ACT I: CHAPTER 05
Tungkai menjuntai elok di sisi tilam. Perlahan wanodya tersebut mengambil gelas kristal yang tersimpan elok di atas nakas. Beberapa teguk likuid sudah masuk kerongkongan, bukannya merasa dialiri rasa penuh komposur, Jiya secara otomatis terserang stagnansi. Netra refleks menatap intens reflektor di depan tatkala Jiya memperhatikan air di gelas seperti orang imbesil. Fokus pada satu entitas yang terefleksikan, tepat berada di belakang Jiya. Taehyung.
Mau tahu satu kejadian keren?
Satu momen krusial tatkala terbebas dari jeratan si gila Jungkook Scheiffer, Jiya tidak pulang ke asrama. Lagi-lagi ia meluluh pada person yang acapkali berlakon jadi hero. Entah intuisi atau memang telak kalah atas dominansi Taehyung. Di jihat lain, Jiya enggan mengulang fragmen seperti dulu; momen edan saat Jungkook menerornya di asrama lantaran gagal menjadikan Jiya sebagai hidangan esensial di atas tilam. Ia pikir, apartemen Taehyung lebih kapabel memproteksinya dibanding asrama. Tidak mungkin juga bagi Jungkook mendatangi apartemen Taehyung sebab apartemen luksurius ini memiliki sistem proteksi yang tidak bisa dianggap main-main. Yah, lagipula Jiya memiliki responsibilitas untuk mengobati Taehyung seperti biasanya. Saat kemarin pulang, berjalan saja Taehyung mesti dituntun dan secara harfiah malah Jiya juga yang mesti mengendarai Benzo Taehyung.
Jiya meringis otomatis. Tetapi memang kalbunya mendadak diserang musik kelab; berdegup keras. Ia menatap absolut Taehyung yang setia berada dalam alam subkonsius. Netra Taehyung dikelilingi warna aswad sebab kurang tidur. Jiya juga sebetulnya similar dengannya, hanya saja Jiya terpaksa bangun lantaran ada kelas pagi.
Fragmen kemarin nampak pelik hingga membuat Jiya susah tidur. Seratus persen Jiya akan mengingatnya sebagai sirkumstansi paling gila yang pernah ia alami.
Kemarin malam itu bagai katastrofe. Relief fragmen sangat kasar dan tidak beraturan. Sepulang dari Saint Hallway, belum sempat mengabolisi luka-luka Taehyung dengan medikamen karena friksinya dengan Jungkook, person perfek itu terlanjur kacau. Taehyung terguncang oleh katastrofe berat yang membuatnya nyaris mati. Melupakan waktu krusial baginya memberikan daksanya dengan asupan medikamen ilegal. Sehari penuh Taehyung tidak mengonsumsi obat haramnya. Sialnya, manusia tolol ini sepertinya lupa untuk memprovidasi penyimpanan. Dia kehabisan penyimpan obat.
Seberapa gila dan bodohnya pria ini?
Seratus persen.
Tengah malam, Jiya terpaksa mesti mendistraksi salah satu person yang untungnya tinggal di unit bangunan yang sama. Song Seokjin, pria misterius, sangat emosional, dan mutlak menjadi penyuplai obat-obatan yang dikonsumsi oleh Taehyung.
Awalnya, Jiya memberikan panggilan pada adam itu. Kenya tersebut tidak kapabel meninggalkan Taehyung yang nampak super sekarat. Bahkan secara general, Taehyung enggan melepaskannya. Pria edan itu mencengkram lengan Jiya kuat, memberikan rasa sakit dan frustasi yang ia miliki pada Jiya, sekaligus mendetonasikan amarah absurdnya.
Kalakian netra Taehyung hanya terlihat warna putih, napas sama sekali tidak ada regulasinya, vokalnya bergumam random sekaligus meringis, epidermis seratus persen dilapisi keringat, dan tubuhnya bervibrasi tidak karuan. Sumpah, itu horor sekali. Jiya tidak kapabel pergi kala itu; takut Taehyung mati. Tidak tega. Sayangnya, Seokjin sulit dihubungi.
Finalnya, lantaran terbawa frustasi dan edan, enggan Taehyung matiㅡsebab jika paragon ekstraordinari itu mati, Jiya yang akan diinterogasi oleh pihak polisi; dan Jiya akan tersiksa sendirian tanpa Taehyung atas kasus dua mahasiswi ituㅡkenya tersebut berteriak gila, balas memberi amarahnya pada Taehyung, dan meninggalkan orang itu demi menemui Seokjin secara direk. Tentunya setelah Jiya mendapatkan alamat, atau lebih tepatnya nomor apartemen Seokjin yang tertera di salah satu buku catatan Taehyung.
Yang lebih gila, ia menemukan Seokjin tengah sibuk melakukan hal panas dengan gadis sewaan. Jiya mengganggu mereka. Mengganggu kesenangan orang lain. Hal normal kenapa Seokjin tidak mengangkat telepon. Orang itu sempat mengocehi Jiya sebab tidak terima aksinya diganggu. Dan sebab Jiya terlanjur gila, ia balas mengoceh dan meminta Seokjin untuk segera memberikan medikamen yang biasa dikonsumsi Taehyung.
