ACT I: CHAPTER 01
[be wise: depiction of drug use.]
Introdusir perkara paragon yang sublim dengan asma seperfek rupanya tidak akan habis dalam satu hari satu malam. Jung Taehyung memberikan rentetan pancarona stori yang beragam. Acapkali jadi sumber konversasi karena semua perkaranya selalu menarik interes mahasiswa Saint Hallway. Bukan hanya visualisasi citra indah yang laik dipuja-puja, tetapi juga jihat cemar selayaknya gumpalan kumulonimbus gelap.
Dia entitas artifisial dari tangan Tuhan yang dibuat serius dan telak eksklusif. Selalu berada pada aksis tepat di tiap mata yang memandangnya. Termasuk Kim Jiya, dia similar seperti kenya lain yang menaruh interes pada adam dengan iras kirana itu. Hanya saja, Jiya agak lain. Ada banyak kenya yang berkerumun bak rusa hutan hanya untuk mendapatkan atensi Taehyung. Bagi Jiya, mereka nampak seperti gadis-gadis milik Madam Barbara, gadis-gadis objek prostitusi yang dengan mudah memproyeksi bagian senter daksa pada orang lain hanya demi uang. Jiya punya satu gagasan esensial perkara dirinya sendiri: meski terpesona akan afsun mahasiswa bahasa itu, Jiya punya martabat yang mesti ditegakkan.
Taehyung is a poser and Jiya is nothing.
Tidak cocok.
Lagipula, warta yang tersebar perkara Taehyung yang hobi merogol kaum pedusi, menghancurkan daksa mereka sekali pakai, lantas dibuang, telak membuat Jiya berpikir seribu kali untuk bergabung pada komunitas rusa-rusa hutan imbesil itu. Mutlak menurunkan interesnya pada Taehyung. Tidak berelasi dengan Taehyung lebih baik ketimbang mesti merasakan sakit yang bertubi. Bukankah menyukai pria bajingan itu akan terasa menyakitkan?
Sayangnya, semenjak problematika murahan perkara penculikan, kasus bunuh diri, sekaligus pemerkosaan datang bagai katastrofe, Jiya secara tidak direk menjadi bagian hidup si paragon perfek itu, apalagi tatkala dia berlakon seolah berelasi intim dengan Jiya semenjak insiden di bilik kecil itu. Dia serius perkara menikmati predestinasi hancur bersama-sama.
Oke, selesai. Bagus. Memikirkan perkara kerumitan sirkumstansi ini berhasil membuat Jiya total imbesil. Jiya ingat, Sir Morgana tadi masih sibuk berada di depan kelas seraya memberikan materi pelik perkara parmakologi. Lantas mengapa sekarang mendadak aula kelas besar ini jadi kosong?
Sampai finalnya, Jiya baru sadar kalau dia tengah diasingkan, untuk kesekian kalinya. Sir Morgana, lebih tepatnya Morgana Swan, pendidik nyentrik yang menjadi pengacau suasana. Jiya tidak tahu dia itu idealis, liberal, atau apalah itu. Yang pasti, Sir Morgana adalah pendidik terbodoh yang pernah Jiya ketahui. Orang itu similar seperti para mahasiswa yang menghakimi Jiya tanpa evidens. Dan sirkumstansi sekarang, memang sebetulnya sudah biasa bagi Sir Morgana menghentikan kelas tiba-tiba, pindah ruangan, dan meninggalkan Jiya. Jiya masih ingat sekali, Sir Morgana pernah bilang bahwa ia tidak ingin satu konstelasi dengan penjahat.
"Kau terlalu suci untuk menangisi diri sendiri."
Jiya melirik Taehyung, "Kau terlalu kotor untuk ikut campur atas bisnisku. Tinggalkan aku."
Seperti tidak memahami bahasa yang dituturkan oleh mulut Jiya, person dengan netra secerah binar kristal dengan labium yang terukir menukik itu duduk di samping Jiya, duduk di kursi yang selalu kosong sebab tidak pernah ada yang mau berada di samping Jiya.
Taehyung selalu berhasil membuat serebrum wanodya itu menjadi tercerai-berai, hingga tak kapabel mencuri udara untuk disimpan pada ekuipmen napas.
"Bahkan perkara minggu laluㅡ" Terbata. Jiya tak mampu memberi kontinyu.
