CHAPTER 10

Dungeon Bar bukan sekedar bangunan yang berfungsi untuk menampung perkumpulan manusia-manusia tidak bermodal yang menginginkan kesenangan. Kaum elit atau level insan borjuis juga banyak yang mengunjungi tempat ini, seolah Dungeon Bar lebih baik atau menyenangkan ketimbang bar eminen atau kasino elit. Kadangkala Marigold berpikir bahwa keluarganya yang suci-suci itu pernah datang ke sini untuk memata-matai Marigold. Siapapun bisa ke sini, bersembunyi di sisi manapun untuk memata-matai atau hanya sekedar tujuan kesenangan pribadi. Misalnya, Alaska Haze yang sok lugu saja terkadang dimata-matai orang suruhan Sir Jamie Hayes, apalagi Marigold yang punya banyak masalah dengan banyak orang. Isi Dungeon Bar kadangkala mencurigakan.

Mungkin itu alasan paling normal tentang mengapa seorang Marigold Anneliese selalu merasa paranoid. Siapa yang tahu jika diantara orang-orang berpenampilan kelas atas itu rupanya merupakan salah satu keluarga jauh Marigold atau orang asing bayaran yang tengah memata-matai.

Untuk beberapa waktu, acapkali Marigold tidak mampu mengoperasikan regulasi otak atau tubuhnya sendiri. Stagnan, eror, atau parahnya seperti tengah ketindihan. Ketakutan berlebihan sebab memang kebebasan miliknya benar-benar hilang. Sebab jangankan di Dungeon Bar, berendam di kamar mandi dengan kelopak sendiri menutup saja seolah tengah diawasiㅡoleh pikirannya sendiri yang tahu-tahu merepresentasikan keluarga Francise, terutama Bibi Daphne. Seratus persen membuat sinting otak.

Marigold menepati diktumnya pada Ajax Scheiffer untuk mendatangi Dungeon Bar, lantas lanjut bermalam di apartemen pria bertato yang kini dijuluki Kekasih Perempuan Kontroversial itu. Dia datang lebih awal saat pengunjung masih sangat sedikit, seolah berkamuflase menjadi karyawan teladan. Alasan klasiknya sebab dia takut berlama-lama di apartemen, di mana mungkin saja Bibi Daphne dan orang-orang suruhan layaknya anjing itu akan menculik Marigold kapanpun. Tapi niat kalbu hendak relaks, Marigold tetap paranoid dengan pikiran buruk soal keluarganya.

Lantas ... apakah ada yang terlewat?

Benar, ada. Marigold melarikan diri dari seorang invader banyak tingkah itu sehingga dia bisa masuk ke Dungeon Bar dan terduduk di sanaㅡmeski lagi-lagi terasa paranoid. Ortiz agaknya tengah lengah atau terlampau percaya jika Marigold sepasrah itu. Dia bahkan tidak mengunci ruangan kantornya sampai Marigold mampu kabur secara estetik.

Sudah cukup Marigold penuh beban sebab keluarganya, Ortiz malah menambah-nambah ukuran kargo bebannya. Hah, bantu menyembuhkan apanya. Anjing sekali.

Anggap saja kalau Ortiz Romano bukan objek krusial saat ini.

Marigold ingin tenang.

"Jujur padaku, hubunganmu dengan Ajax pasti sudah lama."

"Menurutmu?"

Alaska mengedikkan bahu.

Memang, Alaska Haze datang secara sukarela demi menemani Marigold untuk sementara waktu sampai Ajax datang. Kedua karib lainnya tidak dapat datang sebab mereka satu nasib dengan Ajax yang tengah terdampar di kelas pengganti. Toh, Alaska juga sedang menempuh masa sensitif sehingga dia rela-rela saja datang ke sini.

"Sebelum mengambil cuti." Dia balas tersenyum, barangkali mengingat-ingat. Sebab jujur saja, topik perkara Ajax Scheiffer perlahan membuat Marigold kehilangan rasa paranoid, dalam artian Ajax adalah penyelamat meski figur fisiknya belum eksis.

