ACT I: CHAPTER 13
[super long part. contains sensitive issue, perhaps]
"Profesor?"
Sudah lewat dari pagi hari, siang lebih tepatnya, Taehyung baru bangun. Sepuluh menit sebelumnya sudah mencoba mengumpulkan kesadaran, melakukan pergerakan kecil-kecilan, dan membasuh wajah secara random. Selanjutnya, ketimbang mengetuk pintu bilik mandi demi mengganggu Jiya seperti biasanya, Taehyung lebih memilih untuk mengambil laptop dan menyeret tungkai ke ruang tengah. Melakukan panggilan video dengan seorang profesor yang notabenenya punya kesibukan. Well, Jiya dan Taehyung memang dapat privilese besar di hadapan Profesor Schiller, sangat eksklusif. Bainahnya seperti Profesor Schiller yang langsung memasuki ruang panggilan. Tentu sebelumnya Taehyung meminta permit di pesan elektronik terlebih dahulu.
"Ada alasan perkara penampilanmu?"
Taehyung memainkan lidah di dalam mulut. Semerta-merta mengambil kola stroberi di meja dan meneguk tiga kali. Perlu diberi protasis bahwa Jung Taehyung hanya memakai kaus putihㅡcelana pendek, tetapi itu tidak nampak di kamera, sihㅡberikut dengan surai agak ikal panjang yang masih acak-acak. Lucunya adalah pria ini tengah berhadapan dengan seorang yang berpakai jas dengan gelar yang lebih tinggi.
"Oh, ayolah, Prof, kau sudah terbiasa dengan ini," balas Taehyung. Sekedar informasi, Taehyung dan Profesor Schiller sudah akrab sejak lama. Sudah sering juga melakukan panggilan hanya untuk urusan kasus atau hal-hal lain yang krusial. "Kau harus lebih banyak mengenali putri cantikmu, Prof. Dia mandi selama satu setengah jam dan aku kalah cepat. Alasan yang tepat kenapa aku berpenampilan acak-acakan begini." Satu realitas penting, sebenarnya agak menyebalkan sebab Jiya selalu mandi lama-lama. Ritual apa pula yang dilakukan Jiya hingga mandi selama itu?
Dari visualisasi layar, nampak roman Profesor Schiller tergemap. "Kau baru saja mengatakan secara tidak langsung bahwa kau tinggal satu tempat dengan Jiya. Begitu?"
Taehyung tersenyum konfidens. Tetapi selanjutnya malah menunjukkan iras terkesiap yang nampak tolol dan super menjengkelkan. "Tuhan, aku keceplosan."
"Sejak kapan?"
"Sejak lama intinya," balas Taehyung.
"Berandalan ini." Profesor Schiller menggumam.
Jadi, ada aksis esensial di bagian ini. Yang diketahui oleh Profesor Schiller sebelumnya adalah Taehyung dan Jiya seperti air dan minyak. Selama satu tahun hanya saling berdiam diri seolah Tuhan enggan menyatukan sesama viktim kasus sinting itu. Kemudian kontinyu tahu fakta baru bahwa Taehyung dan Jiya mutlak akrab sejak beberapa bulan lalu. Namun, Demi Tuhan, Profesor Schiller tidak pernah terpikirkan bahwa keduanya akan tinggal bersama. Ia tahu kelikat Jiya yang sangat ekspert menjaga diri. Tinggal bersama pria adalah hal gila bagi Jiya. Bainahnya pernah sekali ada rumorㅡfakta, hanya saja ditutupiㅡbahwa Jimin pernah punya intensi membawa Jiya tinggal di famili Jimin yang super penuh kehangatan supaya Jiya aman juga, tetapi Jiya menolak karena katanya Jimin lelaki, takut ada kesalahan. Taehyung ini mencekoki Jiya dengan apa? Taehyung ini pria juga, Jiya tidak takut ada kesalahan juga, kah?
"Jiya bilang kalian akrab. Tetapi sebenarnya kalian ini apa? Hanya viktim dan viktim atau sudah lebih dari itu? Akan sangat mengejutkan jika perempuan inosen itu mau denganmu."
Vokal tawa menguar. Taehyung refleks begitu sebab merasa konyol sendirian dengan singgungan Profesor Schiller. Yah, memang Taehyung akui, Jiya balas menyukainya adalah hal yang paling ekstraordinari.
Perlukah seorang Jung Taehyung bercerita?
Jadi, begini. Kendati Taehyung mendapatkan banyak komplimen dan disebut seperfek itu oleh kaum pedusi, atau dianggap sebagai paragon artifisial yang sangat dipuja oleh Tuhannya sendiri, Taehyung juga punya insekuritas.
Saat masa-masa si kenya cantik itu menjadi mahasiswi baru, untuk pertama kalinya Taehyung hancur. Hancur sebab rasa afeksi menggerogoti sanubari, mutlak menginginkan Jiya. Taehyung belum pernah segila itu kalau bertemu perempuan. Namun, aura yang seolah menyulitkan Taehyung untuk mendekati Jiya terlampau mendetonasi. Mari disebutkan saja, ada diferensiasi antara Jiya dan Taehyung. Jiya perfek bukan hanya fisikal, tetapi bagaimana ia bersosialisasi dan berpikir. Taehyung sempat berpikir bahwa memangnya Jiya mau berhubungan dengan Taehyung? Jiya memiliki rohani bagus, Taehyung tidak. Jiya sangat inosen dan bersih, Taehyung tidak. Intinya, relief keduanya jomplang sekali.
Benar juga kata Profesor Schiller, sangat mengejutkan saat Jiya mau dengan Taehyung.
"But your precious daughter loves me, Prof," ujar Taehyung, "ya, kita lebih dari sekedar viktim. Love each other. Dan kuharap kau harus menerima fakta bahwa berandalan inilah yang jadi kekasih satu-satunya anakmu."
"Gila. Sekarang aku berpikiran hal-hal buruk," lanjut Profesor Schiller.
"Hal baik maksudnya?"
"Kau melakukan hal itu dengan Jiya?"
Taehyung mengangguk konfidens. Ada guratan bangga di iras.
Oh, tentu. Bangga. Bangga bahwa Taehyung pria yang kapabel memiliki Jiya seutuhnya dan bangga sebab memang Jiya siap sedia menjadi gadis tercintanya Taehyung. Lagipula tidak ada unsur mutualisme parasitisme di sini. Taehyung suka, begitu juga dengan Jiya. Juga harus ditegaskan bahwa hal gila itu dibasiskan atas afeksi, bukan sekedar gairah.
"Putrimu sangat manis dan submisif, Prof." Taehyung melihat Profesor Schiller nampak super turbulensi, tetapi ada raut terkesiap dan khawatir di sana. "Jujur saja aku juga terkejut saat Jiya punya keinginan itu juga. Dia perempuan bersih yang sangat menghindari hal-hal seperti itu. But, I love her so much, Prof. Jangan khawatir. Kau boleh membunuhku jika Jiya sakit karena ulahku."
Mengingat predestinasi lampau saat Jiya memberi invitasi itu, sumpah, Taehyung super tergemap. Memang dari awal pertemuan Taehyung selalu mencuri cumbana wanodya tersebut. Tetapi itu juga Jiya ikhlas-tidak ikhlas, atau lebih tepatnya was-was dan takut dipermainkan. Makanya Taehyung juga tahan-tahan supaya tidak membuat katastrofe dengan merogol Jiya, misalnya. Jiya itu sangat-sangat bersih. Sangat mengejutkan saat wanodya bersih itu menyerahkan diri pada harimau kotor.
"I mean, in case if she is expecting a baby. She's still young, Taehyung. Kau juga. Memangnya siap memberi responsibilitas kalau ada kesalahan yang terjadi?"
Taehyung terdiam sejemang. Begini rasanya dinasehati oleh orangtua kekasih?
Namun semerta-merta leksasi Profesor Schiller menusuk jantung hati. Secara harfiah, Taehyung pribadi tidak berani mengatakan diktum seperti, "Aku siap menerima resiko jika itu terjadi." Tidak punya adrenalin. Bukan perkara ia yang tidak menyayangi Jiya atau bukan juga ia yang kemungkinan besar tidak akan memberi responsibilitas jika itu terjadi. Taehyung juga lenggana menyakiti Jiya. Namun, hal esensialnya adalah Taehyung juga masih muda. Seorang anak bukanlah hal yang menyenangkan di usia muda begini. Mesti, entahlah, barangkali nanti Taehyung berubah pikiran. Anak-anak memang lucu, tetapi bagi Taehyung pasti menyusahkan dan menjijikan.
"Maaf, Prof." Taehyung kehilangan kata-kata. Sumpah.
Lagipula kenapa malah membahas ini, sih? Taehyung meminta permit untuk melakukan panggilan karena ingin membahas perkembangan kasus sinting itu, bukan perkara anak-anak atau hal semacam itu. Taehyung merasa tengah diserang rudal seorang penjajah.
