ACT II: CHAPTER 19
[be wise: violence, fight against women.]
Taehyung, dia terjun ke dalam linear kisahnya yang sama sekali tidak lurus. Kemudian dia malah membuat garisnya semakin tidak beraturan. Tolol.
Itu hasil yang memang dipastikan akan didapatkan tatkala ia membuat katastrofe. Taehyung sangat tidak ekspert mengontrol gejolak amarah, ingat? Itu satu hal besar yang mesti dibenahi lantaran satu hal yang dia miliki itu malah membuat predestinasi makin tidak beraturan. Sialan, kenapa juga kemarin ia malah merogol Jiya?
Tolol, tolol, tolol.
Taehyung is really a poser.
Dengan kelopak netra yang sudah menggapai seluruh fungsinya, nampak terbuka sempurna; tulang-tulang terkena vibrasi gila yang mendadak membuatnya meledak; dan satu kekosongan besar di dalam tempurung kepala, Taehyung berseru kencang. Kontinyu memapahkan tungkai ke dalam kamar tergesa-gesa, ia mulai menangkap inti sari kebodohan yang sesungguhnya. Gila, sejak kapan fungsi otak Taehyung terganggu hingga menyisakan hanya sekitar satu persen? Tidak ada Jiya di apartemen, itu problematikanya. Taehyung, lucunya, menyadari ketidakhadiran Jiya semalam, tetapi ia belum memiliki cukup banyak kewarasan karena ia malah lebih berminat untuk memakai lagi obat-obat ilegalnyaㅡuntuk pertama kalinya Taehyung mengonsumsinya secara berlebihan. Alhasil, reaksi semalam tidak terekspos dan Taehyung sama sekali tidak mencari Jiya, malahan memaki kenya itu sambil meminum alkohol dan terus-menerus mengonsumsi medikamen ilegal. Siang ini, setelah terbangun di atas karpet hitamnya dengan keadaan apartemen yang super berantakan, otak Taehyung baru bekerja kendati tidak maksimal. Tak aneh jika ia terperanjat setelah beberapa sekon membuka mata dan berjalan penuh ketegangan menuju kamar hanya untuk memastikan presensi Jiya.
Taehyung ingat soal apa yang ia lakukan. Sangat ingat. Mengerikan. Menjijikan. Taehyung mengakui itu. Ia mengingat siklus tolol dari permainan gilanya pada Jiya dengan Jungkook Scheiffer yang turut andil memberikan kehororan pada Jiya; atau saat ia menyadari eksistensi darah di bagian esensialnya dan ia tahu itu dihasilkan dari dalam Jiya yang sensitif karena friksi kasar, atau mungkin karena alasan lain; yang paling tragis adalah final momennya, dan hal itu sangat mengganggu pikiran Taehyung.
Taehyung tidak banyak energi setelahnya dan hanya kapabel tersandar di tembok lagi sembari memerhatikan Jiya yang hancur dengan air mata. Taehyung penuh amarah sehingga ia tidak bisa melihat Jiya sebagai gadis spesialnya. Jadi Taehyung hanya diam sementara wanodya Kim meringkuk selama beberapa sekon tanpa memerdulikan eksistensi Taehyung, lantas kontinyu bangun susah payah.
Jiya, karena gaun floralnya dirusak Jungkook Scheiffer dan otomatis Jiya tidak bisa menutup tubuhnya yang mutlak polos dan konyolnya seorang Jung Taehyung adalah ia tidak menawarkan mantel panjang yang ia gunakan untuk Jiya, melainkan hanya terdiam tolol sembari menghirup heroin lagi-intinya, entah sebuah keuntungan atau bukan, tetapi eksistensi gaun pasien dengan material fabrik di ruang praktek membantu Jiya. Oh, itu kekonyolan besar. Saat itu sudah menginjak senja, tetapi masih ada banyak mahasiswa yang memiliki kelas sore. Taehyung tidak ingin membayangkan ini, tetapi rasa malu Jiya terbayang di otak tololnya. Jiya adalah target perundungan nomor satu Saint Hallway karena kasus itu, kemudian kemarin sore si Kim Jiya ini harus kabur dari ruangan praktek dengan tampilan seperti pasien rumah sakit. Mahasiwa jenis apa yang berpakaian seperti itu? Orang-orang akan menganggapnya gila-ditambah dengan roman super hancurnya.
Kegilaan Taehyung mencapi limit. Padahal mestinya Taehyung merasa beruntung dan bersyukur. Setelah Jiya keluar dengan menggunakan kartu akses miliknya sendiri yang dipegang Taehyung, lantas Jiya melemparkan kartunya dari luar pintu agar Taehyung tidak terkunci di dalam. Bukannya berterima kasih, Taehyung dengan super bejad-keparat-durjana malah menguar diktum sinting, "Hukuman yang menyenangkan, kan?" Brengsek sekali. Dan Taehyung lihat, Jiya menangis lagi setelah diktum itu keluar, dan pergi.
