𝟐𝟑.𝟓𝟕


‎‎‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
MEREKA LARI BERSAMA.
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
SERPIHAN EMBUNNYA MENYENTUH UJUNG PELUPUK. Menciptakan sensasi dingin ketika tangan tanpa sarung bertemu langsung dengan angin. Rasanya menusuk tulang, menembus pori-pori serta mengoyak daging. Bertanya dalam hati, apakah taruna di samping tak merasa beku?

"Kamu gila? Sebentar lagi akan turun salju, dan kau mengajakku pergi keluar?"

Puan menoleh. Guna menatap langsung taruna dengan daksa jangkung yang menyeringai.

Akibat ocehan puan yang mengomentari perihal kegunaan jas, yang seharusnya dipakai, Haruchiyo tanpa berpikir dua kali langsung memakainya. Dikancingkan juga, agar terlihat lebih rapi. Seharusnya memakai jaket, namun sayang Haruchiyo keras kepala menolak hingga kini ia menyesal.

"Memang kenapa? Kan ini namanya PDKT."

Adiratna memutar bola matanya jengah.

Masa pendekatan ya masa pendekatan. Namun tidak begini juga.

Rasanya seakan tubuh hendak membeku bila berada di luar sedetik lagi. Mungkin efek berdiam diri dalam ruang bernuansa putih terlalu sering, yang membuatnya jarang secara langsung menginjakkan kaki di luar, (Name) tak terbiasa jalan begini.

"Dokter kedinginan?"

"Bukankah sudah jelas?"

Jalanan cukup kosong sekarang. Ditambah Haruchiyo yang tak membawa mobil, membuat mereka harus berjalan cukup jauh.

Tanpa tujuan, hanya berputar dan berjalan tanpa arah.

Haruchiyo menyapu pandang sekitar. Tak sedikit yang melirik, guna memastikan apakah benar taruna dengan surai merah muda adalah sosok kriminal. Ragu mendekat, juga enggan melapor. Hanya berpaling muka dan bersikap seolah tak ada apa-apa.

Taruna lantas mengulurkan tangan. Menyentuh karantala yang sama dinginnya, kemudian ditarik mendekat. Daksa yang mengenakkan hak sedang goyah pertahanannya.

"Apa—"

Tautan tercipta.

Jari jemari mereka saling bersentuhan. Menari di bawah gumpalan kapas abu dengan perlahan. Payoda kelabu, dengan yuda dalam kalbu. Berusaha berbagi kehangatan di tengah dinginnya cuaca. Menciptakan sebuah perpaduan unik ketika tangan milik taruna yang lebih besar, menggenggamnya. Seolah ditelan.

(Name) terdiam sesaat. Langkah keduanya terhenti. Dengan Haruchiyo yang memalingkan wajah seraya menggaruk canggung tengkuknya.

Agaknya kurang lebih paham dengan karakter sang puan. Bila tak suka, bisa saja pisau bedah bersarang di lehernya sekarang.

Namun kepala yang tertunduk tak juga diangkat dengan raut marah. Membuat Haruchiyo berdeham, kemudian berujar dengan nada menyebalkan.

"Dokter suka berpegangan tangan denganku?"

(Name) kini mendongak.

"Suka."

Bersirobok netra. Menjawab tanpa ragu, juga tak menolak kepakan kupu. Menghantarkan hangat dari tatapan. Membuat taruna kembali jatuh. Terpesona dengan nayanika lembayung yang kerap memberi perintah absolut.

Jangan berhenti menatapnya.

Adalah apa yang Haruchiyo pikirkan. Juga hanya dapat tersenyum ketika batinnya kembali menjawab.

Memangnya, aku yang seperti ini sanggup berpaling dari dia?

"Dokter, mau jadi—"

Ucapan terputus ketika sirene polisi terdengar.

Lengkung pada durja rupawan menurun. Menciptakan kekontrasan yang membuat puan merasa ngeri sendiri.

"Brengsek, kukira tak ada yang melaporkan!"

"Bodoh, ini tempat umum! Dan bila aku masuk berita, bisa-bisa karirku hancur!"

Haruchiyo membelalakkan matanya. Lantas memasang wajah sok sedih.

"Dokter, kau lebih mementingkan karirmu?"

(Name) berdecak sebal. Memangnya siapa pria ini sampai adiratna harus mengorbankan karirnya?

"Tentu saja!"

"HAHAHAHA!!"

Haruchiyo mengumandangkan tawa. Lantas melepas kasar jasnya. Membuat kancing yang terpasang rapi kini terlepas dan berhamburan di jalan. Disusul dengan gelap pada atas kepala puan.

"Pakai ini, agar tak terlihat!"

Mengangguk, (Name) mengikuti perintahnya. Menggunakan tangan kanan guna memastikan jasnya tak jatuh, sementara tangan kirinya dipegang erat Haruchiyo.

"Lari!"

"Haru! Aku memakai sepatu hak!"

"Oh astaga, seharusnya aku membawa pistol!"

(Name) menatapnya bingung.

"Untuk apa?! Dan apa korelasinya dengan keadaan sekarang?!"

"Tentu saja untuk membunuh mereka, agar Dokter tidak perlu berlari! HAHAHAHAH!!"

"Gila!"

Agak kewalahan mengimbangi kecepatan sang taruna, (Name) kini tercekat ketika Haruchuyo berhenti berlari. Menoleh ke kanan kiri, sebelum akhirnya berjalan cepat menuju sebuah mobil, dan menonjok kasar pintu pengemudinya.

"Heh brengsek! Keluar!!"

Tanpa pistol kesayangan pun, sebenarnya Haruchiyo sudah kuat. Dapat dipastikan dari bekas tonjokkan di pintu mobil.