"Tidak akan kumaafkan jika itu terjadi dan kau memilih untuk menjadi bajingan. Termasuk satu hal lainnya, Jiya akan membencimu dan aku kapabel mencuci otaknya supaya melupakanmu."
Taehyung menelan saliva. Itu horor sekali. Sepertinya memang Taehyung mesti berhati-hati atau mengubah pandangan perkara anak-anak. Siklon berat. Anak-anak ... masalahnya, apa enaknya mengurusi mereka? Berisik, tukang mengganggu, menjengkelkan, merepotkan, membuat frustasi, kotor. Tolong beritahu Taehyung perkara hal-hal baik tentang anak-anak. Taehyung hanya tahu sisi buruknya saja sehingga ia takut dengan presensi anak-anak.
Sementara itu, tatkala Taehyung hanyut dalam pemikiran eksentriknya, Profesor memperhatikan sejemang iras Taehyung. Super tremor seolah topik konversasi ini merupakan beban bagi Taehyung. Lagipula tidak ada salahnya membicarakan ini meski awalnya ingin fokus membahas indikasi kasus-kasus sinting itu. Tetapi memang pria berandalan nan bajingan seperti Taehyung mesti disinggung perkara ini. Jangan mau melakukan proses demi mendapatkan esensi nikmatnya saja. Seorang inosen dan lemah seperti Jiya jika diperlakukan begitu pasti kapabel depresi, gila, atau bahkan bunuh diri. Kalau begitu jadinya, Taehyung sama saja bunuh diri, kan? Kecuali jika ia pura-pura mencintai Jiya.
"Beban, ya?"
Taehyung terdiam. Ingin sekali menjawab persetujuan. Tetapi susah.
"Jiya itu harta karunku, Jung. Kau mati jika menyakitinya."
Bagi Taehyung, Jiya juga harta karun. Masalahnya adalah jika ada kecelakaan, memangnya Taehyung tetap mau menjaga harta karunnya, ya? Sejujurnya Taehyung agak ragu.
"Prof, kau membuatku gila."
Di seberang vokal tawa menguar keras. Sisi tolol berandalan keras Taehyung mutlak membuat Profesor Schiller tidak kapabel menahan tawa. "Berandalan ini," gumamnya. "Kau tahu seratus persen pria mungkin ingin memiliki Jiya, kebanyakan hanya ingin menggunakan tubuhnya, mungkin itu termasuk kau."
"Hei, tidak! Aku tidak begitu, Prof! Aku cinta dia."
"Siapa yang akan tahu?" Oh, Taehyung merasa horor. Tetapi serius, Taehyung mencintai Jiya bukan sebab hal-hal semacam itu. Itu cuma bonus.
Tetapi satu keuntungan lain, untungnya Profesor Schiller langsung mengganti topik, "Jadi, apa ada indikasi baru perkara kasusnya?"
Sejemang itu pula Taehyung mengerjapkan netra berkali-kali dan mencoba meraih kesadaran diri sendiri.
Taehyung membalas pelan-pelan selanjutnya. "Jujur saja ini makin tidak jelas. Jimin acapkali menjatuhkanku dan mencuci otak Jiya, memberi premis bahwa aku tersangka asli. Rasanya seperti tengah menutupi kesalahan diri sendiri dengan membunuh presensiku. Jungkook Scheiffer dan Prim makin menggila. Tetapi satu hal yang paling jelas, pemerkosaan Jihan sudah ditemukan tersangkanya."
"Siapa?"
"Song Seokjin. Mahasiswa yang lulus dua tahun lalu," respon Taehyung. Kalau membahas Song Seokin sebetulnya agak lucu. Pria itu lulus dua tahun lalu dengan titel gelar penting dari hasil studinya di major bisnis. Sungguh tidak disangka-sangka ia memilih bisnis narkotika sebagai pekerjaan. Tidak ada bisnis lain, kah? Yang lebih lucunya, Taehyung membeli medikamen ilegal dari pebisnis sinting itu.
Profesor Schiller mengangguk dan berbicara sesuatu. Tapi sebab koneksi yang mendadak memburuk, mendadak itu terputus-putus. Tetapi untungnya hanya sebentar sehingga Taehyung langsung kembali meminta validasi. "Kau bicara apa, Prof?"
"Aku kenal dia. Apa dia sendiri?"
"Berdua. Tapi satunya belum terkognisi."
"Lantas apa lagi? Cari tahu dan simpan sebagai evidens." Ia menjeda.
"Tentu. Aku juga sudah muak dengan ini, Prof."
Profesor Schiller beradegan kecil. "Hm. Aku juga. Makanya aku beri tim untukmu."
"Tim apa? Aku punya, tidak perlu, Prof."
"Ada banyak kejanggalan gila di sini. Ketidakpedulian seluruh instrumen adalah sesuatu yang nonsens. Saint Hallway, kepolisian, seluruh publik. Seperti ada yang memberi suap pada semua levelnya. Entah, aku tidak tahu masalah apa yang telah diperbuat oleh Jiya atau olehmu, yang pasti basis masalahnya pasti tidak main-main."
Taehyung pikir, perempuan seperti Jiya tidak mungkin pernah terjerat problematika rumit. Ia memikirkan dirinya sendiri yang selalu terafiliasi dengan banyak polemik. Tapi kali ini basisnya masalah yang mana? Kenapa Jiya juga ikut terlibat? Sejauh ia bermasalah dengan orang, Taehyung tidak pernah melibatkan Jiya. Bahkan sebenarnya saat-saat Taehyung gencar membuat masalah, Jiya masih asing, Taehyung dan Jiya tidak berelasi sama sekali.
"Memangnya timmu kapabel menanggung semuanya?"
"Meski kita seperti berandalan tak berguna, kita mampu mengatasinya."
"Oh, ya?"
"Ya. Maaf jika aku menolak. Tapi jika tidak keberatan, beri providasi dan ekuipmen untuk mempermudah kita. Kau harus tahu, Prof. Jiya semakin tidak aman. Aku khawatir dia menjadi Woona atau Jihan yang kedua."
Sebetulnya Taehyung pribadi mampu membeli banyak ekuipmen protektor. Tetapi itu berimbas pada kehidupannya. Taehyung memang masih diberi banyak uang, tapi sialnya itu lebih banyak digunakan untuk medikamen ilegal. Jika tidak membeli medikamen ilegal, Taehyung bisa mati.
"No worry. Aku akan memberi providasinya."
Tahu-tahu ada fokus lain yang mendistraksi fokus Profesor Schiller. Taehyung meminum kola lagi sembari memerhatikan dosen tersebut. Hingga finalnya Profesor Schiller berbicara lagi. "Aku ada urusan. Kau dengar aku, kan? Cari identitasnya, simpan evidensnya, dan itu bisa menjadi salah satu kartu keberuntungan untuk kebebasanmu dan Jiya. Perkara hukum untuk finalnya, aku yang mengurus asal evidensnya eksis. Dan satu lagi ... if Jiya is expecting a baby and you don't give your responsibilityㅡ" Sialnya, Profesor Schiller ini membahas perkara itu lagi. Taehyung merasa gila. "ㅡada banyak penjara yang tepat untuk seorang pecundang. Tenang saja, I'll give the worst one."
Benar. Rudalnya berhasil jatuh di sanubari Taehyung. Taehyung sangat tertohok.
"Oh, ya, jangan lupa, jangan dulu meloloskan identitas asliku pada Jiya. She only knows me as a teacher, not a father. OK?"
Taehyung mengangguk dan detik selanjutnya ruang panggilan kosong. Beserta otak Taehyung yang mendadak memanas karena efek rudal tadi.
Mari paparkan beberapa probabilitas yang ada jika mara itu terjadi. If Jiya is expecting a baby. Wow, mengerikan.
Jika Taehyung memilih untuk memberi responsibilitas di final predestinasi, itu agak rumit. Rumit sebab Taehyung masih muda, rumit sebab anak-anak itu menjengkelkan, rumit sebab ia tidak tahu caranya bertanggungjawab menjadi ayah; dan intinya rumit. Jika Taehyung memilih untuk menjadi bajingan, itu akan menyiksa. Menyiksa sebab Jiya tersiksa, menyiksa sebab Jiya bisa saja membenci Taehyung, menyiksa sebab menghancurkan berlian yang mahal harganya; dan demi Tuhan itu akan menyiksa di berbagai aspek.
Oke, mungkin ada metode-metode asing yang tidak diketahui Taehyung agar seonggok daging tidak tumbuh di rahim perempuan. Atau ada juga metode familier seperti alat pengaman atau pil, atau intinya alat kontrasepsi. Tetapi, seandainya Taehyung mencoba metode-metode itu, bisa saja itu gagal tanpa teridentifikasi dan ujung-ujungnya malah berhasil menjadi calon manusia, bukan? Tidak ada yang tahu. Itu kemungkinan terkecilnya.