"Tolol, tolol, tolol, tolol, tolol." Taehyung bergumam mengumpati diri terus-menerus. Kontinyu menggeram marah hingga refleks melempar botol alkohol ke meja, hingga dua binatang yang terduduk inosen di sofa ikut terperanjat dan kabur ke ruangan lain. Setelahnya tergesa-gesa mengambil ponsel dengan menghubungi seseorang yang barangkali tahu jawaban soal apa yang Taehyung pikirkan. "Fischer, apa Jiya ada di asrama?"
Yoongi Fischer menguar tawa keras. "Tentu saja, tolol." Hal itu absolut membuat Taehyung mengernyit sebab heran. Apa Yoongi Fischer tahu problematikanya? Aksen suaranya benar-benar seperti tengah mengolok-ngolok. Tidak mungkin kalau Jiya bercerita pada Yoongi, keduanya sama sekali tidak akrab, bahkan pertemuan terakhir di tempat The Academic Devils tidaklah baik. "Menyakiti dan merogol gadis sendiri, huh?"
"Bagaiㅡ"
"Bagaimana bisa aku tahu itu? Video hasil kamera perekam di ruangan praktek itu tersebar dengan luas dan cepat seperti virus."
"Tidak mungkin."
"Itu kenyataannya, Jung. Jungkook Scheiffer adalah dalangnya. Dia membanggakan diri karena ia berhasil menguasai Jiya. Iya, memang tolol karena mengumbar tindakan kriminal sendiri. Tapi ini Jiya, man! Seorang pria jika mendapatkan sehelai rambutnya saja bisa pamer pada rekannya sendiri." Ia menjeda hanya untuk mengambil oksigen. "Gadismu yang telah kau klaim habis-habisan dan diberi sikap protektif itu sudah terkespos pada publik Saint Hallway. Kau tahu ... kendati mereka tidak mendapatkan Jiya secara langsung, video semacam itu bisa sangat membantu untuk membangun imaji seksual, seolah benar-benar berhadapan dengan Jiya. Jungkook Scheiffer menggambil rekaman dari setiap sudut dengan suara yang diatur maksimum. Yah, Kendati setidaknya berkat itu beberapa pihak mulai mengasihani Jiya, iba, dan mungkin beberapa dari mereka tidak akan merundung Jiya lagi."
Taehyung memijit kening otomatis. Sialan, ia tidak mampu membayangkan hal itu. Jiya, gadisnya, seluruh spot tubuhnya terekspos publik. Bagaimana jika Jiya tahu itu?
"Sisi lainnya, bukan Jiya saja yang dirugikan; kau juga kena ruginya. Profesor Schiller pagi tadi membawa Jungkook untuk proses investigasi di kantor kepolisian. Itu topik heboh. Mungkin kau juga akan diseret Profesor Schiller, tanpa memerdulikan soal hubungan kau dengan Jiya."
Jadi, Yoongi Fischer juga mengetahui realitas soal relasi Profesor Schiller dan Jiya. Secara general, sebagian besar anggota The Academic Devils tahu sebab Trevor Schiller mengumbar fakta itu. Bukan sebagai trik untuk menggapai popularitas karena memiliki seorang kakak yang super populer di Saint Hallway, tetapi Trevor tipikal pria yang sangat protektif pada famili sendiri. Ia mengumbar fakta itu sebagai tindakan preventif agar tidak ada yang macam-macam pada Jiya.
"Trevor ingin membunuhmu," tambah Yoongi.
Taehyung tidak khawatir dengan itu. Tidak peduli. Investigasi kepolisian soal perogolan dan kegiatan mengonsumsi heroinnya yang sudah pasti ikut terekam, amukan Profesor Schiller karena Taehyung menghancurkan janji, atau amukan tornado Trevor, tidak peduli, fokusnya hanya Kim Jiya. Sialan, sumpah, Taehyung tidak bisa berpikir waras.
"Aktifkan kamera di dalam asrama. Aku ingin tahu keadaannya."
"Tidak bisa. Itu harus atas permisi Jiya," balas Yoongi.
Taehyung menggeram di situ. Tidak peduli. "Yoongi!"
Begitulah Jung Taehyung. Tidak ahli menjadi psikopat. Setelah membuat kesalahan besar, kini ia panik bukan main. Tak aneh jika Yoongi Fischer terus mengolok-ngolok Taehyung dengan tawa renyahnya. "Fine." Ia balas begitu setelahnya. Nyenyat sejemang sebab Yoongi tidak mengontrol itu, melainkan itu dikontrol oleh orang lain yang menetap di asrama. Untungnya, pengontrolnya cepat tanggap dan memberi jawaban cepat. "Tidak ada yang aneh saat ini. Hanya terbaring rapuh dengan pakaian pasien. Asrama yang berantakan; bahkan, erㅡmungkin dia membanting ponsel dan laptopnya dan kupikir dia memilik banyak penyimpanan obat. Kau tahu ... panik karena tidak ingin menerima hasil kecelakan hingga terburu-buru menelan obat dan berujung seluruh obatnya berserakan," paparnya dan Taehyung menelan saliva. "If she is expecting a baby, itu anaknya siapa, ya?"
