CHAPTER 05

Afeksi dan cinta itu bukan hal statis, ya? Orang mengatakan ini atau itu perkara afeksi, dan konteksnya bisa berbeda-beda. Marigold Anneliese memahaminya sebagai hal dinamis. Singkatnya, perasaan bisa berubah sewaktu-waktu. Atau, karena cinta, orang bisa berbohong ini dan itu.

Rumit.

Pemikiran Marigold pelik akhir-akhir ini.

Melihat Marigold melamun sejak awal kedatangannya, Esme menepuk kedua telempapnya sendiri di depan wajah Marigold. Lagi, dia memberi komentar, "Sumpah, kau kerasukan apa?"

"Kenapa lagi?" tanya Ruho.

Esme menghela napas, tidak habis pikir dengan keimbesilan wanodya-wanodya ini sebab tidak merekognisi perubahan masif lagi pada diri Marigold. "Dingin dan pendiam itu dua hal yang berbeda, dan Marigold yang menjadi pendiam itu seperti tanda akhir zaman. Kau punya masalah apa, sih?"

Selayang pandang Alaska hendak membalas. Namun, perempuan kucing itu terdistraksi sejemang sebab Sir Jamie melintas dengan lagak penuh profesionalismenya. Alaska Haze lebih tertarik untuk memberi kedipan netra nyentrik hingga dosen sinting itu mesti menahan kurvaㅡagar tidak menimbulkan kontroversiㅡ, ketimbang memberi argumen lebih cepat seperti biasanya.

"Kau sungguh ingin membuat skandal, Alaska?"

Akaska terkekeh. "Marigold sungguh inspiratif, dan aku ingin mengikuti jejaknya."

Kekeh nyentrik menjamu atmosfer. Ruho membalas sementara Alaska masih sibuk memerhatikan figur dosen sinting itu dari belakang, sebelum akhirnya dia berbalik memasuki arena konversasi sesaat setelah Sir Jamie belok ke arah lorong kampus sebelah kiri. "Dia suka membuat kontroversi, benar ... sungguh inspiratif. Tetapi setidaknya Marigold tidak berhubungan dengan dosen sepertimu, apalagi sampai investasi semen dan membuat bayi. Jaga imej bisa, tidak?"

Persetan dengan Alaska yang memberi respon relaks, tahu-tahu Marigold penuh dengan rona biram yang membidas pipi. Otomatis dia menunduk tolol sebab tidak ingin rona sinting itu tertangkap oleh netra tukang-tukang gosip itu. Memang, Marigold dan Ortiz Yang Terhormat itu tidak serupa dengan Alaska dan Sir Jamie, dalam artian bahwaㅡmemangnya Marigold dan Sir Ortiz itu apa, sih? Tidak ada status. Tapi tetap, ada poin intim antara mereka.

"Sejujurnya tidak bisa, tetapi dibisa-bisakan," balas Alaska. "Jadi, Nona Anneliese ini ada polemik apa?"

"Aku sedang mengumpulkan energi dan kewarasan."

"Untuk?"

"Tugas hukuman Sirㅡ"

Ruho, seolah tahu diktum lanjutannya, otomatis menyela hebat. "Tidak selesai?"

Jika boleh jujur, tentu itu bukan alasan kenelangsaan Marigold. Marigold mengada-ngada. Ortiz sama sekali tidak memberikan hukuman apapun untuk problematika minggu lalu. Namun, yang pasti, memang objek dilematis kenya tersebut adalah pria tersebut.

Jujur, Marigold belum bisa menerima presensi Ortiz. Tapi dia ingat, dia sempat berkata kepada pria itu jika dia masih mencintainya.

"Memangnya semenakutkan itu?" Marigold mencoba basa-basi.

