CHAPTER 13

Selebrasi menggema masif di kelas, bukan sebab impresi negatif, melainkan sebaliknya. Marigold-lah yang menjadi sentral utamanya. Bukan lagi sebab bisnis kontroversial atau sensasional yang mendefinisikan citra imbesil. Marigold kebetulan hanya sedang mencoba bertransformasi menjadi lebih baik dalam urusan edukasi, sesuai dengan sugesti Ajax Scheiffer, misalnya berintensi memenangkan segmen di kelas Ortiz Romano dalam mata kuliah eksplikasi puisi.

Niat perempuan itu hanya satu, yakni mencoba menghindari Ortiz sebab dia tahu kalau Ortiz berupaya penuh untuk kembali membawa penyakit pada Marigold. Katakanlah intimasinya dengan Ajax Scheiffer sebelum kelas telah memberinya motivasi yang sangat besar, bahwa sangat tidak mengenakkan untuk berlama-lama berurusan dengan tiran ituㅡsecara tidak langsung. Atau, sebenarnya, pengkhianatan Ortiz berbau manis pula, karena Marigold semakin waras dan sadar diri.

Sebenarnya Marigold malas untuk melihat figur Ortiz. Dia ketakutan juga. Masih ada banyak hal yang mengganjal sanubari; dan Marigold agak kalap. Hanya saja dia mencoba profesionalㅡanggap saja begitu. Rasanya agak eksentrik jika Marigold terang-terangan menghindari seluruh kelas yang diampu oleh Ortiz, meski sialnya Marigold banyak berada di kelas orang itu.

Ajax, Ajax, Ajax. Hanya itu yang ada di serebrumnya. Semacam mantera supaya tenang.

Sejak masuk kelas, Marigold sudah duduk elegan di bangku paling belakang dan terpojok. Kendati nahasnya Ortiz memiliki manik elang yang bisa dengan mudah menemukan targetnya secara cepat. Sehingga awal kelas setelah Ortiz mendapati presensi Marigold, dia langsung menyuruh Marigold berdiri di depan kelas dan menyuruhnya untuk segera mengeksplikasikan puisi secara acak. Tentu, sungguh nyentrik, padahal kelas minggu lalu Ortiz berjanji akan membahas topik baru.

Selebrasi barusan bukan bermakna merendahkan Marigold, tetapi anak-anak tahu-tahu merasa kagum atas kepercayaan diri dan narsisme Marigold yang berlebihan, siap melakukan responsibiliti meski Marigold was-was dalam kalbu. Setidaknya reaksi itu menarik Marigold untuk memasuki sisi kesadaran. Dia yakin kalau Tuan Ortiz Romano Yang Maha Goblok akan berusaha mati-matian menjatuhkannya, merendahkan, serta mempermalukannya agar Marigold kalah telak hingga berakhir terintimidasi di kantor pribadinya.

Semoga bertahan terus.

"Alla Sera oleh Ugo Foscolo." Ortiz mengawali.

Seandainya Marigold tidak ingat sirkumstansi, sejujurnya dia ingin memaki-maki Ortiz; mencampuradukkan bisnis edukasi dengan polemik personal hingga mewawarkannya di depan publik. Masih untung punya malu dan harga diri. Ingin sekali mencoreng imej Tuhan seorang Ortiz Romano supaya hidupnya hancur perlahan-lahan. Ingin sekali mewawarkan pada publik jika dosen ini ada predator sinting, tidak peduli dengan citra Marigold sendiri.

Namun, beruntung Marigold punya sedikit bekal atas soneta yang disebutkan oleh Ortiz. Ortiz hanyalah edukator baru di sini dan sama sekali tidak memerhatikan kehidupan mahasiswa Marigold sebelumnya. Semester sebelum melakukan jeda kuliah, sekali Marigold pernah berurusan dengan Alla Sera untuk intensi analisis akhir, kurang lebih sama seperti ini kendati berbeda mata kuliah. Marigold tidak ingat-ingat amat. Intinya, agaknya Tuhan juga mendukung aksi Marigold untuk jauh-jauh dari Ortiz. Anggap saja hari keberuntungan Marigoldㅡjika Ortiz tidak mengeluarkan jurus licik.

Ortiz bisa memancingnya kapanpun, bukan?

