Part Duabelas

Lavina menggeliat kecil dan perlahan matanya terbuka. Jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Menguap kecil, Lavina memiringkan kepalanya dan mendapati Leon masih tidur lelap di sampingnya. Bahkan tangan pria itu melingkari perutnya. Tak mengherankan jika Lavina merasa beban di perutnya.

Wanita itu menghela napas, sungguh Lavina akui, bahwa dekat dengan Leon ia suka sekali emosi. Namun, akhir-akhir ini debaran-debaran yang tak Lavina mengerti selalu nampak ketika Leon dekat dengannya. Apalagi kata penuh menggoda Leon layangkan padanya kadang membuatnya merona.

Apa ini tanda ia jatuh hati pada Leon? Sosok pria yang sedari dulu selalu menjadi musuhnya. Tapi, bukankah ini terlalu cepat jika Lavina jatuh hati? Mereka menikah masih dua minggu, tak mungkin benih-benih cinta mulai tumbuh ketika pernikahan mereka saja bukan dilandasi atas nama cinta.

Bagi Lavina, cinta itu perlu.

Namun kesetiaan juga paling utama.

Tapi, Lavina tidak ingin munafik kalau ia menginginkan cinta juga.

Tangan Lavina terulur mengelus pelan rahang tegas Leon. Pria ini, kadang seperti musuh, kadang seperti layaknya teman. Kadang juga seperti kakak yang entah kenapa selalu ada untuknya ataupun selalu ada di hadapannya.

Lavina tersenyum tipis ketika tangannya menelusuri seluruh wajah Leon penuh kehati-hatian, lalu ia segera menarik tangannya kala mata Leon perlahan terbuka dan mereka saling bertatapan.

"Pagi," sapa Leon ketika sudah sadar sepenuhnya. Pria itu mengecup bibir Lavina dan wanita itu pun membiarkannya.

"P-pagi juga," sapanya balik. Tak ingin terlihat salah tingkah, Lavina melepas tangan Leon dari perutnya dan beranjak dari ranjang.

"Bangun, kita belum sholat subuh," ujar Lavina dan menuju ke kamar mandi.

Leon terdiam menatap sikap Lavina yang salah tingkah. Apalagi saat ke kamar mandi, Lavina melangkah dengan tergesa-gesa. Tak lama kemudian Leon tersenyum tipis, makin melebar, lalu terkekeh kecil.

"Kok gemes ya." Leon tak menyangka Lavina akan menggemaskan seperti ini. Jadi pengen nampol, 'kan.

Mereka sudah mandi dan sudah sholat bersama. Saat ini Leon mengamati Lavina yang memasak. Istrinya ini sungguh pandai memasak, bahkan masakannya saja membuat Leon ketagihan saat memakannya.

"Mau aku bantu?" Entah sejak kapan Leon sudah di belakang Lavina. Wanita itu memekik kaget dan hampir saja melayangkan spatula ke arah Leon.

"Ngagetin tau, gak?" Lavina kesal. Untung saja ia tak memiliki riwayat jantung. Dan apa tadi? Aku? Sejak kapan kosa kata lo-gue diganti aku?

"Makanya gak usah kagetan."

"Gimana gak kaget kalo lo aja di belakang gue," kesalnya dan selanjutnya memilih mengabaikan Leon. Masakannya sebentar lagi selesai.

Leon berdecak sehingga Lavina menatapnya heran campur aneh.
"Mas," kata Leon yang tak dimengerti Lavina.

Lavina menaikan alisnya.
"Mas? Maksudnya gimana? Lo panggil gue mas?"

Lagi-lagi Leon berdecak dan menyentil kening Lavina.
"Gue tau lo itu bego, tapi gak gini juga." Leon mendengus dan geleng-geleng kepala.

"Enak aja ngatain gue bego." Lavina tak terima dikatain bego. Ia termasuk pintar kok meski tak masuk 15 besar.

"Panggil gue Mas. Dan sekarang gak ada namanya lo dan gue. Paham sekarang?"

Kening Lavina mengerut, mencerna ucapan Leon. Namun saat bau gosong tercium, Lavina memekik saat wajan sudah mengebul dan udang tepung goreng sudah berwarna kehitaman.

"Astaga, gosong!" Cepat-cepat Lavina mematukan kompornya. Lavina menatap nanar udang tersebut, meski ini udang terakhir dan ada udang yang sudah tersaji di piring. Tapi tetap saja, makanan tak seharusnya dibuang, 'kan. Akan tetapi, siapa juga yang mau makan udang gosong seperti ini?