Pria ini gila. Membuat adiratna di belakangnya membelalakkan mata.

Namun melirik ke belakang, dimana mobil polisi sudah dekat dan berjejer rapi, (Name) membuka tas kecilnya. Mengeluarkan bilah tajam, kemudian menarik paksa pintu mobil.

Beruntung orang di dalam tak menguncinya.

"Memangnya kalian siapa—"

Bentakkan tak keluarkan larik paripurna kala sadar bahwa pasangan di depan tampak tak wajar. Satunya dengan bekas luka disudut bibir, pelaku yang meninggalkan bekas tonjokkan di pintu. Sementara satunya kini dengan cepat menodongkan pisau.

Haruchiyo menyeringai lebar, menyaksikan pujaan hati yang tanpa ragu mengancam warga sipil.

Agak bertentangan dengan statusnya yang seorang dokter, namun tak masalah. Haruchiyo suka dengan kegilaan ini. Menarik.

"Keluar dari sini, atau mau darahmu yang keluar?"

•••

"Dokter sangat gila! Tadi kau tampak begitu cantik! Keren! Aku semakin jatuh cinta!"

Pujian serta sanjungan tak henti keluar dari celah labium taruna. Membuat puan di sebelah panas telinga. Belum lagi menyetir dengan sangat ugal-ugalan.

"Kau yang gila."

"Ayo jadi kekasihku!"

"Tawaranmu kutolak."

Tawa kencang terdengar. Mengisi serta kalahkan badai angin yang merangsek masuk. Menghancurkan rungu.

"Dokter, aku juga manusia. Bisa sakit kalau ditolak mulu!"

(Name) mengabaikannya. Memilih fokus, memperhatikan jalanan seraya kembali memasukkan pisau bedahnya.

Gila, memang. Meski Haruchiyo masih bingung untuk apa (Name) membawa pisau di tengah kencan mereka.

"Bisa menyetir dengan lebih baik? Kita bisa mati!"

Haruchiyo semakin menginjak pedal gas. Lantas kaca yang terbuka membuat suara desiran angin menjadi-jadi. Sirene polisi terasa jauh, kala mobil mereka melaju dengan kecepatan yang begitu gila. Tak sekali dua kali pula orang yang hampir ditabrak.

"Aku rela mati untukmu, Dokter!"

(Name) melirik sinis. Setelahnya menggelengkan kepala, mengingat bahwa pria ini tergila-gila dengan Sano Manjiro.

"Katakan itu pada rajamu."

"Tapi Dokter adalah dewiku."

Helaan napas. Disusul pegangan sang puan yang mengencang. Menoleh pula, guna bersirobok netra dengan taruna gila. Yang kini telah menormalkan laju mobil. Membiarkan desir angin serta suara mesin menghancurkan nyenyat. Memenuhi rungu. Dengan degup yang mulai bergemuruh.

Labium membuka celah, kemudian keluarkan kalimat tanya dari puan menuju tuan di sana.

"Jadi, aku ini doktermu atau dewimu?"

Kurva melengkung hadir pada durja rupawan. Menciptakan sebuah pemandangan paripurna dengan bekas luka. Pipi mulai dipenuhi rona, kala sadar bahwa taksa yang telah keluar kini secara tak langsung memberikannya harapan.

"Adalah kekasihku."

Prosa dengan ribuan bisikan kata cinta telah menghantarkan bait-bait kama. Menciptakan sungai yang berisi tirta kisah manis, dari tuan menuju puan, dari durja ke dalam angan. Kini, bermuara menuju laut asmaraloka. Bersama, hanya laksmi jua yang dapat membuatnya suka.

Dan, mereka akan bersuara.

Alam hadir dengan keasrian, membuat sejuk hati dengan ribuan cara. Kemudian disusul lembayung di ujung cakrawala. Tuan akan disambut adiratna, putri waruna yang kini telah dikejarnya.

Wahai waruna.

Haruchiyo bersumpah tak akan mengambil putrinya.

Namun untuk memiliki (Full Name), disayangi, juga dicintai serta dijaga sepenuh hati.

Apakah bisa?

"Dokter, tolong menikah denganku."

Terkejut, puan membelalakkan mata. Menatap taruna yang kini memberhentikan secara asal mobil di pinggir jalan.

Lantas diam, guna memastikan bahwa pendengarannya salah.

"Maaf?"

Tak ada seringai maupun tawa gila khasnya. Hanya durja serius yang kini menatap langsung lembayung.

Dia pun manusia. Merasa lelah, telah menanti lebih dari sepuluh tahun. Dia pun punya hati, merasa sakit bila dicampakkan berkali-kali.

Maka, tolong tolak sekali lagi.

Bila kamu tak menyukai kehadirannya, maka usir sejauh mungkin. Bila suka, tolong sampaikan. Jangan membuatnya menunggu terlalu lama. Jangan memberinya harapan tanpa kepastian.

Walau kamu kesepian.

Tolong, biar dia mengisinya.

"Aku tak akan memaksamu berhenti menjadi dokter atau ikut denganku lagi. Tapi setidaknya, beri aku kepastian," netranya saling bersirobok. Membuat puan agaknya gugup. "Aku mencintaimu, Dokter. Semenjak aku masih remaja, kau tahu itu kan?"

"Mengapa kau menyukaiku?"

Wajahnya tampak terkejut. Tak menyangka akan mendapatkan reaksi seperti ini. Lantas terkekeh, kemudian tersenyum dengan lebar.

"Karena kamu adalah kamu, Dokter."

Senyum tipis terukir pada durja sang puan.

Bukankah sekarang sudah waktunya bagi dia untuk membuka hati?

"Ini agak tidak tahu malu. Tapi apa lamaranmu masih berlaku?"

•••

8 September 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top