ACT II: CHAPTER 22
[Be wise: rape, NSFW, depressing and disturbing content, hell, and sin]
Kim Jiya mematung dengan kerongkongan semerta-merta menelan saliva susah payah seolah tengah menelan gada, walau itu perumpamaan yang imposibel. Dari jarak yang tidak begitu jauh, telak di sudut ruangan, ada satu entitas ekstraordinari, paragon laiknya candra yang magnifisen. Saat itu visualisasi kedalaman palung di osean yang menenggelamkan murni menabrak pada netra hazel dengan warna khas hijau dan lebih mencolok karena relapan lampu-lampu yang menyorot di mana-mana. Kim Jiya tidak akan melupakan eksperimen paling memorabel itu. Sebuah fragmen yang secara tidak direk memberi invitasi pada Jiya untuk melepaskan sel-sel kewarasannya. Jiya gila saat itu.
Tidak ada kebohongan yang akan Jiya utarakan. Kim Jiya memakai gaun dengan warna hijau tua yang paling mencolok, sebab tidak ada siapapun yang memakai fabrik dengan warna demikian. Kim Jiya memakai topeng dengan desain glorius; secara khusus dibuatkan oleh salah satu kerabat untuk Jiya, sebagai adisional pemanis pada netra hazel Jiya. Kim Jiya memakai fedora elegan nan magnifisen yang setidaknya menutupi sebagian surai gelapnya. Satu, lagi, adisional pita di leher selalu menjadi prioritas paling utama. Semua detail itu secara konkret menjadi keindahan hakiki. Lagi, tidak ada kebohongan yang akan Jiya utarakan. Salah satunya adalah sebuah realitas besar bahwa Jung Taehyung menatapnya penuh pasion pada Jiya dan seluruh detail yang berada pada daksa Jiya. Jung Taehyung, paragon magnifisen yang mutlak selayaknya entitas favorit Tuhan itu sudah terlalu terbiasa memuja Kim Jiya.
Jiya lihat, terus-menerus seraya menelan saliva dan seraya mencoba memberikan kontrol maksimal pada tubuh, saat ia pikir bahwa ia turbulensi karena Jung Taehyung. Lelaki itu berdiri di sudut ruang tersebut dengan tuksedo luksuriusnya, sebuah tampilan yang diferen dari biasanya, bukan lagi seperti pria urban yang bergaya bebas. Lelaki itu jelas sekali menguar interes kuat dari netra jelaganya—ada spirit, pasion, impresi buas, dan afeksi.
Dari apa yang Jiya rasakan, bukan hanya ia yang menunjukkan invitasi perasaan yang magnifisen, Jung Taehyung juga similar. Pada hakikatnya, Jung Taehyung selalu menatapi Jiya seolah Jiya adalah berlian luksurius yang paling langka dan yang paling dipuja-puja. Seperti ucapan Taehyung momen-momen selanjutnya, Kim Jiya bagi Jung Taehyung itu spesial, prominen, unggul, dan paling dihormati.
Itu dibuktikan dan diberikan protasis di momen kemudian. Kim Jiya berharga, bagi Taehyung. Kim Jiya selalu dipandang sebagai paragon manis spesial yang patut diberi luapan afeksi yang telak murni dari hati Taehyung—itulah basis nama eksklusif, Mi Corazon. Kim Jiya laiknya prinses dari kingdom di dunia dongeng yang prominen—itulah basis nama nama eksklusif, Principessa. Kim Jiya barangkali dipertimbangkan selayaknya bayi fragil yang mesti diberi perhatian unggul—itulah basis nama esklusif, Bebe. Kim Jiya menaiki satu tahta lebih tinggi hingga ia mendapatkan penghormatan yang lebih daripada yang dirangkum di catatan rekor manusia—itulah basis nama eksklusif, Su Majestad.
Kim Jiya selalu menjadi yang berharga sejak dulu, bagi Taehyung.