Tersentak kaget kendati Alaska sudah menebak-nebak, kepala yang sedetik menunduk menatapi permukaan limun direk menatap Marigold lagi. "Mengejutkan, tapi harus kuakui jika itu wajar-wajar saja," responnya. "Pantas saja dia menahan agresi saat Ruho kembali kepanasan."

"Kupikir Ruho bercanda."

Alaska tergelak puas, membuat Marigold bingung hingga nampak tolol maksimum. Perempuan itu bergerak beberapa inci ke samping, lantas duduk sedikit miring ke arah Marigold, menandakan bahwa akan ada obrolan sedikit serius dari Kucing Hayes itu. "Ruho itu banyak menipu. Dia bilang jika dia menyukai Ajax seadaanya, nampak main-main, tidak serius, hanya candaan. Sejujurnya dia obsesif. Tahun saat kau pergi, dia ingin merebut posisimu kendati dia tidak menyatakan intensinya secara eksplisit, tapi aku dan Esme paham bahasa tubuhnya."

Ah, normal.

Bukan hanya keluarganya, Ortiz, atau dirinya sendiri yang handal berbohong, menipu, atau memakai topeng yang berbeda-beda, beberapa orang sekelilingnya pun sama. Tidak paham, sih. Sepertinya, Marigold lahir ke bumi saja sudah menjadi kesalahan hingga takdir dan lingkungannya begitu tidak sehat. Cerita hidup Marigold Anneliese agaknya tetap akan mencakup kekotoran duniawi.

"Dan Ajax?"

"Beruntung kau punya dia. Dia berandalan, tapi keloyalannya nomor satu."

Marigold meloloskan senyum bangga dan bahagianya kendati dia tersinggung. Belum mau membalas dengan lisan sebab Alaska masih memberi suar untuk melanjutkan diktumnya sendiri.

Alaska meneguk likuid limun lagi, menarik napas, dan kembali bicara, "Ruho punya kekasih, tetapi siapa yang tahu soal isi hati, bukan? Trust no one, Ruho, Esme, atau aku sekali pun."

Marigold pula tidak benar-benar memercayai Alaska. Orangtuanya saja bisa dibohongi berkali-kali, apalagi kawan nyentrik seperti Marigold. Alaska sudah sangat benar dengan diktum ajaibnya untuk jangan memercayai siapapun.

"Dunia banyak iblis. Jangankan kalian, aku bahkan tidak memercayai diri sendiri."

"Sudah biasa," sahut Alaska, sungguh memahami.

"Tapi kupastikan kalau Ruho akan tahu rivalnya jika hal itu terjadiㅡRuho mengambil Ajax."

Alaska menguar relaks dengan tawa. Paham sekali.

"Tidak mau merendahkan, tapi kau nampak fragil sekarang. Rival yang sebelumnya segan kepadamu mungkin akan mulai berubah pikiran."

Alaska yang selalu nampak konyol dan tak pedulian ini memerhatikan Marigold, atau mungkin dia memang tipikal pemerhati siapapun. Insiden jeda kuliah seolah menjadi tragedi besar yang membuat sosok Marigold Anneliese berubah drastis. Katakanlah dia masih berlakon biasa seperti gadis penyuka kontroversi dengan tampilan semakin eksentrik hingga orang bisa menjadi segan dan lenggana mencari problematika dengan Marigold. Sayang sekali sisi penampilan tidak benar-benar dapat memberikan impresi sesuai. Kalau boleh bicara, Marigold lemah, nelangsa, malang, apalagi jika kenya itu mulai melamun aneh.

"Setidaknya ada Ajax."

Alaska mengangguk. "Aku percaya kalau Ajax bisa diandalkan."

Sangat bisa diandalkan, jika boleh diperjelas dan diberi penekanan.

"Salut rasanya jika dia tidak menceritakan pasal Ruho kepadamu. Kalau bukan teman dekat, aku akan bilang kalau caranya mendekatinya itu begitu menjijikan. Scheiffer, astaga, kasian."

