Part Delapan
Leon berkacak pinggang melihat betapa kobonya Lavina saat tidur. Sudah 1 jam berlalu sejak Lavina ketiduran. Leon heran, nih anak jadi ngajak belanja gak sih.
"Vin, bangun napa." Leon menggoyangkan tubuh Lavina agar perempuan itu segera bangun.
Menghela napas, ide tercetus di otaknya. Langsung saja Leon masuk ke kamar mandi. Mengisi satu gelas berisi air kran, Leon balik ke arah Lavina berada.
Awalnya Leon hanya menyipratkan air itu ke wajah Lavina. Sayangnya, bukan bangun dia malah bergumam tak jelas.
Dengan terpaksa Leon menuangkan segelas air itu ke wajah Lavina. Tak masalah kalau ranjangnya basah, nanti bisa kering sendiri dan bisa ganti sprei.
Ingatkan Leon untuk sabar menghadapi tingkah Lavina.
"Astaga, hujan." Lavina akhirnya bangun.
"Gak hujan, air dari mana ya?" Kedua tangannya mengadah. Lavina mengerjapkan kedua matanya, setelah sadar sepenuhnya, matanya menatap sosok Leon berdiri menjulang sambil tersenyum sinis.
"Bukan hujan, tapi gue siram wajah lo. Lo kok kebo amat sih, Vin. Lo gak ingat apa kalo lo ngajak belanja," cerocos Leon.
Lavina mengusap wajahnya, tanpa menjawab, ia menuju ke kamar mandi untuk membasahi wajahnya agar tak kuyu.
"Udah?" tanya Leon ketika melihat Lavina keluar dari kamar mandi.
"Bentar," sahut Lavina. Perempuan itu malah mendekati Leon dan memeluknya. Lavina masih ngantuk sebenarnya, apalagi Leon membangunkannya dengan cara bikin gelagapan. Istilahnya mah, Lavina masih kurang nyenyak tidurnya.
"Lo modus amat sih, Vin. Peluk-peluk gue lagi." Bukannya mendorong Lavina, Leon malah mengangkat Lavina ke pangkuannya.
"Gue ngantuk, lo mah jahat amat bangunin gue."
"Lo bilang mau belanja. Gimana sih, lo? Gak jadi?"
"Ya jadilah. Bentar deh, nyawa gue belum terkumpul semua." Lavina meletakkan kepalanya di pundak Leon.
Beberapa menit kemudian, Lavina beranjak dari pangkuan Leon. Ia sudah tak ngantuk lagi. Melirik jam di meja menunjukan pukul setengah 7 malam, Lavina langsung mengajak Leon berlanja.
"Ayo belanja, gue gak sabar mau habisin duit lo."
"Halah, palingan gak sampai habisin duit 10 jetong."
"Hohoho, kalau gue kalap pasti bisa lah."
Leon memutar bola matanya malas. Mengajak keluar, tak lupa Leon mengunci pintu rumahnya. Motornya sudah nangkring ganteng di depan.
"Kita naik motor?" tanya Lavina saat melihat motor besar Leon yang di modifikasi.
"Iyalah, 'kan adanya motor," sahut Leon seadanya.
"Lo modus 'kan?" Lavina memicingkan matanya curiga.
"Modus your head, cepetan naik." Leon menaiki motornya dan menyalakannya.
"Yon, lo gak ada motor matic apa. Nanti belanjaan kita banyak. Mau ditaruh mana kalo kita naik gini."
"Emang sebanyak apa sih?"
"Ya banyak, bumbu dapur 'kan lo gak punya. Apalagi sayur-sayuran, daging, dan lainnya."
Leon terdiam sejenak. Sepertinya memang benar dikatakan Lavina. Nanti belanjaannya di taruh di mana kalau pakai motor begini. Motornya mah, enaknya buat balapan sama modus cewek cantik biar makin nempel.
"Gue gak punya motor matic sih," gumam Leon.
"Naik taksi gimana?" tawar Lavina ketika mendengar gumaman Leon.
"Gak ah. Bentar." Leon memasukkan motornya di garasi. Setelah itu ia keluar dari sana. Tak langsung menghampiri Lavina, pria itu malah memutar ke samping rumah.
Kening Lavina mengerut. Bertanya-tanya di dalam hatinya, ke manakah Leon? Hingga tak lama ia melihat mobil warna hitam keluar dari samping rumah.
"Ayo masuk." Jendela mobil turun dan sosok Leon menyuruhnya masuk.
"Lo punya mobil juga?" Lavina masuk dan duduk di samping kemudi.
"Bukan, ini punya pelanggan sih," sahut Leon santai. Tak melihat wajah horor Lavina.
"Lo gila? Pakai mobil orang lagi."
"Ya gak papa lah. Sekali-kali, 'kan. Daripada kita jalan kaki."