Astaga. Kenapa Profesor Schiller kepikiran itu, sih? Sumpah, sebelumnya Taehyung pribadi tidak terpikirkan hal itu.
Biasanya ia memakai proteksi jika bersanggama dengan perempuan lain, tetapi tidak dengan Jiya. Taehyung tidak mau lebih tepatnya. Hanya karena ingin menikmati lebih dalam. Tidak karena ingin berinvestasi di sana.
Tahu-tahu Taehyung bergerak menuju kamar. Rupa-rupanya Jiya sudah terduduk elok di depan reflektor sembari menghias diri. Aromatik kamomil mendetonasi kuat-kuat. Rasanya menghipnotis hingga secara otomatis Taehyung mendekati Jiya, berdiri di belakang semerta-merta memerhatikan Jiya. Wanodya itu menunjukkan roman segar meski luka tamparan Baquero masih mengganggu penglihatan.
"Tumben cepat," rapal paragon perfek itu.
"Ingin cepat-cepat ke hospital. Semenjak hari pertama ke hospital, sebetulnya itu berhasil membuatku menjadi lebih baik. Tapi sejujurnya kini terasa ngilu lagi."
Taehyung mendadak beralih duduk di sofa. Memberi invitasi Jiya untuk di samping juga. Awalnya Jiya menolak sebab masih sibuk menata rambut pribadi. Namun, sebab Taehyung ekspert menjadi dominan, jadi finalnya Jiya menuruti Taehyung. Meski ujung-ujungnya sama, seperti biasa, walaupun Taehyung mengundang Jiya untuk duduk di samping, pada akhirnya paha Taehyung jadi kursi Jiya.
Sejenak Taehyung mengecupi sublim sisi wajah yang menunjukkan bekas merah itu. Sudah tiga hari memar itu eksis, tetapi sebenarnya itu juga pulih pelan-pelan. Selama tiga hari itu juga si inosen itu tidak masuk kuliah dengan alasan sakit. Sebetulnya kapabel untuk tetap mengeyam edukasi, tetapi Jiya sangat anti terlihat rapuh. Maksudnya, ada satu titik kecil jerawat saja, Jiya bisa menghilang dari dunia, apalagi memar yang sejelas ini.
"Itu akan segera pulih jiㅡ"
Jiya memotong leksasi Taehyung, "ㅡJika dikecup mesra olehmu. Aku hapal rentetan sentensnya."
Tawa kotak imbesil muncul. Visualisasi bagai asteroid yang sangat patut untuk dipuja. "Akui saja, Mi Corazon. Selain dokter, kecupanku juga jadi penyembuhnya."
"I'm not sure," rapal Jiya.
"Kenapa?"
Milisekon jadi nampak santai, Jiya membuat ekspresi absurd. Selaput pelanginya sedikit meredup. Namun, Taehyung tetap mendedau dalam kalbu sebab visualnya sangat menghibur jantung hati. "Hatiku jadi tidak tenang. Kauㅡmanis sekali. Mau aku mati, ya, Tae?"
"You're so sweet and lovely, Mi Corazon."
Aksen itu lagi. Kapan terakhir kali Taehyung menguar akses itu?
"Mi Corazon?"
Jiya mengumbang minim detik itu.
"Mau bertanya boleh?"
Wanodya itu mengangguk. "Boleh. Apa, Taehyung-ie?"
Taehyung mendesis refleks. Taehyung-ie. Itu siksaan berat.
"Pandanganmu dan sikapmu tentang anak-anak."
Jiya mengernyit. Mutlak heran dengan diktum itu. Bagi Jiya, mengapa mendadak Taehyung memikirkan hal tersebut? Jadi Jiya otomatis menguar tawa. Hanya saja leksasi Taehyung agak konyol bagi Jiya. "Kau tahu anak-anak. Masa tidak bisa menilai?"
"Bukan. I mean ... your own child, Mi Corazon."
"Kenapa?"
"Er, penasaran," balas Taehyung.
Jiya terdiam beberapa sekon. Nampak tengah memikirkan sesuatu, jawaban paling tepat yang paling relevan dengan isi sanubarinya. Namun, netra hazelnya masih setia menatapi Taehyung. "Em, they are so cute, pintar juga meski kadang kala menjengkelkan; dan intinya mereka obat terbaik. Aku akan merawatnya dengan baik, mengajarkan banyak hal, dan kau tahu Taehyung-ie, misalnyaㅡmisalnya, ya ... misalnya anakku itu anakmu, aku ingin memberitahu fakta krusial bahwa ayah mereka itu benteng yang hebat; terutama laki-laki, dia bisa menirumu."
Fuck. Taehyung gila. Itu jawaban gila bagi Taehyung.
Taehyung tadinya berharap Jiya menjawab seperti, "Mereka menyebalkan, aku tidak suka anak-anak. Jika aku hamil, dari awal kehamilan aku mau menggugurkannya."
Jelas sekali Jiya malah meloloskan iras yang begitu adiwarna seolah topik ini adalah favorit Jiya. Relevansinya dengan sumber harsa sepertinya. Mungkin Jiya banyak eksperimental dengan anak-anak sehingga rasa-rasanya setenang itu. Jiya seperti tidak memiliki premis buruk perkara makluh-makhluk menjengkelkan itu. Taehyung tahu, Taehyung pernah menjadi anak-anak, tetapi untuk mengurus anak-anak ... wah, gila, bisa gila.
Tetapi, Taehyung terlanjur overthinking dan mulutnya terlanjur bersuara lagi. "Oh, begitu, ya." Ia menjeda. Merengkuhi Jiya lebih posesif dan Jiya tersenyum. Senang sekali diberi pelukan. "Mereka memang menggemaskan. Tetapi misalnyaㅡmisalnya, ya ... misalnya anakmu itu anakku dan aku tidak mau bertanggungjawab dan tidak melakukan sikap sepertimu bagaimana?" Taehyung mencicit pelan setelahnya. "Itu misalnya, Mi Corazon. Misalnya."
Nyenyat sepersekian sekon. Pupil hazel Jiya seolah bervibrasi ketakutan.
Maka jelas, Taehyung gila setelahnya. Sepenglihatan netra afiatnya, kurva di labium Jiya yang tadinya begitu manis mendadak lenyap. Mulutnya terbuka minim, mungkin terkejut dengan diktum keparat Taehyung. Hingga satu linear yang lebih horor, Jiya memegangi tangan-tangan Taehyung yang merengkuhi pinggang dan berusaha lepas pelan. "Oh, Taehyung, kita ke rumah sakitnya tunda, ya. Akuㅡaku rindu Lucy. Aku ingin ke rumahnya Jimin."
Oh, Taehyung gila sekarang.
"Kenapa tiba-tiba?" tanya Taehyung setenang mungkin. Enggan eksesif.
Jiya menggeleng. "Em, bisa dilepas, Tae?"
"Aku antar, ya. I won't let you go alone."
"Sendiri saja. Tidak apa, kok." Jiya tersenyum.
Taehyung menggeleng kuat-kuat. Mencoba tenang meski rasanya belingsatan. Jangan kira Taehyung tidak paham saat Jiya mendadak mengubah jalur konversasi. Dari relapan netra yang menggelap dan suram walaupun kadang kala senyumnya lolos, Taehyung tahu kalau Jiya merasa tidak terima dengan diktum Taehyung. Taehyung memang telah menegaskan bahwa itu hanya 'misalnya', tetapi Jiya tetaplah Jiya yang selalu menumbuhkan asumsi cemar di otaknya.
Lagipula mulutnya tidak terkontrol sekali. Tadinya Taehyung hanya ingin meminta pandangan perkara anak-anak, tidak termasuk termasuk gagasan soal misalnya Taehyung tidak mau bertanggungjawab.
Hingga finalnya, sialnya, netra wanodya kirana itu nampak berkaca-kaca. Tetapi si mantan anak klub teater ini sempat-sempatnya berlakon tenang. Tetapi Jiya masih tetap berusaha lepas. Sumpah, haruskah Taehyung menyukai anak-anak? They are super disgusting, bagi Taehyung.
"Kau nampak ingin menangis, Mi Corazon." Taehyung bersuara.
"Aku ...." Jiya menjeda. Nampak jelas kontinyu mengambil oksigen kuat-kuat. "Aku begini jika rindu Lucy, Taehyung."
Taehyung menguar napas pelan. Akhirnya ia menatap Jiya penuh afeksi. Sejemang jatuhkan jemari ke bawah netra Jiya dan mengabolisi satu-dua titik cairan asin di sana. "Maaf jika pernyataanku menyakitimu, Mi Corazon."
