ACT I: CHAPTER 07

Bentala dihiasai oleh pelbagai eksistensi benda univers adiwarna. Banyak gumpalan kapas putih di nabastala biru hingga menampilkan imej kumulonimbus yang sejuta kali lebih elok dibandingkan predestinasi nestapa yang kenya itu miliki. Utamanya adalah anila yang sepoi-sepoi, bersuara minim, dan mutlak berkontribusi untuk membuat surai hitam pendek dengan warna biram terang di ujungnya menari minim.

Sayangnya, presensi univers nirmala sangat jauh berbeda dengan hal yang selalu Jiya alami. Setiap harinya selalu buruk, jauh dari kenirmalaan. Lagipula apa yang mesti diharapkan oleh Jiya tatkala sembilan puluh persen penghuni Saint Hallway menganggapnya sebagai sumber penyakit kronis, dihindari, dan diinjak-injak? Bayangan perkara hidup serupa visualisasi univers sekarang adalah hal yang mustahil untuk didapatkan oleh Jiya.

Nelangsa sekali, ya?

"Ji, kau dipanggil Professor Schiller."

Jimin muncul mendadak bagai hantu dari belakang. Pria tersebut menguar napas tidak stabil dengan keringat mengucur sedikit pada pelipis. Sudah dipastikan bahwa Jimin habis berlari atau mungkin terlalu lama duduk di bawah sinar bagaskara untuk sekedar berdiskusi dengan teman-teman major arsitekturnya. "Akuㅡ" Dia menarik napas sejemang dan membuangnya berat. "Aku mencarimu di kelas Sir Morgana dan kau tidak ada. Aku mencari ke mana-mana rupanya kau di sini."

Jiya membasahi bibirnya sendiri sebagai preambule. "Aku tidak masuk kelas. Percuma. Pada hakikatnya Sir Morgana juga tidak menginginkan eksistensiku. Oh, ngomong-ngomong mengapa tidak memberitahu lewat pesan pribadi?"

Pria tersebut mendengus kesal. Tidak sepenuhnya jengkel, sih. "Jiya, mesti kuingatkan bahwa kau selalu membaca pesanku dua atau tiga jam setelahnya atau bahkan setengah hari setelahnya; oh, paling tragis adalah sehari setelahnya, sementara Professor Schiller menginginkanmu untuk menemuinya saat ini juga."

Jimin ada benarnya.

Oh, perkara Jimin, atau lebih tepatnya tentang suatu hal yang diutarakan oleh Taehyung tempo lalu. Jiya masih tidak memiliki bayang-bayang aksi yang tepat. Menanyakan secara direk pada Jimin soal semua hal bukanlah hal tepat. Seperti menanyakan relasi Jimin dengan pengedar narkoba seperti Song Seokjin, alasan Jimin mengenalkan Seokjin pada Taehyung, dan basis konkret mengapa Jimin memasukkan Taehyung pada candunya medikamen ilegal. Jiya tidak boleh bersikap gegabah dan tolol seperti person idiot.

Hanya saja, secara general Jiya jadi mendadak memikirkan hal yang buruk-buruk tentang Jimin. Jiya mesti berhati-hati dengan Jimin karena Jimin sudah masuk ke dalam probabilitas tersangka.

Pertama, Taehyung sendiri. Meskipun Taehyung sudah bicara terang-terangan kalau ia terkena efek kasus hingga ditinggalkan famili dan terjerumus pada euforia narkotika, ia masih bisa jadi tersangka pemerkosaan JihanㅡJiya hanya overthinking mungkin. Kedua, si gila Jungkook Scheiffer. Mengingat aksinya untuk memerkosa Jiya terlampau gila, Jungkook juga bisa jadi tersangka pemerkosaan. Lantas sekarang Jimin. Hanya saja kalau soal Jimin, Jiya juga masih bingung mesti melihat sisi mana. Jimin memerkosa Jihan atau menculik Woona atau berkontribusi dalam keseluruhan kasus?

"Kenapa? Ada yang salah, Ji?"

Jiya menggeleng cepat-cepat. "Tidak ada."

Jimin abai. "Ngomong-ngomong ... suraimu jadi pendek. Danㅡwow! Ombre merah, keren!"

Kenya tersebut tersenyum lebar. Suka sekali jikalau diberi komplemen oleh orang lain. Perkara surai pendek, sudah jelas kalau itu sebab manusia tak berbudaya, si Prim Isabeau itu. Sedangkan perkara adisi warna merah pada surai, sebetulnya itu Jiya sendiri yang ingin bereksperimen. Hitung-hitung satu warna dengan stroberi juga. Meskipun lagi-lagi Taehyung sempat memberi protes; tidak suka, seperti gadis nakal katanya. Tetapi Jiya menang karena abiliti memberi iras inosen yang mutlak jadi kelemahan Taehyung. Setidaknya Jiya berjanji akan mengubah surai jadi murni warna aswad semua lagi nanti.

Sialnya, satu hal yang tidak Jiya ketahui, perpaduan surai pendek dengan adisi sedikit warna merah dan mutlak terang-terangan menunjukkan pita manis lucunya sudah pasti membuat para pria lebih menggila. Oh, jangan lupa dengan sandang blus manis satin berwarna hijau tua dengan potongan leher membentuk huruf v yang kini dipakai Jiya.

Gila, ya? Perempuan inosen ini hobi sekali memancing predator.

Makanya di jihat Jimin, Jimin khawatir. Terutama perkara pitanya. Tapi Jimin tidak bisa berkomentar. Hanya bisa memuji.

Sebetulnya Jimin pernah memberi sugesti pada Jiya untuk jangan menggunakan pita leher, tetapi Jiya malah marah-marah tidak terima. Sudah jadi kultur sejak kecil, makanya Jiya tidak bisa lepas dari pita. Sayangnya memang sesusah itu untuk memberi tahu Jiya perkara pita yang bakal jadi biang polemik itu. Jiya itu keras kepala, ngomong-ngomong.

"Kenapa memotongnya?"

