CHAPTER 03
Sudah sewajarnya bagi Marigold melakukan perbaikan moral. Ini bukan soal kulturnya yang terkesan bebasㅡalkohol, pesta, atau hal lainnyaㅡmelainkan perubahan karakterisasi dalam konotasi lain. Apa yang dia lakukan pada Rosemary harusnya telak menuntunnya pada perubahan masif, tetapi entah mengapa itu sulit bagi Marigold. Contohnya, dia baru saja bertemu dengan orang difabel tatkala dia pergi ke minimarket, dan Marigold masih tidak pandai menguar sifat dan sikap penuh tenggang rasa. Itu masalah besar.
Setidaknya, pada saat itu ada Ajax Scheiffer, sehingga Marigold kapabel diregulasi. Kendati pria itu terkesan bebas dan terkesan tidak bermoral, dia jauh lebih baik daripada Marigold dalam urusan perwatakan dan sikap. Memang, Marigold hanya sekedar menatap sinis seolah orang difabel itu adalah orang paling berdosa sedunia dan sedikit mendesah kasar tak suka saat orang itu menabraknya, tapi itu tetap tidak baik. Beruntung Ajax Scheiffer menyelamatkan reputasi Marigold Anneliese dengan singkat dan uniknya mengatakan bahwa Marigold sedang dalam kondisi perasaan yang sangat buruk, serta meminta maaf dengan tulus hingga mengantarkan orang itu pada supervisornya yang dengan teledor pergi ke toko bunga di sebelah minimarket.
Sumpah, jika tidak ada presensi Ajax, Marigold tidak akan mampu mengontrol dirinya sendiri. Dia sudah terlalu terbiasa memperlakukan Rosemary Cecilia dengan cara yang paling buruk. Kendati itu sudah terlewati beberapa tahun ke belakang, faktanya Marigold belum terbiasa berperilaku baik jika bertemu langsung dengan orang-orang khusus itu; rasanya seolah bertemu dengan Rosemary. Jika itu terjadi, sudah dipastikan bahwa Marigold Anneliese akan mendapatkan reputasi buruk di ruang publik.
Pelik, bagi Marigold. Itu kejadian cukup tolol yang hanya perlu menjadi bahan evaluasi Marigold.
Ah, tapi sial, mengingat Rosemary selalu membuatnya mengingat Ortiz. Lebih parah, Ajax mengajak berbicara dengan topik yang mengingatkannya pada Ortiz.
"Besok masih mau bolos atau tidak?"
Marigold terdistraksi dengan mudahnya akan suara Ajax yang menguar ke atmosfer hampa tatkala Marigold mencoba mengevaluasi kecil-kecilan perkara kegoblokannya. Seraya menelungkupkan daksa dengan manja, mendongakkan kepala demi memerhatikan figur Ajax di hadapan, Marigold refleks mendesah kasar. Dari situ, tertera dengan jelas bahwa ada bencana besar yang menyertai diri Marigold.
"Ada masalah apa?"
Ortiz Romana. Headmaster sinting itu.
Tapi, Marigold ... Ya Tuhan, mana bisa dia jujur soal itu?
Ajax Scheiffer tidak pernah mengetahui hubungan Marigold dengan Ortiz. Barangkali yang dia tahu, pria asia latino itu hanyalah penjajah keji yang menginvasi Saint Hallway dengan segala regulasi menyeramkannya. Marigold sama sekali tidak pernah memublikasikan satu fakta pun soal Ortiz Romano yang berkaitan dengan kehidupan personalnya.
Alhasil, Marigold hanya menggeleng. "Kita tidak sekelas, jadi malas."
"Astaga." Jelas, Ajax terkekeh. Lucu, ironis, eksentrik, meski normal.
"Serius tahu," balas Marigold.
"Aku percaya itu. Tapi, kenapa rasanya aku merasa ada alasan lain."
"Contohnya?"
"Kau memiliki konflik dengan seseorang?" tebaknya, penuh presisi.
"Aku sudah bilang, kan? Konflik batin dengan diriku sendiri, plus, Rosemary Cecilia. Em, ya, kaitannya dengan kejadian di minimarket juga."
Beruntung bahwa Marigold memiliki alasan lain yang normal dan masuk akal ketimbang harus terang-terangan berkata bahwa dia memiliki konflik masif dengan si headmaster gila itu.
