ACT II: CHAPTER 25
[contains sensitive issues, e.g. condition of raped victim.]
Apa yang terjadi pada Taehyung, si perfeksionis yang imbesil, selama kurun waktu sekitar dua minggu—tidak ada yang menghitung detail hitungan harinya? Menggila laiknya orang yang tengah diberi lava panas pada epidermis. Itu jawaban singkat yang menjadi kesimpulan dari beberapa detail penuh. Masih belum ada imej kirana Kim Jiya yang semerta-merta biasa memenuhi pandangannya. Tidak ada kekuatan super yang bisa menahan Taehyung untuk tidak gila seperti entitas yang terkena paparan patogen rabies. Masalah utamanya adalah sesulit itu untuk menemukan Jiya; tidak ada petunjuk sama sekali. Sumpah, memang Jimin super terstruktur sekali.
Siapa lagi selain Jimin?
Jung Taehyung seratus persen memercayai bahwa probabilitas itu tertuju pada Prim sebab awal mula kisah pelik soal perogolan itu dimulai oleh Prim. Namun, Taehyung tidak bisa berpikiran waras tatkala Hyacinth menemukan realitas besar bahwa si barbarik Prim Isabeau terbaring nelangsa di rumah sakit. Entah apa yang terjadi pada Prim, mungkin kekerasan klien, kegilaan Sir Morgana yang punya similariti dengan seorang maniak, atau ada hal lain yang membuatnya begitu di luar konteks pekerjaannya sebagai kotoran—maksudnya dia memiliki banyak rival. Jadi, Prim keluar dari seratus persen probabilitas.
Mungkin Jungkook Scheiffer menjadi sorotan lainnya. Pria itu keluar dari sel detensi, entah bagaimana caranya, dan mungkin dia juga kontinyu berperan untuk membuat kiamat? Mungkin saja, tetapi Taehyung bahkan tidak menemukan eksistensinya di perumahan kumuh tersebut. Yah, Jungkook Scheiffer itu seperti kambing tersesat. Tidak ada yang pernah tahu di mana lokasi rumah aslinya selain rumah kecil kumuh di dekat restoran makanan yang selalu sepi. Jelas, itu nonsens. Ada realitas baru bahwa Jungkook Scheiffer merupakan anak konglomerat yang berbasis bisnis ilegal. Tidak masuk akal jika Jungkook tinggal di tempat seperti itu, pasti dia memiliki rumah lain.
Oh, ayolah, Taehyung muak. Intensinya terhalang hanya karena alamat rumah anonimos yang sama sekali tidak bisa dilacak. Nomor ponsel yang digunakan Jiya untuk menelepon tempo lalu bahkan tidak membantu untuk memancing adanya pelacakan. Taehyung sempat membuat invitasi panggilan dan berharap bahwa Jiya yang mengangkatnya, tapi yang mengangkatnya hanyalah gelandangan inosen yang secara beruntung menemukan ponsel model tua itu di tong sampah. Bahkan, sumpah, tidak ada polisi yang segan membantu karena kebobrokan tiada tara—mungkin sudah disuap oleh satu ton emas oleh orang yang memiliki responsibiliti atas semua ini.
Ini sudah lewat dari jam malam, dan seperti biasanya Taehyung segenap hati menjadi pengungsi semi permanen di kawasan Tempting Paradise, berharap bahwa ia melihat Jiya atau Jimin. Kendati selama berhari-hari hasilnya tetap nihil selain anggapan buruk orang yang menganggap Taehyung adalah salah satu komplotan geng kriminalitas yang tengah memata-matai kawasan perumahan untuk tindakan pencurian besar-besaran—masyarakat tolol.
Maka apa yang dihasilkan dari keganjilan semua ini, salah satunya, Taehyung lupa tentang kapan ia memasukkan nutrisi bergizi pada tubuhnya selain sigaret stroberi—sembari melayang pada ingatan konyol di bilik kecil Saint Hallway, kontak paling intin pertama Taehyung dan Jiya. Atau, setidaknya kola stroberi membantu—membantu menjadi lebih gila. Setidaknya itu dapat menaikkan spirit Taehyung untuk terus mencari Jiya kendati kola stroberi sungguhlah memuakkan. Maksudnya, bahkan ketimbang menikmati rasa manisnya, Jung Taehyung mulai merasa gila sebab di saat itu ia seolah bisa merasakan bagaimana Jiya tengah meneguk kola stroberi di depannya dengan netra inosen seperti anak kucing dan bergumam konyol seperti, “Aku cinta stroberi.” Sumpah, itu memuakkan, kendati setidaknya membuat Taehyung otomatis tersenyum. Sialan, serba salah.