"Prim yang memotong. A few days ago," balas Jiya.

Jimin membelalakkan mata. "Are you serious?"

Sekedar informasi, kejadian saat Prim berlakon jadi makhluk tak berkultur itu, Jimin sedang tidak berada di kampus. Jimin termasuk tipikal mahasiswa sibuk yang ikut banyak organisasi dan ambisi mendapatkan prestasi di luar universiti. Waktu itu hingga kemarin, intinya Jimin sibuk.

"Seratus persen, Jim." Jiya menjeda. Lenggana melanjutkan topik konversasi ini. Hanya saja mendadak terpikirkan Taehyung, paragon perfek yang selalu melakukan tindakan heroik demi menolong Jiya. Dan otomatis Jiya melankolis lantaran Taehyung menghilang, tidak tahu pergi ke mana. Jiya tidak tahu perkara komunitas apa yang Taehyung maksudkan.

"Jadiㅡehm, aku pergi ke ruangan Professor Schiller dulu, ya!"

"OK." Jimin menanggapi dengan senyum lucunya.

Sumpah. Melihat senyum Jimin, rasanya seperti: apa orang seperti ini laik dijadikan probabilitas tersangka? Bagi Jiya, ketimbang penjahat kriminal, Jimin lebih terlihat seperti mahasiswa alim yang suka melakukan kegiatan sosial yang berkarsa elok. Lantas? Oke, Jiya bingung. Oh, satu lagi, sekedar informasi, Jimin menjadi ketua klub keagamaan. Apa pantas orang ini melakukan hal-hal biadab?

Mencoba melupakan pemikiran eksentrik,, wanodya itu berjalan cepat demi menghindari netra-netra elang yang melihatnya sebagai mangsa yang gampang ditindas. Ekuipmen pendengaran juga ia buat tuli supaya basirah tidak sakit dengan varietas vokabulari kotor itu. Yang esensial, Jiya cepat-cepat begini supaya tidak ditemukan oleh Prim. Bahaya. Jiya belum kapabel melawan Prim, sementara si bajingan Taehyung tidak tahu tengah berada di mana.

Beruntung, tatkala sampai di depan ruangan dosen dari fakultas bisnis itu, Jiya bisa segera masuk. Biasanya Professor Schiller selalu membuat Jiya mesti menunggu lima sampai sepuluh menit lantaran memang person itu sibuk sekali. Dalam momen ini, secara kebetulan dosen palamarta itu tengah bercengkrama di luar dengan petugas kantin universiti; barangkali tengah memesan makanan atau minuman.

Professor Schillerㅡsatu hal yang Jiya syukuriㅡsangat peduli dengan Jiya dan tentunya Taehyung juga. Sebetulnya dia punya intensi untuk mengusut tuntas kasus ini. Namun, ada satu hal janggal besar yang membuat ia hanya bisa tutup mulut dan diam-diam tolol tanpa berusaha membantu. Pihak universiti betul-betul tutup rungu akan kasus ini. Evidensnya seperti pembulian Jiya yang benar-benar tidak ditanggapi sehingga Prim masih berkeliaran seperti hantu gentayangan demi mengusik hidup Jiya.

"Familimu masih acuh?" tanya Professor Schiller.

Kim Jiya tersenyum kecut. "Memberi pesan eletronik, tidak dibalas; membuat panggilan, ditolak; berkunjung ke rumah, masih diusir. Itu dua bulan lalu dan aku menyerah. Terserah jika mereka peduli atau tidak."

Sebetulnya famili Kim bukan famili yang mementingkan harga dari sebuah reputasi. Jiya saja sampai tidak percaya saat ayahnya mengusir dengan alasan malu dan takut reputasi hancur. Demi Tuhan, bahkan saat informasi perkara kakaknya, Kim Hoseok, yang menyebar ke publik perkara Hoseok yang memiliki gangguan seksual, spesifiknya: pecinta sesama jenis, ayahnya tidak menjadikan hal itu sebagai sumber stigma.

Eksentrik sebetulnya. Sangat malahan.

Sejauh ini orangtuanya tidak pernah pilih kasih. Entah ada histori apa di balik berubahnya sikap orangtua Jiya.

"Laluㅡ"

"Kak Taehyung pergi mencari bantuan." Jiya menjeda sejemang. Aneh sekali menyebut Taehyung dengan embel-embel seperti itu. Ya, memang, Jung Taehyung merupakan kakak tingkatnya Jiya dan umurnya juga lebih atas; tetapi rasanya eksentrik. Sayangnya, Professor Schiller tipikal person yang memperhatikan sopan santun, jadi menyebutkan Taehyung dengan embel-embel 'kakak' sangat diperlukan. "Aku tidak tahu maksudnya apa. Tapi mungkin jika berhasil, itu bisa membuka seluruh suar kuriositas dan rahasia."

Professor Schiller mengernyit. "Sejak kapan kalian dekat?"

"Satu bulan ini," balas Jiya. "Technically, Kak Taehyung mulai memberi suar kedekatan tiga bulan lalu. Tapi baru sangat dekat satu bulan ini."

"Yah, kau tahu ... Taehyung semestinya fokus pada edukasi dan memikirkan tugas akhir."

Jiya mengumbang minim. Sangat paham sirkumstansinya.

Jiya juga penuh kuriositas sebetulnya. Pria itu sama sekali tidak terlihat seperti mahasiswa. Mutlak terlihat seperti berandalan yang tidak peduli pada edukasi. Jiya juga pernah memikirkan hal serupa dengan apa yang dikatakan oleh Professor Schiller. Tapi Taehyung selalu nampak acuh begitu. Datang ke universiti saja terkadang tidak membawa buku. Isi tas paling-paling hanya penyimpanan medikamen ilegalnya, injektor, sigaret stroberi, kunci benzo, dan ponsel Taehyung saja. Jiya pikir memang Taehyung tidak peduli dengan posisinya sebagai mahasiswa akhir.

Jadi Jiya diam. Bingung hendak membalas apa.