"Aku tidak komprehensibel atas itu."
Marigold mengumbang minim. "Aku tahu."
"Tapi setidaknya kau sedang berusaha lepas dari itu. Ingat, kau hanya fokus mengevaluasi, bukan terus menyalahkan diri. Itu berbeda konteks."
Marigold hanya mengangguk kecil. Pada dasarnya dia mati-matian keluar dari zona tersebut. Memang, apapun soal Rosemary akan tetap berada dalam pikiran Marigold, terutama sebab sebagian besar keluarga Francise selalu mengingatkannya soal Rosemary. Namun, itu bukan fokus utama kepelikannya. Apa yang terjadi antara Marigold, Rosemary, ditambah satu figur otoriter dengan nama Ortiz Romano itu memperberat situasi, sebab secara general lima puluh persen kematian Rosemary memang sebab basis itu; Marigold, Rosemary, dan Ortiz.
Tekanan atmosfer semakin berat tatkala Marigold berjumpa lagi dengan Ortiz, padahal setidaknya dia sudah merasa lebih baik. Meski satu-satunya yang mesti disalahkan adalah Marigold Anneliese sendiri sebab memilih kembali ke tempat di mana dia satu alam semesta lagi dengan pria asia latino itu.
Eh?
Tapi, gila, Ortiz Romano bahkan dengan sangat rela mengejar dengan cara menyusup ke Saint Hallway, menjadi headmaster dan dosen, menjadi penguasa nomor satu di sana, sehingga pada akhirnya Marigold yang tolol ini terjebak mati dalam perangkap orang gila itu. Pria itu niat sekali.
Sungguh, itu berat.
Marigold bangun dengan nafas berhembus rileks dan garis senyum cantik. Dia duduk seolah tidak memiliki beban. "Ya, setidaknya aku bisa lepas dari warna kelabu itu. Aku benar-benar tidak ingin menambah masalah."
"Nah, ini baru Marigold Scheiffer yang kukenal."
Secara otomatis, Marigold memandang sinis kekasihnya sendiri. "Enak sekali membuat klaim begitu!"
Saat itulah Marigold mendapatkan ratusan cumbuan kupu-kupu di wajah dan bibirnya sebelum si Scheiffer ini turun dari tempat tidur, jelas membuat Marigold terkekeh geli. Ajax Scheiffer memang pintar mengubah warna abu-abu menjadi warna-warni dalam hitungan detik. Esensi dari kalimat tolol itu memang bukan untuk tujuan membuat Marigold mencair seperti es kutub yang terkena efek pemanasan global, melainkan hanya untuk membuat konten komedi kecil. Perempuan yang memiliki beban ini harus dihibur dengan hal-hal yang di luar nalar.
"Kau kekasihku, salah?"
"Terkecuali jika kau bertekuk lutut mesra di depanku sambil membawa bunga marigold, dengan tambahan satu cincin berlian paling mahal sedunia, plus kunci rumah besar dan mobil Rolls Royce, kau boleh menambahkan nama Scheiffer di belakang namaku."
"Dasar wanita realistis."
Ajax berdiri, sementara Marigold menekuk lutut di atas tempat tidur dengan netra memerhatikan pria itu. Pakaian berbahan jeans yang tergeletak di sofa dipakai dengan apik pada tubuh maskulin Ajax. Seolah sudah menjadi satu set pergerakan, pria itu bergerak mengambil satu kunci motor cruiser-nya yang berada di atas meja nakas. Setidaknya itu mengundang Marigold untuk berbicara aneh lagi. "Akhirnya orang tampan ini pulang juga. Aku bisa menguasai tempat tidur ini sendirian," katanya.
Belakangan ini, tepatnya dua hari semenjak pesta selebrasi awal semester itu, Ajax Scheiffer memang kerapkali menginvasi apartemen Marigold. Akhir pekan Marigold penuh dengan pria tersebut. Katanya rindu, kendati lucunya orang itu lebih banyak berinteraksi daring dengan orang-orang yang membeli obat ilegal atau berdiri di balkon seraya menghisap sigaret. Namun, pada hakikatnya, pria itu benar-benar berada dalam satu atmosfer yang sama dengan Marigold selama dua hari berturut-turut.