Lantas kemudian mau tidak mau Jiya mesti kontinyu menghadapi kesintingan Taehyung saat sudah terkena reaksi medikamen yang membuat Taehyung dipeluk euforia sekaligus halusinasi absurd. Oh, jangan lupa kalau manusia tolol ini malah membahanakan lagu dari alat pengeras suara dengan titel lagu Recovery. Menurut Jiya lagunya memang bagus, tapi bukan selera Jiya dan itu terlalu berisik. Berkali-kali Jiya mematikan lagunya, tetapi Taehyung selalu menyalakan kembali. Intinya Taehyung similar seperti orang gila.
Jiya nyaris terbawa gila juga bodohnya. Terutama tatkala orang itu mulai membawa random daksa kecil Jiya, melemparkan ke atas tilam dan kontinyu mencumbanai Jiya penuh gelora. Jiya suka, sih. Tapi tetap saja rasanya eksentrik dan menakutkan. Hanya saja gila ... Jiya lepas dari Jungkook yang ingin memperkosa Jiya, tetapi malah dihadapkan oleh penyelamat yang ikut-ikutan melakukan hal gila itu pada Jiya.
Beruntung Taehyung tidak sampai tahapan merogol Jiya. Hanya mencumbu labium dan perpotongan leherㅡbarbarik. Yah, setidaknya bisa dikatakan orang primitif ini masih memiliki etika. Sama sekali tidak menyentuh ke area-area terlarang, kecuali membelai garba Jiya penuh afeksi.
Sumpah. Perkara kegilaan kemarin mutlak tidak akan mudah terabolisi dari serebrum. Pertama kalinya Jiya tidak mengenali diri sendiri. Jiya tidak pernah liar sebelumnya. Itu akan selalu diingat.
"Jam berapa?"
Jiya terkesiap. Netra hazel Jiya mutlak tertuju pada representasi antariksa elok, pada mata jelaga Taehyung yang murni memberikan visualisasi berbagai varietas perasaan. Daksa bagian atas tidak tertutup sandang sebab katanya Taehyung tidak bisa tidur jika memakai sandang atas. Jiya kikuk sejemang. Jantung hati berdegup eksentrik sebagai reaksi atas perkara absurd yang hinggap di jemala. Bukan hanya tidak terbiasa dengan penampilan Taehyung yang tidak mengenakan kaus, tetapi, ngomong-ngomong, pria ini sudah dua kali menjadi teman tidur Jiya, hanya tidur.
Jelas, kan? Berelasi dengan Taehyung mutlak membuat Jiya jadi perempuan nakal.
Tapi tak bisa dimungkiri, tidur dengan Taehyung itu menyenangkan lantaran Jiya menyukai pelukan. Sudah dibilang Jiya pernah menyukai Taehyung dan konstelasi ini membuat Jiya menginginkan Taehyung lagi. Jadi, Jiya mutlak gila.
He is a poser and Jiya is nothing. Itu subtitel unik keduanya. Mutlak.
Tubuh Jiya diserang malfungsi. Gagu mendadak, terasa tidak memiliki lidah. Berbeda dengan Taehyung yang masih berusaha menggapai kesadaran dengan jemari menyisir random surai agak ikalnya yang menjuntai hingga ke leher. Memamerkan seratus persen afsun yang ekstraordinari dengan jakun yang naik turun.
Taehyung berengsek. Tanpa pakaian atas, surai agak panjang yang berantakan, gumaman bariton randomnya yang rendah, netra elang, dan jakun naik turun. Sumpah. Jiya tidak bisa mengenali diri sendiri. Mengapa Jiya yang inosen sempat-sempatnya memperhatikan hal itu? Jiya tidak pernah begini seumur hidup.
"Jam berapa, Mi Corazon?" Taehyung mengulang. Adam itu mengedarkan pandangan ke arah jendela yang masih tertutup tirai hitam. Ruangan gelap sebab tirai itu meski cahaya bagaskara sedikit menerobos. "Mungkin seharusnya aku mesti menyimpan jam di kamar."
Visus Jiya menangkap visualisasi Taehyung beringsut bangun demi mencapai wardrobe. Pria perfek itu mengambil kaus tipis berwarna hitam. Selayang pandang Taehyung memakai sandang itu untuk menutupi daksa penuh ototnya. Hingga setelah selesai dengan urusan simpel itu, Taehyung kembali menaiki tilam dan menatap Jiya penuh kuriositas. "Kenapa diam saja, hm?"
Seolah tertimpa gada, Jiya tersadar dari konstelasi absurd yang membuatnya turbulensi. Jiya mengalihkan pandangan tidak tenang. "Ehm, jam berapa, ya." Ia mengambil ponsel dengan balutan case elegannya buru-buru. Taehyung yang melihat itu hanya tersenyum. Pemandangan seperti ini murni memanjakan netra Taehyung, entah dari sisi mana. Terpukau atas keinosenan kenya yang suka menampilkan iras tolol tetapi kirana ini sudah menjadi reaksi alamiah Taehyung.