Kemudian, Jiya terkesiap. Lagi-lagi ditarik pada segmen selanjutnya di masa manis yang penuh pasion itu. Dimensi nyenyat dengan imaginasi manis itu hancur tatkala ada invitasi tarian apik yang tidak benar-benar terkoordinir itu. Tetapi tidak sepenuhnya, Kim Jiya tidak lepas, dan Jung Taehyung tidak pernah melepaskan. Kendati fungsi tubuhnya fokus pada hal lain, netra Jiya masih berada pada kuncian jelaga Taehyung. Saling bertatap terus-menerus tanpa ada keinginan untuk saling mendekat, membuat fragmen permulaan yang manis laiknya raja dan ratu, saling berbisik memuja-muja, atau mungkin berakhir menjadi cumbuan manis. Satu hal yang sangat disayangkan.
Namun, meski tidak ada kontak yang lebih dari sekedar koneksi netra, hazel hijau pada jelaga hitam, intensi keduanya untuk mencoba saling terkoneksi tidaklah pudar. Kim Jiya tidak akan pernah melupakan eksperimen paling memorabel itu. Sebuah fragmen yang secara tidak direk memberi invitasi pada Jiya untuk melepaskan sel-sel kewarasannya. Sehingga dari jihat Jiya, ia membuat fragmen artifisial.
Ada satu hal yang mengganggu sanubari dan pikirannya. Malam itu, Jiya pulang tergesa-gesa, mengganti satu set tampilan berharganya dengan sebuah tampilan perempuan urban biasanya, lantas kontinya menapak pada satu ruangan di atas. Ia memasuki ruangan dengan pintu yang selalu tertutup karena penghuninya jarang pernah ada.
Kim Jiya merasa terganggu dengan penghuni ruangan itu. Kim Hoseok.
Kim Jiya memiliki doktrin kuat, yakni harus menjadi pemenang dan pemegang viktori yang sah. Ia memiliki rival untuk objek yang sama. Sejak lama, ia mendapatkan informasi secara cuma-cuma dari Kim Hoseok bahwa pria itu memiliki interes besar pada Taehyung. Jiya tahu itu, tetapi tidak pernah bertindak. Namun, saat pesta berlangsung, ia mendapatkan esensi kegilaan. Taehyung milik Jiya, satu-satunya. Jadi, Jiya yang tidak pernah bertindak senantiasa bergerak lebih cerdik.
Tidak ada eksplanasi khusus soal apa yang terjadi setelahnya. Stori singkat yang mesti dipaparkan adalah adanya perdebatan pelik antara siapa yang berhak dan tidak berhak, siapa yang pantas dan tak pantas, siapa yang normal dan tidak normal. Jiya dan Hoseok adalah saudara yang tidak pernah berseteru. Namun, pada hakikatnya, keduanya sama-sama menusuk. Lagi-lagi karena alasan yang sama, doktrin kuat dari famili untuk menjadi viktori.
Klimaks terbesar yang terjadi adalah adanya saraf terputus. Kim Hoseok, si pria dengan orientasi salah itu mengalami perubahan sentimen. Pria itu punya intensi menghancurkan Jiya, membuatnya kotor, hina, hancur, dan membuat traumatis besar; menyetubuhi Jiya. Kendati untungnya, Tuhan lebih mengizinkan Jiya untuk menang. Pertahanan Jiya tidak runtuh, ia bisa menyelematkan harta berharganya karena pada momen tersebut Jiya melepaskan sel-sel kewarasannya. Jiya secara tidak sengaja menghabisi Hoseok dengan cekikan tangan karena sebuah kompetisi sengit demi Taehyung, amarah magnifisen karena Hoseok nyaris melecehkannya, dan satu perasaan dengki yang tersimpan.