"Sialan." Taehyung mengumpat tegas. Tidak suka atas pertanyaan itu.
"Kau yang sialan, tolol! Bukannya membantu dan menghentikan tindakan kotor Scheiffer, kau malah ikut menyakiti. Imbesil."
Taehyung menghentikan konversasi secara sepihak. Ia menerima konsekuensi apapun, kecuali olok-olokan atau yang lebih parah adalah kebencian Jiya. Ia tahu mungkin ia tidak akan diterima dengan baik, tetapi Taehyung lebih memilih untuk pergi menuju ke asrama, ketimbang hanya mencari tahu keadaan lewat Jiya Fischer dan malah dapat olokan besar.
Bagaimana Taehyung berjalan, sudah terlihat kompleksitas perasaan yang ia tampung di hati. Taehyung tidak tenang. Ini pukul sebelas siang, tidak ada waktu untuk mengendarai benzo tatkala jalanan penuh sesak dengan radas transportasi. Jarak ke asrama memang tidak begitu jauh, namun itu terlampau buang-buang waktu kalau berjalan. Sehingga mau tidak mau ia tetap memakai benzo. Taehyung pergi tergesa-gesa. Tentunya itu membahayakan, apalagi si gila ini terang-terangan menerobos lampu merah, kendati setidaknya ia diberi kesempatan untuk selamat tatkala satu mini bus nyaris menghantamnya. Taehyung hanya terlampau panik dan super menyesal.
Tak salah lagi saat tiba di asrama, tempat yang didominasi oleh banyak orang intelektual yang sebagian nampak cupu dan sebagian adalah mahasiswa normal yang tidak suka ikut masalah, Taehyung dilirik seolah ia memiliki peran sebagai monster atau peran antagonis yang membahayakan dalam sebuah film thriller. Hingga pada momen selanjutnya, ada perasaan adiktif yang menggerogoti tubuh: suram, kelam, dan gelap. Taehyung agaknya ragu-ragu untuk menekan beberapa digit pin asrama. Pertama, mungkin pinnya sudah diganti. Kedua, Taehyung tidak memiliki ketebalan kulit wajah; malu sekali. Ketiga, bukankah seorang Kim Jiya akan histeris saat perempuan itu menyadari dirinya sudah hancur dan tidak sempurna seperti biasanya? Iya, itu sebuah kepastian.
Taehyung menekan beberapa digin pin ragu-ragu. Namun, selanjutnya ia malah terkejut karena Kim Jiya tidak mengubah pinnya, antara kelupaan atau tidak memiliki waktu untuk hal semacam itu. Itu keuntungan besar, jujur saja. Hanya saja roman melankolis lebih laik dipertahankan ketimbang melakukan selebrasi tolol sebab Jiya tidak mengubah pin asramanya. Kemudian, sesuai apa yang disebutkan Yoongi Fischer sebelumnya, memang benar bahwa katastrofe besar sudah terjadi di sini. Berantakan, kotor, dan jauh dari imej wanodya Kim.
"Keluar. Bukan kau yang kutunggu. Aku menunggu orang lain."
Jiya menerima konstituen yang kontras. Ia tak pernah tidur kendati netra memejam sempuran sejak kemarin sore dan daksa sama sekali tidak bergerak. Perempuan itu fokus terhadap satu keabsurdan besar hingga indera penciumannya berfungsi lebih baik detik itu. Taehyung memang sebelumnya belum melakukan ritual mandi atau menggunakan parfum luksurius, tetapi aromatik khas seorang Jung Taehyung, atraktif dan maskulin, itu telak sudah tersimpan di bagian memori Jiya. Aroma Taehyung berhasil menarik interes ketimbang suara klik pintu.
"Mi Corazon, akuㅡ"
Jiya membalikkan badan dan susah payah untuk duduk. Ada vokal ringisan juga. Kendati roman wajahnya tidak menunjukkan reaksi yang similar, melainkan hanya memberikan ekspresi kosong. Hal-hal tersebut refleks membuat Taehyung absolut menghentikan ucapannya sendiri. Selain itu, kapan terakhir Taehyung melihat roman suram Jiya?