"Membantu satu sama lain. Termasuk pada edukasi. Kau juga kulihat tidak seaktif dulu pada edukasi," tambah Professor Schiller.

Jiya menelan saliva. Lagipula bagaimana Jiya bisa fokus pada edukasi sementara sirkumstansinya sepelik ini? Jiya bahkan akhir-akhir ini kepikiran untuk berhenti kuliah.

"Aku hanya merasa terlalu rumit dengan atmosfer ini. Perkara Kak Taehyung, aku akan mencoba memberikan spirit supaya kuliahnya tidak sia-sia."

Jiya dan Taehyung memang nelangsa sekali, ya?

"Sir Morgana masih berulah."

Wanodya tersebut mengangguk. "Ya, karena ternyata dia diinfluensi oleh Prim."

Realitas yang baru Jiya ketahui beberapa hari lalu sungguh kapabel membuat Jiya paham konstelasi durjana ini. Morgana Swan, dosen bajingan itu tergila-gila dengan Prim. Prim Isabeau, jangan ditanya lagi, wanodya itu adalah kenya kelas bawah yang selalu menggoda kaum adam, demi uang dan demi perasaan nikmat pribadi. Dan Sir Morgana mutlak menjadi mangsa Prim.

Relasi romantis antara dosen dan mahasiswa di sini memang bukan hal yang eksentrik. Jiya pribadi saja pernah disukai oleh dosen, dan untungnya dosen tersebut sudah kembali ke negara asalnya. Beberapa dosen wanita juga disebut-sebut ada yang pernah atau sering berhubungan daksa dengan mahasiswa, misalnya seperti Namjoonㅡdulu saat person itu masih berstatus sebagai mahasiswa Saint Hallway.

Saint Hallway memang tempat yang cocok untuk menjadi bajingan.

"Jadi ... apa ada yang mau diberitahu olehmu, Professor?"

Seolah tersadar dengan intensi awal, Professor Schiller menjentikkan jarinya sendiri. Visus Jiya menangkap visualisasi pengajar kredibel itu mengambil sesuatu di dalam laci meja. Dan yang bisa Jiya tangkap, itu hanya sebuah kartu akses. Kartu eksklusif untuk ruangam krusial, eksampelnya seperti ruang kendali. Bukan kartu akses mahasiswa. Itu berbeda. Fungsinya lebih banyak. Bahkan itu bisa digunakan untuk menyusup ke ruang dosen sekaligus pimpinan atau menyusup ke gedung fakultas lain. Maklum, kartu untuk sekuriti.

"Sepertinya Taehyung kehilangan ini."

"Apa?"

Taehyung itu mahasiswa, bukan sekuriti penjaga ruang kendali. Mengapa Professor Schiller memberi leksasi seperti itu?

Well, memang pada hakikatnya Taehyung pernah masuk ruang kendali, menyusup diam-diam; tetapi itu sebab sekuriti tolol yang membiarkan diri tertidur tatkala pintu dibuka, bukan sebab kartu akses. Apa Taehyung mencuri?

"Pria itu memang berandalan dan terlihat seperti manusia tidak berguna, tapi ketahuilah bahwa ... he's absolutely smartatau licik?" Pria itu terkekeh minim. "Sepertinya dia mencuri ini. Jangan kira aku tak tahu saat dia menyusup ke ruang kendali hanya untuk menyelamatkanmuㅡdan, yeah, he took this from that idiot security."

Jiya seratus persen percaya itu. Otomatis tersenyum.

Taehyung pintar, atau licik? Lumayan similar maknanya, kan? Sudah seringkali paragon perfek itu menggunakan intelegensi hanya untuk menyelamatkan Jiya yang super nelangsa. Seperti saat membantu Jiya untuk lepas dari jeratan Jungkook Scheiffer dan mengurung Prim Isabeau di toilet.

Ngomong-ngomong perkara Prim, sekedar informasi, terjadi kegegeran sebab toilet tersebut memang mutlak tidak bisa dibuka. Dan ngomong-ngomong, sistem proteksi bilik kecil itu sudah pasti terkoneksikan dengan seluruh ruangan gedung. Intinya, Saint Hallway azmat karena polemik itu. Dan itu membutuhkan waktu satu hari untuk mengembalikan fungsi sistem yang sempat dirusak oleh Taehyung. Dan Prim ... gadis prominen Madam Barbara itu ditemukan pingsan lantaran katanya Prim fobia ruangan sempit.

"Dan kau mau aku mengembalikan itu pada Kak Taehyung, Professor?"

Professor Schiller mengangguk.

"Kenapa? Maksudnya ... kupikir kau akan mengembalikan itu pada sekuriti itu."

Jiya tidak salah, kan? Mengapa malah mengembalikan barang pada pencuri?

"Karena aku mendukung kau dan Taehyung untuk mengungkap kasus ini. Ini bukan hal yang pantas untuk ditutupi. Dan kartu akses itu bisa digunakan untuk mencari jejak kasus lewat kamera pengintai, termasuk momen krusial sebelum Jihan bunuh diri. Hanya saja, kau dan Taehyung mesti memerhatikan jam yang pas untuk menyusup atau, yah, sedikit gim untuk mengelabui sekuriti."

Jiya mengerjapkan netra berkali-kali sebab itu.

Bagus. Ini yang diinginkan Jiya.

"Satu tahun waktu yang lama untuk tersiksa, kan?"

Benar. Jiya sudah terlalu lama tersiksa.

j e o p a r d i z e

Bukan hal yang eksentrik tatkala Jiya diberi tatapan intimidasi dari person-person minim responsibilitas, seperti saat berada di asrama. Jiya sudah terbiasa dengan itu. Jadi mutlak Jiya acuh dengan imej menjengkelkan seperti itu. Yang Jiya pikirkan adalah perkara darah.

Darah.

Jiya takut? Tidak terlalu kalau sekarangㅡagak aneh jika anak kedokteran takut dengan darah. Tetapi memang Jiya belum terbiasa dengan darah sebab memang jarang bertemu darah dengan volume banyak secara langsung selain darah hasil jemari yang tertusuk jarum atau mimisan. Minim eksperimen.