Jiya menyela dengan gelengan jemala. "Tidak apa-apa, Tae. Mungkin memang kau tidak suka anak-anak atau tidak mau menanggung beban. Aku paham."
Taehyung gila.
"God, Ji, please."
"Kenapa?"
"Jangan bersikap begini," kata Taehyung.
Jiya masih nampak tenang walaupun lucunya malah nampak ingin menangis meledak-ledak. "Bersikap bagaimana?"
"Kim Jiya, please. Don't scare me."
Finalnya Jiya menghela napasnya. "Fine."
Ketegangan dalam diri Taehyung mencapai voltare paling tinggi. Untuk pertama kalinya Jiya menguar vokal tegas dan kuat meskipun hanya satu vokabulari. Fine, dengan bahana kuat, itu horor. Ia menatap Jiya lebih intens dan pada hakikatnya Jiya juga menatapnya dengan netra yang mutlak terang-terangan menjatuhkan air mata.
"Aku meminum pil sejak awal jika hal seperti anak dan responsibilitas yang kau takutkan. Aku juga tidak sebodoh itu meskipun aku mencintaimu dan kau mencintaiku juga, mungkin."
"Mungkin?"
Jiya tersenyum asimetris. Tetapi kecil sekali. "Ya. Mendengarkanmu bicara perkara esensi responsibilas, aku menjadi ragu. Kau mungkin tidak mencintaiku. Hanya mengambil oportuniti dari relasi viktim dan viktim, termasuk mengambil keuntungan atas menikmati predestinasi hancur bersama-sama. Aku Kim Jiya, Tae. Aku lebih banyak diinginkan oleh pria untuk urusan fisikal ketimbang afeksi, mungkin termasuk dirimu yang finalnya berhasil menjadi pertamaku. Maksudnya, jika kau mencintaiku, kau tidak akan mempermasalahkan kesalahan yang mungkin hadir nanti, tak peduli jika kau tidak suka itu." Jiya menjeda. "Aku meminum pil sejak awal jika hal seperti anak dan responsibilitas yang kau takutkan." Kenya kirana ini mengulang, membuat Taehyung tripel horor.
"Kau menangis." Taehyung hanya mampu bersuara begitu.
"Oh, tentu saja. Meskipun kau mengatakan bahwa itu 'misalnya', tetap saja itu .... Jangan takut, Taehyung-ie. Aku meminum pil sejak awal jika hal seperti anak dan responsibilas yang kau takutkan. " Taehyung mendedau dalam hati. Jiya selalu mengulang-ngulang seolah tengah menyinggung Taehyung habis-habisan. "Jika kau takut pil atau pengaman lainnnya gagal, aku bisa pergi dan mengurusnya sendiri, kok. Kau tidak perlu repot-repot mengurusi ketakutanmu."
Taehyung merasa horor. Jiya menanggapi ini dengan sangat-sangat serius. Profesor Schiller dan Jiya membahasnya terlalu serius hingga terbawa perasaan. Kenapa?
"Jadi bisa lepas tidak, Tae? Aku rindu Lucy. Tidak perlu diantar dan sepertinya aku akan pulang ke asrama."
Taehyung membolakan netra. "Tidak boleh. Ada Prim di sana, Mi Corazon. Jangan gila."
Bagus. Jadi maksudnya ini problematika pribadi pertama Jiya dan Taehyung selama berelasi hanya karena topik perkara anak-anak dan responsibilitas. Harusnya Taehyung jangan memulai konversasi ini. Jiya tidak nampak seperti perempuan bengis yang siap menggugurkan kandungan jika terjadi kecelakaan. Jiya bersih dan sangat baik.
Haruskah Taehyung menghajar Profesor Schiller karena ia yang mulai membuat Taehyung seperti ini?
Jiya terkekeh kecil. "Oh, ya, itu lebih baik ketimbang disentuh mati-matian di sini oleh orang yang sepertinya tidak mau melakukan tanggungjawab jika ada kecelakaan."
Taehyung turbulensi. "Aku tidak begitu, Mi Corazon. Ucapanku itu misalnya. I love you with all of my heart, tidak mungkin aku merusak kepercayaanmu."
Oh, bagus. Taehyung berprofesi jadi pembual sekarang. Padahal ia juga ragu dengan itu. Ia bahkan pernah punya pemikiran untuk meninggalkan perempuan jika terjadi kecelakaan. Meski entah kalau perempuannya adalah Kim Jiya.
"Pemisalan seperti itu muncul sebab insekuritasmu, Tae. Aku paham kenapa mendadak kau bertanya hal seperti itu. Kau seperti memberi tahu bahwa kau akan meninggalkan aku jika aku hamil. Iya, kan?"
"Tidak."
Jiya membalas lebih cepat. "Iya. Kau cinta padaku, tetapi belum tentu bisa menerima eksistensi anakku."
"Tidak. Akuㅡaku ... apapun yang berkaitan denganmu, aku bisa menerima."
Taehyung similar seperti orang tolol sekarang.
"Kau menjawabnya ragu-ragu, Tae."
Semerta-merta kenya tersebut menunduk. Jauh di lubuk hati rasanya redum sekali berkat topik ini. Tidak aneh, kan, kalau Jiya mewanti-wanti dengan meminum pil? Mungkin Taehyung betul-betul mencintai Jiya atau Jiya juga sangat banyak menaruh afeksi pada pria perfek itu. Tetapi Jiya tidak memupuk banyak kepercayaan. Tipikal pria berandalan seperti Taehyung yang hanya tahu hidup senang-senang tidak mungkin mau menerima eksistensi beban seperti anak-anak.
Dari awal Jiya sebetulnya penuh kuriositas dan beberapa kali ingin bertanya perkara Taehyung yang tidak masalah dengan hubungan daksa keduanya yang sama sekali tidak menggunakan proteksi. Jiya pikir Taehyung siap sedia jika suatu saat nanti ada kecelakaan. Tetapi rupanya Taehyung tetap menjadi tipikal pria bajingan nomor satu.
"You scare me, Taehyung." Jiya mencicit.
"Lo siento, Mi Corazon. I don't mean to hurt you."
Jiya menggeleng terus-terusan. Sialnya masih tetap saja menunjukkan senyum. "You don't hurt me, but instead I hurt myself. Aku hanya terlalu jatuh padamu, cinta, takut, dan bodoh. Intinya, aku tidak percaya kau akan berhenti menyentuhku atau tidak. Jika kau terlalu takut akan mara itu, mungkin mengangkat rahim lantas jadi perempuan cacat dan tidak berguna bukan masalah. Aku terlanjur jatuh padamu."
"Jangan, Jiya Sayang."
Hazel Jiya lebih redum. Secara otomatis menguar vokal sebab intuisi hati. Jiya memang mudah eksesif jika menyangkut perasaan. Apalagi Jiya sudah super jatuh pada inferno yang Taehyung buat dengannya. "Sekarang aku menyesal telah memberi stori pertamaku padamu, Tae, dan menyesal telah jatuh cinta pada bajingan. You scare me a lot."
Jiya benar, kan? Jatuh cinta pada berandalan bajingan malah akan menyakitkan.
j e o p a r d i z e
Taehyung menatap Jiya yang masih mengabaikannya. Semenjak kembali dari hospital dan rumah Jimin demi mengambil Lucy. Wanodya itu seolah membangun tembok besar di antara keduanya sementara Jiya pribadi sangat sibuk dengan Lucy. Bodohnya lagi, Taehyung sendiri tidak tahu harus melakukan apa. Perempuan ini kalau merajuk dan perasaannya tengah turun nampak sulit untuk diterka-terka. Berapa kali pun pria itu memanggil, Jiya menulikan diri. Hal yang sangat tidak familier dengan kultur ini sungguh membuat tidak tenang.
Bisa dikatakan konstelasi itu lebih baik ketimbang membiarkan Jiya kembali ke asrama yang kini berubah jadi inferno. Cawis hati perasaan yang bagus. Itu juga awalnya agak sulit memaksa Jiya untuk tetap di sini. Yang terpenting adalah barangkali Taehyung mesti berterima kasih pada Jungkook. Tatkala Taehyung dan Jiya sampai di lantai gedung asrama Jiya, tepatnya berdiri di dalam elevator, keduanya melihat eksistensi Jungkook Scheiffer tepat di depan pintu asrama Jiya. Berkat itu, Jiya kembali menyusut takut. Ia tidak bilang ingin kembali ke apartemen, tetapi ia tidak menolak saat Taehyung membawanya kembali.
Tetapi sumpah, kini mendadak Taehyung punya dendam kesumat pada Profesor Schiller yang mengawali topik perkara bayi hingga membuat Taehyung berpikir gila.
Semaja Taehyung tidak ingin gugur dan melayu begitu saja. Duduk di sofa sembari memainkan penyulut sigaret berkali-kali. Menoleh tanpa henti ke arah Jiya yang menunjukkan iras laiknya horizon di atas bentala yang ekstraordinari dengan tawa yang super manis. Taehyung iri pada Lucy, ngomong-ngomong. Sayangnya marah lebih mendominasi.