"Harus diulang? Jika bukan kepuasan alamiah sebab tampilan menakjubkannya, aku akan bolos kelas orang itu. Ah, meski lucunya orang itu malah membuatku rajin kuliah dan rajin mengerjakan tugas agar tidak mati muda." Esme membalas dengan ekspresi variatif. "Aku pernah bolos kelas dia sekali dan kelas Ma'am Hotchkiss sekali, tahu-tahu kedua orangtuaku hadir di kampus. Jadi, bukan hanya dapat hukuman dari kampus, aku dapat hukuman dari orangtuaku."

"Seratus persen tukang mencabut nyawa," sela Ruho.

Haruskah Marigold bangga?

"Kelasnya sebentar lagi, bukan?"

Marigold berdeham. "Ya, dan persetan, aku mau bolos."

Realitasnya seperti itu. Marigold abai dengan inti sari konversasinya dengan Ortiz pagi tadi. Perempuan tersebut seolah dikelilingi oleh tekanan yang menyesakkan peparu jikalau melihat visual pria itu atau hanya sekedar memikirkannya. Marigold mengalami masa labil; kemunafikan hebat itu muncul kalau dihadapkan dengan objek seperti Ortiz Romano. Pun, untuk kali ini, Marigold merujuk pada perasaan negatif. Dia muram sekali, sumpah.

"Kau sinting. Mau bunuh diri?"

"Persetan, aku mauㅡnah!" Marigold terdistraksi detik itu.

Di sisi yang bersamaan, figur maskulin tinggi besar selayaknya tukang kelahi muncul tampilan serba hitam pula eksis dari lorong sebelah kanan. Siapa lagi kalau Ajax Scheiffer. Eksistensinya seperti representasi dari perang brutal.

Marigold melambangkan tangan pada Ajax membuat pria itu mendekatinya. Setelah itu, Marigold segera menyambar pria itu dengan rengkuhan manis dari samping hingga satu kaki terangkat gemirang. Tak mau kalah, tangan bertato pria tersebut sudah berkitar apik di pinggang kecil wanodya itu.

"Wow." Begitu respon Ruho, terkesan terkejut dan datar dalam satu waktu. "Aku tahu kalian dekat dan punya relasi tanda kutip, er, teman yangㅡ"

Alaska menyela. "ㅡBerlebihan."

"Sudah berubah status, ya?"

Marigold tidak membalas. Kenya itu asyik meremat fabrik kaus hitam Ajax dengan kurva yang masing menguar nyentrik, tengah pamer.

"Kalian pikir aku tahan dengan perempuan manis ini?"

Esme menggeleng. "Aku bukan pria, tetapi memang harusnya, sih, tidak. Status teman bukan status yang membuatmu puas untuk sekedar memilikinya, bukan?

Tidak harus memiliki, bagi Ajax.

Barangkali aneh saat orang lain tahu bahwa afiliasi keduanya tidak ada unsur afeksi yang menjurus atas cinta antara pria dan wanita. Tapi, bagi Ajax, itu bukan sesuatu yang menjadi patokan. Afeksi memiliki banyak makna. Definisinya ada seratus, atau bahkan seribu, tergantung cara pandang orang yang merasakan. Namun, jika Ajax Scheiffer diharuskan untuk memberi satu realitas atas status itu, dia puas untuk bisa menjadi protektor Marigold. Jelas, dia bukan pria tolol yang menginginkan Marigold atas urusan tubuh. Tulus, itu diksi yang Ajax sisipikan perkara Marigold Anneliese, salah satunya.

Seandainya dikaitkan dengan pertanyaan Ruho, jelas bahwa jawabannya tidak. Dia tidak mempermasalahkan jika suatu hari Marigold memiliki perasaan yang lebih berharga kepada pria lain. Dia bukan seorang maniak sinting, tolol, obsesif, atau apapun itu sinonimnya. Dia menghargai Marigold. Yah, tapi dia juga bermimpi untuk memiliki Marigold Anneliese sepenuhnya.