"Prim berhasil mendapatkan sesuatu yang dia inginkan," kata Jiya sebagai preambul dengan aksen kelam, eksis vibrasi minim juga yang menandakan bahwa kenya tersebut tengah susah payah menguar suara tanpa menimbulkan isakan. "Aku kehilanganmu dan kau kehilanganku. Aku mempertimbangkan bahwa sekarang kita tidak lebih dari sekedar viktim kasus yang tidak saling mengenal, tidak ada lagi titel menikmati predestinasi hancur bersama-sama, aku tidak peduli lagi soal kasus itu atau kehidupanku selanjutnya, tidak ada lagi hero dan heroin, dan ... there are no citadel and withered flower inside. We're done."
We're done. Sial. Taehyung tidak suka itu.
"Tidak, tidak! Aku tidak menginginkan itu!"
"Aku tidak meminta pertimbanganmu," balas Jiya.
"Fuck!" Taehyung mengumpat tidak suka. "Tidak! Aku berhak atas itu!"
"WE'RE DONE, TAEHYUNG!" Jiya berteriak dengan vokal maksimum untuk pertama kalinya.
"Tidak, Jiya. Kau milikku! Terikat! Selamanya!" Taehyung menggeram tidak suka dan menekan setiap poin diksi dengan tangan mengepal di sisi-sisi tubuh. Secara otomatis melangkah maju.
Namun, lagi-lagi Taehyung terdistraksi oleh sesuatu hal konyol yang sama sekali tidak disukai Taehyung. Ada pecahan reflektor yang Taehyung tebak sebagai hasil dari amarah dan kehancuran seorang Kim Jiya; dan Jiya memamerkan salah satu bagian yang entah sejak kapan telah berada dalam genggaman Jiya hingga tangannya penuh dengan luka, sampai finalnya bagian kecil itu berpindah menuju nadi. Jiya secara terang-terangan menunjukan tawa tolol detik setelahnya, meskipun air matanya sudah mulai jatuh dan menghiasi mata dengan lingkaran hitam yang sangat jelas. "Satu langkah mendekati, satu langkah final kau benar-benar kehilanganku, Taehyung."
"Jangan bodoh, Jiya!"
"Aku orang bodoh yang sudah hancur. Apa gunanya bertahan?"
"Kau memilikikuㅡ"
Jiya memandang dingin nan intens. Sekitaran netra kotor dan menghitam karena bekas riasan dan influensi karena tidak tidur semalaman. Likuid asin menghiasi dan menjadi pelengkap di sana. Secara nyata Jiya membalas tegas dan nada suaranya terus meninggi. "BERHENTI MEMBERI OMONG KOSONG, TAEHYUNG!"
Taehyung memaku, tetapi memaki di dalam sanubari. Sialan, sialan, sialan. Tepat sekali, Taehyung pembuat kelas kakap. "Jangan bersikap berlebihan. Aku ingin berbicara baik-baik, Ji. Please."
"Look what you made me do, Taehyung. Kau yang membuatku seperti ini. Meluluhkanku, membahayakanku, menghancurㅡ"
"Maaf." Taehyung bergumam di awal. Hingga mendadak menjadi lebih afirmatif. "Maaf! Aku minta maaf! Bisakah kau diam lebih dulu?!"
"Maaf?" Jiya terkekeh rapuh seolah mengolok-ngolok.
Taehyung tahu bahwa itu permintaan paling tolol dan singkat danㅡit is so meaningless. Ya, Jiya pasti mengartikannya seperti itu. Permintaan maaf tertolol. Taehyung adalah entitas tak berakal yang datang membuat situasi nyaman, memberikan kepercayaan besar, membuat masalah dan dosa seperti iblis, lantas dengan seenak jidat meminta maaf. Jiya sama sekali tidak melihat sebuah bagian soal: setidaknya person tak berkultur ini berhasil mengucapkan kata maaf. Tidak, Jiya tidak melihat itu. Tidak peduli kalau Jiya masih menyimpan banyak rasa afeksi untuk Jung Taehyung, untuk hal seperti ini Jiya tidak bisa menerima.
"Perlukah aku merincikan seluruh bagian yang kauberikan kepadaku, Taehyung?"
Tetapi jelas, ini bukan Kim Jiya yang biasa bersama Taehyung. Jiya tidak pernah dilingkupi kebencian meskipun perempuan itu menghadapi banyak situasi buruk yang membahayakan dan merugikan posisinya. Namun, kendati demikian, Jiya adalah wanodya laiknya kapas yang rapuh, lembut, dan mudah hancur. Pada intinya, Taehyung menyadari seberapa besar masalah yang ia buat.
"Kau ingat apa yang kau janjikan setiap detik hingga aku mengingatnya seperti lagu nasional yang stagnan di dalam otakku? Kau benteng, kau hero, kau protektor, secara total! Kau menyuruhku untuk terus mengandalkanmu. Sementara kemarin, kau menyalahkanku dan mengatakan bahwa aku jangan selalu mengandalkanmu. Instead of helping me, you raped me, you destroyed me, and you killed me. Apakah itu yang kau sebut sebagai benteng, hero, ataupun protektor? Pembual."
