CHAPTER 11
Marigold akui, dia memang tidak perseptif. Bahkan agaknya realitas menariknya terus-menerus menuju kenyataan umum bahwa dia bodoh. Tampaknya Marigold mengalami banyak ketertinggalan, seperti tidak kompeten dalam menyelamatkan diri sendiri dari sirkumstansi yang sejujurnya dia tahu bahwa itu berbahaya. Tanpa perlu memproklamasikan warta semacam itu di depan publik pun semaja Marigold sudah cukup malu.
Keluarga Francise dan Ortiz memang saling bertolak belakang, memusuhi begitu kuat hingga bisa saja terjadi peperangan bisnis musim kesekian karena saking ambisiusnya kedua belah pihak. Namun, mereka punya satu ajun yang sama dalam melihat Marigold Anneliese dan Rosemary Cecilia.
Gila, ya? Marigold sungguh tersinggung.
Meski begitu setidaknya tidak semua orang begitu, misalnya Ajax Scheiffer. Ajax Scheiffer tahu Rosemary Cecilia, hanya sebatas tahu, bertemu pun sebenarnya tidak pernah. Faktanya Ajax sama sekali tidak peduli dengan kondisi semacam itu. Untuk ukuran pria yang sama sekali tidak menyukai Marigold, Ajax sudah nampak begitu tulus.
Maka benar, Marigold itu goblok, tolol, bodoh, dan sebagainya.
Melihat protasis fakta-fakta tersebut, setelah dijabarkan begitu spesifik meski ringkas, Marigold tahu konklusinya. Pertama, Marigold hanya perlu fokus pada Ajax, membalas sesuai apa yang Ajax lakukan padanya. Kedua, Ajax memang tidak punya kekuatan untuk melindunginya, tetapi Marigold tahu bahwa Ajax selalu eksis setiap Marigold membutuhkannya, siap datang bahkan saat Marigold sendiri tidak meminta. Ketiga, persetan dengan Ortiz Romano, Ajax tidak dapat menyembuhkannya dalam konteks luas dan cepat, tetapi setidaknya dia memberikan ketenangan dan kewarasan, dan bisa saja ujungnya itu dapat menyembuhkan Marigold.
Keputusan yang tepat, bukan?
Saat ini, Marigold berada di rumah Ajax. Sehabis insiden dibuntuti monster buruk hati, Marigold cepat-cepat pergi di saat pria itu kesakitan. Marigold tidak tahu Ortiz tahu kediaman Ajax atau tidak, tapi dia berharap jika dia aman. Ortiz sempat menelepon sekali, tetapi Marigold buru-buru memblokir dan menghapus kontaknya demi kesejahteraan mentalnya. Kemudian, tahu-tahu Marigold tertidur dan terbangun sekitar seperempat jam lalu sebab hajat kecil, persis di dini hari. Melupakan kemalangan, dia keluar kamar untuk mencari Ajax.
Ajax Scheiffer di luar, tergeletak tolol di atas marmer dingin. Seorang aneh yang dengan lucunya memindahkan Marigold dari sofa ke atas tilam yang nyaman, tetapi pria itu malah berakhir tidur di lantai. Alasannya simpel: medikamen ilegal dan jelas mengantuk parah. Ajax agaknya ingin menutupi jejak kriminalnya dari Marigold. Namun, lucu sekali sebab orang itu malah asal menyembunyikan obat-obatan di titik sempit bawah sofa. Sungguh waras. Setidaknya Ruho tidak berbohong saat dia mengatakan bahwa Ajax memiliki habit semacam ini.
Kalau dilihat dari sisi fisik, kemungkinan besar Ajax memakainya baru-baru ini. Baru sekali. Berbeda dengan salah satu teman satu major yang memang sudah dikenal sebagai pengguna gilaㅡdia sedang direhabilitasi karena daksanya mungkin sudah tidak toleran lagi, terlampau menyakiti. Orang itu betul-betul seperti mayat hidup dalam serial-serial film zombie. Sementara Ajax tidak, masih nampak normal-normal saja.
Marigold duduk di samping tubuh Ajax. Intensi hati ingin Ajax pindah, tetapi dia tidak bisa membawa badan bedegap Ajaxㅡjangankan badan, lengan bertato itu pun sangat berat. Pun, sebenarnya dia tidak tega membangunkannya. Meski apa daya hati mesti memilih salah satunya. Marmer bawah begitu dingin kendati sudah mengatur penghangat ruangan. Juga, satu hal, Marigold ingin Ajax disampingnya saat dia melanjutkan tidur nanti.