Sementara Marigold membuka halaman sonetanya, murni soneta tanpa eksplikasi apapun, Ortiz loyal memerhatikanㅡmengintimidasi, merendahkan, dan banyak mengindikasikan perasaan lainnya. Cukup mengganggu konsentrasi, tapi Marigold bertahan dengan konsistensi pribadi untuk tidak menanggapi Ortiz di luar konteks edukasi, sama seperti ketika mereka pertama bertemu di Saint Hallway. Sehingga Marigold cepat-cepat mengambil porsi bagiannya, "Alla Sera, malam yang dirindukan dan yang membangkitkan citra kematian." Maka, sejauh yang dapat disimpulkan dalam bagian prolog tolol itu, citra Ortiz menggelap bersamaan dengan senyum angkuh yang hilang sebab Marigold dapat memberikan pembukaan ringkas yang apik. Sebab apa yang selalu dipikirkan Ortiz adalah sebuah kesimpulan bahwa Marigold itu goblok, bahkan dalam urusan edukasi, berbeda dengan saudarinya. Harusnya ini mudah untuk membawa Marigold ke ruangannya, tetapi Marigold sendiri menjatuhkan ekspektasi Ortiz. Marigold tahu sonetanya, dan Ortiz tidak suka itu.

Lantas, Ortiz menanggapi dengan pertanyaan dasar yang jelas akan sangat mudah dijawab Marigold. "Berikan penjelasan ringkas soal Alla Sera, lebih dari tadi."

Marigold tersenyum, berlakon sok ramah. "Sir Ortiz agaknya terlalu sering meremehkanku, ya." Perempuan tersebut mengawali demikian hingga muncul sedikit bisikan samar-samar dari para mahasiswa, sebab pada hakikatnya memang hanya Marigold Anneliese yang berani bersikap seperti itu pada Ortiz. "Alla Sera merupakan karya ciptaan Ugo Foscolo sekitar abad kedelapan belas. Soneta Petrarca iniㅡdua stanza awal empat baris, dua stanza akhir tiga barisㅡmemiliki tema besar soal tidur, malam, dan kematian yang berkaitan satu sama lain, seperti yang sudah disinggung sebelumnya. Foscolo sendiri memang sering menggunakan tema-tema itu sebagai simbol untuk menggambarkan perasaan melankolis dan perenungannya mengenai kehidupan."

Marigold berhenti sebentar, menunda pengelasannya. Dia melihat Ortiz menatapnya begitu tajam, seolah tidak suka jika mahasiswi goblok ini menjadi pintar tiba-tiba. Jika Marigold mampu mendengarkan suara batin, sudah pasti dia mendengarkan deretan kata-kata kotor dari pria ini dan mendengarkannya membuat rencana untuk menjatuhkan Marigold.

Jadi Marigold kembali menghadap kepada orang-orang. "Malam di sini, bagiku, diasumsikan sebagai waktu yang mengindikasikan peristirahatan terakhir, bukan hanya soal tidur itu sendiri, melainkan kematian. Tidur atau kematian itu pula bukan soal nasib atau predestinasi, tetapi pilihan untuk melarikan diri dengan niat menemukan kedamaian. Kenapa malam? Itu sebuah waktu di mana alam semesta gelap, lagi-lagi mengindikasikan kematian. Mungkin dalam pengandaian paling singkat adalah ketika aku mendapatkan kesengsaraan berat di suatu hariㅡ" Marigold menjeda, pura-pura membasahi kerongkongan, tetapi netra sekali melirik Ortiz, menyinggung hari di mana Marigold disakiti orang goblok itu. "ㅡlantas di malam hari, malam bukan lagi dianggap sebagai waktu atau periode masa lagi, untuk tidur atau bersantai dan menunggu pagi hari, melainkan menjadikan itu sebagai kesempatan untuk menyentuh kematian, bahkan berharap agar mati sungguhan. Seperti itu."

Ortiz Romano, entah terlampau geram dan jengkel, tahu-tahu seolah merasa tidak peduli. Marigold yakin kalau di otak Ortiz Romano ada banyak hal untuk menjebak Marigold, tetapi kelewat kehilangan akal, terlebih anak-anak kembali memberi selebrasi atas pemaparan ringkas Marigold. Satu paragraf singkat seperti yang Marigold protasiskan memang tidak memaknai seluruh soneta, tetapi cukup untuk merangkumnya sesuai pemahaman Marigold. Ortiz tidak dapat menyalahkan pemahaman Marigold sebab karya sastra bermakna fleksibel, bisa dimaknai apapun, tepat atau tidak, panjang atau pendeknya.