Roman Jiya penuh ketegangan, meskipun tetap saja hazelnya blur sebab eksistensi air mata. Seperti sebelumnya bahwa vokalnya sedikit bervibrasi, tetapi Jiya berhasil mengeluarkan seluruh gagasan dan pemikiran yang ia punya secara sempurna; tegas, tajam, dan merepresentasikan seberapa marah dan tidak terimanya seorang Jiya. Diadisi dengan pemandangan aneh yang Jiya pamerkan, levonorgestrel ditelan bulat-bulat. Kemudian Jiya memulai isakannya lagi seraya berbicara, memberikan tambahan, "Jika tidak mengonsumsi ini, aku mungkin akan menjadi perempuan gila dengan beban besar, menanggung beban hasil dari dua keparat bajingan di mana salah satunya bahkan tidak mengharapkan itu dan sangat ketakutan atas eksistensi bayi seolah bayi adalah hantu paling mengancam. Dan aku memilih mengonsumsinya dalam jumlah banyak, tidak peduli kalau efeknya bisa membuatku cacat atau mati. Sekarang apa kau paham esensinya? Aku dihancurkan oleh kekasihku sendiri dan aku tidak menerima permintaan maaf."
Sialan, sialan, sialan.
Taehyung pucat pasi. Jiya dengan kemarahan dan sindiran adalah kombinasi yang mematikan. Secara otomatis ia mendekati Jiya lagi hingga Jiya nyaris kembali menggunakan fungsi pecahan kecil reflektor tadi. Taehyung nyaris berpikir bahwa Jiya tidak mungkin melakukan hal setolol itu. Jiya mencintai Taehyung, itu yang Taehyung tahu. Jiya tidak ingin berpisah dengan Taehyung. Jiya tidak akan setolol itu untuk memutus nadi, kan?
Namun, manuver Jiya malah sebaliknya dari praduga Taehyung. Setidaknya itu sudah melukai seberapa persen epidermis leher hingga Taehyung berseru dan secara terang-terangan menarik tangan Jiya dan melempar benda imbesil itu. Rupanya Jiya menepati segala ucapannya, suicide is a good choice. Berbeda seperti Taehyung yang mutlak pembohong tolol.
Kemudian Jiya mulai berteriak gila hingga mungkin saja itu bisa mencapai ke ruangan-ruangan asrama sebelah. Pemandangan jelas soal katastrofe merebak ke seluruh atmosfer. Taehyung dengan egois memblokade seluruh pergerakan Jiya kendati kenya tersebut sudah susah payah memberontak juga. Atau secara general, Kim Jiya malah menyusut, entah sebab Taehyung yang terlampau egois hingga Jiya menyerah atau influensi dari perasaan cemas. Gila saja, kendati ini Jung Taehyung, kekasihnya Jiya, seseorang yang sebelumnya selalu memberikan sentuhan afeksi dan voltase yang membuat kurva manis tercipta, semenjak kemarin Jiya cemas dan kini kecemasannya terealisasikan. Jiya takut pada Taehyung. Lebih daripada ketakutannya pada hantu.
"KAU PENJAHAT!" Dia berbicara berbicara keras lagi.
Taehyung, satu keburukan sekaligus kelemahan terbesarnya adalah ia sangat mudah tergiring amarah. Jung Taehyung tidak pernah sudi menerima penolakan dari berbagai sisi atau bahkan cara-cara atau gagasan yang merendahkan dan menyinggung seberapa buruknya dia, kendati dari konteks dan soal apa yang Jiya singgung, Taehyung membang absolut penjahat. "Lantas apa yang kauharapkan setelah aku melihat kaubermain bersama Jungkook?"
"Kau pikir itu keinginanku?!"
"Kau bisa lolos!"
Jiya terkekeh tolol. Tidak bisakah dia melihat dari sisi perempuan? Memangnya segampang itu untuk bebas dari intensi perogolan di mana ruangan praktek sendiri tidak terdapat akses untuk keluar?
"Kau bisa lolos dari Baquero. Harusnya kau bisa lolos juga kemarin!" Vokal Taehyung malah meninggi seolah bersedia melakukan pertengkaran hebat dengan Jiya dan seolah ingin saling menandingi vokal siapa yang paling keras. "Kau suka itu, huh?"
"Kau bajingan!"
Taehyung tersenyum, "Ya, I'm a jerk and you're a bitch. How match we are."
Seberapa bodoh dan gilanya seorang Jung Taehyung?
Murni seratus persen.
Jiya yang seratus persen tidak terima kembali menggila. Kendati masih ada atmosfer suram dan takut atas dominansi Taehyung, Jiya tetap tidak ragu untuk meluapkan rasa tidak sukanya. Berteriak, beringsut bangun dengan roman kusut dan merah padam, mendorong Taehyung yang tidak ada persiapan hingga kepala Taehyung terbentur sisi sofa, hingga finalnya Taehyung terbaring di lantai, dan Jiya di atasnya sembari mencekik leher Taehyung-ㅡkeahliannya.