Selama itu, selama Taehyung duduk bersandar di kursi kemudi benzo dengan mata yang sama sekali dibuat untuk tidak terpejam, tak bisa dimungkiri bahwa seratus persen otaknya tengah menonton rekaman fragmen lampau. Tentang Jiya, tentunya—siapa lagi selain perempuan inosen yang lucu itu. Contohnya saat Kim Jiya menapakkan kakinya di gedung humaniora. Sungguh aneh saat perempuan itu segan datang ke sana sementara gedung humaniora berisi banyak predator buas yang mengincarnya, utamanya untuk apa seorang anak kedokteran berkunjung ke sana? Mesti lucunya Jung Taehyung harus menelan realita getir bahwa si inosen itu punya karsa menemui Sir Santiago, entah untuk urusan apa—tapi Taehyung meyakini bahwa tidak ada hal aneh yang terjadi. Tapi agaknya itu menjadi kontak pertama Jiya, pertama kalinya Jiya mengetahui keberadaan manusia kacau seperti Taehyung.
Di lorong gedung humaniora Saint Hallway, ada kepulan asap yang nampak seperti fenomena debu Dust Bowl yang terjadi di dataran Great Plains Amerika. Itu hiperbol, tapi bagi Jiya, itu perumpamaan yang cocok sebab pertama kalinya wanodya itu menjumpai sesosok manusia tolol yang duduk seperti gelandangan di lorong sembari menikmati hidangan sigaret stroberi. Kendati Taehyung melihat reaksi berlebihan yang menunjukkan bahwa Jiya was-was, Taehyung tidak akan mengutarakan kebohongan krusial bahwa Jiya memujanya sejak itu. Taehyung bisa merasakan bagaimana masing-masing mencoba menjadi seperti demagog ambisius yang mencoba menumbuhkan rona sentimen dan aspirasi untuk menguasai. Meski tololnya, tidak ada tindakan yang terjadi, hanya tersimpan pada diri sendiri karena kelikat pengecut yang mendarah daging di sisi keduanya.
Great.
Itu sudah lebih dari cukup lantaran sentimen Taehyung kembali meningkat. Satu, yang Taehyung tahu, dia sudah gila—atau lebih tepatnya berkali-kali lipat lebih gila. Dua, yang menjadi konklusi, tidak ada lagi hal yang bisa membatasinya untuk meloloskan hasil sentimen yang meledak-ledak. Sebab pada umumnya, ia mendapatkan kesempatan besar sekarang. Tuhan agaknya baru mau mendengarkan doa-doa payah dari seorang yang bahkan sama sekali tidak religius seperti Jung Taehyung. Mobil Mercedenz Bens G-Class muncul dari arah depan dan Taehyung tidaklah buta sebab ia melihat Jimin. Pria itu hendak melintas dengan jendela mobil yang terbuka. Satu hal yang harus ditandai adalah entah instruksi dari mana, secara otomatis pria Jung itu menyalakan mobil dan bergerak maju hingga membuat benturan cukup keras dengan kendaraan Jimin. Taehyung tidak pernah memikirkan hal itu, tapi ia senang.
Adapun Jung Taehyung dirasuki oleh angin kering dan panas yang ada di gurun pasir. Menggila. Tatkala Jimin turun hendak memberikan serang protes—dan agaknya ia menyadari bahwa yang sengaja membuat friksi kendaraan itu adalah Taehyung—Taehyung telak membuat manuver barbarik sebagai permulaan. Tentu saja upaya itu ditanggapi dengan baik kendati Hwang Jimin lebih terlihat santai dengan roman yang super menjengkelkan—santai, terkekeh tolol, dan nampak meremehkan.
“Ini karena gadismu, ya—dia bahkan—” Ini pertama kalinya bagi Taehyung memasuki pemikiran yang lebih mengerikan daripada inferno. Tapi memang sentimennya lebih besar ketimbang fragmen lampau tatkala Jungkook Scheiffer atau Baquero yang seratus persen mengancam Jiya. Tapi tidak, rupanya itu belum maksimal. Jimin yang pada realitasnya membuat imej yang lembut seperti harumanis, menjadi sahabat dekat Jiya, nyatanya adalah ancaman yang sebenarnya. Jadi, tatkala Jimin hendak berbicara, entah omong kosong apa yang akan keluar dari mulut durjananya, Taehyung kembali membuat manuver liar lagi. Semuanya, penuh power dan seolah tak ingin satu detikpun menyia-nyiakan oportuniti yang ada, Taehyung setidaknya ingin membalas Jimin kendati ini kelewat gegabah.