Sirkumstansi nyenyat sejemang. Jiya diam seperti manekin seraya menunggu daya ponselnya menyala lantaran kemarin Jiya memang sengaja mematikan ponselnya. Jungkook Scheiffer memiliki kontak personalnya dan orang itu meneleponnya hingga berkali-kali sampai finalnya Jiya muak. Hanya saja mengurusi Taehyung semalam sudah berhasil membuatnya depresi, ditambah dengan teror Jungkook yang horor malah membuatnya makin tidak waras.
"Jamㅡ" Jiya menjeda. Sejemang kemudian Jiya berseru heboh dengan netra membola sebagai reaksi murni tatkala netra berhasil menangkap imej angka jam pada ponsel. "God! I'm totally late!"
Bagus. Ini bukan pagi. Ini siang! Siang!
Jung Taehyung is a poser and Jiya is nothing.
Jiya setengah mampus frustasi. Kenya kirana itu tidak pernah absen kelas. Bahkan meski Jiya enggan dan malas untuk bertemu penghuni universiti yang tolol atau muak dengan predestinasinya yang selalu dirundung para mahasiswa edan, terutama Prim, Jiya tetap ikut presensi dan bergabung pada kelas edukasi. Jiya ambisi pada edukasi. Sialnya, hari ini, kelas dosen hibrid, kelas patologi; sial, intinya, Jiya akan mengulang semester depan. Dosen yang satu ini kejam dan tidak punya hati nurani. Ia tidak toleransi pada hal-hal semacam ini.
Jiya menguar oksigen frustasi dan menatap Taehyung dengan ekspresi marah yang lucu bagi Taehyung. "Ini salahmu!"
Taehyung tertawa tipis. Lagi-lagi ia memamerkan tawa kotak lucu dan mutlak kapabel membuat Jiya luluh. Semerta-merta Jiya otomatis melempar bantal yang sempat jadi alas kepalanya pada paragon perfek itu. Taehyung diam, amat sangat terima dihakimi begitu, sama sekali tidak menghindari manuver itu.
"Drugs made you were mad, and I am mad right now."
"Is that your mad expression, Mi Corazon? You're totally cute."
Selalu jahil. Bagi Jiya, Taehyung berengsek.
Pria itu terkekeh meski terdengar samar. Jiya menyumpah kemudian, tidak peduli lagi perkara imej mantan klub keagamaan yang anti mengucurkan bahasa kotor dari mulut, lantaran semenjak semua hal gila ini terjadi, Jiya sudah kehilangan iman.
"Secara harfiah, aku tidak sepenuhnya salah."
Jiya mengernyit konkret. Marah sekali. "Pardon?"
"Sekedar informasi, aku sudah membangunkanmu, and generally you kept asleep like a corpseㅡ" Jiya memincing, memprotes atas pernyataan kurang ajar Taehyung yang menyebutkan Jiya similar seperti mayat. "ㅡno, I mean like a sleeping beauty, Mi Corazon, Su Majestad." Taehyung sambung bicara setelah dapat ultimatum itu seraya mengedipkan mata penuh seduksi.
"Tetapi, itu tak akan terjadi jikaㅡ" Jiya terdiam membuat Taehyung mengangkat alisnya dengan kurva asimetris yang horor.
Konsep komposur menjauh. Jiya tidak berani mengungkit fragmen kemarin. Taehyung selalu membantu Jiya hingga menuju tahap yang berbahaya. Jiya tidak mau jadi person tak tahu diri. Lagipula mengungkit fragmen malam juga sama saja seperti melakukan percobaan bunuh diri. "Fine. Aku salah dan kau benar, Taehyung." Jiya memberi leksem final seraya menabrakan punggung pada bagian headboard tilam.
Taehyung berengsek.
"Dan aku harap jangan lagi mengonsumsi medikamen saat ada aku, ya." Jiya memberi adisi. "Kau mirip orang gila."
Taehyung tertawa. "Ternyata gadis lucuku bisa liar."
"Taehyung!" Jiya mencebik.
"Hm? Apa gadisku tengah marah?"
Gadisku. Gadisku. Gadisku.
Kenya tersebut menguar napas berat. Menghadapi Taehyung membuatnya frustasi berat. "Kau membuatku ikut gila, Taehyung. Aku kehilangan waktu tidur hanya untuk mengambil obat-obatan pada pria tolol nan gila dengan tubuh setengah terbungkus sandang yang mengocehi dengan seribu vokabulari kotor, terkena muntahanmu sekaligus darah bekas pergelutanmu dengan Jungkook, menghadapi kesintingan dan keberisikanmu atas efek obat itu, diciumi olehmu, danㅡGod, aku tidak tahan, aku ingin pulang!" Finalnya, secara terpaksa, terpancing rasa frustasi, ia mengungkit kejadian edan kemarin.