Hanya saja, lucunya, sekali Marigold sengaja menyentuh lengan atas Ajax, pria itu tahu-tahu bangun seperti orang habis tercebur; dia panik dengan napas tersenggal-senggal. Marigold sedikit ikut terkejut, tetapi dia berakhir terkekeh. "Ajax, ini aku, ini aku, Marigold, bukan hantu!"
Ajax hanya diam. Pria itu masih sibuk meregulasi otak sembari mengeluarkan vokal-vokal panik. Setidaknya menunjukkan telatah itu selama sepuluh detik sebelum akhirnya pupilnya mutlak membidik visual Marigold. Bukannya ikut tertawa sebab merasa konyol, Ajax membuat Marigold mengekpresikan senyum biram sebab vokal manisnya. "Marigold?"
"Iya, ini aku."
Ajax menguar napas, lega. "Kau terganggu karena aku, ya?"
"Eh?"
Harusnya Marigold yang bertanya demikian.
Ajax memberi afirmasi, "Terganggu."
"Tidak, kok. Tadi aku ada hajat kecil, lalu melihatmu tertidur di sini."
Sontak terbangun, Ajax murni memutus tidurnya, mungkin untuk sementara waktu. Dia melirik Marigold yang pura-pura baru melihat eksistensi obat-obatan tadi, mengambilnya, hingga memberi ekspresi penuh kuriositas tertuju pada pria itu. Ajax terbilang santai, tidak ada stagnansi tingkah sama sekali. Bahkan dia mulai menuturkan diktum yang sungguh Marigold Anneliese harapkan. "Nanti kujelaskan, ya, Elle."
Marigold bergeming selama beberapa sekon, kendati setelahnya mengubah impresi hingga memamerkan senyuman tanda puas. Senang sekali sebab Ajax berusaha terbuka padanyaㅡberbeda dengan Marigold yang menutup polemiknya sendiri dan perselingkuhannya. Nyaris salah sangka sebab Marigold kira Ajax akan rapat-rapat menyembunyikannya.
Selayang pandang Ajax mengacak-acak surai begitu apik. Lantas, dia mulai membuka kausnya. Rupanya dia kepanasan, menjelaskan secara ringkas tentang mengapa dia telentang di atas marmer dingin, sebab kemungkinan dia kegerahan atau apapun itu sinonimnya. Tapi, sial, Ajax Scheiffer seksi sekali.
"Mau mengobrol di mana?"
"Di kamar saja."
Marigold beringsut bangun hendak mengkampanyekan gerakan kemandirian, tetapi tahu-tahu tubuhnya melayang sebab pemilik lengan bertato itu. Seolah vitalitas menurun, Marigold terkekeh dengan jantung memulai dentuman nyentrik.
"Kenapa terkejut, Elle?" Ajax pula terkekeh.
Marigold menggeleng, terkekeh. "Mungkin aku tidak fokus."
"Sudah lama tidak begini," sahut Ajax dengan konteks lain.
Perempuan itu berdeham, mengatup bibir menyetujui secara ringkas. Ajax Scheiffer terlampau sibuk dengan dunianya sendiri meski semaja dia bisa memberi waktu pada Marigold jika Marigold meminta. Sementara Marigold terlampau terlena dengan kubangan setan durjana yang membuatnya lupa akan prioritas dan kenyamanan yang dia dambakan.
"Aku berencana menginap di sini jika diperbolehkan. Lama. Setiap hari."
Murni setelah Marigold selesai dengan pernyataan itu, tubuhnya pula sudah jatuh ke atas tempat tidur.
Ajax membalas sambil menyalakan rokok. "Boleh. Sangat boleh. Aku sangat mengerti alasan di balik itu." Bibi Daphne. "Tapi maaf jika aku dan rumah ini gagal melindungi."
Marigold menatap Ajax, berbinar bangga akan jawaban singkat yang entah kenapa efektif sekali membuatnya tersentil.
"Tidak apa-apa. Itu sudah cukup."
Memberi jeda sejemang, Marigold menekuk lutut dengan tubuh menghadap samping Ajax. Jari-jari kecil meraih satu tangan Ajax yang memegang sigaret. Tanpa permisi, dia mencuri satu sesapan sigaret dari sana. Sebab jangan aneh, itu sudah biasa. Marigold tidak benar-benar mengonsumsi sigaret. Dia begitu hanya sekali atau dua kali, itu pun mencuri sesapan dari sigaretnya Ajax.