"Bajingan, bajingan, bajingan!"
Jiya mencapai limit amarah. Secara mendadak energinya terkumpul kendati bisa dipastikan seluruh bagian tubuhnya merasakan nyeri yang luar biasa. Namun, ia masih tetap bisa menyakiti Taehyung.
"Bajingan, bajingan, bajingan!"
"Jiㅡfuck." Taehyung terbatuk minim selanjutnya seraya melepaskan diri. Entah darimana Jiya mendapatkan energi semacam itu. Taehyung tidak pernah membayangkan hal ini. Perempuan manis yang mendadak mencekik, kegilaan macam apa itu?
"Kau pria sialan!"
Jiya hancur. Jiya hancur. Itu sesuatu hal yang keluar otomatis.
Namun, kemudian Taehyung yang sebelumnya memang sudah paham cara main wanodya ini, kini lebih banyak mendapatkan inti sarinya. Lagipula kenapa ia selemah ini dan tidak melawan? Sudah dibilang juga, kan, bahwa Taehyung menyukai cara kerja Jiya dan Taehyung juga memiliki kesamaan dengan Jiya. Jadi secara otomatis juga Taehyung menggapai surai belakang Jiya dan menariknya keras hingga cekikannya lepas. Jiya menjerit nyeri atas apa yang ia terima di kulit kepalanya.
Kalakian, posisinya terbalik. Jiya di bawah dan Taehyung di atas dengan visualisasi kumulonimbus gelap. Jelaga sudah seperti predator hutan, menakuti Jiya yang memberontak susah payah. Mencengkeram wanodya itu kuat-kuat hingga membuat Jiya meringis nyeri. Sampai kemudian ikat pinggang jadi alat paling ampuh untuk memblokade pergerakan kaki Jiya, beserta tambahan bandana Taehyung yang sejak kemarin berada di lehernya kini berpindah untuk mengikat tangan wanodya itu.
Agaknya Taehyung dan Jiya pribadi mungkin tidak pernah sadar atau tidak mengerti soal mengapa keduanya malah saling menjelekkan dan membahayakan masing-masing hingga seolah ingin saling membunuh. Tingkatan emosi sudah mencapai limit ke atas. Dua-duanya. Jiya yang terlanjur hancur karena tindakan perogolan, penghakiman Taehyung, dan-apa katanya? A bitch? Sejak kapan Jiya berprofesi menjadi anak buah Madam Barbara? Sementara Taehyung, ia hanya tidak suka dengan tindakan Jiya yang terlampau tergesa-gesa ingin mengakhiri segalanya.
"Kau mengerikan, Taehyung! Lepaskan tangan dan kakiku!"
"Tidak akan!"
Jiya membenci Taehyung. Hanya saja, ironisnya, tetap ada cinta.
"TAEHYUNG, LEPAS!"
"Sebelum kau tenang!"
Jiya membenci Taehyung. Hanya saja, sialnya, tetap ada cinta.
Sialan, sialan, sialan.
Jiya lalu merasakan daksanya terangkat. Rasanya ringan. Sialnya, Taehyung tergesa-gesa. Di tempat tujuan, tilam dengan kaver berwarna putih, di mana di beberapa spot terdapat flek darah akibat telapak tangan Jiya yang menggenggam kuat-kuat bagian cermin, Jiya murni menghantam busa tilam. Kemudian, Taehyung absolut berada di atas, mengintimidasi dengan netra dolerit dan aura dominan. "Diam, Jiya!"
Sampai akhirnya ketegangan atmosfer itu mendadak jadi absurd lagi. Jiya yang sebelumnya berteriak minta dilepaskan sementara Taehyung mati-matian membuat simpul mati di pergelangan tangan Jiya, kini Jiya mutlak menangis lagi. Jemarinya merambah ke wajah Taehyung di atas. "Aku mencintaimu, Taehyung." Itu yang diharapkan Taehyung. Hal yang lebih baik ketimbang tindakan saling membunuh satu sama lain. Namun, itu bukan final diktum. Taehyung lihat Jiya nampak meraup oksigen untuk memberi adisi atas pernyataannya. "Dan kau harus tahu bahwa itu adalah pilihan terburukku selama hidup. Aku bodoh; berusaha menjadi psikopat yang haus akan hiburan dan kemenangan demi afeksi tolol itu. Kau kesialan terbesar." Sialan, sialan, sialan. "We're done."
Jiya membodohinya. Pada akhirnya ia tetap ingin memutus relasi.
Taehyung menggeram. "Kita terikat. It's a fact!"
"Aku ingin mengakhiri semuanya!"
"Aku tidak menerima itu!"