Seperti ingin menyindir, Taehyung menyela dengan cepat. "Karena aku membuatmu gila dan meluluh dan tidak kapabel mengimbangi. Iya, maaf, ciumnya terlalu barbarik, ya?"
Taehyung berengsek.
"Taehyung!"
"Hm?"
Suara dehaman baritonnya terdengar bajingan sekali. Jadi, Jiya meluluh. "Jangan begitu lagi, ya, Taehyung. Aku takut dan akuㅡaku kewalahan."
Kewalahan. Oke, pada hakikatnya Taehyung selalu menciumi Jiya lembut dan penuh afeksi. Kemarin itu terlalu mengerikan bagi Jiya yang tidak bisa berbuat apa-apa.
"Iya, Mi Corazon. Maaf, ya. Maaf karena membuatmu ketakutan dan menangis," balas Taehyung subtil dengan bahana yang mengekspresikan ketulusan dan afeksi. Yang pasti, lagi-lagi Jiya meluluh dan otomatis mengangguk dengan kurva kirana yang manis dan lucu.
Roman pria itu menunjukkan harsa yang kentara karena itu. Bisa dikatakan seperti habis diguyur oleh hujan gemirang. Hingga tanpa indikasi apa pun, Taehyung membawa daksa kenya inosen itu terbaring lagi. Taehyung di samping segera memeluk posesif dengan hidung menelusuri aromatik chamomile. Sementara itu Jiya hanya kapabel menerima konstelasi absurd dengan daksa memanas seperti tengah berjemur di bawah bagaskara. Selain cinta stroberi, Jiya cinta pelukan. Similar seperti Olaf, suka sekali pelukan hangat.
Jiya meleleh seperti es yang dikeluarkan dari refrigerator. Kenya kirana itu malah mendongak demi bersitatap dengan orang yang kemarin menggila seperti cacing kepanasan. Roman khas pagi hari adam tersebut masih nampak nirmala. Epidermisnya memang terlihat berlapis likuid dari pori-pori tubuh. Rambutnya juga masih sedikit berantakan meski tadi Taehyung sudah menyisir random dengan jemarinya. Sialnya bagi Jiya ..., haruskah Jiya mengatakan secara langsung kalau Taehyung itu sempurna dalam keadaan apapun? Tiba-tiba Jiya berpikiran begitu.
"Maaf, ya." Taehyung mengeluarkan vokal subtil. Dia mengulang permintaan maaf.
"Kenapa medikamen ilegal? Kenapa menggunakan itu?"
Taehyung membasahi labium sebagai preambul. "Aku kehilangan hidup dan harsa. Medikamen ilegal jadi pilihan bagus untuk mengembalikan euforia ... meski itu hanya halusinasi."
"Historinya?"
Sekonyong-konyongnya, Jiya merasa hangat. Telapak tangan paragon perfek itu membelai sisi wajah dan surai penuh afeksi. Sebentar saja lantaran ia gunakan tangan itu untuk memeluk daksa Jiya lagi. "Kau penasaran, ya?"
Jiya mengangguk minim.
"Karena bukan kau saja yang merasakan efek buruk dari kasus itu. Tapi aku juga."
Jiya mengerjapkan netra. Apakah Taehyung baru saja menyatakan secara tidak langsung bahwa Taehyung mutlak bukan tersangka yang ingin menghancurkan kehidupan Jiya, tetapi memang sama-sama viktim inosen yang tidak tahu apa-apa?
Sebagai aksi otomatis, Jiya mendadak balas memeluk Taehyung dengan jemala dibiarkan tenggelam pada ceruk leher Taehyung. Kenya tersebut seolah siap untuk tidur kembali, sementara Taehyung memiliki responsibilitas untuk memberi stori sebagai lulabi.
"Tadinya aku tinggal bersama orangtuaku. Tapi setelah tuduhan itu, aku diusir. Untung masih diberi fasilitas dan uang," lanjutnya, "familiku adalah sumber harsa. Dibuang seperti itu membuatku kehilangan semuanya."
Jiya mendongak lagi. Menatap Taehyung dengan memamerkan pinar netra yang adiwarna. "Aku juga ada famili. Dan, yah, similar, mereka juga membuangku dan hanya menyisakan uang. Akan selalu begitu sampai aku bisa membuktikan bahwa aku tidak salah. Sendiri tanpa famili."
Taehyung mendadak menunjukkan kurva elok. "Ada aku, Mi Corazon. Dan ... Jimin."
"Aku tahu. Kau mengatakan itu setiap hari. Tradisimu. Tapiㅡ" Jiya berhenti sejemang. Perasaan bersalah bercokol dalam hati. Pada hakikatnya bukan Jiya saja yang mendapatkan esensi bahaya, tetapi Taehyung juga. Taehyung membahayakan Jiya sebab eksistensi kasus itu dan Prim. Di sisi lain, Jiya juga membahayakan Taehyung sebab kegilaan Jungkook Scheiffer. Meski sebenarnya aksi Jungkook juga karena terpancing Taehyung yang dekat dengan Jiya.