Iya juga ya, Lavina mengangguk paham. Toh, yang mengemudi Leon, jadi ada apa-apanya mobil ini, bukan urusan Lavina.
****
Beberapa menit kemudian, mereka sampai ke E-Mart. Pusat belanja yang cukup besar di kota. Selain harganya terjangkau, kualitas juga menjamin. Maka tak heran E-Mart ramai.
"Lo bawa troli dan ikuti gue," titah Lavina layaknya bos pada bawahan.
Leon hanya menurut saja karena ia juga tidak pernah belanja. Ternyata, mengikuti perempuan belanja itu capek sekali. Muter-muter tak ada henti, apalagi Lavina memilihnya lama sekali.
"Tadi 'kan kita udah di sini, kok ke sini lagi?"
"Tadi ada yang ketinggalan."
"Lo aja yang belanja, gue nunggu di depan." Leon menyerahkan troli pada Lavina.
"Eist, tidak bisa dong SUAMIKU TERCINTA. Lo sebagai suami baik hati dan tidak sombong, harus nurut apa kata istri." Lavina melangkah kembali, dengan terpaksa Leon mengikuti dari belakang.
Satu jam belanja, yang bisa dikatakan Leon hanya berputar-putar saja, akhirnya selesai. Leon menyerahkan dompetnya pada Lavina dan ia menunggu di depan. Untung saja Lavina tak rewel sehingga ia bisa bersantai.
"Kalo tau kayak gini, mending suruh dia belanja sendiri." Leon duduk sembari memukul kakinya. Daripada belanja, Leon memilih berkutat dengan motor.
"Leon, kamu di sini?" Suara perempuan terdengar familiar, tapi saat melihat sosok itu, Leon mengerut keningnya. Leon tahu siapa dia, tapi lupa siapa namanya.
"Kamu?"
"Aku Suci. Masa kamu lupa." Suci tersenyum lebar dan duduk di samping Leon.
Leon meringis, ia memang tak pernah mengingat siapa nama teman kencannya. Karena berkencan pun, tak sampai sebulan.
"Oh Suci, apa kabar?" tanyanya basa basi.
"Baik, kamu gimana?"
"Baik juga." Leon melirik pintu E-Mart, berharap sosok Lavina cepat keluar. Antre berapa orang sih, lama banget.
"Aku chat kamu, hubungin kamu kok gak bisa? Kamu ganti nomor?"
Karena gue blokir, ingin sekali Leon bicara seperti itu. Tapi ia hanya senyum saja. Malas nanggapin ocehan Suci.
Lavina akhirnya keluar dari E-Mart. Belanjaannya sangat banyak, hingga ia kesulitan untuk membawanya. Melirik sana dan sini, akhirnya ia bisa melihat sosok Leon berada.
Dan apa-apaan itu? Di sini Lavina antre panjang, lalu membawa belanjaan banyak, Leon malah asyik sama perempuan lain. Gak bisa dibiarin.
"Dasar playboy cap kadal. Lihat aja lo, gue rusak lo modus sama cem-ceman."
Meski berat membawa belanjaan, ia bisa sampai di tempat Leon berada.
"Hebat banget sih suami aku, di sini istri lagi belanja, malah enak-enakkan sama perempuan lain."
Bruk.
Lavina meletakan belanjaannya di meja. Menatap Leon tajam, yang malah menyengir ke arahnya.
"Istri? Kamu istri Leon?" Suci berdiri dan menatap tak percaya pada Lavina yang mengaku sebagai istri Leon.
"Iya, gue istri Leon. Gak percaya? Tanya noh sama dia." Lavina menunjuk Leon.
Suci menatap Leon, meminta jawaban. Leon ditatap hanya mengendikkan bahunya.
"Jadi kamu udah nikah? Sama dia?" tanyanya dan menatap Lavina aneh.
Kurang asyem, Lavina tahu tatapan itu. Kenapa sih, fisiknya yang dilihat. Padahal untuk kecantikan mah, sebelas dua belas. Tapi kalau tubuh, ia memang tak seksi sih.
"Lo yang bawa, gue tunggu di sana." Menghentak-hentakan kakinya dan menuju parkiran.
"Dosa apa gue nikah sama playboy kayak gitu."
"Lo cemburu?" jahil Leon mencolek lengan Lavina.
"Ngapain gue cemburu," ketusnya.
"Halah, ngaku lo. Gak usah gengsi." Leon terkekeh. Memasukkan belanjaannya di bagasi. Menjahili Lavina bikin hati senang hati.
"Kalo gue cemburu, lo mau apa?"
****
17/04/22
Hiatus sampai lebaran ya.
Mulai besok udah sibuk wkwkwk. Ada draft, buat cadangan nnti lebaran.
Makasih masih stay sama cerita ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top