Esme memainkan lidah di dalam mulutnya, lagi-lagi bertingkah jahil dan menggoda. Dia mengambil ponsel di dalam tas ekspensifnya, lantas berbicara, "Tentu, hal seperti ini harus disebarkan di aplikasi kampus." Saint Hallway memang canggih. Ada fitur khusus laiknya sosial media di sana. Itu bagus untuk mendistribusikan informasi, prestasi, atau apapun itu. Dan tentunya para mahasiswa memanfaatkannya untuk urusan yang lain, seperti gosip. "Foto?"

"Aku memberi sugesti untuk salingㅡ" Alaska berhenti, terdistraksi oleh tawanya sendiri. Tanpa disuruh, lagi, seolah satu otak, Marigold memahami sugestinya. Tahu-tahu wanodya tersebut menengadah dan memberi suar untuk membuat cumbuan, dan agaknya Ajax terlampau sangat paham atas gelagat kekasih penuh sensasional itu. Bahkan, si sinting Ajax dengan sengaja memanaskan konstelasi dengan mengangkat tubuh Marigold sehingga Esme mendapatkan foto tambahan yang lebih sensasional.

"Epik," sahut Ruho. "Alaska pasti iri dengan itu."

"Dasar setan." Alaska balas dingin. "Lagipula, akuㅡmampus, mampus, sial, itu ada Sir Tiran!"

Esme merungut pelan dengan netra membola dan gelagat kelesah. "Aku tahu dia ada kelas di ruangan itu, tapi kenapa ... tolol, sejak kapan dia berdiri mengintimidasi di sana? Dan ... wajahnya galak sekai. Demi Tuhan aku tidak sadar."

Detik itu, Marigold otomatis membalikkan badannya. Barangkali, bagi pandangan orang, Ortiz Romano mengintimidasi mahasiswa yang membuat kontroversi itu sudah biasa; dia selalu seperti itu seolah menghakimi orang paling kotor segalaksi. Tapi, bagi Marigold, ada sekelumit kemenangan. Lagi, dia tahu kalau dia seolah tengah menyiapkan lahan pemakaman untuk dirinya sendiri, sungguh nekat, tapi setidaknya dia merasa puas. Bahwa pada hakikatnya Marigold Anneliese bukan milik Ortiz Romano, melainkan Ajax Scheiffer.

"Ajax, aku mau ke rumahmu. Netflix and chill."

"Maksudmu bolos dari utusan Tuhan itu?"

Ruho menggeleng tak percaya. "Wah, gadis ini benar-benar cari maut."

Marigold mengangguk antusias. Sehingga pria itu balas cepat, "Aku tidak ingin mencari masalah dengan dosen sinting itu. Tapi jika kau ingin, baiklah." Sebab Ajax tahu, selalu tahu, bagaimana perasaan Marigold kendati Ajax tidak tahu masalah yang dipikul Marigold. Dia hanya sadar jika perempuan itu sedang merasa sangat tertekan. "Apapun untukmu, My Sweet Elle."

r e c o v e r y

Rancangan Marigold untuk tidak memasuki kelas Ortiz memang berhasil, tapi sialnya dia juga tidak berhasil untuk pergi ke rumah Ajax. Sebelum ke rumah Ajax, perempuan itu mengajak pria itu untuk ke apartemennya terlebih dahulu untuk mengambil pakaian dan mengubah password pintu apartemen, tapi dia mendapatkan kemalangan. Daphne Francise, bibi iblis itu datang mengusiknya.

Sialnya, Marigold tidak bisa memberontak.

Kepalanya memandang sedikit miring, Marigold memandang wanita borjuis itu. Lagak Bibi Daphne nampak seperti ratu kerajaan dari antah berantah yang penuh dengan telatah buruk, dalam artian ratu sebagai Mad Queen. Di depan, Bibi Daphne yang tengah satu atau dua kali meneguk teh itu sama aksinya, memandang Marigold.

Atau, tidak ... bukan Marigold yang dia pikirkan.