Rasanya terlalu tolol kalau Jiya masih tetap menghakimi Taehyung sebagai tersangka setelah Taehyung bicara begitu. Jika Jiya berpikir Taehyung punya intensi menghancurkan Jiya dengan menghadirkan kasus ini dan menyeret Jiya pada lubang bahaya, maka Jiya juga harusnya punya pemikiran kalau dirinya juga tengah menghancurkan Taehyung. Menghancurkan hingga terkadang Taehyung sekarat.
Oke. Bayangan kasus ini makin kabur dan tidak jelas.
"Tapi?"
Kenya tersebut memandang Taehyung. Jemarinya menyentuh epidermis wajah Taehyung yang dipenuhi lebam. "Aku menyusahkanmu."
"That's my job, Mi Corazon."
"Your job?"
Taehyung membalas cepat. "Hm, memproteksimu."
"Apa benefitnya untukmu?" Jiya hanya bingung dengan jalan pikiran Taehyung. Membahayakan diri hanya demi menjauhi Jiya dari bahaya itu. Orang ini gila, atau memang terlalu baik, atau cinta Jiya?
Oke. Jiya akan memikirkan opsi kedua saja. He's a good man. Tapi di gila juga, sih.
Nyenyat menyerang. Taehyung hanya menunjukkan kurva elok tanpa mengeluarkan vokalnya. Jiya tentu murni dibuat lebih bingung dengan hal tersebut. Taehyung mungkin mendapatkan benefitnya. Tetapi bagi Jiya, Taehyung tidak mendapatkan apa-apa dari konstelasi ini. Invitasi Taehyung pada Jiya untuk menikmati predestinasi hancur bersama-sama malah membuat Taehyung masuk kuburannya sendiri. Bunuh diri.
Jadi, Jiya juga lenggana memaksa Taehyung untuk memberitahu perkara benefit apa yang dia dapatkan. Mungkin menerima dengan kalbu tenang lebih baik lantaran Taehyung juga tidak akan pergi jika Jiya menyuruh untuk pergi dan menghentikan afiliasi ini. Kembali ke poin normal, jika Taehyung kapabel dengan sirkumstansi ini, maka Jiya tidak akan mengurusi. Toh, mau bagaimanapun Jiya menyedihkan dikala berdiri sendiri dan Taehyung telah memberikan kemudahan yang indah dan menyenangkan.
"Harus dengan kekerasan, ya?" heran Jiya.
Paragon perfek itu terkekeh kecil. "Hidup memang keras, Mi Corazon."
"Tapiㅡ"
Taehyung menyela. "Apapun untuk gadis manisku," katanya dengan adisi cumbana singkat.
"Jadi tidak ada kelas, ya?" tambah Taehyung.
"Ada kelas lain. Dua jam lagi," balas Jiya. "Dan kau jangan mengganggu kelasku! Atau aku marah satu bulan."
"Tidak yakin," balas si paragon perfek.
"Apa?"
"Marah satu bulan. Diberi kola stroberi dan pelukan hangat juga meluluh lagi."
Jiya bungkam. Taehyung cepat sekali mengenali Jiya. Kelemahan Jiya itu kentara sekali, ya?
Jiya mencebik dan beringsut bangun tanpa mengeluarkan vokal apa-apa, sementara Taehyung tertawa kecil. Selanjutnya, dengan mudah Jiya gapai tasnya yang tergeletak di sofa, mengambil random hoodie di lemari demi menutupi tubuhnya yang hanya terbalut kaos polos dan jeans milik Taehyung. Well, kemarin malam, lebih tepatnya dini hari, saat Taehyung sudah waras, orang itu mempersilahkan Jiya untuk memakai pakaian Taehyung karena memang sandang Jiya kotor dengan darah dan muntahan. Lucunya memang kebesaran, bahkan Jiya meski memakai ikat pinggang.
Taehyung tidak abai. Meski sempat-sempatnya ia mengambil sigaret di dalam nakas dan menyulutnya, ia tetap memerhatikan pergerakan Jiya. Dengan vokal penuh konfidens, beberapa sekon kemudian adam itu berujar sembari beringsut bangun mengambil kunci radas transportasinya. "Akan aku antar."
"Tidak. Kau harus istirahat, Taehyung. Berjalan saja masih terlihat seperti zombie."
Taehyung mengangguk perlahan sampai finalnya ia memberi diktum ultimatum yang mutlak membuat Jiya stagnan. Sudah dikatakan bahwa Taehyung terlalu dominan bagi Jiya yang payah dan gampang meluluh. "Bagaimana jika Jungkook Scheiffer berada di gedung asrama?"
Sudah dibilang ketakutan Jiya bisa jadi sumber kesenangan Taehyung.
Jiya otomatis menampilkan iras geram yang lucu. "Taehyung selalu jahil begitu, ih!"