"Jadi, ada apa dengan narkoba?"
"Aku hilang akal atas dua hal."
"Pertama?"
Ajax berekspresi ambigu. "Keluarga."
Satu hal yang Marigold ketahui, Ajax memang punya konflik tertentu dengan keluarga, persisnya soal orangtuanya saja. Ada alasan tentang kenapa Ajax memilih tinggal sendirian di rumah bekas kakeknya yang memang menjadi milik Ajax sepenuhnya. Dia memiliki ayah brengsek yang kegilaannya sulit ditolerir lagi.
"Ada hal yang belum kuketahui?"
"Pertama, aku menerima keputusan apapun yang akan kamu lakukan saat mengetahui jawaban dari pertanyaan itu. Aku membuka banyak hal, terbuka kepadamu sebab kamu satu-satunya orang yang kupercayai, dan ... aku merasa lebih tenang jika tidak menyimpan sendirian, walau rasanya sangat egois." Ajax menjeda, melihat pergerakan Marigold yang berubah menjadi lebih serius. Kaki-kakinya menekuk seperti anak kecil tengah mendengarkan dongeng dengan netra fokus membidik objek di depan. "Lanjut?"
Marigold Anneliese mengangguk begitu tenang. Setuju.
"Saat itu ayahku kritis," balasnya.
Wanodya itu mengernyit, membalas cepat, "Kenapa?"
Tanpa memberikan jawaban jelas, Ajax hanya memberikan suar yang sebetulnya sudah cukup menjelaskan alasan. Tangannya mengepal begitu kuat hingga impresi keji benar-benar terasa nyata, menggempur jiwa begitu kuat. Sekali Marigold meminta validasi dengan alis terangkat simpel, Ajax berdeham dengan anggukkan nyata seraya menguarkan kepulan asap sigaret. Katanya, "I did it."
Dia memukuli ayahnya.
"Apa lagi yang dia lakukan kepada ibumu?"
"Sebenarnya ibu sudah meninggal beberapa minggu sebelum kau datang kembali. Karena ayah dan selingkuhannya." Maka saat itu, Marigold tahu kalau dia jahat pada Ajax atas banyak hal, salah satunya adalah karena ini. Marigold menyelingkuhi pria ini!
Marigold meraih sigaret Ajax, tidak lagi untuk disesap olehnya, tapi untuk dia simpan di asbak di nakas. Arkian, dia memandang pria itu begitu tulus, seolah kepenatan dan beban yang Marigold punya sendiri hilang begitu saja. Fokusnya benar-benar didedikasikan untuk pria itu. Terlalu banyak hal dan waktu yang biasanya pria itu berikan pada Marigold, dan Marigold ingin membalasnya. Ini bukan masalah afiliasi mutualisme, tetapi begitulah esensi pertemanan keduanya yang sebenarnya bisa lebih dari sekadar status karib atau bahkan pasangan sendiri. "Ajax, ini belum lama, belum terlambat. Aku memahami kondisinya, sama seperti yang sering kau rasakan atas polemik yang aku punya meski berbeda konteks. Tapi aku tahu, kamu tahu, narkoba bukan pilihan yang baik. Ibumu juga tidak akan suka juga."
"Aku tahu," balasnya singkat, merasa bingung pula.
"Aku bisa menggantikan posisi itu, Ajax. I can be your medicine."
Sebab itu lebih-lebih baik ketimbang menggantikan posisi Rosemary Cecilia.
"You have your own life, Elle. Tidak perlu memikirkanㅡ"
Marigold menyela tiba-tiba. "Kau adalah Ajax Scheiffer. Sejauh yang kurasakan, kau adalah hidupku."
"Aku ingin mencegah lebih banyak tekanan. Tapi apa bisa?"
Marigold mengangguk, "Bisa. Aku yakin. Berapa banyak kau mengonsumsinya?"
"Sedikit, setiap pakai," katanya.
Pada intinya, Marigold akan membantu sebisanya. Ajax Scheiffer hanya memerlukan pendamping dan pelindung dalam hal tersebut. Dia belum sepenuhnya mendapatkan perasaan candu. Terapi dan detoksifikasi tak masif memang diperlukan, tetapi upaya Marigold untuk tetap membuat Ajax waras adalah esensi utamanya. Ajax memerlukan banyak pengalihan, penjagaan, dan pemantauan.