"Terima kasih, hanya itulah pemahamanku." Marigold membungkukkan badan sekali dan memilih melarikan diri.

Meski gagal.

Ortiz Jahanam.

"Siapa bilang sudah selesai?"

Mencela dalam hati. Ajax, hajar orang jahanam ini.

"It's nor fair," balas Marigold.

Ortiz menggeleng, "Tetap berdiri di situ, Nona. Ini belum selesai."

Mencela dalam hati. Ajax, hajar orang jahanam ini.

Marigold melangkah beberapa langkah ke tempat semula dengan wajah jengkel yang tidak kentara. Dia bersumpah, dia suka kalau harus jujur pada Tuhan jika mencela Ortiz adalah kenikmatan yang hakiki. Hatinya seolah penuh kebusukan, tetapi Ortiz laik mendapatkannya, kendati Marigold jamin kalau mencelanya secara direk akan lebih membuat kalbu bahagia.

Berbeda dengan sebelumnya, Ortiz membasahi bibir dan tersenyum asimetris. Kelicikannya mulai nampak setelah Marigold bersikap seperti itu. Dia tidak ingin tinggal diam. Dia akan melakukan apapun agar perempuan ini bisa dia kuasai lagi.

"Apakah sonetanya terinspirasi atau berkaitan dengan kejadian nyata pada abad tersebut?"

Kelewat kesal dan memang sudah buyar lantaran emosinya melonjak naik, Marigold balas seadaanya lagi. "Ada banyak pendekatan pengkajian sastra dan aku tidak memilih pendekatan mimetik, jadi aku tidak peduli dengan itu." Terserah jika itu dikategorikan sebagai tindakan mencari mati, yang terpenting baginya adalah dia ingin sekali menunjukkan ketidaknyamanannya pada Ortiz. Beruntung jika Tuan Ortiz Yang Sok Berdedikasi ini paham kendati sangat mustahil. Faktanya, otak Marigold sudah kosong melompong.

"Kau mahasiswi, dituntut untuk berpikir. Bersikaplah dengan baik, Anneliese."

Marigold menaikkan satu alis. "Memangnya sudah merasa menjadi orang baik, ya? Kau ini orang jahat sedunia," katanya, tidak peduli jika para mahasiswa curiga mengenai hubungan Marigold dan Ortiz.

Menyuruh berpikir, tetapi sendirinya sering tidak berpikir.

Ortiz terkekeh kecil. Dia menang.

Marigold yang kepalang kesal nyatanya menguntungkan posisinya. Sebab Ortiz tahu kalau abilitas Marigold dalam mengontrol diri itu minim sekali; Marigold sama seperti Ortiz. Etika dan moralitas rendah. Jangankan pada orang usia lebih atas darinya, orang difabel saja dapat memicu ketololan Marigold karena pengontrolan emosi dan etikanya yang buruk. Maka, ulangi, bagi Ortiz, dia menang.

Lantas, dia melirik Marigold lebih tegas tatkala gadis itu nampak ogah-ogahan, seolah Marigold tidak memikirkan atau menebak konsekuensi atas emosinya sendiri yang tidak bisa ditahan hingga menimbulkan singgungan kasar seperti itu. Sekali Ortiz bersabda penuh kemenangan hingga raut wajah Marigold semakin kontras terasa jengkel. "Nona Anneliese, maka kau memilih untuk detensi lagi. Tetap berdiri di sana sampai kelas berakhir. Aku tidak akan pernah membiarkanmu melarikan diri lagi."

Menyela dalam hati. Ajax, bunuh orang jahanam ini.

r e c o v e r y

Marigold barangkali memahami trik sampah Ortiz. Tentu, perempuan itu tak akan dengan mudahnya melarikan diri begitu saja sehingga kotak ruangan yang coba dia hindari malah disinggahi lagi. Walaupun sebenarnya Marigold nyaris terpana saat orang itu tidak memulai jenis gangguan apapun selain mengotak-atik isi laptop.

Ortiz di depan bersikap selayaknya tidak punya dosa atau barangkali membangun imej sebagai edukator berwibawa di hadapan Marigold. Padahal Marigold tidak peduli jikalau Ortiz sedang mencoba bersikap sok profesional atau parahnya pura-pura polos. Intinya, kesalahan Ortiz sudah jadi seperti dosa besar bagi Marigold sehingga rasanya tidak ada hal lagi yang mesti diperhatikan. Tetapi ketololan Ortiz nampak kentara; garis wajahnya terlihat santai, begitupula dengan hembusan napasnya, sama sekali tidak terlihat bersalah. Yang ada, orang di depan semakin terlihat arogan.

