𝟐𝟑.𝟓𝟖
⩩ MEREKA YANG TELAH BERLALU.
TANYA MENGISI BENAK. Dikala netra pandangi bangunan, agaknya merasa bingung dengan taruna yang mendadak memaksanya kemari. Bahkan sebelum penolakkan keluar dari celah bibir, sepasang lengan telah lebih dulu menariknya.
"Tempat apa ini?"
Haruchiyo mengukir senyum pada paras. Terlihat bangga, kini kedua sudut dengan bekas luka semakin tertarik ke atas. Ciptakan perpaduan antara gila dengan indah. Laksmi tak berdusta, apabila sosoknya tampak menawan dengan senyum pada durja.
"Bonten. Masuk yuk."
Karantala menyentuh pergelangan tangan. Alisnya berkedut dikala tepisan kasar adalah respon yang didapat. Nyenyat. Selepas insan sadari kini dua langkah telah memperlebar jarak.
"Kok mundur?"
"Kamu gila, membawaku ke hadapan mereka? Bukankah kau bilang Bonten adalah organisasi kriminal?"
Kepala dimiringkan.
"Oh, Dokter masih ingat."
"Haru, aku serius! Aku tidak membawa pisau sekarang!"
Lagi pula, untuk apa kamu membawa pisau?
Haruchiyo menghitung terus dalam hati. Tak membuka labium, biarkan hening menguasai. Agaknya tak ingin perkataan kurang ajar meluncur dari mulut, maupun tangannya dengan segera meraih pistol.
"Ayolah, Dokter."
"Kau bahkan tidak khawatir aku melaporkanmu?"
Gelengan kepala.
"Lakukan. Dan sekon berikutnya kau akan berada di bawahku."
"..."
Merah merambati wajah. Putih kini dihiasi rona. Tangan kiri terangkat, menutupi bagian bibir yang kini digigit.
Sejak kapan pria ini kurang ajar?
Oh, dia lupa. Pria ini memang selalu kurang ajar.
"Bajingan."
Haruchiyo terkekeh. Lantas setelahnya menepis jarak. Mendekat, dengan dua kali lipat kecepatan. Tak biarkan wanita dengan hak tinggi melangkah semakin menjauh.
Jeritan kaget adalah yang terdengar. Dikala sepasang tangan dengan lancang membopongnya. Menyelipkan di bawah lutut serta tengkuk, yang mana kini puan dengan refleks mengalungkan tangan.
"Haru—turunkan!"
Haruchiyo tertawa kencang. Tak pedulikan pukulan pada dada serta bahunya, kini langkah membawa ke arah tangga. Abai akan jerit, taruna dengan senyum pada wajah kini mengeratkan rengkuh.
"Tolong diam, Nona manis. Kau bisa terjatuh bila terus bergerak seperti itu."
(Name) terdiam. Menatap tanpa ekspresi. Biarkan pria ini membawanya entah kemana.
Lantas setelah satu menit berlalu, gumaman keluar dari celah labium.
"Seharusnya aku membawa pisau."
•••
Benak dipenuhi kalimat tanya. Bingung dengan kelakuan pria satu ini. Netra tak sedetikpun alihkan pandang dari laksmi di samping sana. Berdiri dengan tak nyaman, kala sadar tak hanya sepasang mata yang memperhatikan.
"Oh, pantas tak asing. Sanzu juga mengatakan kalau aku mengenalnya," suara pelan terdengar dari atas meja bekas. Disusul lembayung yang alihkan pandang, untuk bersirobok netra dengn sang punya surai salju. "Ternyata itu (Surname)-san."
Kening sedikit mengerut. Adiratna diam. Dikuasai bingung dengan pria yang di hadapan. Agaknya merasa tak asing, namun sayang benak tak dapat mengingat barang satu nama.
"Kau mengenalku?"
Surai terayun pelan. Menurun ikuti gravitasi bumi dikala puan dengan murni tanyakan kalimat bingung. Pula, wajah dengan kantung mata tebal benar-benar merusak suasana.
"Eh ... tidak mengenaliku?"
Jari jemari menyentuh permukaan material. Dirobek lalu digigit. Tersenyum, menikmati rasa dari makanan yang tak pernah ia benci rasanya.
"Ini aku, Mikey," tangan kiri yang bebas bertumpu pada meja. "Sano Manjiro."
"Oh, ternyata Sano—APA?!"
Insan dalam ruang berjengit kaget. Kala rungu dimasuki pekikkan tak percaya laksmi.
Haruchiyo memilih untuk mendekat, berdiri di dekat seolah tanpa kata berujar bahwa laksmi dengan paras nirmala itu miliknya. Sementara Haitani bersaudara tak keluarkan kata, melainkan diam. Menikmati lakon drama di hadapan.
"Kamu berubah banyak, Mikey. Kita terakhir bertemu sembilan tahun lalu."