"Uh ... bayangkan jika Ruho punya mata-mata." Marigold menjahili.

"Apa wajahku terlihat peduli?"

Berdasarkan hasil observasi, hipotesis terbaik soal ketidakpedulian Alaska pada Ruho memang didasari beberapa hal. Di depan, memang berteman seperti pasangan sehati, tetapi di belakang begitu toksikㅡbukan hal yang aneh, sebab di antara keempatnya sudah terlalu sering diaplikasikan. Mungkin salah satunya, Alaska bisa nampak agak, cukup, atau sangat muak pada Ruho karena candaan Ruho soal relasi Alaska dengan dosen arsitektur itu pernah sangat membahayakan posisi Alaska. Contohnya seperti gosip terdahulu soal isu pregnansi Alaska, biangnya memang bukan Ruho, tetapi Ruho yang memanasi di belakang. Siapa yang tidak kesal?

Marigold berhenti dengan tawa jahilnya. "Ajax itu ignoran, tidak peduli, mudah melupakan hal tidak penting, atau, um ... menjaga perasaanku soal hubungan dan pertemanan sekaligus?" Sungguh sempurna.

Alaska berdeham. "Tidak terpikirkan. Aku akui, Ajax ideal menjadi kekasih."

"Dasar." Marigold terkekeh. "Ngomong-ngomong, Ruho dan Esme akan menyusul ke sini tidak?"

"Ruho, sudah pasti. Kalau Esme, tidak bisa ditebak," balasnya.

"Dan kau akan langsung pulang jika Ajax datang?"

Alaska mengangguk. "Em, harus segera menyelesaikan masalah dengan pria itu."

"Jika memang darurat, kau boleh pergi sekarang. Ajax sepertinya akan datang sebentar lagi."

"Tidak masalah?"

"Yah, daripada Tuan Jamie Hayes itu semakin banyak tingkahnya," rapal Marigold, mutlak disahuti kekehan Alaska.

Alaska berdiri dengan segenap hati beserta gelak tawa yang telak memaknai banyak hal. Bagi Marigold, permasalahan Alaska tak ada bedanya dengan Marigold bersama Ortizㅡmeski lebih rumit cerita milik Marigold. Dari kisahnya, walaupun memiliki karakteristik yang jauh lembut, adakalanya person seperti Jamie Hayes juga bisa sangat temperamental, emosional, atau nyentrik. Marigold memahami betul situasi yang Alaska hadapi atau gangguan yang terlampau merecoki ketenangannya. Ekspektasi merekaㅡOrtiz dan Jamieㅡadalanya terlalu tinggi, padahal sebenarnya itu keinginan mereka sendiri untuk berhubungan dengan perempuan-perempuan yang lebih muda umurnya.

"Aku duluan, Marie. Jika ada pemabuk tolol yang menganggu, nyalakan korek dan sundut zakarnya." Maka begitulah sikap gadis yang tengah memiliki polemik dengan pria, kekejaman meradang seperti pembunuh serial.

"Tenang, itu mudah."

Lantas, Marigold lebih banyak berkontemplasi mandiri dengan isi pikirannya yang repetitif. Kalau bukan keluarga, pasti soal Ortiz Romano. Inti polemik hanya berkitar pada dua topik iblis itu. Kalaupun imajinasi soal Ajax hadir, pasti akhirnya dia akan kalah dengan otoritas para setan-setan jahanam itu.

Alhasil rentetan hela napas menguar kasar. Belum ada banyak orang di sini, sehingga orang akan dengan mudahnya membidik Marigold sebagai objek. Kata orang, perempuan yang tengah bersedih atau banyak problematika lebih rentan di ganggu di kelab-kelab. Meski mayoritas penghuni Dungeon Bar segan pada Marigold, tetap ada orang-orang baru yang mungkin akan dengan mudahnya memamerkan otak kering kerontang tanpa hidayah mereka yang mutlak mendefinisikan diksi tolol itu sendiri. Marigold terganggu bukan main.

