ACT II: CHAPTER 23
Taehyung masih mengutuk ketololan personal. Mengapa ia merogol Jiya?
Itu adalah tindakan terburuk yang pernah Taehyung lakukan. Bukan berarti Taehyung menormalisasikan tindakannya di masa lampau, tetapi Jiya adalah person ekstraordinari yang sangat spesial bagi Taehyung. Berbeda tatkala ia merogol teman asrama Jiya, wanodya dengan asma Jeon Jihan yang telak memiliki spesifikasi nyaris serupa dengan Jiya; saat itu Taehyung tidak pernah merasa buruk sebab Jihan tidak spesial kendati wanodya itu menangis dan mengamuk seperti tornado saat cuaca buruk eksis.
Sekon itu, Taehyung terpaku di depan reflektor menatap pantulan figurnya. Secara absolut Taehyung melihat siluet yang menjadi representasi dosa, kesalahan, dan kehancuran. Taehyung terlarut dalam pikiran personal tentang tiga poin tersebut. Andaikan Taehyung tidak tolol dan gegabah, sama sekali tidak membuat hancur runtutan predestinasi, Jiya tidak akan pernah lepas darinya dan telak tidak akan berada dalam genggaman Hwang Jimin.
Dunia pria itu runtuh. Tidak ada oksigen, warna, ataupun plot yang sesuai dengan kehendaknya. Sejemang, ia merasa bahwa predestinasi yang ia miliki hanyalah lelucon yang mencoba mendorong Taehyung jatuh hingga titik terdalam osean, lantas hancur dan hilang. Mungkin Jung Taehyung secara tidak sengaja mencoret halaman dengan kotoran, dan absolut membuat Jiya membencinya dan meminta untuk memutus relasi romansa; tetapi pada hakikatnya Jiya itu oksigen, paragon kirana yang spesiel, prominen, unggul, dan paling dihormati.
Tapi semua itu hilang saat dering telepon masuk mendistraksi jalan pikiran Taehyung. Paragon perfek yang mendadak kacau itu melirik ke arah kiri dan menemukan tampilan invitasi panggilan. Eksis nomor anonimos yang entah siapa. Dari eksperimen biasanya, Taehyung selalu tidak memerdulikan itu. Sumpah, itu tidak penting karena pikirannya lebih memilih untuk memikirkan Jiya dan bagaimana cara menemukannya—sialnya memang belum ada jalan keluar untuk itu.
Sialan sekali, ya.
Sayangnya, person anonimos itu secara mati-matian mengulang panggilan hingga membuat Taehyung otomatis meledak. Ia sedang kalut, tapi diganggu oleh dering telpon yang sangat mengganggu. Alhasil mau tidak mau Taehyung mengangkatnya dan secara refleks memublikasikan berbagai vokabulari kotor. Taehyung jengkel habis-habisan. Namun, ia berhenti dan menghindari repetisi fragmen bigbang pada zaman dulu. Taehyung mendadak stabil, sentimen dan emosional saat ia sadar bahwa orang yang meneleponnya bukanlah orang yang tidak penting.
“Taehyung.”
Apa asa dan ekspektasi Taehyung terhadap predestinasi tolol ini? Setidaknya jika Tuhan belum memberi permit untuk menemukan lokasi, Taehyung punya keinginan besar untuk membiarkan rungunya mendapatkan sensor vokal manis nan inosen milik Jiya. Agaknya untuk poin kedua itu, Taehyung diberi izin.
Ekspresi Taehyung kali ini terlihat cerah sekali selayaknya arunika yang menyambut jumantara dan bentala saat adam tersebut mendengarkan bahana Jiya. Detik itu Taehyung memiliki intensi untuk melakukan rekonstruksi fragmen. Itu yang mesti dilakukan oleh orang gegabah nan imbesil seperti Taehyung. Semerta-merta Taehyung jatuh pada bentala dengan perasaan yang campur aduk, senang, tetapi ada jihat takut, was-was, dan panik.
Kim Jiya menyahut lagi. “Sepuluh menit untuk bicara,” katanya.
“Mi Corazon, are you okay?” Demi Tuhan, itu adalah pertanyaan tertolol yang keluar dari mulut Taehyung. Jelas sekali, dari bagaimana wanodya tersebut berbicara, eksis napas yang tersenggal penuh ketakutan dan bekas-bekas isakan, Kim Jiya tidak berada dalam situasi yang baik-baik saja. Tidak sekecil itu evidensnya, selanjutnya Kim Jiya benar-benar menangis, tetapi nampaknya ia mati-matian menahan agar luapan osean itu tidak jatuh dan meluap.
