CHAPTER 33

Kanada

"Ada kiriman dari orangtuamu, Anne."

Marigold Anneliese yang saat itu tengah menghias cupcake segera menunda kegiatannya dan beralih ke depan apartemen, mendatangi Tallulah Sullivan yang memegang sebuah paket boks berukuran sedang. Dia menerima itu dan segera membukanya. Di dalam boks itu, seperti biasa, sebuah surat tulisan tangan selalu diselipkan beserta foto keluarga-Russel, Jovovich, dan Marigold. Selebihnya, ada beberapa set perhiasan dan pakaian, rajutan bunga Marigold, dan beberapa barang DIY berbentuk kupu-kupu dan bunga marigold.

Ini sudah terhitung satu tahun setelah Marigold meninggalkan kehidupan rumitnya, kadang-kadang, Marigold masih tidak mempercayai skenario terbaru ini, misalnya adalah ketika orangtuanya benar-benar menyayanginya. Pun, sejauh yang dapat Marigold perhatikan, mereka memang tulus.

Sebenarnya, sejak tiga bulan yang lalu, Marigold mulai bisa bertemu langsung dengan orangtuanya setelah sebelumnya dia memang benar-benar fokus pada pemulihan. Hanya saja sekarang, kebetulan, Russel dan Jovovich sedang berada di Jerman untuk urusan ekspansi bisnis sehingga mereka hanya mengirimkan hadiahnya saja.

Sementara perhiasan dan pakaian itu dibiarkan di dalam boks, rajutan dan hiasan-hiasan itu dia keluarkan, bermaksud untuk segera digunakan. Dia tersenyum dan mulai bergumam, tapi sepenuhnya tuturan itu untuk Tallulah. "Ingatkan aku jika aku memang pantas untuk mendapatkan semua ini, Lou?"

Tallulah tersenyum. Dia mendekati Marigold, memperhatikan perempuan itu tersenyum manis memandangi barang-barang pemberian orangtuanya. "Pantas, Anne. You deserve to be loved."

Tallulah Sullivan bukan orang asing yang Marigold kenal secara acak. Perempuan brunet itu merupakan suster yang menemaninya melewati masa-masa krisis. Ini berbeda dengan orang yang Javier kirimkan tahun-tahun lalu sebagai penyusup atau suster yang merawatnya di Massachusset. Namun, Tallulah memang pernah bekerja di yayasan besar Javier sebelum pindah ke tempat lain, dan Javier merekomendasikan Tallulah untuk menemani Marigold. Tak disangka, kini mereka menjadi teman dekat, atau lebih tepatnya, mereka seperti menjadi kakak dan adik.

"Rasanya ini lebih tulus daripada afeksi mereka pada dia."

Rosemary Cecilia.

"Dan aku ikut bersyukur dengan situasi itu, Anne."

Kiranya begini. Dulu, Russel dan Jovovich dibutakan oleh Daphne, dan bibi gila itu mempengaruhi semua orang, termasuk mempengaruhi prioritas dan urgensi-urgensi lainnya. Bisa dibilang, Rosemary dipandang sebagai aset bisnis, tidak benar-benar dipandang sebagai anak. Sementara Marigold, perempuan itu dianggap sebaliknya.

Yah, sepertinya itu masalah waktu dan kesempatan. Tuhan tidak jahat pada Marigold. Dulu, Marigold hanya perlu bersabar.

Kemudian, fokus Marigold berubah. Dia selesai menyimpan dan mendekorasi hadiah orangtuanya dan kembali ke pantry untuk melanjutkan mengurusi cupcake-nya. Selagi berkonsentrasi, Marigold berbicara lagi, "Theo sudah berada di mana?"

"Dia masih bersiap-siap. Maaf sekali, katanya."

Tawa kecil menguar. Selanjutnya, Marigold tersenyum manis, "Tidak apa-apa, Lou. Pria heroik harus dimaklumi.

Sesungguhnya, Marigold Anneliese membatas kehidupan sosialnya. Dia bahkan berkuliah secara daring dan tidak benar-benar memiliki temanㅡdia tidak di Saint Hallway lagi. Namun, selain Tallulah, dia mempercayai satu orang lainnya, yakni Theo Sullivan yang kebetulan merupakan kakak dari Tallulah. Pria itu memang tidak biasanya terlambat, tapi kini, bukan karena dia tidak menghargai waktu, tapi karena terdesak pekerjaan. Theo merupakan seorang firefighter. Harusnya, dia memiliki waktu 48 jam libur setelah seharian bekerja, dan tidak biasanya dia dipanggil dalam waktu liburnya, tapi kebetulan ada major emergency event yang membuatnya dipanggil bekerja.

"Lagipula aku tidak menetapkan waktu. Kita hanya makan-makan," tambah Marigold. Dia berakhir menyimpan cupcake ke meja makan bulat itu, membuat meja makan itu akhirnya penuh dengan hidanganㅡMarigold yang memasaknya, omong-omong. "Oh, ya, aku ingin ke supermarket sebentar."