Ada satu hal yang Taehyung pertanyakan. Mengapa Jiya sangat eksesif? Ini hanya perkara anak yang belum tentu akan presens. Oh, Taehyung agak tersinggung saat kenya kirana itu berkata perkara penyesalan terkait stori pertama itu. Memang Jiya yang memberi invitasi, tetapi kalau ditinjau, tetap Taehyung yang menjadi penyulutnya. Diktum Jiya agak membuat pening sebab Taehyung merasa dirinya seorang perogol. Lebih tersinggung lagi saat Jiya bilang menyesal telah menyukai Taehyung. Taehyung merasa seperti seorang bajingan kelas kakap kalau begitu caranya.
"Sialan!" Taehyung menggeram setelahnya. Ia hanya tidak tahan atas konstelasi ini.
Sekonyong-konyongnya, paragon perfek itu melangkah mendekati Jiya yang terduduk di atas alas berbulu dan mengangkat daksanya tanpa ultimatum. Lucy yang tengah berada di paha Jiya saja otomatis mengeong dan loncat. Sementara Jiya belingsatan bukan main. Tidak kapabel berteriak, hanya menyahuti nama Taehyung, meminta untuk diturunkan.
"Taehyung. Lepas."
"Tidak."
"Mau Lucy," balas Jiya. Sialnya, merengek.
Jadi, beginilah beban Taehyung. Semarah atau tidak sukanya Jiya, kendati kadang-kadang ada ketegasan tercantum di vokal dan iras, tetap saja ilustrasi inosen dan submisif sangat-sangat mendominasi wanodya itu. Sekian lama Taehyung secara tidak direk mengedukasi Jiya untuk membuat ekspresi marah, Jiya tetap tidak kapabel menjadi entitas garang. Submisif sudah jadi identitas Jiya.
Final posisi adalah di pantry. Mutlak mendudukan Jiya di atas meja dingin, sementara Taehyung di sela-sela paha kecil si dayita dengan tangan mutlak memblokade pergerakan intens Jiya di pelbagai sisi. Intensitas ketegangan naik satu tingkat. Tegang dalam segala hal. Intinya mikrokosmos sementara ini jadi penuh siluet yang tidak jelas akan berending bagaimana.
"Aku tidak tahan atas kekacauan ini, Mi Corazon."
Jiya mendesis lucu. "Jangan panggil itu. Aku punya nama."
"Yeah. Jung Jiya itu namamu, bukan?"
"Kim, bukan Jung."
"Aku tidak peduli, Mi Corazon."
Taehyung menguar napas dengan netra memejam. Ini agak kekanakan.
Sekon kemudian Taehyung memperkeruh suasana. Ketika satu tangan merengkuhi daksa Jiya dengan ajun agar si kirana ini tidak kabur, satu tangan lain jatuh pada bagian bawah. Menggapai ikat pinggang hingga sejemang Taehyung bisa melihat netra perempuan itu membola. Nampak menyeramkan memang, tetapi Taehyung pribadi tidak memiliki intensi yang aneh-aneh. Ikat pinggang hitam itu ia gunakan untuk memblokade kedua tangan Jiya. Oke, itu agak kejam, tetapi itu diperlukan supaya Jiya lebih submisif lagi. Hingga finalnya, sesudah itu, tangan-tangan itu mutlak mengalungi leher Taehyung. Konklusinya, jemala kedunya hanya berjarak dalam beberapa sentimeter saja dan Jiya absolut mematung. Sangat submisif.
"T-Taehyung mau apa? K-kau menakutkan." Vokal Jiya bervibrasi. Similar mangsa yang takut pada predator.
"Aku tersinggung atas intimidasimu, Mi Corazon. Aku tidak seberengsek itu."
Jiya mencicit pelan-pelan. "Iya. Sekarang tidak berengsek. Kalau ada kesalahan, nanti ... nanti mungkin kau akan menjadi berengsek."
Taehyung akui, sejauh yang ia pikirkan, jika ada kesalahan, Taehyung akan lari dari responsibilas. Awalnya punya pemikiran begitu. Namun, jujur saja ada hal lain yang melindap, yakni perkara dengan siapa Taehyung berhadapan. Ini Kim Jiya. Memang Taehyung bisa meninggalkan Jiya begitu saja? Taehyung memang kemungkinan besar akan pergi meninggalkan perempuan yang menampung seoonggok daging di rahim sebab perbuatan Taehyung, tetapi kalau perempuannya adalah Jiya, Taehyung lebih yakin untuk menetap meski rumit di segala sisi. Mendadak saja ada yang berbisik di tiap rungu seolah mengingatkan Taehyung atas perkataan sendiri, "Jiya itu gadismu. Prominen, eminem, unggul, dan spesial." Taehyung selalu bicara begitu, kan?
Sayup-sayup Taehyung menguar napas. "Aku ingin tahu, kenapa kau sangat eksesif?"
"Aku perempuan, Taehyung. A kid without a man is a big burden for a woman." Jiya menarik napas, mengisi kesesakan di rongga pernapasan. "Akuㅡaku memang tidak menanggung beban itu sekarang. Tetapi andai itu terjadi, sementara kau sendiri seolah mengganggap itu hal buruk, aku tidak ... kau tahu, aku berbohong perkara aku bisa mengurus sendiri, jika itu terjadi aku akan bunuh diri."
Taehyung menyela bagai gundala. "Aku tidak akan membiarkan itu terjadi."
Jiya terkekeh samar dengan jemala menunduk hingga keningnya bersinggungan dengan person di depan. Gilanya di situ pula Jiya dapatkan komposur dan rasa insekuritas tinggi. Jiya menaruh seratus persen afeksi pada Taehyung, konkret meluluh, Jiya mungkin akan tetep submisif dan menerima semua kemauan Taehyung. "Do what you want, Tae. Kau mencegahkan dan memberi harapan, aku bisa hidup kembali. Jika tidak sanggup, biarkan aku hancur dan bertingkah tolol. Kau harus tahu betapa malunya menjadi perempuan yang menahan beban seperti itu. Perundungan selama ini saja membuatku cukup gila. Jika itu terjadi, levelnya bisa lebih berat."
Bisa dikatakan Jiya tidak bohong soal ini. Distrik ini memang terkenal seolah menormalisasikan hal ilegal, termasuk Saint Hallway yang gila, eksistensi pemabuk dan bandar narkoba, atau bisnis prostitusi milik Madam Barbara. Tetapi tetap saja kalau perkara hal sensitif ini, pihak perempuan tetap jadi sasaran empuk para perlenteh. Stigma kotor bisa dimanfaatkan oleh berbagai pihak. Selain itu, perundungan juga tetap bisa terjadi.
Ada satu eksampelnya. Dulu, empat tahun lalu, sahabat Jiya, Do Ryuha pernah merasakannya. Waktu itu keduanya masih di sekolah menengah. Ryuha tipikal perempuan yang sama seperti Jiya, sangat inosen dan sangat menjaga diri. Tetapi sialnya ia bertemu pria bajingan yang berhasil meluluhkan Ryuha hingga jadi submisif. Tatkala ada kecelakan, Ryuha ditinggalkan. Stigma menguar di publik. Acapkali perempuan nelangsa itu jadi sasaran para penjahat kelamin sebab menganggap Ryuha serupa gadis milik Madam Barbara yang kotor, bahkan disebut lebih kotor. Apalagi Ryuha masih sekolah menengah, dapat perundungan yang beratnya tidak bisa dihitung. Hingga satu jalan yang paling waras, Ryuha bunuh diriㅡJiya masih tidak ikhlas dengan realitas ini. Jiya tidak ingin menjadi Ryuha. Namun, jika Taehyung memaksa Jiya untuk menjadi Ryuha, maka Jiya juga nanti akan memilih untuk menjadi seratus persen Ryuha. Bunuh diri demi terbebas dari stigma dan problematika.
"Aku khawatir sejak pertama kali melakukannya. Kau tidak memakai proteksi dan selalu mengeluarkannya di dalam tubuhku. Kenapa kau begitu jika pada realitasnya takut terdapat kesalahan? You jeopardize my life, Tae."
"Maaf."
Taehyung seperti pendosa, ya?
"Then what do you want, Mi Corazon?"
"Jangan menyia-nyiakan perasaanku."
Paragon ekstraordinari itu nampak jelas menggelengkan kepala pelan-pelan. "Tidak akan. You are precious to me. Maaf jika aku menyakitimu."
"Namunㅡ" Jiya bersuara lagi. "Jika kau keberatan atas segala kesalahan yang mungkin akan datang, aku memilih menyerah dari sekarang. Menikmati predestinasi hancur secara terpisah seperti awal. Kau dengan duniamu, aku dengan duniaku. Kau tidak membahayakanku, aku tidak membahayakanmu. Kembali seperti awal, Taehyung."