"Kalau kamu bosan denganku, bilang saja."
Marigold menggelengkan kepala. "Anehnya tidak."
Pada dasarnya, kombinasi keduanya memang terasa laiknya gim tolol.
Konversasi pun otomatis terhenti. Marigold mengikuti pria tersebut hingga pintu depan. Tidak ada yang dilakukannya selain memerhatikan pria tersebut keluar dari tempat ini hingga eksistensi pria itu menghilang sebab dia memasuki elevator. Harusnya itu menjadi final hari. Ajax pergi untuk mendatangi sarang favorit keduanya, sementara Marigold sudah punya karsa untuk cepat-cepat tidur. Tetapi, makhluk visibel lainnya tahu-tahu muncul dari sisi bersebrangan.
Sial, sial.
Marigold terkejut hingga level yang tidak mampu dieksplikasikan. Itu Ortiz Romano!
Tolol. Harusnya Marigold pindah apartemen!
Sedetik dengan sigap masuk ke apartemen dengan tangan memegangi kuat-kuat pintu hendak menutupinya, Marigold malah dibuat nyaris bercumbu dengan pria tersebut. Ortiz menariknya secara barbar hingga Marigold spontan stagnan.
Dasar goblok.
Gila. Harusnya Marigold Anneliese jangan terus-terusan bersikap tolol. Dia ingin menjauhi Ortiz, tetapi upayanya untuk mengabulkan keinginannya sendiri cukuplah minim. Ketimbang bergegas mencari tempat tinggal yang baru, dia malah sibuk bermesraan dengan Ajax atau hanya sekedar berpikir keras memikirkan kegilaan Ortiz tanpa melakukan apa-apa.
Sialan, ya? Apa Marigold harus tinggal di rumah agar si sinting ini tidak mendatanginya?
Gila saja. Marigold tidak mau.
"Sudah puas bermesraan dengan orang asing?"
Marigold melotot tidak suka. Orang asing, katanya. Haruskah Marigold Anneliese repot-repot berteriak tolol di sini demi memberi kejelasan pada Ortiz bahwa Ajax Scheiffer itu bukan orang asing? Ajax Scheiffer lebih dulu masuk pada kehidupan Marigold ketimbang Ortiz Romano. Bahkan orang asing itu datang pada Marigold dengan cara baik-baik, berbeda dengan Ortiz yang datang dengan modal topeng palsu.
Namun, baru saja Marigold hendak membalas, Ortiz terus-menerus menimbulkan anomali eksentrik di dalam diri perempuan tersebut dengan cara mengangkat daksa Marigold dan membawanya masuk. Tandai ini: masuk ke kamar. Rasanya begitu aneh.
Demi Tuhan, Marigold telah menyiapkan satu juta diksi kotor pada Ortiz, tetapi pada hakikatnya dia lebih banyak bungkam. Marigold mungkin bisa berkonversasi santai dengan Ortiz, atau bahkan berkonversasi serius dengan sesekali menyisipkan kata-kata kotor seperti biasanya. Namun, seperti biasanya, ketika dalam posisi terpojok, tahu-tahu Marigold bertransformasi menjadi sosok submisif.
Dia tulus ingin mengumpati Ortiz Romano, kenapa selalu susah?
Keduanya sama-sama terdiam. Ortiz fokus memandangi pemberontak di bawahnya yang tengah menatapnya dengan tatapan tanpa makna jelas. Ortiz bersumpah, dia merindukan Marigold Anneliese yang menghilang ditelan bumi selama seminggu.
"Jangan melamun, Anneliese."
Lebih buruk, ini bukan melamun, melainkan tengah merasakan sakaratul maut.
"Kau, sumpahㅡ" Sumpah, Marigold pusing. "Enyah dari sini." Nada suaranya melemah.
"Enyah dari sini dengan nada submisif dan seksi. Itu mengusir?"
Dan pada sekon itu, tatkala Marigold mati-matian meminta maaf pada Rosemary karena adanya eksistensi Ortiz, pria tersebut justru menambah aktivitas lain. Dia datang merayap samar-samar dengan tangan-tangan mencoba membuka dasi hitamnya, lagi-lagi memojokkan Marigold, dan Marigold memahami intensi pria tersebut. Maka, satu hal yang membuat Marigold merasa bingung atas dirinya sendiri adalah dia selalu suka saat Ortiz memulai pergerakan intimidatif seperti itu.