Konklusinya, Jiya hanya tidak habis pikir dengan sirkumstansi sekarang sebab ada darah yang tervisualisasikan di pintu asrama Jiya.

Wanodya tersebut tentu tidak akan berpikiran perkara konstelasi horor, misalnya seperti Jihan yang gentayang. Aneh. Jiya memang penakut, tetapi itu nonsens bagi Jiya. Jiya hanya berpikiran perkara Taehyung. Siapalagi yang suka mengotori asrama Jiya dengan darah hasil pergelutan selain Taehyung? Tidak ada. Hanya Jung Taehyung.

Jadi, Jiya mutlak belingsatan. Nampak eksesif sekali seolah dapat tragedi besar. Jiya hingga refleks menguar vokabulari kotor sebab khawatir. Intensitas rasa kompleks mengudara hingga Jiya segera menekan tombol asrama cepat-cepat. Jiya bahkan sama sekali tidak peduli dengan jemarinya yang mutlak kotor oleh darah yang eksis di tombol.

Jiya menyeruak masuk asrama dan benar, dugaan Jiya perkara Taehyung itu benar. Setelah berhari-hari menghilang, person ini datang dengan kondisi daksa bagai kunarpa yang siap dimasukkan ke peti mati?

Taehyung memang bajingan. Berengsek sekali.

"Hai!"

Sial, bisa-bisanya orang tolol ini tersenyum elok begitu?

Perlu Jiya tegaskan, adam ekstraordinari ini terbaring nelangsa di sofa dengan eksistensi daksa tanpa pakaian atas. Tapi kini dia malah duduk susah payah. Iras pucat dan penuh keringat. Garbanya terlilit oleh kain kasa dan Jiya bisa melihat presensi darah di sana. Katastrofenya bukan itu saja, iras rupawan Taehyung dan daksa bedegap paragon perfek itu mutlak menunjukkan visualisasi memar-memar sinting hasil pergelutan. Lantas person tolol ini masih sempat-sempat menunjukkan tawa kotak lucu dan manis dan sebuah sapaan minim?

Seberapa bodoh dan gilanya pria ini?

Seratus persen.

"Kauㅡ" Jiya menjeda. Ia berjalan pelan-pelan dengan netra sesekali mengedar ke seliling ruangan. Lantai penuh darah, beserta karpet bulu lucu berwarna putihnya yang ikut ternodai, dan ada di sofa juga. Selain itu, kaus dan jaket kulit Taehyung tersebar random di atas tilam. Satu lagi, ada banyak serbuk heroin dan satu buah injektor di atas meja.

Sumpah, deh. Jiya seolah salah masuk ruangan. Ini jauh berbeda dengan tampilan asrama Jiya yang selalu rapih dan mutlak mengeluarkan aromatik manis.

Tapiㅡoke, Jiya tidak peduli sebab pikiran absolut tertuju pada si tolol ini.

"Kau, Taehyung, astaga!"

Kenya tersebut jatuhkan badan di samping Taehyung. Tahu-tahu meluruhkan netra sebab ... kau tahu, saat person yang dicintai mendapatkan hal buruk seperti ini, tentu saja tidak ada alasan untuk tidak menangis. Yah, meskipun Taehyung berengsek sebab mungkin orang itu hanya memanfaatkan sirkumstansi atas afiliasi viktim dengan viktim dan mutlak menjadikan Jiya objek hasrat prianya; atau tragisnya, Taehyung tidak menyukai Jiya; Jiya tetap mutlak lenggana melihat Taehyung begini.

Wanodya kirana itu otomatis memeluk Taehyung. Tetapi hanya sebentar lantaran Taehyung meringis. Agak terkejut sebab memang Taehyung hancur dan babak belur.

"Kauㅡkau terluka lagi, Taehyung. Sudah kubilangㅡ"

"Shh! I'm okay, Mi Corazon. I'm good."

"Shut up! You are not okay, Taehyung!"

Semerta-merta Taehyung menarik dua ujung labium. Iras belingsatan Jiya kelewat manis dan lucu, diadisi dengan vokal khawatir yang subtil; Taehyung suka itu.

Jiya is a poser for Taehyung. Itu real.

Jiya melirik luka Taehyung dengan netra penuh kuriositas, prihatin, dan belingsatan. "Kenapa?"

"Hanya pisau, Mi Corazon."

Hanya pisau. Hanya pisau. Hanya pisau.

"Hanya katamu?!"

Taehyung mengangguk. "Iya. Ada yang aneh? Aku masih hidup."

Seberapa bodoh dan gilanya pria ini?

Seratus persen.

Jiya beringsut bangun dengan pikiran random. Marah. Kesal. Sedih.

Ia mendekati almari di ujung ruangan. Punya karsa untuk mengambil ekuipmen pengobatan dan medikamen yang baru untuk Taehyung. Taehyung memang sudah melakukan pertolongan pertamanya: membersihkan lukanya sendiri dan menutupnya dengan kasa, pendarahannya juga sepertinya sudah berhenti. Namun, itu kurang hijenis.

"Kau bahkan tidak kapabel membersihkannya dengan benar," kata Jiya mendekati Taehyung lagi. Pelan-pelan kembali membuka lilitan kasa pada bagian garba sehingga Taehyung meringis minim.

"Bisa tiduran, Taehyung?"

Taehyung menurut dan segera berbaring. Dan Jiyaㅡmau mati rasanya. Jiya memang sudah terbiasa diberi visualisasi tubuh atas Taehyung yang penuh muskular, spesifiknya adalah oblik atau person lain lebih familier dengan sebutan abs. Tetapi rasanya masih secanggung ini. Panas juga.

Dan finalnya, mencoba untuk mengabaikan sirkumstansi memanas sebab Taehyung yang terlalu banyak memancarkan afsun, Jiya mulai melakukan pekerjaan krusialnya. Mengabolisi citra-citra darah yang terjangkau visus pelan-pelan, tetapi memang Taehyung tetap meringis sebab influensi antibiotik juga.