Mau bagaimana pun, perilaku Jiya dan Taehyung akan tetap menjadi perhatian publik. Sehingga bukan hal yang eksentrik jika fragmen perkara Taehyung yang keluar dari bilik kecil pedusi setelah sebelumnya Jiya keluar dari bilik yang sama menjadi topik lagi. Memperkuat gagasan soal relasi Taehyung dan Jiya. Tentunya memperkuat relevansi keduanya terhadap kasus dua mahasiswi kebanggaan fakultas kedokteran yang diculik dan meninggal bunuh diri itu.
Jiya bukan paragon yang miliki ketegasan, terlebih lawan mainnya punya serebrum sekeras hati manusia tanpa iman. Meski Jiya sudah turunkan martabat, memohon pada Taehyung untuk menjauh darinya, Taehyung tetap punya intuisi untuk menciptakan mikrokosmos perih nan menyakitkan.
"Aku dengar kau dirundung Prim. Karena apa lagi?"
Seberapa gila dan bodohnya pria ini?
Secara otomatis menguarkan tawa pelan, sedikit lemah lantaran masih terinfluensi dengan isakan. Buru-buru merespon untuk mengekspresi perasaan ganjil antara marah dan gemas. "Dia salah satu gadismu. Memangnya apa lagi selain sebab tidak terima melihat prianya menempel pada kotoran universiti?" Meski alasan lain, Prim merundung bukan hanya cemburu, tetapi karena basis kasus ituㅡsekedar informasi, Prim bersahabat dengan Jeon Jihan. Taehyung sebetulnya tahu perkara ini, sayangnya dia pura-pura imbesil.
Para penghuni Saint Hallway memang menganggap bahwa orang berdosa seperti Jiya dan Taehyung laik dirundung. Sialnya, itu hanya berlaku pada Jiya. Siapa juga yang berani merundung pria perfek itu? Para laki-laki terlampau tidak peduli, sementara para perempuan enggan merundung Taehyung karena merundung orang itu sama saja menghilangkan oportuniti untuk dirogol oleh Taehyung. Gila, tetapi itu realitasnya. Meski masih ada juga yang tetap menjatuhkan Taehyung.
"Gadisku? Gadisku hanya kau, Mi Corazon, Su Majestad." Dia mengedip.
Jiya mengernyit hebat. "Lingua apa ituㅡtunggu, apa? Maaf? Gadismu?"
Seolah mendapati sebuah kesenangan, pria bagai antariksa yang agung itu meloloskan bahana rendahnya, tertawa untuk histori yang tidak Jiya ketahui. Tawa kotak imbesil yang sialnya manis itu nyaris menggugah selera untuk Jiya tersenyum. Kendati itu nyaris terjadi, Jiya mencoba memikirkan tiga hal buruk yang menghajarnya supaya tidak terbawa atmosfer atas tawa manis itu: yakni kesendirian, perundungan, dan penghinaan. Jiya tidak ingin pria ini punya premis bahwa Jiya adalah gadis yang gampang terbawa suasana. Namun, tak bisa dimungkiri, Jiya suka tawanya.
Walaupun sebetulnya seratus persen adam perfeksionis ini agak nampak aneh. Tawa kotak manis itu mutlak jadi perhatian ekslusif, hanya saja ekspresi lain agak menganggu. Sedikit memublikasi vokal nyeri, kulitnya mengeluarkan keringat, dan sesekali ia menggertak. Taehyung nampak seperti gelebah. Tersiksa. Menahan satu rasa eksentrik yang tidak diketahui oleh Jiya.
"Apa ada masalah, Taehyung?"
Taehyung menggeleng cepat. Tidak lupa dengan aksen kurva di bibir yang penuh afsun meski wajah kesakitannya masih nampak. "Tidak ada, Mi Corazon."
"Kau seperti terkena reaksi afrodisiak. Meski eksesif."
Paragon perfek itu menguar tawa. "Kau gadis inosen, Mi Corazon. Tapi tahu hal seperti itu, ya," katanya, "bukannya kau mesti was-was?"
Jiya mencebik. Reaksi otomatis yang mutlak membuat Taehyung menggeram gemas hingga mencapai wajah Jiya demi memberi kecupan afeksi di labium perempuan tersebut. "Aku tidak akan merusak gadis inosenku." Ia tersenyum. "Lagipula aku tidak terkena influensi afrodisiak."