Jadi, Jimin benar, Jimin benar saat ia mengatakan Hoseok mati karena Kim Jiya. Tak aneh jika pria yang tulus memuja saudara Kim Jiya itu membuat hukuman besar sebagai bagian dari balas dendam. Kim Jiya pada dasarnya mengalami balasan atas keteledoran dan kecerobohan di masa lalu. Ia memang tidak sengaja mencekik Hoseok hingga terbunuh. Namun, Jiya tetap salah sebab ia merasa bahagia dan secara real memodifikasi adegan pembunuhan seolah menjadi segmen bunuh diri personal. Pada kenyataannya, Jimin tahu semua itu; dan ia ingin merepetisi fragmen.
Jantung Jiya meletup-letup seperti kembang api di akhir tahun. Semenjak terakhir kali Jimin memublikasikan imej polos Jiya pada publik dengan akun bajingan itu, Jiya tidak pernah dibiarkan tenang barang sedetikpun. Ini gila, tetapi pada kenyataannya Jimin selalu membuat postingan tak senonoh tanpa izin. Mainan seksual dan kengerian Jimin telak mengingatkan Jiya pada Hoseok, karena begitulah intensi Jimin, yakni merepetisi fragmen—tapi Jimin lebih gila.
Jiya melirih, “Jangan lagi—”
Pria itu tersenyum miring, telak menunjukan visual angkuh dan bak penguasa otoriter. Jiya terkesiap saat pria itu kembali masuk ke ruangan dengan ekspresi seperti itu. Jimin terus berdiri tanpa ada niatan untuk mendekati Jiya—belum. Tapi jelas betul bahwa Hwang Jimin acapkali membuat atmosfer horor berlipat ganda menjadi infinit.
“Aku ingin pulang,” adisi Jiya. Ingin pulang, kembali pada Taehyung.
“Belum saatnya, Jiya.” Pria dengan surai dolerit itu membalas demikian. Pertama-tama ia mendekati pintu dan menguncinya rapat-rapat, seperti biasa. Lantas, dengan manuver terstruktur, ia maju mendekati seoonggok daging dengan titel manusia yang absolut tengah meringkuk. Setidaknya itu membuat Jiya panik, kendati dari penglihatannya, ia tak melihat ekuipmen bajingan yang selalu merangsek pada tubuhnya lagi. Jiya harap itu pertanda bagus untuk hari ini.
Sampai finalnya Jimin duduk di bagian pinggiran tilam dengan netra yang masih setia merekam figur Jiya. Seribu persen kecepatan jantung Jiya berubah drastis, naik meluncur layaknya roket angkasa. Apalagi saat tangan Hwang Jimin mencapai jemala Jiya, membelai subtil seolah-olah tengah berlakon menjadi pria baik. Satu sekon kemudian setelah pergerakkan itu, Jimin kembali bersuara, “Aku tahu, Jiya,” katanya absurd, tak jelas, dan Jiya tahu kalau Jimin belum selesai berbicara. “Kau mengelak soal pembulian Jihan, kan? Ya, aku menyetujuinya karena kamu tidak melakukan itu, melainkan kerjaan orang gila lainnya yang sengaja menumbalkanmu. Tapi—” Pria itu menjeda, sengaja menaikkan atmosfer gelap. “Aku tetap membencimu karena kau memicu Taehyung untuk menghancurkan Jihan.”
Jiya inosen, tidak tahu apa-apa soal itu. Jiya tidak tahu kalau Taehyung melakukan hal itu. Apalagi melakukan hal seperti itu karena obsesinya pada Jiya.
“Selain itu, ada satu hal yang kusukai darimu, Ji. Kau tidak bisa berbohong. Kau hanya memberi pengelakan pada bagian Jihan dan secara tidak direk membenarkan tindakanmu atas Hoseok dan Woona.” Secara harfiah ini ultimatum yang harus diperhatikan oleh Jiya. “Tapi aku hanya akan membahas soal Hoseok. Untuk Woona, ada orang lain yang lebih laik untuk membahasnya dan itu bukanlah porsiku. Jadi—”
“Itu kecelakaan,” seru Jiya pelan.