"Ini salah lo." Lavina menyalahkan Leon. Kalau saja tidak diajak bicara, pasti udang kesukaannya tak terbuang sia-sia.

Mahal tahu!

"Salah lo. Bukan salah gue." Leon tak terima disalahkan. Siapa suruh tak ingat sedang menggoreng. Leon cuma ngajak bicara, bukan ngajak lupain saat memasak.

"Ish," kesal Lavina. Dari pada emosi, Lavina memilih membawa masakannya di meja makan.

****

"Gue harus manggil lo, Mas gitu?" Lavina menatap tak percaya dengan perkataan Leon.

"Iyalah, gini-gini gue suami lo. Hormati juga dong."

"Kenapa Mas? Biasanya juga lo-gue."

"Makanya sekarang dibiasakan. Panggil gue Mas Leon, haha ..." Leon tertawa, membayangkan Lavina memanggilnya Mas seperti suami istri pada umumnya pasti bagus sekali.

"Mana gue bisa, kita juga seumuran," tolak Lavina.

"Harus bisa dong. Dan sekarang jangan lo-gue, tapi aku-kamu. Gimana?" Leon menaik turunkan alisnya dan tersenyum lebar.

"Gak ah, gak mau. Susaaahhh."

"Enggak susah kalo dibiasakan. Cepet, panggil gue Mas."

"Gak mau!"

"Harus mau!"

"Kok lo maksa sih," heran Lavina. Kebelet banget mau dipanggil Mas.

"Gak maksa, tapi biar lo kebiasaan. Masa lo panggil gue lo la lo, terus Lean Leon di depan ortu kita? Lo mau gue dikira gak pinter didik istri?"

Kok mak nyes ya?

Lavina sadar, selama jadi istri Leon. Mana pernah ia hormati suami. Yang ada sering bertengkarnya.

"Harus ya?" lirih Lavina diangguki Leon.

"M-mas? Gitu?"

"Kurang jelas."

"Mas?"

"Lagi."

"Mas."

"Kurang."

"MAS LEON!" teriak Lavina, wajahnya pun memerah. Antara malu dan kesal.

"Nah, itu bener. Pinter banget istri aku." Leon mengangguk-angguk puas.

"Dan sekarang biasain aku-kamu ya. Khusus kita berdua. Jiah, kita berdua. Haha... Uhuk-uhuk." Karena tertawa senang, Leon malah batuk-batuk.

"Rasain! Makanya kalau makan ya makan, bukan ketawa." Meski begitu, Lavina memberikan Leon air minum. Mana tega ia tetap diam, sedangkan suaminya tak berhenti batuk.

Wajah Leon memerah, sudah ketawanya ngakak, eh malah batuk segala. Malu-maluin aja deh. Leon berdeham sejenak, lalu menghabiskan makanannya. Benar kata mamanya, kalau makan jangan sambil bicara apalagi ngakak.

Setelah makanannya habis, barulah Leon bicara.
"Minggu depan kita ke ortu, nah dibiasakan cara bicaranya, oke? Gu eh aku, mau buka bengkel." Mencuri kecupan di pipi Lavina, Leon ngacir ke bengkelnya.

Lavina menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Bisa gak sih ia baper sama suaminya sendiri?

Pasalnya, sikap Leon selain ngeselin, Leon kadang membuatnya salah tingkah juga. Sudah Lavina katakan kalau ia tak dekat dengan pria manapun selain ayah dan Leon.

Lalu menikah pun, Lavina juga menikah dengan Leon. Pria dengan sejuta kelakuan yang selalu membuatnya darah tinggi. Dan sekarang, ada tambahan dada yang berdebar tak karuan.

Dan Lavina bersyukur bisa menyembunyikan perasaan itu dengan wajah kesalnya. Sehingga Leon tak menyadarinya.

"Mas Leon?" lirih Lavina mengulangi ucapannya tadi. Wajahnya memerah saat kata-kata itu akan ia ucapkan setiap harinya di mulai sekarang.

"Ah, aku malu." Bagaimanapun, mereka seumuran meski Leon bulan 1 dan dia akhir tahun.

"Leon kampret." Dosa gak sih mengumpati suami?

****
13/05/22

Akhirnya bisa up meski gaje partnya.

Moga masih ada yang baca dan nunggu ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top