"We'reㅡ"
"TIDAK AKAN PERNAH, KIM JIYA!" Taehyung berseru. Taehyung beranjak dan pergi terburu-buru ke meja belajar Jiya, lebih tepatnya menuju drawer dengan isi berbagai ekuipmen belajar dan semacamnya. Satu buah selotip ia ambil, lantas kembali ke atas Jiya. Satu ketololan lain, tatkala Jiya menggeleng nyaris seperti pasien rumah sakit Jiya yang takut terhadap perawat, Taehyung menghiasi labium Jiya dengan solatip.
Jiya menggeram tertahan. Wanodya itu belingsatan sampai pada tahapan yang tidak kapabel dijabarkan. Ia menjauhi sumbu kewarasan. Resistensi Jiya kembali rerak. Taehyung sialan. Jiya tepermanai kelesah sekaligus pakau soal apa yang bisa dia lakukan jika Taehyung melakukan semua hal ini. Ikat pinggang, bandana, solatip. Kenapa harus melakukan itu?
"Maaf, Mi Corazon. Ini hanya sebentar." Taehyung berbisik tepat di rungu. Mendadak bersuara manis.
Sialan, sialan, sialan.
Perirana vokal Taehyung itu langsung menusuk jantung hati. Jiya ingin mencabik-cabik Taehyung, tetapi ada inkantansi sinting yang membuat Jiya berhenti menggeram marah. Alhasil seolah terkena alai-belai level maksimum, Jiya terdiam dengan netra menyorotkan kuriositas sebab Jiya tahu kalau Taehyung akan berbicara. Adanya ikat pinggang, bandana, ataupun solatip, Taehyung gunakan itu semua agar protasisnya tidak ditabrak oleh kebisingin hasil emosi Jiya. Sampai Jiya rasa ada sensasi eksentrik di daun telinganya, sebuah kecupan mesra dan bariton rendah, "Good girl."
Sialan, sialan, sialan.
"Kau harus tahu seberapa sulitnya aku untuk mendapatkanmu, begitupun kau untuk mendapatkanku. Kita tidak akan pernah selesai, Jiya. Kita viktim; inosen, tolol. Kita tersangka; gila, maniak, memiliki obsesi. Kita saling menangkap, membahayakan, dan menjatuhkan. Kita sebuah uni." Itu lebih laik dianggap sebagai inkantansi kuat. Murni membuat konfrontasi tolol sebelumnya meregang. Jiya nyatanya memang masih menggeram, meminta agar solatipnya lepas, tetapi levelnya merendah. "You are mine, Mi Corazon. Kita akan tetep bersama untuk menikmati predestinasi hancur dan bebas dari segalanya. Kita tidak akan pernah selesai, danㅡsialan, maaf soal kemarin, I lost my control. Aku meminta maaf."
Sialan, sialan, sialan.
Bebas?
Secara mendadak, segala protasis Jung Taehyung menjadi sangat picisan. Semenjak kemarin, pikiran Jiya terblokade oleh malasuai. Entah itu hal yang bagus atau hal yang baik. Jiya lebih banyak tersadar bahwa ia semakin terjerat dalam katastrofe ketimbang bebas. Serius, jika labiumnya tidak diberi solatip oleh Taehyung, Jiya akan mengutarakan itu. Kehadiran Taehyung dan segala invitasinya malah semakin membuat mara bahaya semakin menjadi-jadi.
Sementara waktu, tiba-tiba nyenyat sebab Taehyung tidak lanjut mengeluarkan vokalnya selain menatap Jiya intens, tetapi subtil. Mungkin Jung Taehyung benar-benar menyesal atas kejadian kemarin? Tipikal relap netranya mutlak menunjukkan rasa terhengit-hengit. Sampai Taehyung melembut. Pelan-pelan membuka solatip di labium Jiya meskipun efeknya masih terasa agak sakit, berikut dengan simpul bandana di tangan dan ikat pinggang di kaki. Jiya nyaris meluluh, tentu saja. Taehyung similar seperti tukang sulap yang ekspert memberikan reaksi megis.
Jiya terdiam, tidak memberikan reaksi dalam bentuk lisan atau pergerakan. Kaku. Bahkan sampai Taehyung merengkuh erat-erat dari samping, Jiya begitu. Lebih memilih memejam seraya menetralisir perasaan. Marah, marah, marah. Namun, Jiya mesti tenang untuk mencari peluang yang tepat. Lagipula, untuk kesejuta kalinya, sialnya, Jiya selalu menyukai sensor sentuhan afeksi Taehyung. Jiya merasa spesial, sempurna, unggul, dan tidak ada bandingannya. Satu lagi, lagi-lagi, vokal bariton paragon perfek itu, "Maaf, maaf, maaf," ujarnya subtil. Mikrokosmos, asmaraloka, eden, semuanya tengah dicoba untuk dikonstruksi ulang. "Mi Corazon, kau gadisku. Spesial. Prominen. Unggul. Paling kuhormati. Aku membuat kesalahan besar. Aku tolol. Aku meㅡ"
Sialan, sialan, sialan.