"Fuck! Pelan-pelan, Mi Corazon."

Jiya merinding pada dua hal. Luka Taehyung memang tidak sampai menyentuh jaringan lemak. Namun, itu sudah cukup membuat Jiya ngilu. Kedua, umpatan Taehyung agak mengerikan.

"Iya, maaf, Taehyung." Walaupun sebetulnya Jiya sudah bergerak pelan.

Merasa kalau Taehyung sangat eksesif. Jiya berhenti sebentar. Melirik Taehyung yang memejam perih. Sementara Jiya, tanpa komando mengusap pelan kening Taehyung hingga pria tersebut membuka mata. Hanya itu. Tanpa bicara. Jiya kembali melakukan pekerjaannya.

Lantas tatkala dirasa sudah betul-betul bersih, Jiya kembali menggunakan fungsi kasanya. Sebab itu Jiya ingin mati tatkala pria perfek ini memilih untuk duduk demi memudahkan Jiya, sementara Jiya berlutut di bawah, tepat di hadapan oblik Taehyung dan benda Taehyungㅡtervisualisasi membesar meski tertutup jeans. Jiya malu sekali. Jiya tremor. Apalagi tatkala Taehyung memunculkan kurva simetris dan membelai surai Jiya.

"Gracias, Mi Corazon."

Jiya mengangguk pelan. Masih turbulensi. "Sama-sama." Jiya mengalihkan pandangan, mutlak melihat ke samping. Masalahnya, jika mendongak, Taehyung super mengintimidasi; jika menatap ke depan, benda Taehyung cukup membuat Jiya merinding. Sialnya, Jiya pribadi tidak bisa bergerak. Gravitasinya kuat sekali. "Ke rumah sakit, ya?" Jiya angkat bicara lagi.

"Tatap lawan bicaramu saat bicara, Mi Corazon." Jemari Taehyung menggapai dagu Jiya dan membawa kenya itu mendongak.

"Maaf," balas Jiya pelan seperti habis dibentak. "Kita ... kita ke rumah sakit, ya, Taehyung."

Taehyung menggeleng. "Tidak usah. Hanya luka kecil."

Hanya luka kecil, kata orang gila ini.

Seberapa gila dan bodohnya pria ini?

Seratus persen.

"Tapiㅡ"

"Aku tidak butuh dokter. Ada kau yang memerankan itu."

Jiya memang kuliah di major kedokteran. Tetapi Jiya belum menjadi dokter yang bersertifikat. Taehyung memang gila. Memang mungkin maksud dokternya bukan dokter dalam makna asli. Tetapi Taehyung tetap tidak normal.

"Apa?"

"Kemari," katanya menginstruksi. Pria itu berbaring, absolut menyisakan spot di samping.

Jiya tremor lagi. Maksudnya berbaring bersamaㅡlagi? Di sofa? Agak lebar memang sofanya, tetapi tetap tidak baik untuk kesehatan Jiya. Jiya sedang sensitif sekarang sebab masih ada tamu bulanan.

Jiya ingin menolak ... tetapi tidak tega. Dan memang pada akhirnya Jiya tetap kalah.

Jiya mencuri momen sebentar untuk membasuh tangannya. Sejemang juga ia gunakan untuk mengambil tisu untuk mengabolisi jejak-jejak keringat pada epidermis Taehyung, utamanya di kening. Jadi, tatkala sudah dengan urusan itu, Jiya jatuhkan daksa di sofa, tepat di samping Taehyung. Detik itu ia dihadiahi tatapan dari netra jelaga yang mematikan saat Jiya memandangi Taehyung.

Untuk menetralisir sirkumstansi, Jiya buka konversasi baru. "Bisa cerita?"

"Aku mendapatkan bantuan."

Jiya mengernyit. "Lalu luka ini datang dari mana?"

Taehyung tidak langsut membalas. Memejam sebentar sebab gejolak aneh dalam daksa. Barangkali terlalu terbawa suasana akan kegiatan Jiya mengabolisi konsentrat asin pada epidermis, aromatik chamomile daksa Jiya, danㅡTaehyung sebetulnya memang agak terganggu dengan eksistensi pita kesukaan Jiya yang sialnya kini berwarna hijau tua, warna kesukaan Taehyung.

Bisa dikatakan semenjak Jiya melakukan urusan pengobatannya, absolut menyentuh epidermis Taehyung pelan-pelan, Taehyung sudah keras. Sesak. Terutama tatkala Jiya berlutut di hadapan. Pikiran Taehyung sudah memamerkan seribu visualisasi kotornya pada Jiya. Bahkan Taehyung menggeram minim dan nyaris membuka zipper jeansnya tatkala Jiya fokus ke samping. Sialnya, Taehyung selalu kalah atas keinosenan Jiya yang membuat Taehyung enggan melakukan hal sinting.

Jelas, itu katastrofe sebab mana mungkin Taehyung menyerang Jiya atau secara harfiah merogol Jiya. Bisa-bisa Taehyung dibenci hingga akhir hayat.

"Hm?" Jiya bersuara meminta jawaban.

Sumpah. Taehyung ingin mencumbana Jiya. Dehamannya sangat subtil dan Taehyung malah menginterpretasikannya sebagai desah.

"Apa ada masalah, Taehyung?"

Taehyung otomatis menggeleng inosen. "Tidak. Tidak ada. I'm okay. I'm okay. I'm totally good, Mi Corazon, Su Majestad."

Jiya mencoba abai. Dia mengambil tisu baru dan kontinyu mengabolisi keringat dengan manuver super hati-hati dan subtil. Seratus persen tengah menyiksa Taehyung lebih parah.

Jiya bicara lagi, "Jadi?"

"Hanya karena kesalahpahaman masa lalu. Sebenarnya sudah selesai, hanya saja mungkin mereka masih menyimpan dendam kesumat. Jadi, mereka menghajarku," katanya, "tapi, mereka mau membantu sebab bagaimana pun mereka berhutang budi padaku. Terlebih pemimpinnya itu sahabat terdekatku."