Contohnya Rosemary Cecilia. Marigold banyak berbohong, tapi kini dia punya kebenaran. Jangan berpikir dia adalah perempuan bersih nan suci yang tidak pernah menceburkan diri pada kehidupan ilegal. Di balik wajah polos dan sikap anggunnya, dia punya sisi buruk yang lebih goblok daripada perilaku Marigold sendiri. Beberapa bulan sebelum meninggal, sesungguhnya Rosemary Cecilia diketahui telah menggunakan rokok elektronik dan juga narkoba, entah dari mana dia mendapatkan itu.
"Kau harus yakin bahwa kau bisa melewatinya." Marigold meminta.
Ajax berdeham. "Hm. Tegur aku jika aku kalap."
"I will," katanya, menjeda, "lalu alasan kedua?"
"Alasan apa?"
Marigold tertawa kecil sejemang. Agaknya Ajax lupa dengan preambulnya sendiri. Maka yang dilakukan perempuan tersebut hanyalah mencoba merepetisi kalimat Ajax seperti di awal tadi. "Aku hilang akal atas dua hal. Begitu katamu."
"Nanti saja."
Marigold sontak memcebik. "Ah, tidak asyik."
Baris-baris konversasi itu sontak membawa keduanya berpindah pada segmen baru. Ajax terkekeh saat Marigold mencebik jengkel sebab sudah terlampau penasaran dengan pancingan pria itu di awal konversasi tadi. Beruntung perasaan itu mereda tatkala Ajax mengubah posisi diri untuk jadi setengah berbaring, lanjut membawa Marigold mengekorinya. Pria itu segera merengkuh Marigold.
"Scheiffer."
Ajax membalas hanya dengan dehaman.
"Sekitar dua bulan lagi aku harus jadi Rosemary, danㅡ"
Pria itu menginterupsi, "Orang-orang harusnya tidak mudah percaya."
Marigold yang tidak paham hanya menggeleng lugu. Sesungguhnya, dia juga tidak memahami alur cerita yang dibuatkan khusus oleh keluarganya sendiri. Memang, dari sisi manapun, pilihan tersebut memang dekat dan cocok dengan istilah goblok. Tetapi Marigold tetap membalas sesuai yang dia ketahui. "Rosemary tidak meninggal. Itu yang akan disimpulkan oleh keluarga nanti. Agak tolol jika harus mengatakan bahwa Rosemary bersembunyi dari publik atas alasan kesehatan mental, tetapi katanya itu rencananya. Marigold, dalam kurang dari tiga bulan lagi, sebentar lagi akan dinyatakan meninggal. Sehingga anak-anak Saint Hallway, siapapun yang mengenali aku tidak akan curiga. Lantas aku akan keluar sebagai Rosemary, sebagai orang yang lumpuh dan tidak bisa mendengar."
Tolol sekali. Memang. Namun, apa boleh buat?
Marigold adalah boneka milih Francise, bukan anak.
"Aku ingin melarikan diri, Ajax," tambah Marigold. Malang.
"Aku punya ide," sahut Ajax. Dia terlihat semangat.
Marigold Anneliese bangkit sedikit. Dia fokus sepenuhnya pada Ajax.
Kemudian, Ajax menjelaskannya. "Jika kau memiliki bukti atas kematian Rosemary Cecilia, dokumen atau apapun, rencana itu bisa dibatalkan. Aku yakin, rencana Francise yang kau katakan tadi pun cukup goblok untuk meyakinkan bukti kematian Rosemary dan menjadikan itu sebagai kekuatanmu."
Sontak seulas lengkungan terpatri di bibir. Lagipula apa yang diharapkan dari sosok Marigold? Dia lebih banyak menguar pemikiran negatif dan sikap pesimis sebab dia merasa kalah telak. Orang-orang mendoktrinnya demikian.
"Semua itu ada di rumah utama, tapi aku tidak tahu apakah itu di Kanada atau Massachusetts. Tapi karena Rosemary meninggal di sini, mungkin dokumennya di sini."
"Banyak penjaga, ya?"
Marigold mengangguk.
Banyak sekali, barangkali setara dengan istana presiden.
"Mau tidak mau harus ikut makan malam," katanya agak ragu. "Jangan terlalu menonjol. Seperti biasanya saja. Mereka mungkin akan curiga saat kamu tiba-tiba ingin datang ke sana setelah desersi."