Stagnansi menghajar perempuan tersebut. Sejemang kemudian, ia beringsut bangun demi meninggalkan Taehyung. Hanya terlalu merasa aneh atas perilaku penuh afeksi Taehyung. Di bilik kecil, orang ini seperti tukang pemerkosa, sekarang nampak beda. Jiya hanya ingat satu hal, dulu dia pernah punya intensi untuk menjadi kekasih Taehyung. Hal ini membuat dirinya mencapai asa yang yang sulit. Dia merasa terhibur, tetapi takut juga. Taehyung itu membahayakan, bahkan sikap manis bagai gula-gulanya juga mampu membuat Jiya sekarat.
Namun, sekon-sekon berlalu, baru mencapai daun pintu kelas, Jiya dikejutkan dengan suara nyaring seorang Taehyung yang memekik hebat. Nampak gusar, panik, sekaligus belingsatan. Jiya mengira itu cuma sebuah adegan drama yang dimainkan oleh si parlente perfek ini demi menarik interes Jiya, meski Jiya tidak percaya kalau Taehyung melakukan hal serendah itu. Jiya mencoba abai, sialnya ia malah stagnan dan tetap melirik Taehyung yang terduduk dengan tubuh bervibrasi minim dan ringisan sakit yang kentara.
Bagus. Itu horor.
Dengan netra penuh kuriositas sekaligus panik, tidak memikirkan pikiran buruk perkara Taehyung yang mungkin tengah berlakon, Jiya menuruni undakan kelas menuju Taehyung. Tidak sepenuhnya terbaring, tetapi pria ini nampak seperti tengah sakaratul maut. Pria tersebut refleks membuka jaket kulitnya, memublikasikan kaus putih, dan ikatan kain di lengan kanan. Pria tersebut tengah mati-matian memperkuat ikatan kain pada lengannya.
"Ada apa, Taehyung? Apa kau baik-baikㅡ"
Bodoh. Pertanyaan macam apa itu?
Pria itu diam. Mutlak Jiya yang belingsatan. Wanodya itu memerhatikan pria yang nampak sibuk mengikatkan kainnya pada tangan kanan dengan bantuan tangan kiri dan mulutnya sendiri. Jiya hanya merasa pernah melihat hal-hal semacam ini.
"Fuck!"
Jiya otomatis mundur. Terkesiap atas bahana nyaring Taehyung. Sialnya, Jiya tetap bertahan pada situasi ini, antara penasaran dengan sirkumstansi pelik ini dan tidak tega dengan Taehyung.
Sepersekian sekon, Taehyung membuka ikatan kain pada lengannya, lantas refleks mendongak nyeri sebelum akhirnya mutlak menatap Jiya. "Aku tidak bisa menahan. Tas. Injektor."
Mengernyit sebagai respon otomatis, namun Jiya tetap menuruti komando Taehyung. Oke, orang sekarat memang akan mendadak jadi tolol, sehingga tas di samping pun mungkin tidak bisa dijangkaunya. Sepersekian sekon, Jiya mengambil tas berbahan kanvas itu sekaligus mengambil ekuipmen yang Taehyung maksudkan. Ia tidak tahu mengapa Taehyung meminta untuk diambilkan injektor sementara Taehyung adalah mahasiswa dari major bahasa Spanyol. Too eccentric.
Namun, tatkala netra mendapati injektor berisi fluida eksentrik dan tidak sengaja melihat berbagai wadah-wadah medikamen kecil, Jiya menyadari satu hal krusial di sini. Sumpahㅡapakah informasi yang diberikan Jimin perihal Jung Taehyung yang menjadi pecandu medikamen ilegal itu benar? Visualisasi elok Taehyung nampak tidak terlihat seperti pecandu. Jiya kira, segala indikasi netra dikelilingi warna aswad dan tubuh yang suka terlihat lemas itu karena kurang tidurㅡJiya mendengar bahwa tugas major bahasa Spanyol itu banyak sekali. Rupanya mungkin diktum Jimin benar.
Konklusinya, wajah imbesil Taehyung bukan sebab influensi afrodisiak, tetapi karena pria itu tengah melawan keinginan untuk memberikan tubuh dengan zat medikamen ilegal.