"Membeli apa?"

"Apel," katanya. "Untuk Kapten Theo juga."

"Ah, apple lovers."

Marigold terkekeh.

"Perlu ditemani?"

"Tidak perlu."

Mengambil mantel di dalam kamar, perempuan itu segera pergi, meninggalkan Tallulah yang berakhir menjadi penjaga makanan. Supermarket yang dituju itu dekat, itu mengapa dia percaya diri untuk pergi sendirian. Sial sekali karena apelnya habis dalam waktu terduga, sepertinya dia makan banyak semalam.

Sebab Marigold Anneliese tidak biasa bepergian lama-lama, bahkan jika jaraknya dekat, dia bergerak cepat. Masuk ke supermarket, dia segera menuju apel-apel idamannya, dia juga membeli buah anggur hijau karena Tallulah menyukainya. Mungkin, jika diperhatikan, sepertinya Marigold hanya akan menghabiskan waktu selama sepuluh menit saja.

Namun, saat berada di kasir, tiba-tiba dia hilang kendali. Seorang pria terlihat sedang berinteraksi dengan kasir, membeli sekaleng birㅡitu terlihat tidak biasanya dan aneh sekali. Harusnya Marigold mengabaikannya, tapi pria itu menyadari eksistensi Marigold. Singkat saja, itu Ortiz Romano. Sialnya, Marigold tidak bisa melarikan diri hingga tahu-tahu mereka berada di depan supermarket, saling berhadapan dalam diam.

Sejauh yang dapat Marigold lihat, Ortiz Romano tidak banyak berubah. Pria yang dengan apik menggunakan kemeja hitam itu masih terlihat sempurna seperti biasanya. Hanya saja, kumis dan janggutnya sedikit lebih tebal. Pun, kalau dilihat-lihat, meski wajahnya masih terlihat seperti karakter antagonis, dia terlihat lebih positif.

"Aku tidak bermaksud membuntutimu, aku bersumpah. Aku menghargai keputusanmu." Ortiz Romano memulai begitu. "Tapi aku senang bisa melihatmu."

Sebenarnya, Marigold masih kebingungan. Dia tidak berkata jika dia masih takut Ortiz. Sebaliknya, dia merasa enteng. Hanya saja, ingatan masa lalu membuat keyakinannya terombang-ambing, kendati sialnya dia tidak bisa mengelak jika dia merindukan Ortiz. Kadang-kadang dia berimajinasi bahwa Ortiz menghargainya sebagaimana orangtuanya menghargainya.

Namun, Marigold tidak menjawab.

Sementara itu, Ortiz Romano memandangi Marigold dalam-dalam. Sejujurnya, Marigold Anneliese semakin cantik, rasanya dia lebih cantik seribu kali lipat. Barangkali itu juga pengaruh dari tekanan yang sudah menghilang. Selebihnya tidak ada yang berbeda. Namun, dalam pemindaian itu, dia melihat sesuatu. Itu membuat Ortiz bergumam, "Kau masih mengenakan kalungnya."

Marigold mengangguk. "I do." Dan akhirnya dia membiarkan Ortiz mendengar suaranya lagi.

"Bolehkan aku memelukmu, Anneliese?"

Pada awalnya, Marigold berpikir tidak ingin. Namun, mendengarkan permisi yang begitu sopan dan lembut itu membuat kepalanya refleks mengangguk. Tak aneh jika Ortiz Romano segera memeluk perempuan itu erat-erat, memuaskan segala perasaan rindunya. Dan beruntung, meski awalnya Marigold tidak membalas, perempuan itu berakhir membalasnya. Ortiz bersumpah, dunianya yang abu-abu kembali berwarna, "Aku sangat merindukanmu, Anneliese."

Marigold tidak membalas. Namun, tidak berbohong, dia menikmati rengkuhan Ortiz. Bukan karena perasaan, sebab dia sendiri bahkan tidak tahu apakah dia masih mencintai Ortiz atau tidak, melainkan sebab perasaan nyaman. Melihat bagaimana orang yang biasanya menyakitinya berubah menjadi sangat tulus membuatnya sangat bersyukur. Sayangnya, pelukan itu dilepas, berubah menjadi genggaman tangan, hingga suara rendah itu kembali terdengar, "Apakah kau baik-baik saja, Anneliese?"

Marigold mengangguk.

Dan kali ini, bagi Ortiz, tidak masalah jika Marigold tidak mau berbicara. Melihat Marigold baik-baik saja pun sudah membuatnya bahagia dan lega.

"Aku minta maaf," ucap Ortiz selanjutnya.