Marigold berpindah posisi mendekati penjaga bar. Marigold kenal meski lucunya tak tahu namanya, intinya dia penjaga penuh sopan santun. Tentu tidak begitu akrab sebab Marigold bukan tipe orang yang ingin akrab dengan banyak orang, tetapi setidaknya ini lebih baik ketimbang duduk berkontemplasi sendirian.

Sumpah, dia berpikir jika dia sedang tidak dalam kondisi aman.

Sial sekali, Ajax lama sekali.

Dan lebih sialnya lagi, perasaan itu bukan hanyak sekadar perasaan.

Ketika Marigold nyaris ingin meminum wiskinya, dia diinterupsi oleh orang. Bukan Ortiz atau Bibi Daphne, tapi orang-orang suruhan di antara mereka. Mereka bahkan menarik tangan Marigold kasar-kasar, membawanya ke depan gedung pada sebuah mobil yang sangat Marigold kenali. Jelas, ini menjelaskan kenapa Marigold begitu ketakutan. Selama dia di Dungeon Bar, Marigold selalu aman, bahkan jika dia hanya sendirian sekalipun.

Sialan.

"Kau sungguh tidak paham makna dari melarikan diri?"

Memang seperti inilah sisi negatif menerima presensi Ortiz Romano. Ujung-ujungnya Marigold Anneliese akan menjadi pusat atensi meski perempuan itu sedang tidak mau berada dalam satu atmosfer. Ortiz Romano ingin mengontrolnya.

Marigold terkekeh ironis. "Waras?"

Ortiz terlalu banyak menginvestasikan racun dan kemarahan. Tahu sendiri Marigold Anneliese bukan orang yang mampu menunjukkan kebijaksaan. Dia labil, munafik, dan terlalu mudah goyah. Marigold sudah totalitas berlakon seolah dia pasrah dan akan menurut pada keinginan Ortiz, sayangnya kalbu tidak demikian.

"Tidak boleh menolak." Begitu katanya.

Toksik.

"Oh, begitu, ya." Marigold melirik jendela sejemang, nampak abai kendati tidak. Sementara Ortiz murni terdiam, sibuk mengendarai Royce hitam ini, tanpa mau memberi afirmasi yang lebih waras ketimbang diktum sebelumnya. "Tentu, aku ini apa? Anak anjing? Boneka? Pergerakannya sangat terbatas, mudah dipermainkan, mesti menurut, dan sebagainya. Sangat berbeda dengan Rosemary Cecilia yang diberikan perlakuan yang begitu manusiawi. Sangat kontras."

Marigold yakin bahwa Ortiz bercelatuk banyak dari yang dia pikirkan, lebih daripada yang Marigold lakukan. Marigold banyak terlena atas hatinya yang lucunya terlalu kuat digenggam afeksi konyol yang telak tertuju pada pria sinting ini, tetapi logikanya meraung tak suka. Marigold kesulitan dan kebingungan. Konteks kesembuhan malah semakin sulit untuk dicapai lantaran semakin dia justru semakin sinting.

Marigold semakin terlihat seperti sampah.

Benar, sehari atau dua hari kemudian Marigold mungkin akan kembali bersikap pasrah seolah tidak ada biang polemik lagi yang mengganjal di sanubari. Lalu memberontak, lalu pasrah lagi. Meski begitu, dalam kalbu dan pikiran dia banyak memikirkan hal-hal logis soal keanehan ini.

"Diam?"

Sama. Nihil.

Ortiz diam. Sebab pada dasarnya apa yang dikatakan Marigold benar adanya sesuai fakta. Sudah berkali-kali pula Marigold memaparkan hal yang sama. Ortiz juga tidak dapat mengelak. Rosemary yang disukai sekejap oleh Ortiz faktanya mendapatkan perlakukan ratu. Marigold yang murni mengambil seluruh atensi Ortiz faktanya hanya menjadi peliharaan saja. Meski lucunya Marigold yang super tolol terlalu santai menerima sebab alasan afeksi dan harapan yang entah ada atau tidak.