“Di mana Jiya, brengsek?” Taehyung terus kehilangan kontrol.
“Tidak ada, tidak denganku lagi,” balas Jimin, selalu meremehkan, tak peduli bagaimana Taehyung membuat suar laiknya inferno yang siap membuat Jimin hangus dan mati dan tersiksa. Kemudian, ia terbatuk kecil, dengan darah yang setidaknya keluar dari sana akibat friksi yang dibuat Taehyung. “Oh, apa dia menghilang? Karena—” Taehyung menyakiti lagi, dengan tangan kosong. Taehyung sama sekali tidak tenang. “Beritahu aku—“
“Shut the fuck up!” Jimin memulai afirmasi besar dengan dorongan dan pukulan kuat hingga Taehyung terhempas menabrak benzo miliknya sendiri cukup keras. Hwang Jimin agaknya enggan membuat permainan tolol dengan membiarkan Taehyung menghabisinya dengan sentimen level maksimum. “Tidak ada Jiya! Aku sudah melepaskan si keparat itu!” Taehyung tidak tahu kenapa Jimin meninggikan suaranya, tapi ia tahu kalau Jimin tidak berbohong. Meski sialnya, lagi-lagi Jimin menguar tawa imbesil seolah tengah membuat reaksi pantomim lucu. “Apa kau ingat tentang bagaimana penampilan terakhir kali seorang perfeksionis seperti Jiya? Yeah, kostum pasien. Dia datang kepadaku dengan itu dan aku memulangkannya dengan itu,” katanya—sialan. “Lebih dari dua jam lalu, setelah aku dan anak-anak lain menyentuhnya untuk terakhir kali, kurang atau lebih, aku sudah melepaskannya. Kawasan lalu lintas padat dekat gedung parliamentari. Silahkan jemput gadismu—jika dia masih hidup dan tidak terpikirkan untuk bunuh diri lag—” Gelap.
“Kau keparat!”
Sekarang, secara teknis, Taehyung megap-megap dengan serangkaian aksi barbarik nan brutal untuk memperburuk situasi. Ia bahkan tidak mengobservasi situasi yang mungkin akan memberikan efek buruk padanya. Membuat kekerasan, baik secara tersembunyi ataupun terbuka di publik sangatlah terlarang. Kendati kota kecil ini menerima kualitas terbobrok, ini tetap salah, lagipula lihatlah tentang siapa yang tengah berada di hadapan Taehyung yang sudah memberikan penampilan laiknya mayat hidup dengan darah dan memar di beberapa are, Jimin dengan segala otoritas besar, memiliki kekuatan sekuritas, memiliki kekuatan govermen, dan kekuatan lainnya yang bahkan tidak dicecap oleh Taehyung. Tapi Jung Taehyung tidak peduli selagi ia kapabel memberikan balasan fisikal brutal pada orang yang sudah dipastikan menjadi alasan kesakitan Jiya.
Tapi sayangnya tidak maksimal.
Semaja itu sebuah keuntungan sebelum ada patroli malam dan Taehyung benar-benar masuk detensi karena kekerasan brutal yang menimbulkan darah dan—Jimin super babak belur, karena mau bagaimanapun kemampuan perkelahian Jimin tidak sebanding dengan Taehyung. Trevor muncul dengan motor fenomenalnya dan mencoba menghentikan Taehyung.
“Berhenti, tolol. Jiya lebih penting daripada dia,” sahut Trevor.
“Aku harusㅡ”
Trevor mendistraksi lebih tegas, “Don't you want to see her?”
Taehyung berhenti. Sejemang ia melirik Jimin yang masih sempat memberikan kurva asimetris kendati siapapun tahu bahwa Jimin bisa hilang kesadaran dengan beberapa pukulan kasar lagi. Kalakian, Taehyung menatap Trevor penuh harap. “Apakah Jiya sudah kembali?”
Trevor mengangguk. Ada guratan lega di sana, tapi ada keganjalan besar yang Taehyung terima. Sesuatu yang dengan interpretasi tak baik, seperti mimpi buruk, atau kiamat.
“What happened?” Taehyung bertanya panik.
Adapun Trevor Schiller, dia tampaknya tidak hanya dirasuki oleh situasi yang mengerikan dan muram durjana. Pernah tahu istilah Trail of Tears? Fenomena historikal yang setidaknya menggambarkan kepelikan dan kesusahan. Trevor seperti itu, seolah ada penyakit yang mendadak menyebar ditiap spot tubuhnya dan sarafnya, bahkan inti kecil yang menjadi unit terpenting tubuhnya; atau bahkan terlihat seperti menanggung beban mentalitas dan fisikal kuat karena keadaan yang sama sekali tidak diinginkan. Itu adalah fase paling kelabu yang pernah Taehyung lihat dari sisi Trevor Schiller. Trevor menyayangi Jiya kendati keduanya belum pernah benar-benar berinteraksi normal selayaknya saudara sedarah, selain interaksi singkat di ruangan bawah tanah milik The Academic Devils tempo lalu. Hingga finalnya, Trevor menguar vokal yang pelan, “Grace Medical.”