"Rosemary, kau bukan Marigold, jangan bertingkah seperti perempuan tak beretika itu," katanya. "Ayahmu akan menarik fasilitas apartemen ini jika kau tidak datang ke rumah." Bibi Daphne mengucapkan itu secara sambil membuat gerakan-gerakan tangan. Sehubungan keluarga Francise menganggap Marigold sebagai Rosemary, mereka juga menganggap Marigold tuli. Yah, itu diperlukan untuk menghancurkan mental Marigold.

"Persetan." Marigold membalas tegas.

Bibi Daphne mendelik dengan geraman kecil. Sekali dapat ujaran kata bermakna buruk itu, wanita itu menyimpan cangkir dengan ekspresi marah. Pada hakikatnya, kendati mereka, keluarga Francise, menganggap Marigold sebagai Rosemary, adakalanya mereka melihatnya sebagai Marigold sendiri. Toh, sama seperti Ortiz Romano, siapa yang sudi memberikan relapan neraka jahat pada perempuan seperti Rosemary Cecilia? Tidak ada. Jika Rosemary itu berlian, Marigold hanyalah kotoran yang tak punya harga diri.

"Ini hidup yang kaupilih. Lagipula kita sudah melakukan perjanjian." Sebab itu, Bibi Daphne berhenti menggunakan isyarat untuk sementara waktu, selama dia menganggap bahwa perempuan di hadapannya adalah Marigold Anneliese. "Jika kau tidak mengikutinya, kau akan jatuh dan sengsara seperti kebanyakan perempuan tolol lainnya," hardiknya, sok tahu dan sok pintar. "Kau tidak perlu memikirkan masa depan Marigold Anneliese sebab tidak akan ada yang peduli dengan kehidupannya, kehidupanmu."

Marigold menundukkan kepalanya. Merasa terlampau tersakiti dengan rentetan perkataan semacam itu. Mau dibilang bahwa dia submisif dengan mencoba untuk menerima, dia tetap merasa bahwa satu miliar luka menyakiti jiwa dan raganya. Hal itu sudah menjadi kronis kendati Marigold diam. Pun, afirmasi Bibi Daphne lagi-lagi membuat Marigold refleks menghilangkan jati dirinya sendiri dan sontak memberi doktrin pada diri sendiri bahwa dia adalah Rosemary Cecilia.

Bohong jika dia berkata bahwa dia tidak membenci Rosemary. Marigold bukan satu-satu karakter antagonis. Setidaknya Marigold merasa bersalah atas pilihan Rosemary untuk melakukan bunuh diri setelah perdebatan tolol mengenai siapa yang berhak atau pantas atas beberapa isu. Jikalau bukan kemampuannya untuk mengurus bisnis atau keterbatasannya yang membuat orang iba, Rosemary Cecilia juga bukan apa-apa.

Lagipula siapa Rosemary Cecilia? Dia hanya perempuan angkuh yang mencoba elegan, manis, dan penuh kasih sayang yang telak membuat Marigold merasa sangat terpojokkan sebab preferensi yang berbeda dengan keinginan keluarga. Faktanya, perempuan itu juga seorang perundung gila. Bedanya, si Gadis Cecilia itu banyak memiliki Victim Cards.

"Orang-orang memberimu identitas baru sebagai Rosemary Cecilia dan kau harus menerimanya," tambah Bibi Daphne. "It's better than being a whore who steals her sister's man and becomes trash to her own family."

Marigold menggeleng lemah.