Melepas atensi dari laptop yang digeserkan sedikiti ke arah kiri, lantas dia memulai kontak dengan Marigold yang direk memutusnya. Ajaib sebab tidak memberi komentar, Ortiz terus berbicara, mengawali dengan sok, anehnya konteksnya nampak tengah menunjukkan seberapa berdedikasinya dia sekarang. "Aku mengirim tugasmu ke email. Batas pengerjaan hingga tengah malam nanti. Setiap telat satu jam menandakan penggandaan tugas."

Sebentar Marigold mengambil ponsel untuk melihat jenis tugasnya, hingga finalnya Marigold mutlak tidak terima. "Mana bisa begitu?!"

Tugasnya sangat banyak!

"Bisa, karena itu hukuman," katanya.

"Terserah."

Marigold memutar bola netra. Tak tanggung-tanggung, dia berdiri dan bersikap begitu formal sebelum akhirnya pergi sebab dirasa urusannya sudah selesai. Rasanya begitu canggung dan kaku, tetapi ini dibutuhkan sebab siapa pula yang hendak meneruskan atau memperbaiki relasi dengan penjilat goblok di depan. Sudah untung bagi Marigold mendapatkan tugas realistis yang berkaitan dengan perkuliahan ketimbang hanya melakukan konversasi tak jelas seperti dulu, atau nahasnya disetubuhi lagi.

Hanya saja belum telak sampai pada daun pintu, ada distraksi yang mutlak meloloskan kuriositas. Tahu-tahu Marigold membalikkan daksa, kembali melihat figur sasa yang tengah duduk bersandar penuh arogansi di singgasana hitam dolerit itu. Tidak tahu apa konteks dasarnya, Ortiz tadi berkata absurd, katanya, "Obat yang selalu kubelikan, yang selalu kaupakai setelah kita bercinta."

Marigold terlihat tidak peduli, tapi dia menatap Ortiz.

"Mau tahu satu fakta krusial, Fiore?"

Marigold memutar bola mata.

Jika pria ini memanggilnya dengan panggilan itu lagi, maka artinya dia tidak menghargai Marigold.

"Tidak peduli," balas Marigold, nyaris kembali pergi tetapi Ortiz terus menyela hebat seolah topik itu cukup penting itu hidup dan matinya Marigold.

"Kupikir sebaliknya. Kau akan memperdulikannya."

Ortiz memberikan senyum begitu ambigu. Pria itu bangun dengan segenap arogansi yang meningkat di setiap pergerakan. Terasa ada banyak perasaan-perasaan lindap. Anehnya Marigold kaku terdiam, seolah kuasa gravitasi terlalu kuat di titik di mana dia berdiri; mutlak tidak sejalan dengan keinginan kalbu, atau kekuatan intimidasi Ortiz terlalu mendominasi. Sangat paradoksikal. Sampai Ortiz berhasil berdiri di hadapan kenya tersebut. Telempapnya begitu tidak sopan jatuh di sisi-sisi wajah Marigold yang sedikit biram karena blush, lantas berbicara, "Bukan untuk mencegah kehamilan, Anneliese Sayang," katanya, begitu tenang, "hanya vitamin biasa, sementara obat aslinya kubuang dan hanya kupakai wadahnya."

Jantung Marigold seakan berhenti berdebar untuk sepersekian sekon. Tahu-tahu membeku sebab sistem tubuh mencoba menyaring rentetan diksi yang bermakna kuat itu. Tangan-tangan mendadak tremor dengan napas yang sama sekali tak stabil. Marigold eksesif meskipun dia terlihat kaku sebab fakta aktual itu.

Di depan, Ortiz menyeringai begitu bangga, sembari menggerakkan telapaknya pada pipi dengan belaian sok manis. Entah ingin menenangkan Marigold atau merendahkan dengan sedikit lakon goblok sok romantis.

Ini aneh. Tahu-tahu Ortiz berubah tidak konservatif dan tidak peduli dengan hal-hal buruk yang dulu menjadi ketakutannya.

"Berengsek." Marigold bergumam kecil, pelan sekali. Dia mulai menangis.

Bukannya hendak eksesif. Belum tentu pula jika itu menjadi kesalahan yang menyeramkan; belum tentu menjadi hasil, fetus, atau calon bayi. Marigold hanya kembali terpikirkan pasal harga diri yang begitu mudah dipermainkan oleh Ortiz.