Sekali lagi, Jimin membuat senyuman yang asimetris.
“Itulah yang kuinginkan, kejujuranmu,” kata Jimin. “Tapi aku tidak peduli itu kecelakaan atau bukan, karena aku tahu apa yang terjadi sebelum Hoseok meninggal. Pertikaian, kompetisi, dan saling mencoba memenangkan ego hingga akhirnya kau yang menang karena alibi ketidaksengajaan. Ya, mungkin benar, tapi kau bahagia.”
Tidak eksplanasi khusus soal apa yang terjadi setelahnya. Stori singkat yang mesti dipaparkan adalah adanya perdebatan pelik antara siapa yang berhak dan tidak berhak, siapa yang pantas dan tak pantas, siapa yang normal dan tidak normal. Kim Jiya dan Kim Hoseok berseteru, berkompetisi, dan mencoba saling memenangkan ego. Kim Hoseok nyaris memerkosa Jiya dan Kim Jiya berhasil memutus kemampuan bernapas Kim Hoseok.
“Aku akan melakukan apa yang Hoseok lakukan. Plus … sesuatu yang menimpa Jihan. Membuatmu kotor, hina, seperti hewan, membuat traumatis besar dan—bagaimana dengan bayi? Taehyung memberikan mimpi buruk itu pada Jihan. Atau harus diakhiri dengan cekikan juga? Tapi untungnya aku bukan psikopat obsesif sepertimu.”
Jiya membelalakkan matanya ketika pria itu memberi ultimatum menakutkan tersebut. Secara konkret kepala Jiya bergerak, menggeleng menolak walaupun itu tidak ada gunanya. Yang ada, Jiya mesti menatapi ilusi gelap tentang dirinya sendiri yang kembali akan dihancurkan. Jiya berusaha memberi protes, tapi Jimin selalu membuat imej dan tindakan bagai penguasa otoriter.
“Jangan mendekat,” pinta Jiya lirih.
Hwang Jimin terkekeh seolah mendapatkan guyonan khas para pelawak di televisi. “Apa yang terjadi ketika hiena melihat rusa? Pikirkan jawabannya dan itulah yang akan tetap aku lakukan.”
Mendekat dan memangsa. Rakus dan seolah tidak pernah berhenti lapar.
Jiya panik. Setelah diktum Jimin keluar dan secara harfiah Jiya mendapatkan jawabannya, Jimin merealisasikannya sebagai tindakan real. Pria itu tidak pernah menggubris protesan lirih Jiya. Yang ada adalah tindakan tanpa permisi. Pria itu merangkak mendekati Jiya dan menyelinap diantara kedua tungkai Jiya setelah sebelumnya membuka paksa. Hingga finalnya, Jimin membuka satu-satunya fabrik yang menjadi kaver daksa Jiya yang fragil.
Kenya itu menahan napas dan secara mendadak lumpuh. Hwang Jimin berada di atas dengan tatapan intens, secara real mendetonasikan konstelasi gelap dan penuh peringatan. Seperti menjadi favorit, Jimin kembali memberi senyuman asimetris sebelum akhirnya memilih untuk mengulum labium Jiya, berantakan hingga barangkali akan menimbulkan impresi biram dan sembab. Bahkan Jimin memberi adisional dengan tangan-tangan yang menyusup ke dua spot; satu spot pada tengkuk Jiya dan satunya mencoba menyapa dua dunia yang menjadi mimpi indah Jimin selama ini.
Jiya mengerang, merasakan berbagai rasa menakutkan yang timbul pada diri Jiya. Tapi, tahukah satu hal krusial yang Jiya dapatkan? Ketidakberdayaan. Kilas balik soal apa yang menimpa pada Jiya tempo lalu. Memorial kelam soal Jungkook Scheiffer dan Jung Taehyung di ruangan praktik Saint Hallway. Jiya akan tetap seperti itu. Yang ada Jiya hanya kapabel meredam jeritan dan tangisan di dalam diri sendiri tanpa ada power untuk mengeluarkannya sebagai protesan yang nyata. Konkret, Kim Jiya runtuh dan lumpuh.
