihat makanan itu merasa lapar. Apalagi mereka juga iri karena tak pernah dapat makanan dari wanita cantik.

"Banyak amat, Kim?" tanya Leon sambil mencomot salah satu makanan itu.

"Hehe, biar kenyang."

Dengan tak pekanya Leon, pria itu mengambil dua kotak makanan secara acak lalu diberikan pada dua karyawannya.

"Nih buat kalian. Bawa pulang, yang dibungkus tetap dimakan."

Baik hati, bukan?

"Makasih bos," ujar mereka secara bersamaan.

Kimi cemberut, namun ia segera tersenyum tatkala tatapannya beradu dengan mata Leon.
"Ayo di makan," ajak Kimi. Saat ia akan menyuapi Leon. Leon berdiri dari duduknya sehingga suapannya melayang di udara.

"Bentar, Kim. Gue mau kasih ini ke bini gue." Setelah itu Leon berlalu untuk memberikan sebungkus nasi pada Lavina. Pasti perempuan judes itu kelaparan.

"Apa? Bini?" Kimi terperangah. Ia menatap Deni dan Rangga seakan meminta jawaban.

"Apa maksudnya Leon tadi? Gue gak salah dengar 'kan?" tanyanya memastikan bahwa ia salah berpikir kalau Leon sudah menikah.

Deni menggaruk kepalanya. Gimana ya jawabnya? Ia jadi bingung. Mau jawab ragu, gak jawab nanti dikira bisu.

"Katanya, si Bos udah nikah," jawab Rangga saat melihat Deni hanya diam saja.

"Ni-nikah?" gagap Kimi.

"Iya. Istrinya di lantai atas."

****

Leon berjalan menuju ke arah Lavina berada. Perempuan itu duduk anteng di depan televisi yang menyala. Lagu bermusik, kutermehek terdengar dengan drama dua wanita sedang bertengkar memperebutkan satu pria.

"Nih buat lo." Leon mengulurkan makanan itu pada Lavina.

Lavina yang menikmati sinetron ala emak-emak, mengalihkan atensinya. Sosok Leon berdiri di depannya. Ia menatap satu bungkus makanan ke arahnya. Perlahan, ia pun mengambilnya.

"Lo udah makan?" tanya Lavina.

"Belum, tapi mau makan," sahut Leon diangguki oleh Lavina.

"Gue lihat dikulkas lo gak ada sayurannya. Cuma air minum, soda, sama makanan cepat saji. Lo gak pernah belanja?"

"Enggak. Cuma gue sendiri, ngapain belanja. Mending beli, praktis lagi." Apa yang dikatakan Leon benar adanya. Hanya ada dia sendiri di sini, lebih baik membeli makanan daripada memasak. Soalnya ia tak bisa masak. Kalau tidak, ya pergi ke rumah mamanya meminta makan.

"Tck, tapi mulai hari ini gak beli lagi. Kita nanti beli bahan dapur setelah bengkel lo tutup."

"Ciee, yang berlagak jadi ibu rumah tangga. Ciee, uhuk," goda Leon sambil mencubit kedua pipi chubby Lavina.

"Ish, lepasin. Tangan lo bau oli." Lavina menyentak tangan Leon dari pipinya.

"Ini tandanya berkerja keras. Dan sekarang semua untuk kamu sayang," goda Leon kembali menarik kedua pipi Lavina.

"Kalian?" Suara seorang wanita yang ternyata Kimi mengejutkan Leon dan Lavina.

Lavina mengernyit saat mendapati wanita cantik dan seksi itu berdiri di depannya dan juga Leon. Tiba-tiba saja Lavina merasa insecure, melihat betapa langsingnya wanita itu daripada dirinya. Bahkan kulit Kimi tampak putih dan halus, sedangkan dirinya kuning langsat dengan lemak-lemak syantik menghiasi kulitnya.

"Bilang sama aku kalau ini salah, 'kan. Perempuan ini bukan istri kamu!" tatapan Kimi meminta Leon menjawab ya, dia bukan istri gue.

Nyatanya Leon mengangguk. Mematahkan harapan Kimi.

Lavina mengamati keduanya. Awalnya bingung, namun melihat sikap mereka berdua, ia menjadi tahu, bahwa ada sesuatu hubungan antara Leon dan Kimi.

Haruskah ia cemburu?

****
13/04/22

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top