Afiliasi macam apa itu? Mengapa Taehyung itu gila dan komunitas yang diketahuinya juga gila? Hanya terlalu eksentrik. Lagipula dendam kesumat apa? Apa predestinasi Taehyung di masa lampau itu sangat gelap?

"Sampai menggunakan pisau?"

"Tidak. Itu lain cerita." Dia bergerak minim. "Sebentar," ucapnya.

Jiya terdiam, mutlak memerhatikan Taehyung yang susah payah mengambil sesuatu pada kantung celana jeans hitamnya. Tapi manusia perfek ini tidak menunjukkan bendanya lantaran ia langsung menutupnya rapat-rapat dengan genggaman. Taehyung telak malah melirik Jiya. "Aku membeli benda ini tadi dan tidak sengaja bertemu Jungkook Scheiffer dan gerombolannya. Dan mereka menghajarku habis-habisan. Jungkook yang menggunakan pisau itu. Beruntung tidak dalam lantaran aku berhasil mengelak." Ia menjeda. "Dia tidak terima kau dekat denganku. Dia sangat-sangat menginginkanmu."

Jiya menelan saliva. Jungkook segila itu, kah?

"Jadi ... karena aku, ya, Taehyung? Kau dapat tragedi bahaya ini karena aku lagi."

Taehyung menggeleng. "Tidak. Jungkook saja yang gila."

"Tapiㅡ"

"Aku memikirkan satu hal krusial, melamun seperti orang tolol berhari-hari. Danㅡwell, maaf, aku menghilang; aku sedang gila dengan heroin dan kau tidak akan suka melihat itu." Taehyung terkekeh minim, barangkali mengingat betapa tololnya dia tatkala terinfluensi obat gilanya. "Soy un cobarde, it means I'm a coward. Aku mengingat saat kau menjadi mahasiswa baru dan mutlak jadi atensi seluruh person. You're extraordinary lovely, Mi Corazon."

Sudah dibilang jikalau Jiya itu primadona Saint Hallway. Saat masih berstatus mahasiswi baru yang notabene harusnya tidak dikenal, tetapi baru hari kedua Jiya sudah jadi sorotan besar. Barangkali dari satu mulut ke mulut lain hingga seluruh penghuni Saint Hallway mengetahui presensi Jiya. Dan di hari ketiga, kalau tidak salah, Jiya menolak sekitar sepuluh pria yang mengajaknya berkencan.

Itu memori kacau sebetulnya. Jiya membenci itu.

"Ya. Lalu?"

"Aku membelikanmu ini. Eksklusif untukmu, Mi Corazon."

Jiya mau mati. Ingin mengadu pada Tuhan bahwa ia tidak sanggup hidup lama-lama.

Oke, begini. Sekedar informasi, paragon perfek dengan netra jelaga elok ini baru saja menunjukkan perhiasan luksurius nan ekslusif dengan bandul kecil berbentuk stroberi, sepertinya. Barangkali stroberi terdengar seperti kalung anak bocah. Tapi Jiya suka. Jiya cinta stroberi. Dan pada hakikatnya, perhiasan luksurius ini jauh dari imej bocah sebab kelihatan super elegan dan mahal.

"Apa?"

"Kupikir kau perempuan anti pria. Jadi, aku pengecut sejak lama."

Jiya terkekeh. "Yah ... dan lucunya ada yang menganggapku perempuan penyuka sesama jenis. Lesbi. Gila saja. Aku perempuan normal." Lagipula Jiya cinta Taehyung dari dulu, sehingga ia menolak banyak pria.

Memang, Jiya seaneh itu. Tatkala perempuan lain berlomba-lomba memiliki kekasih, Jiya tidak. Awalnya, sih, konsisten enggan memiliki kekasih sebab ingin fokus pada edukasi. Sialnya, pada semester dua, Jiya ingin sekali menjadi kekasih Taehyung. Namun, itu tidak terealisasikan lantaran Jiya bukan perempuan murahan yang mengejar-ngejar pria dan Taehyung juga nampak sulit akrab. Dingin sekali seperti esㅡsebetulnya Jiya agak terkejut dengan kelikat hangat Taehyung sekarang. Jadi, karena itu, muncullah spekulasi eksentrik yang menyebutkan Jiya mutlak penyuka sesama jenis.

"Jadi intisarinya apa, Taehyung. Aku pikir kau bukan pengecut. You're my great citadel."

Taehyung tersenyum. Menyukai pernyataan Jiya. "Te quiero con todo mi corazon. Itu poinnya," balas Taehyung.

Pria itu mati-matian sedikit memiringkan daksa. Seratus persen tidak peduli dengan luka sendiri sebab person ini lebih memilih untuk memeluk Jiya. Sesekali membelai subtil penuh afeksi pada sisi wajah Jiya hingga Jiya mesti tahan-tahan supaya wajah tidak berubah merah. Tetapi, ya, memang sia-sia lantaran Jiya rasanya ingin meledak atas reaksi sentuhan penuh afeksi Taehyung yang absolut membuat Jiya dipenuhi insek bersayak. Perih, sih. Hanya saja, sudah dibilang jika Jiya suka-tidak suka dengan srkumstansi ini. Jiya terlalu haus akan kehangatan Taehyung.

Jiya mencebik lucu. "Mau membodohiku lagi, ya?"

Taehyung tergelak kecil dengan tawa kotak yang murni kirana.

"Tuh, malah tertawa." Jiya menampilkan iras marah yang inosen.

Taehyung berhenti terkekeh. Murni menampilkan kurva adiwarna setelahnya. Paragon perfek itu kembali memamerkan perhiasan luksurius tadi. "Ini untukmu," ulangnya.

"Dalam rangka apa?"

"Menandai bahwa kau milikku, Mi Corazon. Mine."

Milik Taehyung, katanya.

Iya, senang. Tetapi perih. Kepemilikan apa maksudnya?