Dan itu menjadi akhir tatkala Taehyung berubah lebih kacau hingga tanpa permisi lebih memilih untuk menggunakan kendaraan roda dua milik Trevor—bertukar alat transportasi. Secara general meninggalkan Trevor yang sekon itu kehilangan kontrol tatkala melihat Jimin tertawa seolah mendapatkan kepuasan paling hakiki. Tanda kecil itu telak membuat perseteruan besar di sisi Trevor hingga membuat sahutan kutukan amarah sebelum akhirnya Hwang Jimin benar-benar gelap setelah diberi penangan brutal, yang lebih barbarik daripada sebelumnya oleh Trevor. Dan tahukah satu harapan yang keluar dari pikiran Trevor setelah itu? Sederhana, “May the devil take you to hell.”
j e o p a r d i z e
Taehyung menelan ludah. Ia mau tidak mau harus mengakui tingkat kebenaran dalam sketsa suasana hatinya sendiri yang tidak mengasyikan ini. Pikiran penuh kekhawatiran mendominasi kepalanya dan itu bukanlah suar yang bagus. Taehyung laiknya mengalami aksi asimilasi karena atmosfer tak enak. Dia mungkin tak perlu bertanya-tanya lagi tentang bagaimana ini bisa terjadi, bahwa konflik yang ia terima bukanlah guyonan belaka. Di sini, di bentala yang kejam, tatkala Taehyung sudah cukup atau bahkan sangat muak karena kasus tolol yang sama sekali tidak dilakukan olehnya, kini ia malah harus menerima titik lebur lagi tatkala ia menjumpai Jiya yang nampaknya melebur pada tingkat kehancuran yang paling ujung. Bagaimana Jiya—terbaring, diam, nelangsa, terpejam, roman wajah yang nampak kacau, dan tentu tidak responsif—dibuat untuk menerima esensi bahaya karena sesuatu hal absurd sangatlah tidak diterima oleh Taehyung. Kenapa harus Jiya? Taehyung bersumpah, jika ini ada kaitannya dengan kasus itu, Taehyung akan menerima resiko secara keseluruhan, hanya Taehyung yang menerimanya, sedia menanggung porsi Jiya, tidak dengan Jiya.
Pertama-tama, mari luruskan beberapa poin yang terasa janggal. Bukankah eksistensi kasus itu terasa seperti pancingan? Jihan, well, perempuan itu mungkin dirogol oleh Jungkook dan Seokjin, lalu bagaimana caranya Kim Jiya yang tidak tahu apa-apa malah bisa menjadi sasaran, terkecuali jika memang ada rangkaian rencana yang terstruktur di balik itu. Woona—Taehyung masih ingat bagaimana dia menjadi umpan untuk mengundang Taehyung dan Jiya pada mara bahaya tempo lalu, basement asrama Jiya—, bukanlah itu terlihat seperti lakon? Lagi-lagi seolah sudah direncanakan. Lalu tempo lalu, Prim memperkeruh situasi dengan cara menyeret Jiya pada Jungkook dan memanas-manasi Taehyung—dan Taehyung yang tolol percaya begitu saja hingga ikut campur mengawali kesengsaraan Jiya sendiri, ikut melakukan intimasi seksual pada kekasih sendiri. Lantas kini Taehyung meyakini ada sesuatu yang besar yang terjadi pada Jiya, misalnya Jimin dan antek-anteknya memublikasikan kebenaran dan basis atas itu semua, klimaks rencana mereka.
Pemikiran Taehyung sangat rumit karena ia tidak fokus, tapi ia yakin bahwa Jiya tahu alasan kenapa semua ini terjadi—kasus, kejahatan, ancaman, dan sentral bahayanya. Tapi tentu Taehyung tidak diberikan otoritas untuk mengorek infomasi lantaran mau bagaimanapun fokusnya kini hanya pada kondisi Jiya. Mungkin Taehyung akan berhenti gegabah. Ketimbang harus kembali menghampiri Jimin dan meninju laiknya tengah berada dalam pertandingan boksing dunia, atau mendesak Jimin untuk menyebutkan apa masalahnya, Taehyung akan persistens menemani Jiya.