"Darah. Itu terluka. Tubuh terluka. Sanubari terluka. Sakit dan perih. Kau, Jungkook, kalianㅡ" Mimik Jiya kembali absurd. Ia melirik Taehyung disamping. Satu hingga lima detik hampa. Sampai kemudian, Jiya terisak lagi. Histerik. "ㅡBajingan."
Jiya mengulang kembali permainan tolol.
"Aku selesai dengan seluruh permainan ini!"
Anomali lainnya terjadi. Karena Jiya, Taehyung terjatuh ke lantai di mana di sana berserakan pil levonorgestrel dan pecahan kaca dengan jemala Taehyung yang otomatis menabrak bagian lantai keras dan kaki almari. Jiya di situ berjalan belingsatan ke sana-kemari. Yang pasti tujuan Jiya adalah tas eksentrik yang berisikan medikamen Taehyung yang dulu sempat disimpan di asrama. Sementara Jung Taehyung meringis karena friksi jemala dan lantai. Siluet mencuat ke permukaan. Jiya menggila lagi, membuka tas dan menghamburkan semua isi tas telak ke tubuh Taehyung. Heroin, obat, injektor, dan seluruhnya. "Kau membutuhkan ini, bukan aku. Kau lebih peduli pada ini, bukan aku. Kita selesai!" Selanjutnya, Jiya final melemparkan tas berbahan kanvas itu kencang. "KAU BAJINGAN!"
Sialan, sialan, sialan.
Tentu itu bukan pertanda baik bagi Taehyung. Pertama, jemalanya menghantam lantai dan itu menimbulkan rasa pening hingga membuat Taehyung tidak mengenal sumbu kewarasan. Kedua, ia yakin kalau Kim Jiya masih memiliki afeksi pada Taehyung, tetapi roman wajah dan vokal kuatnya memberikan imej kebencian yang mendominasi; dan itu membuat Taehyung merasa tidak aman. Kemudian terakhir, momen yang ironisnya terlalu pas, secara mendadak pintu asrama terbuka hingga menampilkan roman pria yang nampak belingsatan dan Jiya, gadisnya Taehyung-mendekati pria itu dan menguar diktum final. "Tolong, Jimin. Aku ingin pergi jauh dari Taehyung. Aku ingin protektor baru."
Hwang Jimin. Orang yang presensinya diharapkan oleh Jiya di sini. Orang yang ditunggu oleh Jiya.
"Sialan." Taehyung mengumpat pelan.
Lantas Taehyung memberi manuver otomatis. Kendati reaksi alamiah sebab benturan tadi masih mendominasi dengan rasa sakit, Taehyung telak langsung mendekati Jiya dengan geraman yang lebih tegas. Namun, entah sebab Taehyung yang kehilangan mujur, karma karena telah menjadi pembual tertolol sedunia, atau memang karena tubuh yang kehilangan fokus dan keseimbangan, Taehyung tersungkur lebih cepat saat Jimin memberi manuver tanpa aba-aba dengan kepala lagi-lagi menghantam almari. Motorik Taehyung secara mendadak tidak berfungsi, barangkali sebab ia didominasi oleh perasaanㅡhancur karena Jiya menghindarinya.
Taehyung juga hancur! Bukan hanya Jiya.
Jimin berhenti lebih cepat, tidak mau lanjut membuat friksi tidak penting, yang ada hanyalah keinginan untuk berbicara dengan diktum bermakna horor yang-sialan, sialan, sialan-kapabel membuat Taehyung terkena turbulensi. "Merusak dan kehilangan gadis lagi?" Jimin melirik ke belakang sebentar, pada Jiya. Jiya menunggu di depan asrama dengan perasaan penuh ansieti. Lantas Jimin kontinyu menguar vokalnya, suara terdengar pelan, seolah enggan Jiya mendengarkan bagian ini, "Ingin gadis spesialmu ini ikut melakukan percobaan bunuh diri seperti gadis spesial sebelumnya, ya?"
Sialan, sialan, sialan.
"Jadi, Jung Taehyung, Hwang Jimin juga lebih suka menyakiti daripada bersaing sehat."
Yang pasti setelah itu, Taehyung si tolol mendadak merasakan gelap. Jimin meninjunya sangat-sangat keras hingga kesadaran Taehyung hilang. Lalu Jimin memberi final lainnya, "Aku ingin menang kali ini."
[TBC]
dramatis, ya?
aku harap kalian menyadari dan mengambil banyak inti sari di bagian ini. danㅡmaaf, taehyung aku buat tragis dulu. he deserves it hehe.
jangan lupa untuk hibur taehyung supaya senyum kotak lucu dan manisnya kembali lagi.
sampai jumpa di bagian selanjutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top