Jadi Jiya mutlak terdiam sebab tidak tahu mesti membalas apa. Sebetulnya ingin membalas dengan sentens seperti: jangan main-main, aku punya hati. Tetapi Jiya mana berani bicara begitu. Taehyung terlampau dominan. Afsunnya mendetonasi kuat hingga Jiya menjadi similar seperti mangsa yang tidak punya previlese untuk tenang dan bebas.

"I love you with all of my heart, Mi Corazon." Taehyung bicara mendadak. Dan Jiya mati.

Apa katanya?

"Aㅡpa?"

"Te quiero con todo mi corazon. I love you with all of my heart. Aku mencintaimu sepenuh hatiku." Taehyung membalas dengan tiga lingua yang berbeda: Spanyol, Inggris, dan lingua Korea. Tentu saja dengan aksen vokal yang berbeda. Tetapi meski menggunakan permainan pelafalan aksen yang berbeda, Jiya akui kalau Taehyung bajinganㅡketiga aksennya tetap terdengar romantis sekali!

Jiya balas tergagap-gagap. "Kau mengigau, ya? Aku baru tahu kalau antibiotik pada luka bisa membuat orang mabuk dan mengigau parah."

Jelas, Jiya mirip orang tolol saat ini.

Stagnansi menghajar Jiya mati-matian. Basirah mendadak gegap gempita oleh selebrasi kemenangan penampungan batin yang mendetonasikan perasaan penuh harsa yang bersemarak. Alamin rasanya mutlak berpihak pada kenya kirana itu. Dari sejuta katastrofe yang menghantam, satu ... atau tiga sentens paragon perfek itu absolut membuat Jiya kapabel melihat univers syahda selayaknya firdaus Tuhan di atas jumantara bentala. Jiya diserang gemirang kronis yang membuat Jiya kehilangan rasa getir yang menggerogoti sebelumnya.

Jiya tidak mengira hal seperti akan terjadi. Maksudnya, dengan keadaan Taehyung yang sekarat, penuh lebam, dan garba habis ditusuk oleh pisau, bisa-bisanya dia ikut membawa Jiya pada konstelasi pelik yang membuat Jiya ikut sekarat?

"Tidak, Jiya Sayang. Aku super sadar."

Jiya menggeleng. "Jangan bercanda! Tidak lucu, Taehyung. Dan jangan memanggilku seperti itu! Itu-tidak-lucu-sama-sekali."

Taehyung mengecup labium Jiya sejemang hingga Jiya tremor level kronis. Sudah dibilang tidak boleh mencium-cium lagi, kenapa Taehyung malah mengeyel, sih?

"Perdon, soy un cobarde. I understand you, Mi Corazon. Kau pasti menganggap bahwa aku mempermainkanmu dan memanfaatkan afiliasi kita atas kasus ini, ya?" Taehyung menjeda demi mendapatkan respon, tetapi wanodya inosen itu seperti kehilangan akal. Adam itu kontinyu berbicara. "Iya, memang terlihat seperti itu, ya? Tapi sekedar informasi, I adore you since then, Mi Corazon. Dan aku pengecut lantaran baru berani bilang sekarang."

Kini Jiya paham makna pengecut yang Taehyung sebutkan. Jiya hanya mengira-ngira sebetulnya. Tetapi mungkin Taehyung menyukai Jiya sejak lama dan tidak punya keberanian untuk menyatakan perasaan lantaran barangkali terlalu percaya jika Jiya itu anti pria dan Taehyung tidak siap jika ditolak. Benar tidak?

Setidaknya ini masuk akal perkara Taehyung yang memaksa ingin menikmati predestinasi hancur bersama-sama. Semerta-merta hanya ingin berada dalam sirkumstansi elok dengan wanodya kesukaan sekaligus mencari evidens bahwa Jiya kapabel didekati oleh pria.

Jiya tremor. Sumpah.

"Kauㅡ" Jiya menjeda. Gagu mendadak. Pokoknya nampak tolol. Imbesil. Dungu. Bodoh. Jiya mendadak lupa cara bicara dengan benar. "Kauㅡ"

"Hm?"

"Kauㅡkau jahat!" Jiya otomatis sembunyikan iras tolol pada perpotongan leher Taehyung. Kontinyu disambut aromatik feromon dan parfum maskulin yang membuat Jiya mabuk seolah habis meneguk sebotol alkohol kadar tinggiㅡjangankan sebotol, segelas saja Jiya sudah mau pingsan sebetulnya. Tapi intinya, Jiya merasa hilang akal dan kewarasan.

Taehyung mengecap labium sendiri. "Reaksimu menunjukkan bahwa ... sepertinya kau menyukaiku juga," kata Taehyung konfidens.

Jiya otomatis menatap Taehyung dengan iras marah lucu yang membuat Taehyung terkekeh dalam kalbu. "Hei! Aku perempuan! Dan, danㅡdan kau harusnya tahu bahwa sikapmu padaku sangatㅡgod, pokoknya aku marah, Taehyung!"

"Ya sudah, mau aku ambilkan kola stroberi atau diberikan pelukan hangat?" Taehyung mengecup labium Jiya lagi. "Tapi sekarang aku sedang memeluk gadisku. Tetap marah, hm?"

"Iya!" Jiya menyalak seperti anak anjing. Jiya juga tidak tahu Jiya marah karena basis apa. Barangkali terlampau eksesif akan pembahasan ini. Maksudnya, Jiya meleleh dan enggan menunjukkan bahwa ia sedang memiripkan diri seperti es yang berada di bawah bagaskara panas.

Taehyung pribadi sesungguhnya sudah mengira ini terjadi. Taehyung tahu sekali bahwa Jiya akan eksesif. Taehyung tidak abai dengan konversasi lusa lalu saat mendadak Jiya melankolis dan merasa dipermainkan. Jiya tidak bilang merasa dipermainkan, tetapi Taehyung paham esensinya. Intinya, Taehyung memiliki premis bahwa Jiya menyukai Taehyung.