Tolol. Goblok.
"Rosemary akan semakin membenciku jikaㅡ"
"Berhenti membahas soal dia." Nada afirmatif dan intimidatif semakin terasa. Tidak lama, Ortiz Romano berhasil membuat simpul sederhana di pergelangan tangan Marigold menggunakan dasi hitam tersebut, dan faktanya dia menambahkannya dengan borgol. Lantas, Ortiz kembali berbicara, "Ajax Scheiffer, bukan? Dia siapamu?"
Dengan refleks, Marigold membalas cepat. "Kekasih yang sangat aku cintai."
Ortiz Romano menggeram. Dia segera mencengkeram dagu perempuan tersebut cukup kasar dengan tangan kanannya, bersamaan dengan aksi lain di mana pria tersebut menggunakan tangannya kirinya untuk mengangkat tangan-tangan Marigold.
"Aku akan menghancurkan hubungan itu."
"Oh, ya? Kau tidak berhak, Tuan Ortiz Romano Yang Terhormat."
"Aku berhak karenaㅡ"
Marigold terkekeh samar. "Apakah kau datang ke sini hanya untuk membuat omong kosong, mengikatku, dan menjamahiku seperti biasanya? Wah, wah, sejak kapan aku menjadi gadis prostitusi?"
Sayangnya, Ortiz Romano yang keparat dan otoriter tidak mencernai baik-baik diktum Marigold. Entah bagaimana caranya titel akademisi tinggi Ortiz berujung sia-sia. Dia datang dengan cumbuannya yang terkesan terburu-buru.
"Iya, menghukummu."
Namun, mau tahu bagian terlucu dari kisah cerita penuh rasa sayang, kebencian, sakit, komedi, dan kemunafikan ini? Marigold Anneliese selalu berhasil takluk. Tidak aneh jika dia rela ditelanjangi oleh pria itu, dan membiarkan pria itu memakannya dengan lahap. Marigold Anneliese menyukainya dan mulai tersenyum cantik.
"Pengaman, Ortiz." Suaranya bahkan berubah sangat manis saat mereka akhirnya hendak pergi ke permainan inti.
Ortiz Romano menggeleng. "Tidak, ini hukuman."
Marigold membelalak horor. Secara otomatis dia menutup rapat kaki-kakinya. Meski sialnya Marigold yang tolol harusnya sadar bahwa Ortiz sudah memposisikan dirinya di antara kaki-kakinya, sehingga yang dilakukan oleh Marigold sungguhlah sia-sia. Mutlak, tak aneh pula jika dia belingsatan dengan ocehan sintingnya. Sebab bagi Marigold, pengaman adalah hal terpenting nomor satu atas aktivitas ini. Pria ini juga selalu memakai pengaman, bahkan anehnya dia menyiapkan pengaman di hari di mana dia bercinta dengan Marigold di kampusㅡsepertinya dia menyewa mahasiswinya.
Sayangnya, Marigold Goblok tidak bisa mengelak lagi. Pria itu mencumbuinya sangat intens, dan tangannya merayap kesana-kemari, jelas membuat perempuan itu kalap dan semaput, dan ... Demi Tuhan, dia menyukai ini. Dan tatkala itu terjadi, Ortiz Romano melesak masuk dan segera melakukan pergerakan, semakin membuat Marigold lupa diri.
Dan di akhir cerita, atau lebih tepatnya sebelum mereka pergi ke cerita lainnya yang lebih panas, mereka beristirahat, memandangi satu sama lain dengan tatapan-tatapan manis seolah mereka benar-benar saling jatuh cinta sekaligus saling tersakiti. Saat itu, Ortiz Romano berbisik, "Mari sembuh bersama-sama, Anneliese. Kau bukan satu-satunya orang yang memiliki jutaan penyesalan."
"What is it, Ortiz?"
"I love you so much, Anneliese."
maap, ini ortiz dan marigold memang pada hypersexual. TT
mungkin mau menebak soal kematian rosemary kaitannya sama marigold dan ortiz?
oh, ya, marigold sebenernya bukan perempuan gampangan. kenapa dia segampang itu sama ortiz itu ada alasannya.
Sampai jumpa di bagian selanjutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top