"Kau berlebihan, Romano."

"Tidak," balasnya.

"Harusnya aku tidak usah menerimamu lagi."

"Tidak bisakah kau menurut dan tenang seperti Rosemary?"

Jelas, Marigold marah. "I AM NOT HER, YOU FUCKING HOUND DOG!"

Namun, Ortiz Tolol Romano menganggap remeh sirkumstansi saat ini. Ortiz menganggap bahwa Marigold-lah yang berlebihan. Sekali melirik Marigold, dia jelas nampak begitu meremehkan, seolah ketidaksukaan perempuan itu bukan hal yang perlu dibahas lagi. Ortiz sudah mengambil Marigold dari Dungeon Bar dan dari pria Scheiffer itu, maka artinya dia menang.

"Kau yang berlebihan. Itu hal sepele."

"Sepele?" Marigold tidak tahu kenapa amarahnya pada Ortiz selalu memunculkan sebuah gelak tawa. Marigold tahu, dia seperti anak bulanㅡkadang baik, kadang buruk. Namun, harusnya dia jangan menyamaratakan kondisi. "Kau harus tahu seberapa tertekannya aku berada denganmu, dan aku berbohong atas separuh perasaanku padamu."

"Aku tidak peduli."

Demi Tuhan, Ortiz Romano egois sekali.

Kalimat itu bergema di dalam pikiran dan kalbu, rasanya bergema begitu nyaring dengan frekuensi terus meningkat. Lucu bahwa penghakiman semacam itu lebih kencang menghantui batin tanpa dituturkan secara langsung pada Ortiz. Kesimpulannya, memang Marigold tidak perlu berbicara begitu banyak tatkala dia tidak menyukai suatu hal; rasanya sia-sia.

Marigold benar-benar tersinggung, jujur saja.

Ortiz Romano rupanya tidak pernah tulus.

"Aku tidak peduli tentang apakah kekasihku mampu melindungiku dari Bibi Daphne atau tidak, atau hanya kau yang mampu melindungiku dari keluargaku, yang terpenting aku tidak ingin bersamamu untuk saat ini. Perasaanku sedang tidak enak."

Seolah mulai tidak habis pikir, Ortiz menghentikan segala yang dia kontrolㅡmobil, sistem defensi, emosi. "SHUT THE FUCK UP, YOU WHORE!"

Jika masih belum jelas, sebenarnya Marigold sendiri paham bahwa hubungan ini tidak akan pernah berhasil, tapi dia terlalu naif dan munafik. Ortiz begitu keras kepala dan egois. Jelas, obsesinya lebih buruk daripada tindakan kriminal sekalipun. Namun, predestinasi memang terkesan mempermainkan, bukan?

Ah, lagipula kenapa Marigold Anneliese "hopeless" sekali?

"Kau ..." Marigold ingin menangis. "Ya, aku memang hanya perempuan geladak, dan kau adalah pelanggan tidak tahu diri."

Ada jeda selama lima detik. Ortiz keluar dengan pintu yang lantas ditutup begitu kencang, lantas beralih ke sisi lain untuk ikut membawa Marigold keluar dari kursi penumpang depan. Namun, bukannya mengusirnya, pria itu membawa Marigold kembali masuk ke mobil, persis di kursi belakang. Dia mendorong Marigold sangat kasar hingga kepalanya menghantam ke pintu seberang, sampai akhirnya dia kembali ke kursi kemudi.

"Sekarang katakan padakuㅡ" Marigold mengawali konversasi lagi tanpa peduli soal tindakan kasar Ortiz sebelumnya. "Apa yang mendasarimu melakukan hal ini jika bukan karena ingin memanfaatkanku sebagai peliharaan? Jika kau tidak suka atas pemberontakanku, berikanlah sebuah tindakan manusiawi yang menggambarkan bahwa kau benar-benar tulus ingin membantuku." Lagi, Marigold tersinggung, tak peduli jika pria inilah yang kemarin-kemarin telah bersusah payah melakukan tindakan baik pada Marigold hingga Marigold tersenyum atau tertawa senang.