Sebab itu, sepertinya Marigold memiliki ketertarikan untuk berbicara. "Kesempatan itu ... aku tidak memberimu kesempatan agar kita bersama lagi. Hal seperti itu ... biarkan waktu yang menjawabnya. Tapi kita bisa berbaikan, dan kau bisa membuktikan apapun yang ingin kaubuktikan. Hanya itu yang bisa kulakukan, Ortiz."

Ortiz Romano yang sekarang berperasaan bisa saja menangis gila. Mendengarkan itu membuatnya semakin bahagia. Namun, dia tersenyum dengan mata berbinar. Dia memeluk Marigold sekali lagi dan beralih seperti semula. "Terima kasih, Marigold. Aku bersumpah, aku akan membuktikan padamu bahwa aku berubah."

Namun, Ortiz tahu ayat pentingnya. Jangan berharap lebih.

"Do you have a girlfriend?"

Ortiz menggeleng. "Aku punya janji."

"Apa itu?"

Tidak langsung menjawab, Ortiz tersenyum. Ada satu sorotan penting yang dia sadari. Marigold masih menjadi dirinya sendiri, tapi dia terlihat lebih dewasa, dari caranya bersikap dan berbicara. Dia lebih sempurna daripada Rosemary Cecilia yang dulu sering Ortiz puji. "Aku tidak akan melupakan atau mengkhianatimu sebelum aku bertemu denganmu."

"Sudah waktunya kau menikah."

Ortiz tertawa. "Tidak perlu terburu-buru," katanya. "Bagaimana denganmu?"

Detik itu, Marigold nyaris menjawab, tetapi sebuah distraksi menghentikan konversasi keduanya. Terlihat arah pandang Marigold berpindah dengan netra yang terlihat manis. Seorang pria dengan setelan kasual, kaus dan jaket, mendatangi Marigold. Dan, sialnya, Ortiz yang tidak munafik mulai cemburu karena Marigold Anneliese memeluk pria tersebut dan berbicara dengan suara yang cantik. "Are you okay, Captain?"

Pria itu tersenyum dan mengangguk, dan sepertinya dia tipikal pria pendiam atau dingin.

Harusnya dia bukan tipe Marigold, tapi Marigold terlihat nyaman.

Ah, Ortiz Romano cemburu.

Pria itu berakhir mengambil belanjaan Marigold yang tergeletak di bawah, dan berakhir menatap Ortiz Romano. Dari tatapan dan senyuman kecilnya, pria itu seperti orang yang ramah tamah, tapi kesan dinginnya masih terasa. Pun, saat itu, Marigold Anneliese menengahinya, "Tallulah menunggu." Hanya sebatas itu. Setelahnya, terlihat Marigold menerima genggaman tangan pria itu, dan dia segera melirik Ortiz. "Senang bertemu denganmu, Ortiz."

Bagi Marigold Anneliese, untuk kesekian kalinya, dia merasa bersyukur. Dia ragu, tapi melihat keseluruhan sikap Ortiz Romano membuatnya berpikir jika keputusannya untuk membuat batasan berbuah baik. Sepertinya pria itu benar-benar memanfaatkan waktunya dengan baik, tidak seperti dahulu kala.

Sementara bagi Ortiz Romano, seandainya dia berharap untuk kembali bersama His Anneliese, sepertinya perjalanannya tidak akan mudahㅡsiapapun pria itu, dia akan menjadi saingan sehatnya. Namun, Ortiz penasaran, apakah sekarang Ortiz Romano adalah satu-satunya orang yang menaruh cinta?

Tamat

Yang udah pernah baca ini, semoga kalian suka dengan ending barunya. Kalau boleh jujur, alasan kenapa aku unpublish ini karena endingnya terasa memberatkan. Marigold Anneliese terlalu gampang, padahal dia udah disiksa habis-habisan (versi sebelum revisi, ortiz lebih-lebih gila dari ini). Dan kalau dilihat-lihat gada perkembangan sama Marigold setelah segala krisis yang dia dapet.

Sementara ending baru ini, menurutku ini lebih baik. Marigold nggak sama Ajax maupun Ortiz, tapi karena sorotan utamanya adalah Ortiz ... biarkan masa depan yg menjawab heuheu. Mungkin dia balik sama Ortiz kalau emang Marigold punya cukup kepercayaan atau bahkan mungkin dia sama si karakter baru, Theo.

Apapun itu, pembaca lama atau baru, semoga suka dengan keseluruhan cerita dan endingnya.

Anyway, terima kasih sudah mau membaca cerita aku dan kasih apresiasi dengan vote dan komen. 💗💗💗💗💗

Dan ... karena ini page baru terakhir setelah direvisi, boleh minta review-nya supaya aku bisa belajar lebih banyak. Kalau kalian suka cerita ini, aku sangat mengapresiasi kalau cerita ini dishare. 👉🏻👈🏻

Again, thank you so much. 💗💗💗💗💗

oh ... ini theo btw. 👇🏻

Sampai jumpa di ceritaku yang lain!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top