"Aku bodoh karena tidak terpikirkan itu."
Dasar Ortiz Romano Goblok Tolol.
Kenapa harus memberontak secara keras jika ada jalan yang lebih halus? Ide Ajax lebih waras ketimbang ide dari edukator profesional yang nyatanya lebih memilih untuk kabur terang-terangan. Lebih gobloknya, Marigold menerima saja.
"Menapakkan kaki di sana saja sebenarnya sungguh membuat tertekan. Kemungkinan besar niatku tidak akan tertebak. Tentu, aku akan bersikap seperti biasanya." Terlebih Bibi Daphne itu pengamat handal. "Kau jenius, Ajax!"
"Apapun untuk My Sweet Elle," katanya, tersenyum begitu manis. "Hanya itu yang bisa kupikirkan."
"Idemu sangat berharga."
Coba bayangkan saat publik melihat bukti kematian Rosemary Cecilia. Jelas, Marigold Anneliese akan menang. Legitimasi kematian Rosemary di luar kendali keluarga Francise. Mereka sangat tidak akan bisa melawan hukum dan fakta semacam itu. Jadi, jika itu berhasil, maka Marigold Anneliese tidak perlu susah payah hidup menggantikan Rosemary Cecilia. Toh, masalah Marigold hanya satu. Tak apa jika dia mesti mengurusi bisnis yang tidak dia sukai, asalkan tanpa harus menjadi Rosemary.
"Kau akan melakukan sugesti itu?" tanya Ajax.
Marigold mengiyakan.
"Tidak masalah?"
"Seperti yang kukatakan, tertekan. Tetapi tidak apa-apa. Selagi setelahnya aku bisa bersamamu." Sebab Ajax membuatnya merasa aman, jauh dari rasa terancam. "You do so well to protect me, My Sweet Jack."
Sungguh, keberuntungan mutlak. Semoga.
Perlahan, sebab rasa snang, Marigold kembali ke posisi semula di mana dia bebas merengkuhi Ajax dari samping dan mendapatkan bahasa fisik yang serupa pula. Dia memejam, bukan sebab mengantuk, tetapi berangan-angan andaikan ide tersebut menghasilkan hasil positif yang maksimal. Marigold bebas, begitu imajinasinya.
Kendati dalam selebrasi awal itu tahu-tahu Ajax menginterupsi hingga netra Marigold membuka kembali. "Aku tidak ingin kehilangan Marigold Anneliese."
"Aku menyayangi Ajax Scheiffer. Aku juga tidak mau hilang dari perhatianmu."
"Menyayangi?"
Marigold berdeham.
Tiba-tiba Ajax terkekeh. "Aku hilang akal atas dua hal." Dia bergumam demikian, secara otomatis membuat kuriositas Marigold kembali merangkak naik. "Menyayangi adalah terma yang sangat general. Aku begitu juga kepadamu, menyayangi juga. Namun, mau tahu sesuatu?"
"Apa? Itu berkaitan dengan hilang akal atas dua hal? Satu hal lainnya?"
Ajax berdeham, "Ya, berelasi begitu kuat."
"Apa?"
"Lebih spesifik." Ajax balas ringkas terlebih dahulu. Dia justru memainkan rambut emas Marigold sejenak dan lanjut mengecup pipinya sekali hingga perempuan itu tergelitik. "Aku tahu jika aku tidak layak begini kepadamu, tetapi entah kenapa ini menjadi krisis yang begitu besar. Aku tidak mau kehilanganmu bukan karena krisis ini, melainkan karena kamu Marigold Anneliese, tapiㅡ"
Marigold menginterupsi sejenak. Tertawa lucu. "Ada apa, Ajax?"
"Bohong jika aku bilang aku tidak mencintaimu."
MARIGOLD GOBLOK.
Lihat seberapa tololnya perempuan ini? Marigold tidak pernah menebak hal ini karena Ajax memang nyatanya tidak pernah berbohong. Jika pernah pun hanya sebab hal-hal kecil yang sesungguhnya tidak krusial. Namun, harusnya dia menyadari kalau dirinya yang sungguh goblok ini sudah disediakan kawan paling loyal dan baik yang sangat-sangat peduli dan sayang pada Marigold.
Ada Ajax Scheiffer di depannya. Bahkan sebelum Ortiz Romano datang.
Astaga.
Goblok. Goblok. Goblok.
"Sejak kapan?"