Taehyung memang tolol sekali. Menyukai Jiya sejak lama, tetapi tidak berani berbicara. Dan perlu Taehyung akui, eksistensi kasus ini cukup membantu Taehyung. Memang gagal di tahun pertama kasus itu eksis sebab Taehyung masih super pengecut. Jiya sebetulnya person yang sangat menerima eksistensi teman baru, tetapi bagi Taehyung, mendekati Jiya itu sulit.

Finalnya, Taehyung tidak tahan dan emosi dengan diri sendiri hingga berakhir menjadi pendekar Jiya dan menyeret Jiya ke bilik kecil demi mengajak menikmati predestinasi bersama-sama, berdua.

Well, Jiya is a poser for Taehyung. Sejak lama.

"Saat dihabisi komunitas itu dan tadi saat aku babak belur dan nyaris ditusuk pisau dalam-dalam oleh si Bajingan Scheiffer, aku pikir aku akan mati cepat. Kau tahu ... kalau aku mati, aku pasti menyesal lantaran tempo lalu aku membodohimu dengan diktum Spanyol. Yeah, Untung masih hidup."

Detik itu, Jiya tak kunjung tak bersuara. Mutlak tengah menyumpahi Taehyung. Taehyung benar dari segala sisi, jika Taehyung mati karena hal tolol begini pasti Jiya sengsara sekali.

Untung Taehyung masih hidup.

Taehyung melipat labium ke dalam. Memerhatikan Jiya, tetapi Jiya diam saja.

"OK, fine. You want me to leave, Mi Corazon?"

Jiya terkejut setelah. Lalu mengubah ekspresi jadi super inosen. "Kenapa malah pergi?"

"Karena kau marah," balas Taehyung simpel.

Milisekon kemudian, Jiya menggeleng intens. Tahu-tahu balas memeluki Taehyung erat-erat. Ikut menghangati konstelasi dengan rasa nirmala dan cukup janardana. Kenya itu absolut menampilkan semburat cantik dari netra yang berpinar penuh harsa dan kurva simetrisnya. Jiya seratus persen mencoba untuk memenuhi diri dengan komposur. Tidak eksesif lagi.

Maklum, Jiya cinta Taehyung. Jadi, sentens dengan makna afeksi itu absolut membuat Jiya turbulensi hebat.

Jadi, sebab itu Taehyung tersenyum. Diam-diam selebrasi kemenangan dalam hati sebab memang Taehyung hanya main-main saja; dalam artinya, Taehyung juga sebenarnya ingin menginap di asrama Jiya, enggan pergi. Rindu. Meski sialnya, konstelasi ini membuat Taehyung semakin keras.

"Kau memelukku sangat kuat, Mi Corazon."

Jiya berbisik di rungu Taehyung. Menyiksa Taehyung lagi. "Apakah tidak boleh? Aku sedang senang."

"Boleh. Even you may kiss me."

Jiya menggeleng. "Tidak mau. Tidak ada jaminan aku akan selamat sementara kau sedang keras."

Taehyung terkekeh. Mengumpat dalam hati lantaran rupanya perempuan ini menyadari atmosfer sesak Taehyung. "Bisa selamat. Aku bukan Jungkook Scheiffer. Aku Jung Taehyung yang absolut tidak akan membuatmu terancam. Meskiㅡbajinganㅡaku super tersiksa."

"Aku percaya dan maafㅡaku menyiksamu. Akuㅡkau tahu ... aku belum bisa."

"It's okay. Aku kapabel menahan. Aku memublikasikan diktum cinta bukan untuk menagih stori pertamamu."

Jiya mengumbang. "Emhㅡmenahan atau membayar gadis Madam Barbara diam-diam?"

"Maksudnya menyakiti hatimu hanya demi tubuh orang lain?" tanya Taehyung. "Jiya, aku tahu aku berandalan dan bajingan. Pernah menggunakan banyak perempuan, pernah menyewa nyaris lima puluh persen perempuan Madam Barbara, dan menyakiti banyak perempuan. But you're precious to me, Mi Corazon. I'm your citadel and this citadel will not harm and hurt his precious thing which is guided. I love you with all of my heart, Mi Corazon, Su Majestad."

Jiya perih sebab diktum awal. Tetapi Taehyung selalu bisa mengobati rasa sakit Jiya. Paragon perfek itu ekspert membuat Jiya cerai berai. Jadi Jiya otomatis berani mencumbana Taehyung. Menyiksa Taehyung lagi, tetapi memang Taehyung menyukai siksaan ini.

Jiya melanggar limitasi yang Jiya buat perkara jangan berciuman lagi dan melupakan diktum sendiri perkara tidak mau mencium Taehyung. Taehyung baru saja menyatakan leksasi cinta, jadi Jiya sudah lega dan tidak peduli dengan ketololan sendiri.

Lantas yang adiwarna, momen selanjutnya, sesuatu hal mutlak menjadi setawar dan sedingin Taehyung hingga Taehyung kembali jatuhkan cumbuan afeksi pada kenya kirana itu. Jiya berkata malu-malu dengan vokal manisnya tadi, sebelum Taehyung membuat sesi cumbana yang kedua, katanya, "I'm yours. I love you, too, Taehyung."

[TBC]

vokabulari/frasa/sentens asing:
te quiero con todo mi corazon : i love you with all of my heart.

jadi pada hakikatnya, meski ini baru bagian tujuh, aku buat universe jiya-taehyung itu sudah melalui waktu yang lama. seperti kata jiya, mereka sudah satu bulan bersama semenjak insiden bilik kecil di bagian prolog. tapi, tentu, jiya-taehyung sudah saling suka sejak lama. jadi, they are official now. silahkan bersenang-senang dulu.

perkara komunitas yang dibicarakan taehyung itu akan diperjelas nanti. makanya aku enggak buat bagian pertemuan mereka. mereka termasuk bagian esensial ngomong-ngomong. intinya, mereka teman taehyung dan mereka dipimpin oleh salah satu anak bangtan. coba aja tebak, hiks.

jadi, 5,3K kata ini sudah berakhir. maaf aku enggak kekontrol pas nulis. Pasti ini bacanya makan banyak waktu.

see you next friday-!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top