"T-Taehyung? Kamuㅡ" Jiya melirik paragon perfek dengan pupil netra yang nampak mengecil itu. Jiya masih agak tidak percaya.
Taehyung menyela tanpa mau tahu apa pernyataan Jiya. "Mi Corazon, Jiya, cepat."
Lemah. Meski itu komando yang afirmatif.
Dengan abilitinya, Jiya memasukkan fluida itu ke dalam daksa Taehyung. Iras sekarat Taehyung tidak dapat diabaikan mintakat memori. Jiya akan berdosa. Atau yang lebih parah, jika Taehyung meninggal karena hal tolol seperti ini, Jiya sendiri yang akan dituduh sebagai tersangka kematian Taehyung.
Lagipula sudah berapa lama orang ini tidak menjalankan tradisi menginjeksi diri dengan medikamen ilegal sampai bisa terlihat sekacau ini? Atau sengaja menjaga imej, tetapi gagal?
Taehyung is a poser.
Sialnya, tatkala Jiya belingsatan lantaran baru pertama kalinya ia berurusan dengan seorang pecandu medikamen ilegal, paragon spesial ini memberikan atensi penuh pada Jiya meski dahinya mengerut konkret sebab tersiksa mutlak membuat Jiya gugup. Hingga saat Jiya mencapai final gem konyol ini dan telah selesai dengan urusannya, tangan-tangan Taehyung mencapai sisi wajah Jiya dengan kurva terpatri. Jiya tidak tahu makna kurvanya, entah merasa bersyukur sebab masih hidup atau hanya intuisi.
Atau yang lebih sial, setelahnya Jiya refleks mengeluarkan tisu yang selalu ia bawa demi mengabolisi keringat yang eksis di kening Taehyung. Aksi tersebut jelas membuat Taehyung kembali mengecup bibir Jiya. Penuh afeksi, seperti biasa. Dan Jiya hanya kapabel terdiam.
Masih ada sisa-sisa rasa sakit yang menyiksa, Taehyung membasahi bibir sebelum akhirnya malah angkat bicara. "Aku suka ekspresimu saat merasa panik, Mi Corazon. Sweet and lovely," tuturnya, dan lagi-lagi diakhiri dengan kedipan netra.
Sial. Orang sekarat ini masih bisa-bisanya berbual dan mengedipkan netra?
Taehyung is a poser and Jiya is nothing.
j e o p a r d i z e
Mendapatkan kembali kebebasan tatkala Taehyung pergi terbirit-birit dengan iras imbesil serta penuh uforia selepas insiden eksentrik perihal paragon perfek Saint Hallway yang sekarat, kini Jiya hanya kapabel berjalan sesegera mungkin kembali menuju mintakat favoritnya. Meski sebetulnya Jiya khawatir dengan keadaan Taehyung selanjutnya. Dia terinfluensi obat gilanya dan itu berbahaya.
Sampai sekon ini, Jiya belum menemukan jawaban yang akurat perihal Taehyung. Person itu terlampau misterius dan eksentrik. Meski dari sudut pandang pertama perkara warta yang memublikasikan kenakalan Taehyung, tetapi bagi Jiya, Taehyung hanyalah paragon penyendiri yang tidak punya interes untuk bergabung pada komunitas, berbeda dengan Jiya. Bahkan meski ia didekati sekelompok rusa genit yang sebagian besar berasal dari gadisnya Madam Barbara yang menjijikan dan kotor, Taehyung sama sekali tidak tertarik. Ia hanya tertarik dengan dunianya sendiri. Jika ia menginginkan wanita pun hanya jika sedang butuh.
Jimin memiliki premis yang dipublikasikan melalui sentens-sentens menyakinkan hingga membuat Jiya membuat konklusi. Andai Taehyung punya karsa untuk memiliki Jiya dan menghancurkan kehidupan Jiya, maka apa histori di belakangnya? Seratus persen Jiya tidak pernah mencari problematika dengan Taehyung, kecuali pernah memergoki Taehyung menghisap sigaret di area universiti dan melakukan itu secara barbarik dengan mahasiswi baru di perpustakaan. Sumpah, bahkan Jiya tidak pernah melaporkan itu pada pihak universiti. Namun, jelas sekali histori itu tidak logis untuk hal balas dendam hingga membuat kehidupan Jiya kacau balau. Ini terlalu eksesif untuk ukuran balas dendam.