"Sebelum kita menjadi kekasih. Tapi, ahㅡ abaikan saja." Ajax berbaring telentang dan memutuskan segala kontak.
Marigold bangun sbentar. Lantas, satu tangan menumpu daksa, sementara yang lain membelai pelipis atau pipi pria tersebut. Marigold membuat senyum manis seolah kedapatan gelato favoritnya. "Krisis apa, My Sweet Jack?"
Ajax malah terkekeh kecil. "I feel so insecure. Terlebih kau sudah mendapatkan fakta sensasional kalau Ajax Scheiffer ini nyaris membunuh ayah sendiri dan melukai diri sendiri dengan narkoba," katanya, begitu tolol hingga Marigold membalas laiknya tengah berada dalam arena perdebatan. Ajax menambahkan, "Belum lagi latar belakang keluarga kita berbeda."
"Kau pikir aku sempurna? Aku cacat."
Seolah memainkan drama, posisi daksa kembali bertukar. Ajax berada di atas Marigold, tubuhnya ditumpu tangan kekarnya. Begitu dramatis.
"Love is a torment of the mind."
Marigold tersenyum. "I know, a tempest everlasting," katanya, "Ajax Scheiffer as Samuel Daniel?" Sebab faktanya Ajax Scheiffer mengutip puisi dari Samuel Daniel, Love Is A Sickness. Ajax yang memiliki impresi menyeramkan mampu mengimplementasikan esensi sastra demi perasaan dan hasrat semacam itu. Kendati Love Is A Sickness terkesan kejam dan nampak seolah pesimis. Tapi, memang itulah inti sari dari krisis yang dipegang Ajax. "Itu mengapa kau jujur, bukan?"
"Ya. Bukan ingin memilikimu. Tapi ketenangan hati. Walau pertemanan sebelum kita mengubah status juga sudah sangat cukup, rasanya seperti ada hajat yang tidak terpenuhi jika aku tidak bilang."
"So cute." Marigold mencolek hidung mancung Ajax.
"Tapi kau harus tahu, aku membantu atau melindungimu bukan sebab alasan itu. Kita berteman lama, Elle." Begitu katanya, lagi-lagi seraya membelai. Perbedaannya, kini Marigold balas demikian. Tangannya tidak tergantung diam di sisi-sisi daksa, tetapi ikut menyambung fragmen agar lebih dalam. Sama-sama memberikan kelembutan.
"Iya, aku tahu. Ajax Scheiffer adalah pria tulus."
Ajax tertawa kecil. "Maaf jika mengejutkanmu."
"More we enjoy it, more it dies. Tapi aku justru bersemangat, ingin mengisi kekosongan hati untuk menyamaratakan perasaan, meski benar kalau aku terkejut." Lagi-lagi Marigold membawa Love Is A Sickness kendati di akhir dia memberi sanggahan, memberi pandangan yang berbeda
"Artinya?"
Sebab Marigold pikir ini adalah warta yang bagus, Marigold menanggapinya dengan cara yang paling positif. Benar, dia menyayangi Ajax, tetapi belum seperti Ajax kepadanya. Tetapi dia tahu, proses untuk menyamaratakan kondisi akan terasa singkat sebab Marigold hanya perlu lebih banyak membiasakan diri dengan afeksi Ajax yang merujuk pada cinta tersebut. Lambat laun itu akan terjadi pula. "Kita bisa menjadi pasangan yang sesungguhnya," katanya. "Hanya sedikit saja untuk mencapai finalㅡsama-sama mencintai kamu. Bisa lakukan itu untukku?"
"Bisa. Tapi tenang saja, aku tidak memaksa."
Marigold yang penuh keyakinan mengangguk, "Kau tidak pernah memaksaku."
Sejauh yang Marigold rasakan, dia mulai tenggelam pada ketulusan yang nyata. Mereka memulai cumbuan sebelum tidur, seperti biasanya. Namun, tidak lama kemudian, itu berhenti. Ajax Scheiffer menjauh sekejap untuk menutup jendela, menutup tirai, menyelimuti, dan kembali pada gadisnya.
Marigold mulai bergumam, "A heavenly paradise is that place. You, My Sweet Jack."
Marigold terlalu lama tersesat.
bisa dibilang hatinya marigold dicuri sama ortiz sepenuhnya. tapi apa iya marigold cinta ortiz dg tulus????
gimana ya ... doktrin itu kuat.
Sampai jumpa di bagian selanjutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top