Selayang pandang, Bibi Daphne mendengus jengkel dengan tingkat arogansi yang kelewat batas. Dia menambah perkataan tak masuk akan lainnya yang membuat Marigold merasa lebih kebingungan lagi. Otaknya terisi oleh doktrin-doktrin menyeramkan, tapi di sisi lain sistem defensinya masih berfungsi. "Tiga bulan lagi, fakta soal kematian Rosemary Cecilia akan dijadikan intrik. Pewaris yang telah meninggal adalah Marigold Anneliese, dan nanti kau akan diperkenalkan sebagai Rosemary Cecilia." Jelas, Marigold nyaris meledak dengan ketidaksukaan, dia ingin menangis. "Setelah itu, kau harus hidup dengan kursi roda dan selamanya mesti berpura-pura tuli. You must be her. Itulah hidup yang kaupilih sejak awal," ungkapnya lagik. "Ayahmu dan ibumu menyetujui itu. Faktanya, semua keluarga Francise lebih menyayangi Rosemary dan menganggap dirimu yang sudah mati."

Because they love money than love itself.

Marigold tidak yakin apakah dia mampu bertahan dengan kondisi yang membuat jati dirinya hilang. Marigold tidak suka apapun perkara Rosemary Cecilia. Sayangnya, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya sulit memberontak, dan ada sesuatu yang terjadi dalam kurun waktu satu tahun itu yang membuatnya kehilangan setengah kontrolnya.

Sementara itu, Bibi Daphne beringsut bangun dengan iras angkuh yang begitu penuh keyakinan; yakin bahwa dia telah berhasil mengintimidasi Marigold dan menghilangkan jati diri aslinya secara perlahan-lahan. Sebab memang dilubuk kalbu wanita tersebut, Marigold hanyalah sosok tak berguna yang tidak penting untuk dipertahankan. Dia lebih memilih Marigold yang mati ketimbang Rosemary.

"Sepupumu melihatmu bersama Ortiz Romano." Bibi Daphne berangsur membuat citra manis. Dia memulai anggapan lagi bahwa Marigold adalah Rosemary hingga nada bicaranya begitu lembut. Tentu, dengan tambahan pergerakan gerakan isyarat yang begitu sepenuh hati supaya segalanya maksimal. Hingga Marigold mulai mempertanyakan tentang kapan dia mendapatkan perlakuan tulus semacam itu sebagai Marigold sendiri. Lantas Bibi Daphne menambahkan, "Dia hanya kompetitor yang ingin menjatuhkanmu dengan angan-angan perkara cinta. Dia sama sampahnya dengan Marigold. He doesn't deserve your love, Cecilia."

Marigold terdiam.

"Respon?"

Marigold membuat mimik penuh paksaan. "Aku mencoba menghindarinya, Aunty."

"Correct response," sahut Bibi Daphne. "Siapkan diri, Rosemary. Kau akan dijemput untuk makan malam. Plusㅡ" Dia menjeda hanya untuk mengekshalasi udara, membuat pandangan berkitar basa-basi ke beberapa penjuru ruangan, dan menatap Marigold lagi. "Beruntung aku membawakanmu pakaian karena tampaknya isi lemarimu penuh dengan gaun khusus untuk menghadiri pemakaman dan gaun-gaun jalangnya saudarimu. Gunakan gaun di dalam kotak itu," katanya seraya menunjuk kotak yang telah dia bawa dengan dagu.

Setidaknya itu menjadi ending dari konversasi yang memuakkan ini. Bibi Daphne berjalan penuh arogansi keluar apartemen. Lucunya, wanita tersebut dengan segan memberi perhatian pada Marigoldㅡyang menurutnya adalah Rosemaryㅡdengan afeksi yang cukup kentara. Namun, yang pasti, Bibi Daphne meninggalkan banyak luka tak kasat mata pada Marigold yang lagi-lagi membuatnya meragukan soal kehidupanya sendiri.

fyi, bisa dibilang teman-teman marigold itu enggak tahu kalau marigold punya masalah. marigold itu kayakㅡkurang percaya dengan orang, bahkan ke teman sendiri. satu-satunya orang yang dia percaya cuma ajax.

so sorry for the typos, atau barangkali ada kekeliruan nama. hihi.

sampai jumpa di bagian selanjutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top