"Manis," gumam Taehyung. "Eres muy dulce, Mi Corazon."
Kenya tersebut mengerjapkan netra berkali-kali. Lagi-lagi orang ini memamerkan abiliti bahasanya sebagai hasil edukasi mahasiswa major Bahasa Spanyol. Tetapi kembali lagi ke poin awal, meski tidak tahu maknanya, akses Taehyung sudah cukup membuat Jiya sekarat.
"Spanish, spanish, spanish." Jiya bergumam menyinggung. "Niat sekali membuatku nampak terlihat seperti orang tolol," gumamnya lebih pelan.
Tanpa mau tahu makna ucapan Taehyung, Jiya mengambil jaket berharga fantastis Taehyung di lemari. Berjalan pelan mendekati tilam. Sama sekali tidak peduli dengan gumpalan asap sigaret beraromatik stroberi. Kenya tersebut duduk di pinggiran tilam. Dengan nyali besar, ia mengambil sigaret Taehyung yang terapit di bibir, mematikan apinya dan membuangnya di sebuah wadah khusus. Taehyung kelihatan hendak protes, tetapi Jiya buru-buru memberi iras inosen kesukaan Taehyung; kelemahan Taehyung.
"Hanya mengantar dan memastikan kalau Jungkook tidak ada. Setelah itu, pulang. Take a rest, Taehyung. Kau mirip mayat," tutur Jiya. Sedikit menjahili Taehyung diakhir diktum dengan sentens yang sedikit similar seperti yang Taehyung sebutkan pada Jiya sebelumnya. Mirip mayat. Hingga sekonyong-konyongnya, Taehyung mengeluarkan vokalnya, terkekeh minim. "Ah, how dare you, Mi Corazon."
Sekali-kali Taehyung mesti kalah, kan?
j e o p a r d i z e
Jiya melirik tajam person-person yang memandanginya intens. Taehyung seratus persen serius perkara intensinya untuk mengajarkan Jiya membuat ekspresi penuh venom. Person itu mengajarkannya dengan memberikan seribu satu stori dan eksperimen gila yang membuat Jiya otomatis menumbuhkan jiwa liarnya. Presensi Taehyung berguna juga rupanya. Evidens terlihat dari bagaimana penghuni-penghuni asrama yang langsung tertunduk seperti viktim.
Barangkali akan terdengar imbesil. Jiya masih terlalu pemula untuk menghadapi kejahatan yang membombardirnya. Ia mungkin masih tidak punya keberanian penuh untuk melawan Prim atau penindas lainnya. Namun, setidaknya Jiya sudah mengerti perkara cara untuk menjadi tokoh thriller yang mereka inginkan. Meski masih level dasar. Serupa seperti yang diucapkan Taehyung: we give what they want, dan Jiya akan belajar untuk keamanannya sendiri.
"Jiya. Kauㅡ" Jiya menoleh ke samping. Visus menangkap visualisasi khawatir dari iras rupawan Jimin. Adam itu nampak tengah mengatur napas dengan daksa bertumpu pada lutut. Sedetik kemudian, ia kembali fokus pada Jiya dengan alis nyaris bertautan. "Tunggu. Jeans besar dengan hoodie hitam bergambar tengkorak? Sejak kapan kau memiliki gaya pakaian seperti laki-laki?"
"Sejak ... hari ini," balas Jiya seraya membuka pintu asrama.
"Dan tidak pakai pita di leher?"
Secara otomatis kenya tersebut menyentuh lehernya sendiri. "Oh, sepertinya aku lupa." Sudah pasti benda kramat itu tertinggal di unit paragon perfek itu beserta gaun feminim yang mutlak terkena muntahan Taehyung.
Untungnya Jimin tidak menginterogasi lebih lanjut. Secara harfiah, barangkali dia tidak peduli lantaran memang Jimin sendiri lebih suka Jiya tidak memakai tali pita yang lucu dan manis itu. Meskipun sebenarnya Jiya memiliki banyak simpanan pita.
Kenya tersebut lantas memasuki unit asrama diikuti dengan Jimin. Semerta-merta, pria tersebut langsung menghampiri Lucy yang berbaring tanpa spirit. Adam penyayang kucing itu otomatis belingsatan setelah melihat visualisasi kucing itu. "Ji, apa yang telah kau lakukan pada Lucy?"
Jiya yang sebelumnya tidak menyadari apa yang terjadi, mutlak ikut memasang raut iras penuh khawatir. Ia berdosa. Berdosa. Ia meninggalkan Lucy dari kemarin, tepat sejak pagi hari kemarin hingga hari ini. Gila, delapan belas jam. Lucy bukanlah tipikal kucing yang bisa menahan lapar. Kucing lain mungkin bisa tidak makan satu hari atau dua hari, tidak dengan Lucy. Kucing gemuk itu selalu ingin makan.