Atau mungkin Taehyung menyukai Jiya? Well, Jiya tidak mau berpikiran ini. Tetapi, sialnya, Jiya senang kalau itu benar.
Lagipula, maksudnya mengapa person ini ingin sekali berada dalam satu orbit bersama Jiya, menikmati predestinasi hancur bersama-sama, dan secara harfiah saling membahayakan diri? Hanya saja itu agak imbesil.
He is too eccentric.
Kasus gila itu bukan hanya membuat Jiya dirundung seisi kampus, seperti dijambaki oleh Prim, dikunci di bilik kecil atau di kelas, diasingkan di ruang praktik yang berisi banyak manekin peraga horor, atau yang paling parah adalah pernah beberapa kali dilecehi oleh Jungkook Scheiffer dengan cara yang tak layak, meski setidaknya Taehyung selalu datang seperti hero yang sok. Dampak kasus itu pada Jiya lebih buruk dibandingkan perundungan: dikeluarkan klub teater dan klub keagamaan yang merupakan separuh hati Jiya, diasingkan famili sendiri, dipandang buruk oleh penduduk sekitar universiti, beberapa kali ditawari oleh Madam Barbara untuk jadi salah satu gadisnya, atau diajak melakukan hal kriminal oleh satu-satunya klub penjahat di sini. Yang lebih parah, kasus ini tidak ditangani pihak yang wajib menangani, sangat eksentrik, sehingga Jiya hanya mampu menertawai kehidupannya yang berubah gelap.
Apakah Taehyung juga merasakan hal yang similar? Jiya tidak melihat indikasi bahwa Taehyung kesusahan. Ia nampak lebih santai dan abai atas polemik yang menimpanya, berbeda dengan Jiya. Jadi, untuk apa dia susah-susah memberikan benefit pada Jiya atas menikmati predestinasi bersama-sama kalau nyatanya dia sesantai itu?
Jiya memang menyukai segala hal perkara Taehyung. Namun, melihat sirkumstansi saat ini, ia juga dipeluk ketakutan kalau berhubungan dengan Taehyung. Dia terlalu misterius dan eksentrik.
Well, setidaknya, Jiya masih memiliki orang yang mampu memproteksinya jika Taehyung memiliki karsa tersembunyi yang terkesan membahayakan posisi Jiya. Jiya punya Jimin, person yang pandai untuk membedakan hitam dan putih, satu-satunya person yang percaya bahwa kenya baik-baik seperti Jiya tidak kapabel melakukan penyiksaan batin dan fisik pada dua korban. Mungkin sebab Jimin adalah satu-satunya orang yang pernah melihat Jiya menangis hanya karena Jimin tidak sengaja membunuh seekor semut, jadi Jimin tidak percaya Jiya berprilaku sebejad itu.
Jiya menekan beberapa digit sangka demi membuka pintu asrama dengan napas berat. Beberapa penghuni asrama lain memandangi Jiya seolah memandangi karakter kejam dalam film thriller, memandang takut tetapi penasaran dan mengintimidasi. Buru-buru Jiya masuk asrama, dan seperti biasa mendapati eksistensi beberapa makanan dan Jimin yang tengah bermain dengan Lucy, kucing milik Jiya, hadiah dari Kim Hoseok.
"Sudah kukatakan berkali-kali, aku tidak suka makanan pedas, Jimin."
Jimin menoleh mendapati vokal familier. Lantas, ia berjalan mendekati Jiya yang tengah memandangi makanan di atas meja, sementara Lucy bermain secara personal dengan mainan belalang yang meloncat-loncat tidak jelas.
"Spicy food is good for releasing emotion, Ji. Prim, kebanggaan Madam Barbara itu memang bajingan, infinite," balas Jimin. "Kau tidak apa-apa, kan?ㅡoh, silly man, untuk apa bertanya." Jimin menyentuh kening Jiya yang mutlak telah diplester. "Diapakan hari ini?"
"Sigaret," singkat Jiya. "Sudah diobati, kok."
"Is she a human or a demon?" Jimin menganga minim tak percaya. "Sumpah, aku menyesal pernah menyukai perempuan itu."
