Part 4
Menginap semalam di hotel, pagi ini kami telah bersiap-siap untuk pulang. Kami akan pulang ke kediaman Mahendra.
Jujur saja aku sedikit gerogi saat akan ke sana. Karena selain pertama kali di sana, aku nantinya akan mempersiapkan diri agar beradaptasi dengan baik.
Aku lihat Mas Langit sudah rapi. Diri ini hanya tersenyum tipis melihat dia memakai masker dan kaca mata. Sepertinya Mas Langit belum percaya diri, atau malah sudah kebiasaannya dia menutup wajahnya.
Sepertinya, aku harus berusaha membangun kepercayaan diri suamiku supaya dia tidak merasa minder lagi.
"Mas Langit, tak usah pakai kaca mata, ini malah lebih baik," kataku sambil mendekatinya.
Rambutnya yang lumayan panjang kusibak di belakang. Kaca matanya aku lepas dan sepasang mata abu-abu yang begitu menawan terlihat jelas di mataku.
Tinggi badan kita sangat kentara perbedaannya. Aku hanya sebatas dadanya, sehingga apa yang aku lakukan tadi, aku harus berjinjit dulu.
Tubuh Mas Langit yang tinggi dan kekar, aku terlihat begitu mungil jika di sandingkan.
"Apakah ini lebih baik?" tanyanya ragu. Sepertinya suamiku tak nyaman.
"Iya, Mas. Cukup masker ini saja." Karena aku agak posesif kali ini. Aku tak mau, waktu keluar dari hotel, seseorang atau malah wanita menatap Mas Langit penuh memuja.
Cukup aku saja, sebelum benar-benar memperlihatkan kesempurnaan Mas Langit ke orang-orang yang menghinanya.
Tentu saja Mas Langit harus benar-benar percaya diri.
"Aku malu."
"Kenapa malu?"
"Karena aku buruk rupa."
Aku menghela napas mendengarnya. Berapa kali aku bilang padanya bahwa dia tampan. Tapi aku juga tak bisa menyalahkannya karena Mas Langit sudah minder.
"Mata mereka buta. Kamu tampan, Mas. Percaya sama aku." Aku tersenyum ke arahnya.
Akhirnya Mas Langit tak memakai kaca mata. Meski aku bisa membayangkan, betapa kerennya Mas Langit memakainya. Hanya memakai masker saja, Mas Langit juga keren. Apalagi rambutnya dibuat ke belakang dan tidak di depan.
Menuju ke kediaman Mahendra. Kami dijemput oleh sopir. Ternyata Mas Langit lah yang menghubunginya. Selama diperjalanan, aku hanya memandang luar di balik jendela. Jalanan begitu ramai kendaraan, hingga beberapa kali kami terkena macet.
Hingga tak lama kemudian mobil terhenti di rumah besar. Ini bukan rumah, melainkan mansion. Tidak mengherankan juga karena kekayaan keluarga Mahendra tak bisa dihitung dengan jari.
"Besar," lirihku mengaguminya.
"Aku bisa membelikan yang lebih besar dari ini," kata Mas Langit sambil menatap ke arahku.
Ternyata, suamiku mendengar ucapan lirihku. Aku juga tersenyum ke arahnya sambil menggeleng.
"Aku lebih suka rumah sederhana. Akan sangat merepotkan jika aku membersihkannya seorang diri," kekehku, tertawa untuk bermaksud bercanda.
Kening Mas Langit tampak mengerut. Entah apa yang dipikirkannya.
"Apa kamu sering membersihkan rumah?" tanyanya.
Dengan bodohnya aku mengangguk. Lalu membulatkan mata saat sadar bahwa aku membocorkan kebiasaanku di rumah Sanjaya. Apakah Mas Langit membencinya? Bukankah aku sama dengan pembantu.
"Aku... ma-maksudku bukan begitu," takutku.
Aku sudah diwanti-wanti oleh Papa, aku tak boleh mempermalukan keluarga Sanjaya. Dengan pura-pura menjadi anak kesayangannya, tentu saja.
Mas Langit tiba-tiba menggenggam tanganku. Tatapannya terlihat melembut.
"Di sini, kamu akan kujadikan ratu. Sama sekali tak akan kubiarkan kamu mengerjakan pekerjaan rumah seorang diri." Wajahnya kian memerah. Membuat bibirku bergetar menahan senyuman.
"A-apakah kamu percaya padaku?" harapnya dengan wajah kian memerah.
Astaga, betapa manisnya suamiku. Kubalas genggaman tangannya dan mengangguk.
"Aku percaya padamu, suamiku." Malu-malu sekali aku. Moment begitu romantis menurutku.
Tak kusangka, Mas Langit bisa mengatakan hal yang menggetarkan hatiku. Aku percaya padanya. Siapa lagi jika bukan dia yang bisa kupercaya.
****
"Akhirnya kalian datang juga." Mama Hana menyambut kedatangan kami. Aku tersentuh saat beliau memeluk dan mencium kedua pipiku.
Andai, Mama tiriku mau melakukan seperti ini. Aku pasti bahagia sekali.
Mama Hana membawa kami ke rumah. Katanya, barang-barangku sudah di tata sedemikian rupa di kamar Mas Langit.
"Nak, ajak istrimu ke kamar. Nanti siang, kita makan bersama-sama."
