Awal Yang Tak Menyenangkan
Langit mendung siang itu. Tak ada secercah cahaya mentari sedikit pun, awan hitamnya benar-benar pekat. Rintik hujan terus turun tanpa henti, membentuk genangan-genangan kecil di daratan. Suasana hari itu benar-benar sendu, sama seperti atmosfir yang menyelimuti Keluarga Nishimura.
Orang-orang sekitar, kerabat dan para rekan sejawat berdatangan dengan memakai pakaian berwarna hitam. Sedu tangis terdengar, bisik doa teredam dengan segala ghibah mereka yang tak tahu apa-apa. Bau dupa tak tercium, tertutup dengan parfum yang dikenakan para pelayat. Daripada melayat, orang-orang berbaju hitam itu tampak lebih seperti menghadiri acara-acara pertemuan. Tak ada duka terpancar, hanya formalitas untuk menjaga citra di masyarakat.
Mata birunya dapat melihat semuanya dengan jelas. Cara bagaimana mereka memandang ke arah peti mati di ujung ruangan, cara bagaimana mereka menatap ke arah foto saudaranya yang berkalung bunga krisan dan cara bagaimana mereka melihat dirinya yang kini duduk di kursi roda, ia melihatnya dengan sangat jelas. Orang-orang bergaun dan berjas hitam itu tampak senang, bahagia akan apa yang terjadi hari ini.
"Kasihan sekali, dia mati saat masih naik daun."
"Setidaknya, halangan kita menghilang satu bukan? Hahaha."
"Lihat gadis yang duduk di kursi roda itu? Kasihan sekali, bukan?"
"Iya. Mereka bersaudara, 'kan? Kudengar, dia baru saja lulus seleksi idol."
"Eh?! Benarkah?! Berarti, seharusnya dia akan debut dong?"
"Hm. Tapi, dilihat dari kondisinya sekarang yang buntung, mungkin dia akan gagal debut. Aku sedih untuknya, tapi aku juga senang. Dia sangat membahayakan untuk karirku."
"Yah, dia penyanyi dan penari yang baik, selain itu penampilan fisiknya juga cantik sekali. Aku tak heran jika kau merasa lega dia gagal debut."
"Nishimura bersaudara tidak akan lagi menjadi halangan di jalan kita."
Gadis yang mendengar bisikan-bisikan samar itu hanya bisa menggenggam cakra kursi roda sambil menggigit bibir, berusaha untuk tidak menangis. Namun gagal, air mata yang tertahan di pelupuk mata kini telah turun dan membasahi pipi porselennya. Bukan hanya karena kematian sang kakak, tetapi juga karena ucapan-ucapan kejam sepelan angin yang tertangkap oleh telinga.
Mereka dengan santainya menyerukan kegembiraannya seakan tak ada yang mendengar, bukankah itu sangat tidak sopan? Mengakui bahwa mereka sama sekali tak merasa berduka seakan tak ada yang mendengar ... apa mereka benar-benar memiliki hati? Shiori tak habis pikir akan kelakuan orang-orang semacam mereka.
Seorang laki-laki bersurai cokelat memasuki ruangan, mata hijaunya memandang sekitar. Tak jauh dari peti mati, ia mendapati seorang gadis yang familier tengah menangis di sana. Pria itu pun segera menghampirinya, menggenggam pegangan kursi roda yang ada di kedua sisi belakang sandaran.
"Ayo keluar, Nishimura. Kita cari udara segar sebentar," tawarnya lembut yang langsung dibalas dengan anggukan oleh si pemilik nama.
Setelah itu, keduanya pun meninggalkan ruang tamu yang penuh sesak akan pelayat, pergi menuju teras dekat taman belakang yang lebih tenang.
Setibanya di sana, Shiori masih menangis. Isakan terus lolos dari bibirnya tanpa henti, memecah keheningan di taman berukuran sedang itu. Laki-laki yang mengantarnya keluar tadi memandangnya dengan tatapan iba, merasa kasihan akan nasib yang menimpa anak di hadapan.
Ia mengeluarkan sapu tangan dari saku jas dan menyerahkannya pada Shiori. "Silahkan."
Gadis itu berhenti menangis sejenak dan memandang lelaki yang memberikannya sapu tangan dengan pandangan berkaca-kaca. Tangan mungilnya meraih kain polos berwarna putih tersebut dan mulai mengusap air matanya.
"T-Terima kasih, Masayoshi-san," ujar Shiori di antara isak, lalu mengeluarkan ingusnya ke sapu tangan tersebut dan mengelapnya. Menyadari apa yang baru saja dilakukannya, ia segera menoleh ke arah si pemilik sapu tangan dan tersenyum canggung. "Maaf, saya malah membuat sapu tangan anda kotor."
Masayoshi menggeleng. "Tidak apa-apa, pakailah saja."
"Terima kasih," ucap Shiori lagi yang hanya dibalas dengan dehaman singkat oleh pria bersurai cokelat itu.
Kedua mata biru Shiori memandang langit yang masih menurunkan hujan. Angkasa masih gelap dengan para mega keabu-abuan yang memenuhi bumantara, tak ada secercah pun cahaya mentari yang menembus deretan gumpalan kapas tersebut. Walau pun cuacanya tampak seperti latar di film tragedi, entah mengapa sang puan merasa lebih tenang berada di sana daripada berada di antara kerumunan orang-orang bertopeng di ruang tamu.
"Nishimura--"
"Panggil saja Shiori, Masayoshi-san," sela Shiori tanpa memalingkan wajah, bibirnya mengulas senyum tipis dan terkekeh. "Saya dan Kakak memiliki nama marga yang sama. Orang-orang akan mengira Kakak saya bangkit dari kubur jika anda masih memanggil saya dengan nama marga."
Mendengar ucapan dari gadis itu membuat Masayoshi langsung berdeham. "Maaf, aku lupa jika marga kalian sama ... Shiori."
"Tidak masalah," jawab sang hawa berambut hitam dengan halus. Padahal aku hanya mengatakannya sebagai candaan gelap. Masayoshi-san benar-benar tidak bisa diajak bercanda.
"Kembali ke topik utama. Aku mempunyai tawaran untukmu."
Shiori lantas memiringkan kepalanya ke samping, raut wajahnya bertanya-tanya. "Tawaran?"
Masayoshi mengangguk. Reaksi itu dibalas dengan torehan senyum tipis oleh sang puan, tatapannya kembali beralih ke langit yang masih berwarna kelabu.
"Sebaiknya, kita lanjutkan obrolan ini setelah prosesi pemakaman Kakak selesai, Masayoshi-san." Shiori menoleh ke arah pria jangkung yang berdiri di sebelahnya, bibir merekahkan senyum cerah. "Sekarang, mari kita kembali ke dalam. Saya yakin para tamu telah menunggu kita saat ini."
Sang pria bersurai cokelat pun menanggapi ajakan tersebut dengan anggukan singkat. Kedua telapak tangan besarnya meraih pegangan yang ada di belakang senderan kursi roda Shiori, mendorongnya ke arah ruang tamu― tempat dilaksanakannya upacara berkabung.
Tak ada kata terucap dari keduanya, membiarkan suara kursi roda yang bergesekan dengan lantai mengisi sunyi.
☆.。.:* .。.:*☆
Scroll to continue
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top