Taehyung mengintip ruangan dari spot kaca transparan di pintu. Sedari tadi tidak menimbulkan pergerakan apapun selain melihat situasi di dalam ketika petugas medikal melakukan responsibilatasnya. Sumpah, ketika petugas-petugas itu sudah selesai dengan bisnisnya, Taehyung akan menyeruak masuk ke dalam. Apa yang menjadi pertimbangannya adalah melakukan hal apapun untuk bisa dekat dengan Jiya lagi. Apa yang harus Taehyung tegaskan pada univers dan segala isinya? He misses her so much! Absolut dan tidak terbantahkan.
“Kenapa Trevor baru memberitahu?” Taehyung membuka konversasi.
Di samping, Yoongi melirik, sejemang mengintip ke depan, lantas membalas, “Kita semua baru tahu informasi ini. Laman anonimos kampus—dengan sangat tak manusiawi—menjadikan berita semacam ini menjadi sentral guyonan dan penghinaan. Beritanya dua jam lalu, tapi kita baru tahu sekitar setengah jam lalu. Jiya berada di sekitar daerah gedung parliamentari, dan kau tahu seberapa ramainya di sana. Dengan kostum pasien tempo lalu, tanpa alas kaki, kondisi mentalitas dan fisikal yang berantakan, bersikap linglung dan panik, dan katanya beberapa kali berdiri di tengah jalananㅡmengumpankan diri supaya kendaraan yang super ramai itu menabraknya. Beberapa orang yang tidak terlibat dalam komunitas tolol Saint Hallway yang kebetulan berada di sana sebagai saksi mencoba mendekatinya dan membantunya karena mereka pikir Kim Jiya pasien yang melarikan diri dari rumah sakit, tapi dia mulai histerik dan menangis. Dan itu berakhir dengan Jiya yang dibawa oleh oleh Grace Medical setelah seseorang mungkin menelepon pihak hospital,” katanya memberika eksposisi panjang. “Soal beritanya dan reaksi mahasiswa kampus, it’s teribble, mereka menanggapinya sebagai tontonan entertainmen seolah Jiya sedang melakukan komedi, kendati masih banyak yang prihatin—karena bagi pihak tersebut, meskipun Jiya benar-benar orang jahat atas kasus itu, memberikan reaksi tersebut adalah dosa. Tapi aku sudah menanganinya, aku meretasnya dan sudah menghapusnya, dan secara terpaksa aku menonaktifkan webnya.”
Haruskah fakta seperti ini dipublikasikan? Tapi pada kenyataannya, seorang barbarik dan terkesan tak manusiawi seperti Jung Taehyung secara alamiah eksesif mengalirkan air mata. Menangis. Itu bukan hal yang aneh, kan? Jung Taehyung menangis bukanlah hal konyol, kan? Bukan hanya bagian dari sentimen dan rasa simpatik besar, tapi dari sisi tentang seorang benteng tolol seperti Taehyung yang secara bajingan, dengan penyesalan besar, gagal memproteksi Jiya.
“Bagaimana kondisinya?” Taehyung masih setia melihat imej Jiya di dalam yang sebenarnya terpejam tenang, tapi kondisi kacaunya sama sekali tidak bisa diterima. Selain itu, dari apa yang diberitahu Jimin, mengenai perogolan masif, jelas bahwa kondisi Jiya sama sekali tidak baik-baik saja.
“Massive injuries, fisikal—mungkin mental juga, kita belum melihat reaksinya selama sadar karena kita ke sini saat ia sudah terpejam, katanya efek anestesi umum sebab Jiya sangat histerik saat berada di jalanan.” Hyacinth menjawab, suaranya muncul dari belakang, mendekati Taehyung dan Yoongi setelah sedari tadi berada di belakang—duduk mencoba menghubungi Trevor.
Taehyung mengernyit, menatap Hyacinth meminta eksplanasi lebih rinci. “Bagaimana?”
“Luka genital, vaginal and anal bleeding, beberapa luka memar samar, dan secara spesifik dari evidens fisikal, jelas itu merujuk pada pemerkosaan intens—mereka menemukan jejak semen, saliva, sel-sel anonim yang mungkin milik si perpetrator itu. Imunnya juga turun, suhu tubuhnya sangat tinggi. Selain itu, yang paling—I’m sorry for saying this thing, but the doctor said that she is expecting a baby.”
Kosong. Gelap. Getir.
Sudah cukup banyak Taehyung menelan gada yang besar, sekarang ada lagi?
Itu adalah berita yang sangat buruk.
“A-Apa?”
Yoongi mengulang, “Hamil.”
“Umurnya sekitar satu minggu lebih,” tambah Hyacinth.