Marigold buruk, dia banyak menerima eksistensi Ortiz dan segala perlakuannya kendati dia tahu kalau Ortiz ekspert menyakiti. Namun, Marigold Anneliese terlalu naif.

Ini soal harga diri. Harga diri!

Secara simultan, dalam atmosfer hening yang terasa mencekam, Marigold Anneliese segera menampar Ortiz. Persetan lagi dan lagi dengan limitasi profesi dan limitasi lainnya. Setelah mengetahui kebusukan Ortiz yang begitu jelas tersampaikan, Marigold akan balik untuk tidak menghargai Ortiz. Ortiz menghancurkan harga dirinya, maka Marigold berhak melakukan hal yang serupa pada pria itu.

Bahkan ada dua kali totalan atas pukulan itu, meski itu tidak cukup untuk menggambarkan kepuasan batiniah.

Pikiran Marigold terlanjur masif dengan skenario yang menyayat hati. Namun, Marigold juga tahu, kalau dia juga berkontribusi untuk mempermudah Ortiz menipu Marigold sendiri. Marigold tahu dia goblok, goblok-goblok-goblok, tetapi tidak harus sampai dibodohi begitu keji seperti itu. Kecelakaan bukanlah hal indah untuk dibayangkan, apalagi jika tersangkanya adalah Ortiz Romano yang jelas-jelas menganggap separuh Marigold sebagai Rosemary. Sebegitu inginnya, kah, orang ini memiliki dua gadis untuk dimiliki secara rakus?

Secara umum, Ortiz Romano malah tertawa. Entah bagaimana caranya ketidaksukaan dan kesakitan Marigold bertransformasi menjadi hiburan bagi orang itu. Semakin terlihat jelas bahwa Ortiz Romano sangatlah problematik dan mengganggu. Nyaris tidak percaya jikalau pria inilah yang berhasil memainkan banyak drama tolol yang membuat Marigold sendiri terhipnotis.

Alhasil Marigold semakin kehilangan arah, tetapi dia bungkam, lantaran pada dasarnya akan sangat sia-sia jika harus melemparkan banyak cercaan pada Ortiz. Ortiz mungkin akan semakin banyak menggemakan tawanya. Yang ada Ortiz-lah satu-satunya orang yang ingin meloloskan diktum gobloknya lagi dan lagi. "Tidak usah berlebihan, Anneliese. Toh, belum tentu menjadi hasil."

"Tidak bisakah kau menghargaiku, Ortiz?" Marigold berbicara pelan, menunduk, mendadak merasa takut karena kehilangan harga diri. "Aku memberikanmu kesempatan dan kau memberiku ini?"

Ortiz hanya sekejap nampak menaikkan satu alis tebalnya. "Sebutkan dulu alasan khusus tentang kenapa aku harus menghargaimu."

JAHANAM.

Marigold yang sakit malah semakin rapuh. "Aku bukan Rose, hanya Marigold kotor yang tidak diinginkan oleh orang-orang, tetapi setidaknya hargai aku. Aku sudah memberikan banyak hal kepadamu."

"Nah, kautahu sendiri kau kotor. Kenapa harus dihargai?"

JAHANAM.

"Ortiz, jangan begitu." Sakit.

"Aku suka saat kau berbicara begitu pelan." Ortiz balas dengan konteks lain, lagi-lagi mengindikasikan bahwa kesengsaraan Marigold atas harga diri yang hilang bukan suatu topik penting untuk dibahas.

"Kau melakukannya tanpa konsen. Aku tidak mau dan tidak suka, berhasil atau tidak."

Lagi, Ortiz tertawa. "Persetan dengan perizinan. Bagus jika itu menghasilkan sesuatu. Itu justru akan lebih mempermudahmu untuk keluar dari keluarga goblokmu. Berpikirlah dengan baik, Anneliese."

"Demi Tuhan, aku lebih memilih Bibi Daphne daripada dirimu, Ortiz," rapal Marigold. "Aku akan memilih apapun kecuali kamu. Kau orang asing kotor, hina, tak tahu diri, problematik, dan berpenyakitan yang sungguh tidak layak untuk mendapatkanku. Pengkhianatan, penipuan, dan kebohonganmu terlalu banyak, dan aku tidak mau lagi berurusan denganmu."