Ortiz diam. Tidak mau menjawab, atau dia memang terbiasa menganggap Marigold sebagai peliharaan.

"Kau milikku, Anneliese."

Sampah.

"Akan sangat mudah menghancurkan pria asing itu jika kau memberontak lagi," tambah Ortiz.

Marigold mengangkat dagu, arogan, meski sebenarnya dia ingin menangis, "Dan kau pikir kau ini siapa?!"

Ortiz balas tegas, "Pemilikmu."

Marigold menghela napas kasar. Pandangannya semakin kabur. Hatinya berdenyut. "Dengan begitu aku membatalkan segala hal soal relasi ini," katanya. "I can't be Your Anneliese, or any girl you think, Ortiz."

Dia baru sadar, bersama Ortiz tidak akan membuatnya sembuh.

Meski ironisnya tatkala Marigold hendak pergi sebab pintu belum dikunci, sudah bersiap-siap untuk mutlak pergi dari ketertindasan seorang invader sinting, Ortiz menghadang dengan segenap hati. Dia mencengkeranm tangan Marigold pada awalnya, tetapi lanjut menarik rambut perempuan itu dari belakang dan menariknya begitu kasar hingga rasa-rasanya rambutnya akan rontok. "JANGAN TERUS MEMANCING, SIALAN!"

"KAU YANG MENGAWALI, BAJINGAN!" Marigold balas dengan teriakannya yang bercampur tangis yang meledak. "Seekor peliharaan mampu menurut atau memberontak terhadap pemiliknya, dan itu tergantung bagaimana pemiliknya memperlakukannya." Jelas, belum ada ending di situ sebab Marigold memilih membebaskan diri terlebih dahulu dari tangan-tangan Ortiz, meski gagal. Sialnya, yang ada, pria itu justru memborgolnya. "What do you want, Romano?"

"Be My Cecilia and My Anneliese."

Be his princess and his doll. Be his princess and his whore. Be his princess and his pet.

Topengnya terbuka.

Sentimen memuncak. Ortiz penipu. "FUCK YOU!" Marigold berteriak gila.

Sialnya, Ortiz Romano terkekeh. Dia meremehkan masalah yang menimpa Marigold, dan rupanya, dia tidak pernah serius atas segala kebijaksanaan dan perlindungan tololnya. Ortiz memang ingin melepaskan Marigold dari keluarganya, tapi bukan berarti perempuan itu akan bebas. Ortiz Romano masih gila. Dan jika dia masih melihat Rosemary Cecilia dalam diri Marigold Anneliese, maka apa yang akan perempuan itu hadapkan jika dia bersama Ortiz adalah sesuatu yang tidak ada bedanya dengan yang perempuan itu terima satu tahun belakangan.

"Aku hanya ingin jawaban, Fiore."

Fiore lagi.

Terlampau marah, Marigold Anneliese menunjukkan ekspresi dinginnya, ekspresi yang tidak pernah dia berikan pada Ortiz. Kemudian, dia menatap wajah Ortiz dalam-dalam sampai akhirnya dia menonjok wajah itu dengan kedua tangannya yang terborgol, membuat pria itu semakin marah, tapi untungnya pria itu kalap. Marigold segera membuka pintu dan mencegat taksi yang kebetulan ada di belakang.

masih ada penghuni, kah?

ribuuuut mulu ni orang. ga inget sebelumnya abis main dan buat rekaman?

recovery makin aneh, ya. semoga tidak capek dibohongi sana-sini.

fyi, marigold itu enggak berlebihan. dia bisa tersinggung dan sakit atas hal kecil sekalipun. mentalnya terganggu. tentu, salah satu alasannya, cuti kuliahㅡada banyak hal yang terjadi di sana.

Sampai jumpa di bagian selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top