Jelas, di sisi Kim Jiya, siapa yang tidak sakit dan kelabu setelah diberikan tindakan perogolan barbarik hingga diberikan jejak kriminalitas di dalam tubuh? Kim Jiya penuh insekuritas sebab banyak hal. Pertama-tama, mari sebutkan tentang jumlah segementasi yang ia lalui selama Hwang Jimin berlakon seperti hiena. Mendekat dan memangsa. Rakus dan seolah tidak pernah berhenti lapar. Banyak, sebenarnya Jiya juga tidak benar-benar menghitung. Ia hanya tahu kalau ada repetisi fragmen manakala Hwang Jimin terus-menerus memberi erangan tanda final. Poin kedua, Jiya takut kalau ada kecelakaan; sebab begitu, kan, intensi Jimin? Membalas apapun yang Taehyung lakukan pada Jihan. Merogol hingga menghasilkan calon embrio, dan mungkin jika itu terjadi Jimin akan mencampakkannya. Membuang seperti sisa-sisa makanan. Kendati untungnya tadi Jimin tidak membalas apa yang Jiya lakukan pada Hoseok, Jimin tidak mencekik atau berusaha untuk menghabisi nyawa Jiya. Atau sebenarnya bukan sebuah keuntungnya, Jiya ingin mati dan ia mengharapkan itu.
“Kau—baik-baik saja, Taehyung?” Jiya membalas dengan suara yang tersendat. Wanodya tersebut memilih untuk melayangkan pertanyaan serupa ketimbang menjawab pertanyaan Taehyung hingga Taehyung otomatis tersenyum kecut. Jiya memang tidak sedang dalam situasi yang bagus. Di situ Jiya melanjutkan lebih cepat daripada yang Taehyung bayangkan. “Terakhir kali aku mencekikmu dan membuatmu terkena friksi dengan—”
“Jangan membuat omong kosong, Jiya. Beritahu aku apa yang terjadi padamu dan di mana lokasimu.” Taehyung seketika membalas afirmatif. Ia tidak peduli soal memori lampau sebab ia menerimanya. Ia menerima hukuman Jiya pada saat itu. Cekikan, tamparan, atau apapun itu Taehyung akan menerimanya. Ia hanya ingin tahu konstelasi yang Jiya dapatkan, sekaligus ingin tahu di mana posisi wanodya fragil itu.
Selanjutnya hening.
Yang benar saja, Kim Jiya? Dia mengatakan hanya ada sepuluh menit, dan ini telah berkurang sekitar dua menit. Taehyung panik, dan lebih panik lagi saat intensi isakan Jiya semakin kuat, tidak kapabel menahan, hingga finalnya atmosfer itu menular pada Taehyung. Taehyung tidak akan pernah berbohong, tapi Jung Taehyung bisa meledak karena tangisan amarah dan sakit karena ini. Ia menginginkan Jiya kembali padanya dan terhindar dari situasi bahaya. Taehyung tidak berhasil menjadi benteng terkokoh untuk wanodya spesial yang fragil itu sebelumnya, dan ia ingin memperbaiki segala kesalahannya asalkan Jiya berada dalam proteksi maksimum.
“Mi Corazon, let me know,” lirih Taehyung.
“Maaf, Kak Taehyung.” Kim Jiya membalas lebih rendah, vokal yang pelan hingga timbul suara serak di situ. Dan itu setidaknya membuat invitasi perasaan absurd di sisi Taehyung. Taehyung tidak membutuhkan pernyataan maaf, itu adalah responsibiliti Taehyung sebab itu kesalahan Taehyung. Meski sialnya tatkala Taehyung hendak memberi protesan dan berusaha menghentikan, Jiya lebih dahulu berbicara seolah ada hal darurat yang menimpanya. “Maaf karena aku tidak mendengarkanmu. Maaf karena aku tidak memerhatikan ultimatum dan peringatanmu. Maaf karena aku menjadi perempuan yang tidak penurut. Maaf karena aku tidak bisa menjaga diri. Maaf karena aku membiarkan diriku hancur dengan semuanya. Maaf karena aku menjadi wanodya yang kotor dan hina. Maaf karena aku bukan gadismu yang bersih lagi. Maaf—”
Bajingan. Taehyung tidak membutuhkan itu.