Kim Jiya is still nothing until now. She’s just a scattered flower.
Mendadak Jiya merasakan dorongan kuat pada tubuhnya hingga punggungnya menyentuh permukaan fabrik kaver tilam yang dingin. Kemudian, visus Jiya melihat bagaimana Hwang Jimin secara nyata menyingkirkan eksistensi material penutup daksanya sendiri. Dan lagi-lagi Jiya melihat esensi kehororan lainnya tatkala Jimin mencoba menyamakan keadaan dengan sama-sama polos dan inosen seperti bayi yang hendak menyapa dunia untuk pertama kalinya.
Jiya siap menolak dan melawan, tapi itu hanyalah mimpi. Pada akhirnya, wanodya tersebut hanya kapabel memublikasikan pekikan keras ketika Hwang Jimin tanpa ultimatum merangsek masuk pada Jiya. Hwang Jimin bukannya merepetisi fragmen sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Hoseok, ia hanya mencoba melanjutkannya. Kim Jiya kembali diinvasi oleh pria bajingan tanpa adanya manuver lembut; manuver yang jauh berbeda dengan Jung Taehyung saat pertama kali memuja keindahan afeksi dan cinta.
Gadis itu memejam dengan kerutan dahi yang tertera jelas kendati air mata selalu berhasil lolos sedikit demi sedikit untuk mengekspresikan rasa sakit dan ras perih yang mewarnai atma dan raga, mental dan fisikal Jiya. Napasnya terengah dan sangat tidak stabil saat Hwang Jimin terus menginvasi sentral daksa Jiya dengan tangan yang setia menjelajahi spot tubuh, bahkan Jiya mau tak mau harus kembali terbungkam karena Jimin kembali memberikan cumbana barbarik padanya.
Sialnya, ada rasa lain. Tapi Jiya tidak akan mengkonfirmasi itu sebagai rasa yang manis dan menyenangkan walaupun tubuh dan mulutnya berkhianat sedikit demi sedikit. Hwang Jimin memang memangsa seperti predator dan mengunyah Jiya tanpa permisi, jelas bahwa ini tindakan perogolan yang menyakiti hati dan raga, dan telak tidak diinginkan oleh Jiya. Hanya saja, Jimin tidak semenyeramkan memori di ruang praktik. Ketika aksiden di ruang praktik, semuanya hanyalah gelap dan perih. Tapi ini, Jimin tahu caranya untuk membodohi dengan meninggalkan sedikit kesan eden.
Namun, sekali lagi, itu diluar kontrol Jiya sebab ia menginginkan untuk berhenti karena mau bagaimanapun, walau ada rasa lain, tetap bahwa rasa neraka lebih mendominasinya.
“Berhen—ehm—aku ingin—” Jiya tersendat tatkala Hwang Jimin mendorong masuk lebih jauh. Hwang Jimin terlonjak dengan hasrat dan gairah. Hwang Jimin biseksual, ia tertarik pada pria, tetapi ia tetap menggila seperti predator savana ketika dihadapkan dengan perempuan. Everybody does want Jiya. Termasuk Jimin. Kendati Jimin memiliki perasaan yang benci mendetonasi pada Jiya karena telah menghancurkan harapan Jimin soal Hoseok dan Jihan—orang-orang yang dipuja Jimin—tetapi Jimin tidak pernah ingin tertinggal antrean. Cepat atau lambat ia akan menghancurkan Jiya dan itu terjadi hari ini.
Jiya ingin pulang. Pulang kembali pada Taehyung.