Gila, gila, gila—maksudnya, jika dikaitkan dengan ucapan Jimin tadi, jadi sebelumnya Jiya mengalami perogolan, wanodya itu menerima kecelakaan dan hasilnya, dan mereka merogol Jiya lagi sebelum benar-benar dilepaskan? Itu keterlaluan.
Ini jelas, tidak ada yang namanya kasus perogolan Jihan atau penculikan Woona. Itu semua umpan untuk membuat skenario soal penculikan dan perogolan Jiya.
Sialan, sialan, sialan.
Setelah melakukan evaluasi diri, Jung Taehyung seratus persen tidak akan keberatan atau tidak akan mempermasalahkan jika ada kecelakaan antara dirinya dengan Jiya, dengan kata lain ia akan menerimanya—karena Taehyung bersumpah akan menjadi pria yang lebih baik lagi. Tapi kalau begini, jujur saja ia tidak terima, dan ia mengkhawatirkan satu asumsi besar bahwa itu akan menjadi sentral traumatis Jiya jika kandungannya dipertahankan.
“Jangan khawatir.” Hyacinth menyambar.
Taehyung menyambar eksesif, “What did you say?”
“Calm down,” ulang Hyacinth dengan konteks lain—apalagi barusan Taehyung sedikit meninggikan suaranta. Hyacinth paham bahwa klausa ‘Jangan khawatir’ bukanlah hal yang pas, tapi itu diperlukan. “Kemungkinan besar mereka akan melakukan tindakan aborsi setelah mendapatkan konsen dari Jiya sendiri dan setelah polisi melakukan identifikasi dan investigasi.”
Seolah dihantam gada, Taehyung mengernyit penuh heran atas satu poin eksentrik yang Hyacinth lontarkan. “Polisi? Sejak kapan mereka mau membantu?” Oh, Taehyung sangat ahli dalam menyindir.
“Ya, mereka bobrok, khusus kepolisian di sini. Kupikir mereka menerima penyuapan. Dan karena ada kecurigaan atas dasar hal itu, Profesor Schiller langsung menghubungi kepolisian pusat, melangkahi aturan. Mungkin itu aneh, karena harusnya kepolisian distrik ini yang menangani. Tapi untungnya, pihak pusat hendak membantu sekaligus hendak mengusut kejanggalan kepolisian di distrik bobrok nan tolol ini. Pemerkosaan adalah kejahatan besar di sini. Mereka masih diperjalanan.” Yoongi memaparkan, lantas terduduk. “Yah, walaupun di sisi lain aku bertanya-tanya kenapa kepolisian pusat tidak menolong sejak awal.”
“Karena itu urusan distrik ini. Selain itu kasus itu kan samar-samar dan seolah hanya bentuk kenakalan atau candaan anak-anak, mungkin,” sahut Hyacinth. “Lagipula ini melebihi batas.”
“She is gonna be fine. Profesor Schiller melakukan hal yang terbaik untuk Jiya. Bahkan isteri Profesor Schiller rela menghentikan jadwal medikalnya di New Orleans, memberikan tanggungjawabnya pada psikolog lain, dan ia hendak ke sini.”
Ya, Taehyung tahu itu. Pasangan Profesor Schiller yang bahkan tidak terhubung koneksi keluarga secara kandung dengan Jiya, tapi ia peduli.
“Lantas bagaimana kabar famili Kim?”
Hyacinth terkekeh ironis, “Kita tidak peduli, kata mereka. Mereka akan segera menghapus Jiya dari status kekeluargaan mereka. Aku tidak tahu apa masalah mereka. Tapi mereka benar-benar tidak mau mengurusi Jiya.”
“Dan Jiyaㅡ” Taehyung menelan ludah ketika itu, “kalian benar-benar belum melihatnya sadar?”
“Belum,” balas Hyacinth.
“Tapi mereka menyarankan bagi siapapun yang berada di dekatnya untuk tenang. Mereka belum paham kondisinya jika berinteraksi denga orang, tapi kemungkinan Jiya akan terus memberi agresivitas dan reaksi panik. Yah, mengingat apa yang terjadi di jalanan itu, itu satu-satunya hipotesis yang paling kuat. Viktim kekerasan seksual memberikan reaksi berbeda-beda, tergantung perlakuan yang ia terima dari perpetratornya. Jiya termasuk sangat eksesif.” Yoongi memberikan adisi
Dan ketika itu, secara harfiah konversasi terputus setelah petugas medikal di dalam selesai dengan bisnisnya. Taehyung masuk tergesa-gesa—Taehyung beruntung karena mereka mengizinkan orang untuk masuk, siapapun. Kendati Taehyung diperkenankan untuk jangan terlalu memberikan reaksi yang berlebihan, apalagi tatkala Jiya terbangun. Yah, itu bagus untuk melihat bagaimana reaksi Jiya yang sebenarnya jika berada bersama orang-orang.