Semuanya penuh dengan warna aswad. Taehyung tidak bisa membayangkan seberapa gilanya ia saat berada dalam atmosfer yang diferen dengan Jiya seperti dulu. Ia juga tidak mau membiarkan Jiya tersiksa sendirian lagi karena kasus itu, termasuk Prim dan Jungkook Scheiffer yang makin menggila. Tidak, Taehyung tidak mau itu terjadi.
"We're bound, Mi Corazon."
Jiya tersenyum minim. Agak horor di jihat Taehyung. "Simpan kata-kata bualanmu, Tae. Aku hanya ingin evidens," katanya, "sekarang aku ingin bertanya, who am I to you?"
"Gadisku. My treasure."
"Sangat berharga?"
"Si, Mi Corazon." Kini Taehyung membalas bagai pria submisif.
"Maka harusnya kau bisa merawatku dengan baik. Termasuk jangan pula membuangku jika aku rusak. Kau sendiri tidak terima kalau aku rusak. Akuㅡaku hanya ingin itu, Tae. You're my citadel, merawatku, protektorku. Kau yang memberi invitasi sejak awal, jangan jatuhkan aku."
Degup jantung Taehyung mirip suasana di kelab. Sama sekali tidak menyangka bahwa Jiya sedetail itu. Ia ingat seluruh hal yang Taehyung katakan. Sangat mengharapkan apa yang Taehyung berikan sejak awal. Taehyung menawarkan diri menjadi benteng dan mutlak jadi prianya Jiya, memang sudah seharusnya Taehyung menjaga Jiya setiap saat, kan? Bahkan harus tetap ada jika yang dijaganya sudah rusak.
Taehyung tidak pernah berniat untuk membual. Tetapi berkat topik dari Professor Schiller ini, Taehyung baru sadar bahwa ia nyaris menjadi tukang berbual.
"You may touch me if you want me, with or without a protector. Aku akan tetap meminum pil. Jika kau mengizinkanku untuk memasang alat kontrasepsi atau mengubah diriku menjadi perempuan cacat, aku bersedia. Aku terlanjur jatuh padamu, Tae." Secara mendadak Jiya eksesif lagi. Menjadi perempuan paling lemah yang sangat suka meluruhkan air netra. Cinta memang begitu, kan? Penyakit kronis yang kapabel membuat person jadi lemah. "Aku hanya bisa nyaman bersamamu. Terserah jika kau tidak cinta padaku atau hanya menginginkan daksaku. Aku hanya terlanjur menikmati predestinasi hancur ini bersamamu. Tapi, tapi aku juga senantiasa tidak mau dihancurkan dan ditinggalkan begitu saja jika nantinya aku total rusak."
Taehyung kelesah, ia membuat Jiya menangis lagi. Dan apa katanya tadi? Tidak cinta?
"Tidak, Ji. Aku menaruh afeksi penuh padamu. Jangan mengada-ngada." Ia menjeda demi mengabolisi eksistensi likudi netra yang keluar minim itu. "Aku akan menjadi pria yang lebih baik lagi." Taehyung masih super ragu sebetulnya, tetapi ia akan tetap mencoba. Ia terlalu sering melihat perfeksionisme Jiya, tetapi seolah tidak peduli dengan kehancuran terburuk yang mungkin akan bersumber dari tangan Taehyung sendiri.
Taehyung melepas rengkuhannya. Kontinyu mengeluarkan jemala pribadi dari kedua lengan Jiya yang melingkar di leher. Pelan-pelan ia membuka ikat pinggang di sana, menjatuhkan ekuipmen itu hingga menimbulkan bunyi nyaring di lantai marmer, dan mengusap-usap pergelangan tangan Jiya subtil.
Tahu-tahu kuluman mesra terjadi pada masing-masing labium. Tidak ada wilangon, hanya sebagai pemanis atas problematika random sebelumnya yang cukup membuat panas serebrum. Taehyung persistensi melakukan pergerakan sublim dan manis hingga Jiya lebih-lebih submisif. Semarak komposur dan harsa menyatu jadi finalnya. Tidak ada lagi anomali sinting yang membuat konstelasi kacau.
Taehyung, bagi Jiya, sangat ekspert memperbaiki kekacauan yang dibuat walaupun Jiya sendiri tidak tahu pria ini akan betul-betul menjadi apa yang diharapkan Jiya atau tidak. Sementara Jiya, bagi Taehyung, terlalu istimewa; meski sikapnya inosen dan nampak terlihat imbesil, Taehyung tak menyangka bahwa Jiya sangat pandai menempatkan diri sendiri pada suatu mintakat yang sebelumnya tidak familier.
Tangan-tangan Jiya bergerak kelesah. Satu-dua detik meremat fabrik atas Taehyung, detik lanjutnya menyusuri surai ikal panjang Taehyung, atau terkadang mengusap rahang tegas Taehyung. Yang pasti Jiya merasa masuk ke dalam firdaus lagi setelah sebelumnya menanggung situasi aneh yang lucunya gila, panas, dan menyesakkan. Hingga tak aneh Jiya menguar vokal manis similar desahan tertahan sebab terlanjur meluluh dan jadi submisif. Yang lebih mengerikan, suara decapan labium semakin intens sampai tulang-tulang daksa Jiya melunak.
Sampaiㅡentah Jiya tidak menghitung periodenyaㅡTaehyung melepas tautan firdausnya. Pria itu meloloskan kurva manis dengan jemari mengusap labium Jiya yang memerah. Ia bersuara rendah-rendah. "Jadi, sekarang tidak marah lagi, kan?"
"Tidak, Tae."
Taehyung menguar tawa kecil. Dia hanya merasa tenang sekarang.
"Tapi aku akan tetap menagih evidens. Can you be my great citadel, be my man, be my hero, andㅡbe his or her daddy?"
Taehyung menuntut penghentian perputaran waktu. Sebentar saja. Sebentar. Pria itu perlu mencerna beberapa kata aneh yang menyentrum seluruh sarah tubuhnya. Turbulensi hebat hingga rasanya Taehyung memerlukan sekantung oksigen untuk mengisi ekuipmen pernapasannya.
Jiya bicara apa?
"Apa? Are youㅡwait, daddy? Daddy ... you said be a daddy?"
Terlihat Jiya mengulum labium dengan ekspresi eksentrik-yang tetap memesona.
"Hei, bicara. Aku bertanya padamu, Mi Corazon."
"Sangat diperlukan." Jiya memberi awalan. "Tidak. Aku baru saja menerima period, makanya aku sensitif, meski periodnya lebih-lebih cepat dari deklinasi biasanya. Intinya, aku tidak hamil. Tetapi, akan aku tegaskan, Tae. Sangat diperlukan untukmu menganggap bahwa perutku terisi sesuatu supaya andaikata ketakutanmu terjadi, kau kapabel menerimanya. Serius, Tae, jika kau meninggalkanmu setelah aku rusak, aku akan memilih mati. Aku serius. Menemani Kak Hoseok akan menjadi pilihanku saat itu juga."
Semerta-merta pria itu mengangguk konfidens. Jujur, rasanya lega. Demi Tuhan, Taehyung akan terserang gila jika itu benar-benar terjadi. Taehyung tidak siap, belum lebih tepatnya kalau sekarang. Tetapi sugesti Jiya tidak ada salahnya. Gila juga, ya? Mungkin kapan-kapan ia bermain ke ujana demi melihat eksistensi anak-anak atau melihat film dengan genre famili.
"Aku akan mencoba. Aku tidak ingin kehilangan harta karunku."
"Oh, ya? Perlu diingatkan bahwa kau nyaris saja kehilangannya."
Taehyung terkekeh. Lucunya, iya. Taehyung nyaris kehilangan Jiya. Jiya kalau marah tidak main-main, meski aura inosen dan submisifnya masih menguar jelas.
"Jadi, harus kuulang. Can you be my great citadel, be my man, be my hero, and be his or her daddy?"
"Seratus persen, bisa, Jiya Sayang."
Tidak seratus persen sebetulnya. Taehyung masih ragu teruntuk poin yang terakhir.
Sudut-sudut labium Jiya terangkat. Taehyung lucu dan manis jika begini situasinya. Tawa kotaknya juga mendadak keluar kecil dan itu menggemaskan. Jiya sampai tidak percaya kalau pria di depan ini yang berhasil membuat Jiya kehabisan napas kalau di atas tilam atau yang berhasil membuat Baquero kehilangan kesadaran dan mutlak babak belur. Dualismenya tidak tertandingi.
"Jadi, sekarang aku boleh turun? Aku mau main dengan Lucy lagi."