Jimin menggeram, memublikasikan rasa eden yang berlebihan. Ia memegangi pinggang Jiya kuat-kuat untuk menciptakan friksi yang lebih real dan dalam. Jiya tahu, tahu apa yang dirasakan Jimin. Kim Jiya merasakan hal lain, akan rilis sehingga sentral tubuhnya menyempit hingga Jimin telak memanfaatkan itu untuk terus mengejar sensasi firdaus yang semakin meningkat rasa menyenangkannya.
Dan pada finalnya, Jiya finis hingga lebih-lebih terkulai lemas dan perih. Sementara Hwang Jimin meningkatkan intensitas kecepatan, mengejar perasaan yang serupa. Terus-menerus memublikasikan vokabulari kotor, mencumbui Jiya, dan mengeksplorasi seluruh spot tubuh Jiya. Maka itu esensi kesakitan dan kegilaan yang sebenarnya. Apalagi momen-momen tatkala Jimin hendak mencapai edennya sendiri dan murni membuat Jiya menjerit—sakit, perih. Jimin menunjukkan seberapa besar potensinya sebagai predator. Predator tanpa hati. Setelahnya, kenapa eksis titel predator tanpa hati, karena Jimin memenuhi bagian dalam daksa Jiya dengan likuid yang riski dan berbahaya. Bahkan sesungguhnya itu bukan final gim.
Mendekat dan memangsa. Rakus dan seolah tidak pernah berhenti lapar.
“Tolong—sudahi—aku—” Jiya memekik. Friksi tubuh terus terjadi. Jiya terbujur lemah di bawah dengan spirit dan energi menurun. Pria itu bahkan segera mengangkat dua tangan Jiya ke atas kepala, menahan seolah diikat dengan satu tangan. Sementara tangan lainnya menyentuh sentral daksa wanodya nelangsa itu.
“Jimin—berh—ehm—” Sakit.
Pria itu seolah tidak mendengar. Tuli secara mendadak sebab pada hakikatnya tidak ada pemberhentian. Segalanya terasa sesak dan gelap. Jiya tidak kapabel untuk bernapas secara waras selain menumpahkan ekspresi danimpresi hasai. Hwang Jimin seolah tidak memerdulikan kondisi fisik dan mental yang fragil yang dimiliki wanodya itu. Jiya tergemap ketika daksa terus terinvasi brutal berkali-kali; sakit meski tidak sebarbarik Jungkook dan Taehyung pada saat itu. Dia kewalahan. Bahkan sampai pria itu bergumam dengan erangan keras sekali lagi tanda akan rilis.
Persetan dengan hidup. Jiya tidak tahan lagi.
Pada intinya, semenjak aksi brutal dan barbarik ini, Jiya mendeklarasikan diri bahwa ia akan melupakan invitasi Taehyung tempo lalu. Tidak akan ada lagi kegiatan menikmati predestinasi hancur sebab Jiya terlampau hasai. Jiya memilih untuk berakhir tanpa mau tahu ujung predestinasinya seperti apa. Kendati Jiya belum tahu siapa saja orang-orang yang terlibat untuk membuat kasus artifisial perundungan Jihan atau siapa yang menculik Woona, menyebarkannya, dan mendoktrin semua orang untuk percaya. Tetapi, konklusi yang tepat, Jiya tahu bahwa salah satunya adalah Jimin.
Kata Jiya tempo lalu, "Suicide is a good choice."
[TBC]
udah lama banget, ya? rindu jung taehyung?
jangan bosan ya karena aku suka bicara ini, yang pasti, kalau ga nyaman dengan ini bisa berhenti. aku overthinking. tapi yang pasti tolong ambil moralnya.
ngomong-ngomong, lagi-lagi aku ngasih invitasi bagi yang cocok untuk berkunjung ke whoever brought me lies should be punished. thriller, mystery, gore. trigger warning. kembali lagi dengan taehyung dan itu sudah tamat.
satu lagi, scroll down, mi corazon, i give you two parts.
sampai jumpa di bagian selanjutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top