Semerta-merta, Jiya bergerak penuh energi menuju rak penyimpanan makanan dan susu untuk Lucy. Sementara Jimin masih setia merangkumi tubuh Lucy seraya membelai penuh afeksi, menunggu Jiya beserta asupan nutrisi untuk Lucy. Pria itu sibuk pada aksis itu dan mencoba melupakan kuriositas atas kegilaan ini.
"God, aku minta maaf Lucy." Jiya bersuara dengan bahana belingsatan. Ia bergerak impulsif mendekati Jimin dan Lucy, lantas berlutut untuk menyamakan tinggi. Detik selanjutnya, dengan bantuan Jimin, Lucy turun perlahan demi menikmati asupan nutrisinya. Namun, Jiya yakin seratus persen, kucing itu tengah merajuk padanya.
Finalnya, Jimin mulai menatap intens Jiya. "Beritahu akuㅡ"
Tanpa mau tahu apa yang akan keluar dari mulut Jimin, Jiya menyela terlebih dahulu. "Aku akan bicara." Jiya mengusap wajah. Entah mengapa ia bisa seimbesil ini. Dia melupakan realita bahwa ia memelihara makhluk hidup di asrama. Secara harfiah, selama berada di apartemen Taehyung, Jiya tidak memikirkan hal lain selain mutlak mengurusi kekacauan yang dibuat oleh paragon perfek itu. Jiya tidak ingat Lucy.
Itu semua real. Serebrum Jiya hanya tertuju pada satu aksis. Segala perkara Taehyung mendominasi kinerja otak. Bagaimana bisa ia memikirkan hal lain tatkala ia dihadapi oleh sebuah katastrofe? Tidak, bukan sebuah, tetapi banyak.
"Aku titip Lucy sampai semuanya kembali normal," lanjut Jiya penuh konfidens.
"Tiba-tiba?" Jimin mengernyit. "Terakhir kali aku punya intensi untuk membawa Lucy bersamaku, kau mengamuk selayaknya tornado."
Jiya mengumbang minim. Betul juga. Jiya ingat perkara konyol itu. Lantaran Lucy itu hadiah dari Hoseok, seseorang yang Jiya sayangi yang sayangnya sudah berada di nirwana Tuhan, Jiya otomatis menyayangi Lucy. Seperti darah daging sendiri. Jimin berkali-kali ingin membawa Lucy. Bisa dibilang adam lucu itu sangat mencintai kucing gembul itu. Namun, berkali-kali juga ia mesti menghadapi amukan Jiya sebab Jiya tidak pernah mau memberikan Lucy pada Jimin meski hanya sehari.
"Kau masih ingat perkara diktum yang aku ucapkan tempo lalu, Jim?"
"Diktum apa?"
Kenya kirana itu beringsut bangun demi mendekat pada reflektor. Mendadak memerhatikan wajahnya sendiri yang super kusut. Masuk ke dalam alam subkonsius pada jam dini hari membuatnya merasa eksentrik. Jiya tidak pernah begitu. Pada finalnya, ia similar seperti Taehyung. Netra mutlak dikelilingi warna aswad, walaupun tidak begitu kentara. Jiya tidak suka kalau irasnya terlihat kacau begini.
Sepersekian sekon, perempuan ekstraordinari syahda itu baru mau membalas pertanyaan simpel Jimin. "Otakku sedang tolol saat ini. Malfungsi." Ia menjawab dengan diiringi kekehan renyah. "Aku meragukan diri sendiri, Jim. Aku merasa super payah untuk memproteksi diri sendiri. Aku juga jadi tidak peduli pada hal lain selain diriku sendiri. Pada intinya, aku ingin kucing cantik ini diurusi oleh orang yang memiliki pemikiran jernih, as clear as the sky. Melihat aku imbesil seperti saat ini pada Lucy membuatku merasa ... am I an animal abuser?"
Ini bukan hanya perkara efek kegilaan kemarin. Sebelumnya, Jiya pernah memikirkan predestinasi kucing ini. Jauh sebelum ia berelasi lebih akrab dengan Taehyung, Jiya sudah kehilangan interes untuk memerdulikan apa yang ia pedulikan sebelumnya. Similar seperti Taehyung yang asyik pada dunianya sendiri.
Bahkan sebetulnya ini bukan kali pertamanya ia lupa memberi makan Lucy. Sering. Jiya sering menyiksa Lucy secara tidak langsung. Yang lebih buruk, saat Jiya kelewat frustasi akan Jungkook Scheiffer yang dulu pernah berhasil melepaskan pakaian luar Jiya dan mencium seluruh bagian daksa, sampai pulang ke asrama setelah ditolong oleh Taehyung, Jiya menggila. Hanya menangis sebetulnya, tetapi sembari melemparkan barang-barang, termasuk melempar beberapa mug pada Lucy, untungnya tidak mengenai tubuh Lucy.
"Aku merasa gila, Jim." Lantas, ia melirik Jimin. "Perkara pertanyaanmu tempo lalu, sepertinya aku sudah punya rencana."