Taehyung menaikan satu alis. Mundur satu langkah membiarkan Jiya turun. "Aku suka kucing itu. Dia sangat pengertian." Sungguh, Lucy seolah paham sirkumstansi pelik sebelumnya. Ketimbang mengganggu Jiya dan meminta diajak bermain, ia diam seraya menjilati bulu-bulunya di samping daksa Jiya. Seperti menunggu bisnis kedua manusia ini selesai.
Vokal-vokal lucu Jiya bebas di udara dan tangannya menjamah bagian tubuh Lucy begitu selia dan hati-hati. "Lihat pemiliknya." Jiya bersuara.
"Ya. Sangat pengertian seperti pemilik cantiknya."
"Kim Hoseok maksudnya, bukan aku."
"Tapi kau pengertian juga," respon Taehyung. "Pada hakikatnya sekarang kucing itu dimiliki olehmu, bukan Hoseok lagi." Taehyung menegaskan. Pria itu impulsif bergerak ke almari dan mengambil satu botol kristal dengan isi likuor.
"Oh, ayolah, Taehyung. Alkohol? Kurangi gaya hidup sintingmu."
"Sudah berkurang, Mi Corazon." Taehyung membela diri defensif. Ia persistensi dengan tetap menuangkan likuornya pada selokinya. "Tidak seks bebas lagi. Porsi heroin berkurang. Dan ini pertama kalinya setelah satu minggu tidak minum ini. Sigaretnya juga."
"Still mad. Lain kali aku akan membakar alkoholnya."
"Oh, terinspirasi dari Elizabeth Swan, Love?"
Jiya berdecak horor. Visusnya melihat pria itu meminum sojunya langsung dari botolnya, membiarkan arloji berisi penuh itu tersimpan di atas meja. Dan harus ditegaskan bahwa aksen bicara Taehyung agak menjengkelkan. Entah tengah berlakon seperti Jack Sparrow atau hanya ingin terlihat seperti pemabuk Saint Hallway.
"Tidak juga. Aku mengandalkan kewarasanku."
Taehyung terkekeh. "Silly me. Lagipun aku meragukan kau bisa segila Swan atau tidak."
"Kau tahu betapa gilanya aku saat pertama kali melihatmu memakai heroin."
Membawa serebrum bekerja untuk melihat preseden, Taehyung refleks memainkan lidah di dalam mulut. Baru ingat kalau Jiya bisa gila juga. Memang saat itu lagu Recovery dan kombinasi kegilaan Taehyung dengan halusinasi dan uforianya kapabel membuat person yang eksis di satu situasi yang similar ikut sinting.
"Ngomong-ngomong kau cocok dengan imej itu," balas Taehyung. Memapahkan tungkai ke sofa dengan kedua tangan masing-masing membawa alkohol dan kola strobei. Merapat duduk di samping Jiya yang masih telaten mengelusi si manja Lucy.
"Imej gila maksudnya?"
"Iya. Kau butuh kegilaan untuk menyelamatkan dirimu sendiri dan kau sudah punya itu," katanya. "Kola?"
Jiya meraih kolanya yang tutupnya sudah dibuka dan meneguk satu kali. "Agak aneh jika aku begitu." Jiya merinding kecil. Sejauh ia hidup memang tidak pernah menunjukkan kegilaan. Barangkali terlalu nyaman dengan situasi waras. Tetapi Taehyung memang selalu memancing Jiya untuk gila. Aneh kalau Jiya betulan memiliki karakterisasi seperti itu.
"Tidak juga. Tapi, submisif lebih-lebih cocok denganmu." Taehyung menjeda. Ia membuka laptop dan membuka folder video dari kamera pengintai Saint Hallway yang dicuri lalu. "Tapi mungkin kau akan gila setelah tahu ini," tambahnya. "Kau mendiamiku dan aku menggila. Setidaknya itu berguna karena aku menemukan ini."
"Apa?"
"Pria yang bersama Seokjin selalu berhasil menghindari kamera." Itu basisnya mengapa Taehyung sangat malas mencaritahu identitas orang ini. Padahal mengumpulkan evidens kasus ini sangat diperlukan supaya bisa menemukan final kasusnya. Tapi tadi tatkala Jiya mendiaminya, sebab Taehyung sangat pakau, jadi dia lebih tertarik untuk kontinyu mencari tahu mesti itu kurang lebih memerlukan enam jam. "21 November, pesta penggalangan dana major tata busana."
"Pesta favoritku."
"Kau cantik. Gaun hijau menjuntai ke lantai dengan punggung terekspos dan topeng mata dengan desain glorius. Aku ingin mengajakmu berdansa waktu itu."
Jiya melirk Taehyung. "Lantas kenapa tidak?"
"Tidak tahu." Taehyung terkekeh. "Aku gila dengan kombinasi Kim Jiya, pita dan gaun hijau, dan topeng. Kau dalam bahaya jika berdansa denganku."
"Kenapa?"
"Berniat menyeretmu ke mobil. Kau paham kelanjutannya."
Gila.
"Aku serius sekarang. Mungkin kau familier dengan pakaian pria ini?"
"Tidak."
"Pria yang memberikanmu likuor dan berdansa denganmu."
Kalau memutar fragmen ke belakang, sudah dibilang Jiya selalu melupakan hal-hal krusial. 21 November adalah masa-masa terakhir ketenangan Jiya. Itu bermakna bahwa saat itu Jiya belum familier dengan orang-orang bajingan. Ia ingat kalau ia pernah ditawari likuor dan berdansa, tetapi Jiya menolak di bagian likuor, hanya menemani menari selama beberapa menit dengan musik Harleys in Hawaiiㅡoh, Jiya gila detik ini; mendadak malu sebab waktu itu ia menari dengan pria itu tetapi netranya jatuh pada Taehyung yang lucunya balas menatap intens. Intinya, Jiya lupa siapa pria itu. Maklum, tidak berkesan.
Hingga mendadak Taehyung mencumbu mesra sisi wajah Jiya dengan senyum penuh afsunnya. "I saw you, Mi Corazon. Aku tebak kau juga ingin berdansa denganku." Seperti terkena mantra inkantansi yang memabukkan, Jiya mengangguk. "Haruskah kuulang kalau aku suka Kak Taehyung sejak aku masuk Saint Hallway?"
"Kak Taehyung?" Taehyung membasahi bibir. "I do like it."
"Aku berharap kau mengajakku berdansa waktu itu. Aku ingin merekomendasikan satu lagu pada DJ jika kita berdansa. Can we kiss forever."
"Bisa."
"Apa?"
"Can we kiss forever? Jawabanku, bisa, Mi Corazon."
Jiya mencebik dengan iras inosen tolol seperti biasanya. "Judul lagu, bukan bertanya."
"Is that a romantic song?"
"Ya, tapi tidak juga. Sangat cocok untuk merepresentasikan sirkumstansinya. It's difficult to be explained." Jiya berpikir, agak rumit situasinya. Jiya sangat jatuh cinta pada Taehyung, kalau boleh jujur. Tenggelam sekali dengan paragon perfek itu. Sayangnya Jiya berpikir konyol saat itu, perkara bagaimana sakitnya ia menyukai pria seperti Taehyung. Taehyung menurutnya seolah tidak kapabel untuk digapai oleh Jiya. Lucunya, memang Taehyung merasakan hal yang sama. Lagu yang sangat cocok dengan dua manusia yang saling menyukai tetapi tidak saling mendekati dan malah menyakiti diri sendiri.
"But, still, Mi Corazon, song or not, we can kiss forever."
"Iya, terseㅡ"
Tanpa ultimatum, Taehyung memindahkan posisi Lucy yang memang sudah tertidur, telak ke sisi sofa yang kosong. "ㅡrah." Sementara Jiya dipindahalihkan untuk terduduk di atas tubuh Taehyung. Agak mengerikan sebab mungkin harusnya Jiya jangan memancing taehyung dengan hal-hal aneh. Memang Jiya tidak berpikiran aneh, tetapi Taehyung punya cara berpikir yang berbeda dengan Jiya. Bukan sebagai lagu, tetapi pertanyaan. Mungkin tadi Jiya harus menyebutkan lagu yang lain.
Tetapi Jiya hangat. Hangat sekali dengan eksistensi tangan-tangan besar Taehyung yang melingkup di pinggangnya, kadang kala merambah ke punggung atau belakang jemala, dan kontinyu ke rahang Jiya. Jiya jadi takut, takut kalau Taehyung benar-benar menciumnya selamanya. Nonsens memang, mana mungkin. Tetapi bisa saja durasinya lebih lama dari rekor terlama sebelumnya.