Namun percayalah, setelah rentetan diktum kelabu itu, Taehyung benar-benar menyatu dengan osean. Basah dan tenggelam. Sakit hingga sanubari dan fisikal remuk dan hasai seperti balun-balun purbakala yang rapuh. Semesta dan universnya menjadi gelap karena efek kumulonimbus gelap dan berat yang siap menjatuhkan volume air hujan yang banyak. Kim Jiya adalah gadis spesial, prominen, eminen, unggul, dan yang paling dihormati. Jung Taehyung telah mendeklarasikan diri sebagai benteng terkokoh, tapi ia gagal. Karena itu, Taehyung meledak. Sekali lagi, percayalah, Jung Taehyung bukan pria yang mau mengeluarkan ekspresi tangisan sampah hanya karena entitas perempuan. Kecuali Kim Jiya, Madison Schiller, atau apapun itu namanya. Maknanya, pria brutal dan barbarik seperti Jung Taehyung juga memiliki abiliti untuk meluruhkan likuid asin dari netra doleritnya.
“Maaf karena aku—” Jiya berusaha berbicara lagi.
Taehyung menyela. “Berhenti, Jiya. Kau tidak salah.”
Jiya bervibrasi kacau. “Aku—salah. Aku—maaf. Maaf, Kak Taehyung.”
Pria itu menunduk sebentar. Eksis perasaan getir yang melindap pada setiap epidermis dan sarafnya. Ada entitas gaib yang terang-terangan mengukir luka di setiap spot penampungan batin hingga timbulkan darah, perih, getir, dan seluruh perasaan sentimen dan emosi yang meletup-letup. Bodohnya Taehyung seolah menjadi orang tertolol sedunia, menjadi dungu, dan juga tidak bisa berbicara.
“Kak Taehyung kenapa menangis?”
Sungguh—
Yang benar saja, Kim Jiya?
Taehyung benar-benar membatu. Vokal manis Jiya yang selalu menjadi alarma dan teman pendamping Taehyung itu keluar dengan aksen khawatir. Sensasinya menyenangkan, tetapi lagi-lagi Taehyung tidak membutuhkan diktum tanda khawatir. Jiya lebih mendapatkan esensi bahayanya dan Taehyung yang perlu mengeluarkan diktum tanpa khawatir.
Taehyung terkekeh disela-sela isakan tololnya. “Aku pengecut, ya?”
“Tidak. You’re my great citadel, Taehyung-ie,” balasnya. Di lubuk hati Jiya, ia mengatakan hal yang benar, bukan sindirian. Taehyung memang sudah semaksimal mungkin menjaganya. Apa yang menerpa pada konstelasi Jiya itu karena keteledoran dan kecerebohon Jiya sendiri—Jiya mencoba melupakan memori pengganggu tatkala Taehyung merogolnya kasar-kasar; itu bukan hal yang penting lagi karena Jiya mencoba memahami perasaan Taehyung saat itu, meski tetap kalau dia salah.
“Jangan mengada-ngada, Jiya. Aku bahkan—”
“Aku mencintaimu.” Sialan. Yang benar saja, Kim Jiya. “Aku menyimpan memori pertama kita berjumpa, saat pesta dansa, saat kau mendadak membawaku ke bilik mandi, saat menemanimu gila dengan medikamen ilegal, saat pertama kita terbuka dengan afeksi dan gairah, saat kita berseteru konyol, dan saat kita saling memuja. Aku mencintaimu, Jung Taehyung-ie.”
Itu manis, bagi Taehyung. Tapi kenapa rasanya seperti mimpi buruk?
Taehyung stagnan. Sisa dua menit dari sepuluh menit yang dijanjikan. Kim Jiya yang sedari tadi dominan dengan isakan mencoba kembali stabil lagi. Asmaraloka hancur dan kelabu yang tragis. Jiya melanjutkan bicara lagi tanpa mau menunggu balasan Taehyung. “Maaf ya kalau nanti aku tidak bisa bertahan lagi. Aku—”
Taehyung menyela bagai gundala. Menabrak diktum Jiya tanpa mau tahu kelanjutannya sebab Taehyung tidak ingin mendengarkan omong kosong lainnya. Taehyung punya keyakinan besar untuk kembali membuat predestinasi stabil, Jiya kembali padanya, dan semua masalah mencapai ending yang bagus. Taehyung mampu merasakan beban yang Jiya pikul, tapi ia tidak sanggup jika mesti dihadapkan dengan omong kosong bajingan seperti itu. Maka tatkala panggilan nyaris berhenti, Taehyung berbicara. “Te quiero con todo mi corazon. I do love you so much. I will save you, Mi Corazon. Tunggu aku, ya.”
[TBC]
[aku publikasikan dua bagian, pastikan baca bagian sebelumnya]
gimana, hshshs. kasian, jujur aja.
anw, taehyung dkk belum nemuin lokasi rumah jimin karena memang gada kontak atau apapun yang bisa memancing. jadi belum ada penyelamatan gitu. tapi ... jimin mendadak ngizinin jiya untuk telepon taehyung. jadi ... be positive hehe.
sampai jumpa di bagian selanjutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top