Jiya akan terus mengingat perihal kebejadan Prim Isabeau. Perempuan yang dibayar sebesar bayaran satu semester perkuliahan untuk sekedar memberikan servis badan pada konsumerㅡpadahal harusnya manusia tidak dihargai semurah ituㅡkerap kali melakukan hal sinting pada Jiya karena tidak terima saat tahu Taehyung dekat dengan Jiya atau karena Jihan. Dan untuk saat ini, manusia blasteran yang gila itu malah mencucuhkan sigaretnya pada kening Jiya.
"Atas dasar apa kau menyukai dia?"
Jimin mengedikkan bahu dengan mulut masih sibuk mengunyah makanan. "Bukankah Prim agak lain dengan versi saat dia masih berstatus jadi mahasiswa baru?"
"Sebelum menjadi gadis prostitusi, dia memang baik, aku akui itu," balas Jiya.
Lingkungan memang mutlak kapabel mengubah kelikat person, kan? Jiya enggan mengekspos ini, sebetulnya. Nyaris kebanyakan gadisnya Madam Barbara itu barbarik, tidak kenal etika, dan seenaknya dalam bertingkah. Mungkin tuntutan pekerjaan supaya tidak dianggap lemah oleh konsumer. Jiya tidak mengerti kehidupan para gadis-gadis itu. Tak aneh kalau Prim berubah.
Jimin mengambil sebotol air mineral dan memberikannya pada Jiya yang merasa kepedasan, meski baru memakan satu suap kuah ramen. "Kau sudah bilang pada Taehyung kalau Prim begitu karena obses padanyaㅡmeski Prim begitu karena Jihan juga, sih?" tanya Jimin penuh kuriositas, megubah topik konversasi. Jimin memang seratus persen tahu bahwa Prim menyukai Taehyung, entah sebab suka betulan atau ingin menyicipi pria tersebut. Namun, celakanya Prim malah melakukan hal tidak-tidak pada Jiya meski realitanya Taehyung yang mengejar Jiya. Lebih bodohnya, Jiya tidak pernah memberi tahu alasan perundungan Prim pada Taehyung, walau dalam beberapa periode Prim merundung Jiya karena basis kasus tersebut.
"Sayangnya, dia tuli. He instead claimed me as his, Jimin. Harusnya dia pergi menuju Prim dan menyeretnya ke kamar sebagaimana ia menyeret gadis lain secara paksa dan barbarik ke ruangan kampus seraya melantunkan permintaan maaf dengan diksi khas pujangganya. Gila, Jung Taehyung gila, infinite."
Jimin terkekeh, "Infinite."
Nyenyat sejemang.
"Lalu apa rencanamu sekarang? Perempuan itu makin hari makin gila, Ji."
Jiya menggeleng tanpa energi. "Otakku sedang tolol saat ini. Aku tidak punya rencana apa-apa."
Sepersekian sekon, Jiya beringsut bangun dengan tawa kecil minim. Ia menyerah dengan makanan pedas yang dibawakan oleh Jimin sekaligus menyerah dengan kegilaan hari ini. Gila saja. Pertama, mesti menghadapi Taehyung yang sekarat karena lupa akan tradisi menyuntikan heroin pada tubuhnya; dan kedua, ia mesti rela diserang oleh si barbar Prim dengan sigaretnya.
People are too eccentric.
Jiya menyeret tungkai menuju alas tidur, lantas berujar final. "Aku butuh istirahat," katanya. Ia melirik Jimin, "Jimin, jika tidak keberatan, bisa nyanyikan lagu sebagai lulabi?"
Hal esensial, meski banyak orang eksentrik yang mengganggu predestinasi Jiya, Jiya masih memiliki Jimin yang kapabel mengabolisi kerusuhan.
"Sebagai kakak yang baik, aku akan melakukannya."
Jiya is nothing, but she has a precious treasure, Jimin.
[TBC]
vokabulari asing:
mi corazon: my sweetheart.
su majestad: your majesty.
pokoknya, your majesty adalah ciri khas taehyung, same as sinatra. perkara kata asing, all of them are spanish. secara kebetulan taehyung adalah mahasiswa major bahasa spanyol.
anw, ini belum apa-apa. sampai jumpa! /kedipan netra taehyung/
p.s. masih terinfluensi euforia dari permission to dance.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top