Ada perasa likuor eksentrik yang Jiya cecap. Sementara di jihat pria perfek itu, rasa-rasa strobesi menyambutnya lebih baik. Seolah membagi rasa mulut masing-masing. Poinnya, regulasi serebrum jadi kacau. Ibaratnya, serebrumnya perlina dari tempat asal. Tetapi memang keduanya sama-sama mabuk. Jiya suka saat tangannya menelusup ke surai-surai Taehyung yang lembut dan wangi. Atau katakan sebelah lainnya, Taehyung suka mengulum mesra labium Jiya yang super lembut dan manis.
Relap horizon asmaraloka jadi kelewat syahda. Fragmen lain yang membuat Jiya semakin tidak mau jauh dengan Taehyung. Terlampau nyaman.
"Ehmㅡnapas." Taehyung mengangkat sudut bibir. Setelah tiga sekon meraup oksigen, Taehyung berbicara. "Cukup."
Jiya memekik halus lagi. Cukup, bukan bermaksud ciumannya yang sudah cukup hingga di detik tadi, tetapi itu tertuju pada sesi meraup oksigennya. Ya, memang, Taehyung mana mungkin kapabel melepas Jiya secepat itu. Intinya, sih, Jiya gila sebab ujungnya refleks bergerak gelisah hingga menyenggol sesuatu prominen di bawah. Sumpah, itu horor, tetapi Jiya bersyukur sebab Jiya sedang datang bulan sekarang. Ini tidak akan lebih.
Menuju linear yang gila, memang benar sepertinya ini lebih lama dari sebelumnya, Jiya lepas lagi. Hei, lagipula kenapa malah berciuman seperti ini? Jelas harusnya keduanya fokus memecah misteri kasus sinting itu. Taehyung dan Jiya rupanya mudah terdistraksi.
"Aku bisa lebih lama dariㅡ"
Jiya menjatuhkan jari telunjuk di bibir Taehyung. Jiya malu, sumpah. "Shhh! Diam."
"ㅡitu. Berciuman selamanya hingga mati, keren juga."
Jiya menggigit labium sendiri. Ingin menangis. Keren di bagian mananya?
Tanpa mau memikirkan diktum tolol Taehyung, Jiya turun untuk duduk di posisi semula. Duduk di pangkuan Taehyung cukup membuat gila. Terutama rasanya Jiya seolah jadi koala. Jiya juga enggan bertanggungjawab atas ereksi Taehyung.
"Tapi, memikirkan perihal aku dan kau yang ingin saling menari, tetapi tidak kesampaian saat itu ... mungkin kau mau berdansa sekarang?"
Jiya menggeleng inosen. Rasa-rasanya jadi memalukan. Menyebalkan rasanya punya kelikat seperti ini. Kenapa Jiya mudah sekali berterus terang begitu? Padahal harusnya itu jadi asrar pribadi Jiya.
"Oh, ditolak." Pria itu memegangi bagian dadanya. "Sakit sekali."
Jadi Jiya juga semerta-merta memublikasikan tawa lucunya sebab lakon Taehyung yang cukup picisan tapi sangat menghibur jantung hati. Meski aneh, sih, sebab sebelumnya mereka berperang dingin karena topik konyol yang mungkin saja tidak akan pernah terjadi. Tetapi sumpah, Jiya menikmati asmaralokanya dengan Taehyung.
"Don't be cute. Aku mati, Tae."
"Fine. Tapi serius, Ji. Kapan-kapan kita melakukannya, ya?"
Jiya mengangguk. "Aku harap kita bebas lebih cepat. Jadi, pesta penggalangan dana major tata busana selanjutnya kita bisa melakukannya."
"Tidak dengan pesta Blanc?"
"Rasa-rasanya aku semacam punya trauma jika di situ. Jungkook nyaris memperkosaku di sana, kau tahu ituㅡwait a minute." Jiya memberi penjedaan. Mendadak memerhatikan layar laptop. Pria dengan tuxedo abu-abu, rambut panjang hitamnya. "I remember this guyㅡ"
Taehyung kontinyu menabrak diktum Jiya. "Jungkook Scheiffer. Orang yang memberimu likuor dan berdansa denganmu adalah orang yang merogol Jihan. Sesimpel itu jawabannya."
Jiya ingat fragmennya. Dulu, ia belum familier dengan Jungkook Scheiffer. Kalau tidak salah, sepertinya pesta penggalangan dana major tata busana adalah interaksi pertama Jiya dengan Jungkook. Pria itu yang memberi invitasi dansa. Sialnya mendadak Jiya jadi ingat aksen buaya daratnya yang cukup horor, "Ji, you're the most beautiful girl I've ever seen. Izinkan aku untuk menjadi priamu malam ini." Begitu, ditambah dengan penawaran likuor. Jiya curiga kalau Jungkook punya intensi merogol Jiya malam itu.
"Kenapa tidak memberitahuku daritadi jika sudah tahu?"
"Untuk melatih memorimu. Jujur, kau sangat pelupa, Ji."
"Apa?"
Taehyung mengedip detik itu. "Lumayan, mengulur-ulur waktu, aku dapat ciuman dari gadisku."
"Menyebalkan." Jiya bergumam pelan-pelan.
"Orang menyebalkan inilah yang telah mengajarimu bercumbana hingga kau bisa seekspert tadi," balas Taehyung mengedip.
Jiya malu. Sialnya, Taehyung ada benarnya. Jiya tidak kapabel menilai diri sendiri, sih. Hanya saja memang Jiya merasa aneh sendirian. Dia lebih-lebih bisa mengimbangi manuver Taehyung, padahal dulu super kaku.
"Aksi bibir dan bibir. Kemampuanmu meningkat pesat."
"Shhh! Diam."
Si parlente Jung itu terkekeh.
Di samping Jiya masuk dimensi lain lagi untuk menghilangkan rasa malunya. Memikirkan perkara Jungkook sebelumnya, kaitannya dengan perogolan Jihan. Kini setidaknya ada satu kejelasan atas kesintingan predestinasi sekarang. Taehyung, ia bukan tersangka pemerkosaan Jihan. Pria itu berkata jujur bahwa ia tidak ada sangkutpautnya dengan kasus itu. Jiya pernah berpikir kalau tersangkanya Jungkook, dan itu benar.
"Bukan kau yang merogol Jihan."
"Aku berkata jujur, Mi Corazon. Aku terkena imbas atas kasus ini. Familiku membuangku. Jika aku tersangkanya, aku akan jujur dari awal."
"Tapi Song Seokjinㅡ"
"Bukan hal yang aneh. Setahuku, Seokjin berelasi dengan Namjoon dan Namjoon adalah satu-satunya orang yang paling dekat dengan Jungkook. Bisa dipastikan Jungkook dan Seokjin dekat. Tapi perkara perogolan Jihan, tetap masih abu-abu. Ada dua opsi, mereka melakukan itu karena diri sendiri atau ada yang menyuruh karenaㅡ" Taehyung berhenti berbicara, fokusnya kembali pada laptop dan memundurkan posisi durasi videonya. "ㅡDia menelepon seseorang. Bisa saja itu urusan pribadi, tetapi bisa saja ... ada transaksi di sana."
Jiya mengerjapkan netra berkali-kali. Tremor. Hal senonsens ini yang membuat hidup Jiya kacau? Maksudnya Jiya tidak ada sangkutpautnya dengan seluruh kegilaan ini. Jiya memang pernah satu asrama dengan Jihan. Hanya saja menuduh Jiya macam-macam dan menjadi dalang atas segalanya adalah satu hal keparat yang pernah Jiya terima.
"Bukan itu saja." Taehyung bersuara lagi. "Yoongi mengirimkan foto hasil kamera pengintai di asramamu. Ada seseorang yang memasukkan sesuatu ke dalam asramamu, mungkin surat. Dia berada di sana kurang lebih sepuluh sekon dan langsung pergi lagi."
Katakanlah Jiya gila sekarang. Visualisasi seorang wanodya dengan iras yang cukup kusut. Dari hasil warnanya, Jiya bisa menebak bahwa perempuan ini terkena depresi atau hal-hal semacam penekanan besar. Hingga detik selanjutnya Taehyung menggemakan vokal, seolah menyadarkan Jiya untuk segera masuk dunia asli. "Woona. She tries to give you something crucial. Kita perlu pergi ke asramamu, Mi Corazon."
[TBC]
8,1K. sayang sekali kalau satu momen dipisah jadi dua bagian. cute aja, dari berantem langsung cuddle lagi.
bagian ini khusus dan spesial karena kak taehyung update. aku usahakan jumat akan tetap hadir bagian baru juga.
ngomong-ngomong, topik konversasi perkara pregnancy itu sangat dibutuhkan di jeopardize, makanya aku buat bagian ini. jiya dari awal khawatir kalau dia expecting a baby. dia ga berani untuk bertanya hal gituan ke taehyung, untungnya taehyung lebih dulu bicarakan topik sensitif itu.
satu lagi. impresi kalian ke profesor schiller? he is jiya's daddy, katanya. percaya?
well. sampai jumpa di bagian selanjutnya, darls!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top