Tapi di sini hanya Taehyung sebab yang lain tahu bahwa ini porsi Taehyung. Hyacinth dan Yoongi memilih untuk tetap berada di luar tanpa intensi hendak mengacaukan bisnis mereka.
Apa yang terjadi pada segmen selanjutnya adalah momen yang lagi-lagi sentimental. Kim Jiya masih merayap pada ketidaksadaran, tenang dengan mata terpejam dan napas yang cukup stabil. Taehyung secara general, meraih tangan Jiya pelan-pelan tanpa karsa untuk menganggu sebab pada kenyataannya Jiya tidak merasa terganggu—sebab anestesi umum demi menghindari reaksi paniknya, entah berakhir kapan. Secara emosional dan melankolis, Taehyung memberikan elusan penuh afeksi pada spot tangan, mencium tangannya dengan debaran jantung yang begitu hebat dan meletup-letup—ia merindukan ini. Taehyung bisa merasakan bagaiman guncangan afeksinya, tapi tak bisa dimungkiri bahwa di sana terdapat embusan kemarahan. Jung Taehyung penuh insekuritas atas segala hal yang menimpa Jiya.
“Jiya, Mi Corazon,” gumamnya, maka itu terpenuhi tentang bagaimana Taehyung rindu untuk mengucapkan frasa panggilan eksklusif untuk gadis manis inosennya—yang tetap akan menjadi gadisnya yang paling unggul dan bersih. Taehyung tak menerima situasi buruknya, tapi ia seratus persen masih mempertahankan afeksi pada Jiya. “Mi Corazon.” Ia mengulang, suaranya lebih lembut. “Me muero si no te vuelvo a ver.” Sejemang Taehyung beringsut bangun, membuat repetisi aksi di spot yang berbeda, membelai dan mencium kening Jiya—atau bahkan bukan itu saja, kening, netra, pipi, dan labium secara singkat. Lantas ia duduk. “But I do. Aku melihatmu lagi dan aku akan bertahan. I don’t want to lose you, Mi Corazon.”
Dalam perkembangan lebih lanjut dari kisah sentimental ini, ada sisipan singkat, menyentuh, dan kadang-kadang menakjubkan karena esensi manis dan kasih sayang. Tampaknya menjadi tujuan Taehyung untuk mempertahan perasaan yang mengebu-gebu dan presius. Jung Taehyung khusyuk dengan pikiran tertuju pada glorius, tentang ia kembali bersama dengan Jiya, dan itu menimbulkan sentimen besar sebab Jung Taehyung tersentuh dengan air mata—antara senang dan sedih. Ia tak akan berbohong bahwa ia merasa ikatan yang mendalam atas sentuhan kecil itu, ada vibrasi, elektron yang menyengat, dan itu menandakan tentang satu gagasan murni bahwa Taehyung menyayangi Jiya, senang Jiya kembali, kendati ikut terpukul atas esensi berbahaya yang menimpa Jiya. Ketimbang membuang Jiya seperti kebanyakan pria lain yang membuang kekasihnya yang terkena aksi pemerkosaan—ada beberapa kasus begitu di Saint Hallway, tapi tidak terlalu disorot—Taehyung lebih memilih untuk bertahan sebab, pertama-tama, Jiya milik Taehyung; kedua, Taehyung mencintai Jiya; ketiga, terus ulangi dua poin tersebut.
“Te amo, Mi Corazon,” ucapnya lagi, “Te amo.” Taehyung terus-menerus mengubah register vokal menjadi lebih rendah dan pelan, dan itu sudah cukup menjelaskan seberapa besar sentimentalnya. “Te amo.”
Dan agaknya itu menjadi alarm yang membuat fungsi anestesi umum Jiya berhenti hingga lambat laun Jiya mencoba meraih kesadaran dengan netra yang siap sedia menerima sensor cahaya. Harusnya orang-orang tahu tentang seberapa bahagia Taehyung melihat itu semua. Netra hazel hijau milik Jiya yang atraktif yang dipuja-puja Taehyung, suara lenguhan kecil Jiya—kendati sepertinya ada gangguan pita suara karena suaranya agak serak dan seolah akan hilang—, dan satu lagi, saling bersitatap dengan Jiya adalah anugerah terbesar Taehyung.