Eksistensi Taehyung memang mutlak membahayakan Jiya. Evidens yang terlihat, contohnya seperti kelakuan Prim yang makin barbarik pada Jiya sampai berani melukai fisik. Atau yang lebih parah seperti Jungkook Scheiffer yang makin gencar meneror Jiya. Menikmati predestinasi bersama paragon perfek itu telak memberi benefit juga. Meski mesti rela meninggalkan kehidupan normal yang statis, Jiya sepertinya punya interes untuk melakukan apa yang Taehyung tawarkan.
"Rencana apa?" tanya Jimin penuh kuriositi. "Membunuh Prim?"
Jiya terkekeh imbesil. "Aku terlalu suci untuk melakukan itu, Jim."
"OK, tentu. Membunuh Prim itu tugasku, anyway. Jangan mengambil bagian."
Jiya menggeleng intens. "God, sudah kubilang untuk jangan pernah merusak predestinasi perfekmu, Jimin. Tuhan punya seribu satu cara untuk membuat perempuan itu jadi payah. Aku tidak mengizinkan kamu untuk jadi person imbesil."
Pria itu nampak bangun. Ia mendekati Jiya dan merangkumi daksa kenya tersebut dari belakang dengan jemala terjatuh pada bahu Jiya. Mengikuti alur yang Jiya buat. Sama-sama menatap diri masing-masing melalui cermin rias di depan. "I'm joking, Sis. Tapi, kalau dia mencapai batas limit yang membuatkuㅡsial, dia berengsek. Intinya, aku akan membuat perhitungan. Karena aku tidak ingin adikku yang manis ini kenapa-kenapa."
Jiya merotasi bola mata. "Terserah, deh. Tapi, anyway, aku bukan adikmu astaga."
"Kau adikku, titik. Terserah. Jadi intinya apa?" tanya Jimin. Mencoba untuk membawa pada inti konversasi sebelummnya.
"I'll give what they want."
Tepatnya: we give what they want. Jiya tidak sendiri. Tetapi, bersama Taehyung.
Taehyung membuat Jiya merasa yakin bahwa Jiya tidak memiliki alasan untuk takut pada Taehyung. Ada probabilitas besar bahwa Taehyung juga similar viktim seperti Jiya. Walaupun masih ada kemungkinan kalau Taehyung tersangka pemerkosaan Jihan. Termasuk pada esensi membahayakan. Toh, jika diperhatikan, Jiya juga membahayakan Taehyung. Jadi, mengikuti semua keinginan Taehyung yang Taehyung utarakan di bilik kecil tidak ada ruginya juga.
Hanya saja Jiya baru sadar. Taehyung secara tidak langsung seperti tengah mengajak Jiya untuk mencari basis kasus ini dengan cara yang unik: menikmati predestinasi sama-sama, berusaha akrab, memberikan stori masing, dan langkah-langkah selanjutnya yang belum bisa Jiya prediksi.
Taehyung ingin Jiya bangun. Sudah terlalu lama Jiya membiarkan orang lain menghakimi Jiya dan Jiya tidak melakukan apapun. Oke, ini lebih masuk akal ketimbang menuduh Taehyung sebagai tersangka.
"What do you mean?"
Jiya mengulum labium. Diam selama lima sekon. Lantas lanjut membalas, "Bunuh diri untuk menyelamatkan diri."
[TBC]
vokabulari/frasa/sentens asing:
eres muy dulce: you are so sweet.
aku hanya membayangkan depressed instrument seperti yang ada di film requiem for a dream untuk bagian kejadian semalam saat taehyung mulai gila sama obatnya. aku sengaja enggak nunjukin detail bagian semalam. istirahat dulu. nanti bakal lebih banyak hal gila.
anw, ngomong-ngomong soal requiem for a dream, itu salah satu film yang bikin aku belajar soal kegilaan obat-obatan untuk urusan riset. aku mau rekomendasikan film itu, tapi hanya untuk orang-orang yang siap aja. sumpah, yang mental yupi tolong hati-hati. aku takutnya kalian kepikiran, atau sampai overthinking, dan jijik juga. i'm serious, itu menghantui banget. apalagi musiknya juga disturbing banget. tapi aku akui filmnya keren dan super menyedihkan karena aku kebawa nangis hiks.
oh, ya, perkara pita leher jiya, kurang lebih seperti ini.
kain biasa. aku maknakan pita ini sebagai simbol feminin wanita, woman's submissiveness, dan sebagai adulterous or prostitutes.
jiya sendiri pakai ini untuk tujuan supaya nampak lebih feminin karena dia memang feminin sekali. tapi tetap efeknya bikin petaka. dan di sini jiya enggak tahu kalau pita yang dia pakai dimaknakan sebagai simbol ketundukan wanita dan prostitute sama pria.
dan fyi, aku buat penutup chapter yang baru. tulisan serenade-anno terlalu simpel. jadi aku buat hshs taehyungnya imut. tapi aku baru nerapin di jeopardize, stori lain udah banyak chapternya, jadi malas ganti.
sampai jumpa jumat depan, darls!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top