"Benar. Tapi (Surname)-san belum berubah banyak. Masih setia dengan kacamata dan gaya rambut yang sama," senyum terukir pada durja pucat. Lantas lanjut berbasa-basi. "Bagaimana dengan magang? Oh, ini sudah sembilan tahun."
(Name) tersenyum tipis. Dia masih mengingat perihal itu rupanya.
"Lancar. Dan sekarang aku sudah memiliki lisensi medis."
Rindou menaikkan alis tertarik. Dirinya yang berpangku tangan mengalihkan pandang. Menatap Haruchiyo yang kini mengerutkan kening. Was-was. Perihal kalimat apakah yang akan dikeluarkan setelah bertemu mata dengan adiratna.
"Dia istrimu?"
"Dalam perjalanan."
"Agak miris," kurva terukir. Sinis. Taruna dengan surai mullet ungu kini melebarkan senyum. Membuat Haruchiyo sedikit banyak ingin segera menodongkannya pistol. "Tebakkanku, sepertinya kalian sudah cukup lama kenal. Bahkan selama itu, kau belum berhasil memilikinya?"
"Hei, kata siapa—"
"Oh, di sini sedang ramai."
Bariton berkata malas. Tak terdengar begitu jelas sebab rokok terjepit pada sela bibir. Atensi beralih. Pandangi pria dengan luka memanjang pada mata.
Dua netra bersirobok. Tanpa tanya. Tanpa kata. Terus pandangi durja dengan seribu satu hipotesa dalam senandika. Perihal dia, perihal mengapa jumpa. Juga apinya yang telah padam, juga mentari yang terbenam.
Lembayung mengerling. Berbalik pandang agar dapat berhadapan dengan paripurna.
"... Takeomi?"
"(Name)?"
Senyap hadir dalam ruang. Dua api yang pernah membara, kini saling beradu netra. Sementara catur lainnya terdiam. Nikmati lakon drama gratis di hadapan.
"(Surname)-san mengenalnya?"
Ran, dengan tebakkan serta kalimat bernada malas bertanya. Tak bodoh, dirinya tahu akan nama lengkap adiratna yang tengah berdiri memaku daksa. Terkunci, akan sosok pria sang punya luka pada mata.
Atensi beralih. Laksmi diam sesaat, namun enggan menjawab.
"Ah, ya. Kami saling kenal."
Takeomi memilih angkat suara. Yang mana durjanya menjadi pusat atensi, menunggu akan penjelesan singkat tentang apa yang terjadi.
Mengerjap, kini Takeomi pandangi netra lembayung. Tersenyum tipis. Pula, hangat meski tanpa adanya lagi kepakan sayap. Juga, dengan api tanpa adanya lagi pematik.
"(Name). Dulunya dia kekasihku."
"Dulu?"
Ran kembali bertanya. Maklumi, agaknya rasa penasaran yang membuncah dalam diri tak dapat dia tahan.
Belum sempat jawaban terdengar, suara lain memasuki rungu. Merebut atensi bersama dengan lengan yang merengkuh laksmi.
"Itu kan dulu. Mereka putus karena tidak cocok dari sananya."
(Name) dalam rengkuh menengadah. Menatap dari bawah taruna yang mengerutkan kening. Seolah tak terima dengan masa lalu yang diungkit. Takeomi dengan (Name) tak lebih dari kekasih masa lampau. Sudah lama juga hubungan telah kandas.
Jadi, untuk apa pula masih dibahas?
"Dengan Dokter yang saat itu masih kuliah, belum lagi kesibukan tak terkira, jelas hubungan akan sulit," rengkuhan semakin mengerat. Kali ini, kedua lengannya memeluk bagian bahu. Membuat para insan yang memperhatikan menaikkan alis.
Sanzu Haruchiyo. Apa pria ini sedang cemburu?
"Benar. Kami tak lebih dari masa lalu," kekehan meluncur dari celah bibir Takeomi. Disusul dengan hisapan rokok, setelahnya asap abu berkepul diudara.
Manjiro tetap diam. Memakan dorayakinya, sementara kaki kiri sesekali diayunkan. Haitani bersaudara bertukar pandang, lalu tersenyum. Selepas tahu bahwa anjing gila seperti Sanzu saja tahu akan yang namanya kama.
"Haru, kau mencekikku."
Haruchiyo abai. Memilih tak acuh dan kini mengesekkan pipinya pada pipi kiri (Name). Membuat sang wanita berjengit kaget, bersama empat insan lain yang membelalakkan mata.
Bajingan ini, tidak tahukah mereka sedang diperhatikan?
"Uh, sudahlah. Aku akan kembali."
(Name) dengan paksa melepas peluk. Menghentakkan kaki dua kali, lepaskan emosi. Setelahnya mengangguk sopan pada empat insan lain, kemudian menggeleng pergi.
Meninggalkan Haruchiyo yang bergeming. Mengusap pipi dengan senyum pada bibir.
"Dokter, bahkan marah pun kau tetap cantik!"
"Berisik, buaya!"
•••
9 September 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top