Sebab begini, perlahan demi perlahan Marigold bersahabat dengan Bibi Daphne, maka rencananya soal pencurian bukti kematian Rosemary akan berjalan baik. Itu lebih menguntungkan Marigold kendati akan terasa depresi jika harus berlakon jadi Rosemary. Lama kelamaan, Marigold bisa sembuh dari seluruh paranoianya. Tentu itu lebih baik ketimbang harus dimiliki Ortiz tanpa jaminan keselamatan, kejelasan, kewarasan, dan afeksi. Ortiz malah akan menambah beban dan penyakit Marigold.

Tapi perkataan itu malah membuat Ortiz menjadi agresif. Dari mulai insiden Ajax hingga Bibi Daphne, sudah tentu kalau Ortiz benci saat dirinya tidak dipilih oleh Marigold. dia ingin dipilih dan dipuja, dipilih oleh Marigold Anneliese yang membuatnya bisa memiliki dua gadis sekaligus.

Agresivitasnya benar-benar melonjak naik. Bagi Ortiz, Marigold Anneliese adalah miliknya, satu-satunya. Bahkan saat dia sendiri tahu kalau Bibi Daphne lebih layak karena Marigold adalah keponakannya, sementara Ortiz adalah orang asing bagi Marigold. Jadi, Ortiz mencengkeram kuat-kuat tangan kiri Marigold, menariknya kasar, dan menghempaskan daksa ringan Marigold pada sofa hitam itu. Marigold berteriak untuk mempertahankan diri, tetapi Ortiz cepat-cepat mengambil sapu tangan di saku kiri untuk dimasukkan ke dalam mulut perempuan tersebut. Pun, seperti biasa, borgol peliharaannya akan jadi bentuk blokade lainnya pada tangan-tangan Marigold.

"Aku berusaha memperlakukanmu baik-baik, tetapi kau menyia-nyiakannya."

Marigold kelewat tidak paham. Baik-baik apanya?

Tapi Marigold hanya bisa bungkam, atau bahkan mulai menangis ketakutan.

Ortiz Romano bergerak ke sana kemari, kelesah atas hal absurd. Dia marah atas basis tolol, padahal Marigold menyatakan pendapat yang menurutnya baik untuk Marigold. Ortiz begitu kompleks, hingga selanjutnya dia kembali ke hadapan Marigold, berjongkok kecil, sementara tangan dengan jemari-jemari kasar itu kembali mencengkeram rahang Marigold begitu kuat sampai dahi kenya itu mengkerut semakin gelisah.

"Pria asing itu, Bibi Daphne, orangtuamu sendiri, atau siapapun itu tidak bisa memilikimu. Hanya aku satu-satunya yang memilikimu, yang peduli dengan gadis menyedihkan sepertimu, yang ingin gadis tolol sepertimu hidup dengan nyaman, yang bisa membebaskanmu dari ketidakberuntunganmu. Hanya aku yang memilikimu." Lagi, "Lihat aku, hanya aku, Marigold Anneliese."

Tak setuju, tentu Marigold menggeleng kendati sulit sebab cengkeraman di rahangnya malah semakin menguat. Jadi, Marigold tidak dapat mengatasi apapun. Ingin menyergah pun terus gagal.

Ortiz pergi ke mejanya. Yang pasti, sekembalinya dia ke hadapan Marigold, dia membawa sigaret yang sudah tersulut, dua hingga tiga kali menyesap hingga gumpalan-gumpalan asap hadir di atmosfer, bahkan yang terakhir sengaja Ortiz kepulkan tepat di depan wajah Marigold. Ortiz berbicara, mengancam sederhana, "Hati-hati dengan apa yang kaukatakan, Marigold." Ortiz tersenyum, begitu manis seolah ingin menghipnotis Marigold, tapi tahu-tahu dia membuka sarung tangan Marigold dan menyundut bekas luka yang masih memerah dengan rokok, jelas membuat perempuan itu teriak dan menangis sengsara. "Pikirkan dan beri evaluasi atas perkataanmu di sini hingga aku kembali."

Marigold menggeleng bebas. Tidak mau.

Tetapi sejauh yang Marigold tahu, sadar, dan ingat selanjutnya, kontrol atas dirinya hilang. Ortiz Romano benar-benar membawanya ke dunianya yang sesungguhnya, yang jahat dan manipulatif.

Dan Marigold Anneliese benar-benar tidak akan pernah mampu sembuh.

rajam orang gila obsesif itu secepatnya!

Sampai jumpa di bagian selanjutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top