“Jiya.” Demi Tuhan, Taehyung kehilangan kata-kata. “Akuㅡ”
Meski ada satu hal yang membuat glorius itu mendadak tercabut tatkala Jiya benar-benar sadar. Jiya menatap Taehyung, Jiya menatap sensor tentang Taehyung yang memegangi tangannya—kulitnya penuh afeksi—, dan entahlah, Taehyung tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Taehyung seolah lumpuh, sentral kebahagiaannya hilang lagi, dan ia meyakini bahwa Tuhan sedang menghukumnya karena Taehyung pernah menjadi pria yang buruk pada Jiya. Sejemang setelah menyadari situasi, Kim Jiya eksesif, mengelak segala bentuk sentuhan dengan reaksi histerik kendati kotak suaranya seolah akan rusak kapan sajaㅡsuaranya seperti benar-benar akan hilang dan Jiya terus berteriak susah payah, dan juga menangis. Kim Jiya bergerak menghindari Taehyung hingga tubuh belakangnya menabrak kepala ranjang rumah sakit dan menabrak nakas hingga benda yang diatasnya berantakan. Wanodya itu menggeleng-geleng, memberi intruksi sengsara—jangan menyentuh lagi, hentikan, aku ingin pulang. Dan itu jelas membuat Taehyung mati rasa, ingin menenangkan Jiya, tapi reaksi Jiya berlebihan hingga secara otomatis petugas medikal kembali ke ruangan.
Pada konklusinya, Taehyung gelap atas insekuritasnya yang benar-benar terjadi. Iya, Taehyung tahu, ketakutan adalah hal yang paling mudah untuk ditanamkan pada seseorang. Termasuk pada Jiya. Apa yang diterima Jiya, apapun, termasuk perogolan, atau hal lainnya yang dilakukan oleh Jimin dan manusia-manusia bejad lainnya, pada intinya berhasil merusak Jiya. Dan itu terbukti, ini menjelaskan seberapa besar tingkat kepercayaan Jiya pada lelaki sebab pada intinya Jiya menganggap lelaki adalah suar bahaya. Itu yang ditanamkan oleh Jimin, ketakutan dan anggapan besar bahwa pria adalah sumbernya. Bukan pada Taehyung saja, tapi Jiya bersikap itu pada petugas medikal lelaki di sana, termasuk Trevor yang mendadak datang menghampiri.
Kali ini, Taehyung seratus persen kehilangan kata-kata.
Jiya kembali pada Taehyung, tapi Taeyung tidak benar-benar bertemu dengan Jiya yang sebenarnya, melainkan Jiya yang sudah hancur dan penuh perasaan sentimen.
Taehyung benar, Hwang Jimin sangat ahli merusak orang lain. Hoseok, Taehyung, dan kini Jiya.
Itu adalah berita yang sangat buruk.
[TBC]
vokabulari/frasa/sentens asing:
me muero si no te vuelvo a ver: aku akan mati jika tidak melihatmu lagi.
te amo: i love you.
secara umum, apa yang diterima jiya dari jimin, jungkook, namjoon, seokjin itu sangat-sangat berlebihan. bahkan mereka masih melakukan itu setelah jiya mendapatkan hasilnya. sekedar informasi, perogolan pertama itu aku hitung dua minggu laluㅡdan aku ga sanggup untuk menuliskan apa yang terjadi dikurun waktu tersebut, jadi aku buat efeknya sekarang. jimin bilang jiya bunuh diri lagi, dan aku secara tidak langsung bilang bahwa di waktu dua minggu itu, jiya pernah melakukan itu, hanya saja gagalㅡkarena ditahan orang-orang sana.
aku baca banyak penelitian, dan memang viktim kejahatan seksual punya pola reaksi beda, termasuk ketidakpercayaan sama pria lagi, pria yang tidak dikenal, kerabat, atau pria terdekat aka kekasihㅡbahkan kurun waktu lama, di kemudian hari, bisa aja itu jadi pemicu androfobia atau fobia thd laki-laki. tapi ga sepenuhnya, mereka masih bisa sembuh bahkan bisa melakukan kehidupan asmara lagi, atau bahkan seks. tapi bisa jadi insekuritasnya masih ada. jiya hanya butuh dukungan kok, secara medikal, dan tentu taehyung.
ada pesan buat jimin, jungkook, namjoon, seokjin? mereka yang bikin ketakutan tumbuh di jiya. traumatis, sesuai keinginan hoseok tempo lalu.
dan pesan buat taehyung as a guy who loved by her?
note: dulu, aku pikir jeo akan sedikit, tapi ternyata perjalanannya masih panjang karena sekompleks ini. ini bahkan belum mencapai tahapan problem solving. masih bisa bertahan dengan jeo, kan?
sampai jumpa di bagian selanjutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top