"Iya, Ma."
Mas Langit membimbingku menuju ke kamarnya. Aku terpukau melihat kamarnya luas dan aroma maskulin menguar di ruangan
Bahkan, kamar Clara yang menurutku sudah paling luas tak sebanding dengan kamar ini.
"Kamar kamu luas sekali," kataku sambil tersenyum ke arahnya.
Dadaku berdebar saat tangannya terulur mengusap kepalaku. Kenapa Mas Langit suka sekali membuatku salah tingkah?
"Dan kamar ini kamarmu juga." Dan dadaku bertambah berdebar kala mendengar bisikannya.
Tak ingin semakin salah tingkah, aku mencari kesibukan. Dengan melihat pakaianku, mungkin. Tatapanku melihat dress berjejer rapi dan beberapa sepatu hak tinggi di sisi samping sepatu-sepatu milik Mas Langit.
Aku tak nampak bahagia melihatnya, mengingat semua ini bukan milikku. Aku tak mungkin memiliki pakaian mahal seperti ini. Pakaianku pasti lusuh dan norak. Jangankan memakai sepatu hak tinggi, sandal saja aku beli dengan harga sangat terjangkau. Dan aku tak yakin bisa memakainya sedangkan aku sudah terlalu nyaman memakai sandal biasa.
Tapi mengingat Papa tak ingin malu, aku yakin beberapa pakaian ini pasti di beli secara mendadak. Namun, aku tak suka, pakaiannya terlalu terbuka. Sepertinya Mama atau Clara yang memilihnya. Kalau Papa, aku tak yakin beliau mau memilihkannya.
"Apa kamu tak suka pakaiannya?" Ternyata aku melamun sambil menatap pakaianku sendu.
"Kenapa kamu berpikir seperti itu? Itu pakaianku, tentu aku suka." Tentu saja ini adalah kebohongan. Kuharap suamiku tak melihatnya.
Mas Langit maju, tanpa sadar aku mundur. Adegan romantis yang aku baca dari novel terngiang-ngiang di kepalaku. Mas Langit tak menciumku, 'kan? Wajahku merona dan gugup menjadi satu. Singkirkan pikiran kotormu, Senja!
"Kamu lihat ini?" Mas Langit menarik sesuatu di balik pakaian itu. Mataku membulat lebar. Wajahku memerah, namun bukan karena merona. Melainkan aku malu. Bagaimana bisa mereka lupa menghilangkan label pada pakaian itu. Apalagi Mas Langit yang melihat.
"Aaa..." aku tak tahu harus berkata apa.
"Jika kamu tak suka. Kita bisa membelinya sesuai dengan seleramu. Jangan dipakai jika kamu tidak menyukainya."
"Tapi, aku tak memiliki uang."
"Bukankah aku suamimu?"
Bukankah aku suamimu? Kata-kata ini kenapa membuatku terharu?
Kepalaku mendongak, tatapan kami bertemu. Kenapa, kenapa aku merasa Mas Langit yang sekarang adalah pria berbeda saat berada di hotel semalam.
Tak ada sikap malu-malu, melainkan tatapan lembut dan bersungguh-sungguh.
"Terima kasih," kataku, yang entah kenapa aku mengatakan hal itu.
Mungkin karena aku merasa ada seseorang yang benar-benar di sisiku. Karena aku biasanya... sendiri.
****
Ternyata keluarga Mahendra sangat menyenangkan. Apalagi Mama Hana selalu mencairkan suasana. Lagi-lagi aku teringat akan keadaan rumah Sanjaya, di mana kebahagiaan di ruang makan, namun tidak ada aku di dalamnya.
Tidak, Senja. Tak seharusnya kamu mengingatnya. Lihatlah, di sini kamu diterima dengan senang hati. Ada Papa dan Mama mertua melihatmu sebagai keluarga. Ada suamimu sekarang yang duduk di sampingmu. Mereka menerimamu tanpa ada kata tetapi.
"Makanlah yang banyak Senja. Untuk ukuran wanita, kamu terlalu kurus." Mama Hana memberikan beberapa makanan di piring.
Sungguh, aku terharu sekali. Namun, aku tak yakin bisa menghabiskannya.
"Ma, jangan ditambah lagi. Senja akan meledak jika memakan apa yang Mama berikan." Mas Langit mengambil beberapa lauk lalu di letakan di piringnya. Suamiku sangat pengertian dan mengerti tanpa aku berkata padanya.
"Astaga Langit, maafkan Mama. Mama hanya antusias dengan menantu. Kamu tahu sendiri, 'kan, anak Mama hanya kamu saja," ujar Mama Hana pada Mas Langit. Lalu tatapannya terarah padaku.
"Maaf ya, Sayang. Mama hanya senang mempunyai anak perempuan. Mama harap kamu tak menganggap Mama aneh, haha."
Permintaan maaf Mama Hana tentu aku maafkan. Mama Hana tak salah, hanya saja aku kaget dan tak terbiasa mendapatkan perhatian seperti ini.
Aku ingin serakah.
Bolehkah?
Genggaman hangat kurasakan di bawah sana. Kepalaku menunduk, tersenyum tipis kala tanganku dan suamiku saling menyatu. Kubalas genggaman itu. Aku, beruntung memiliki Mas Langit dan keluarga ini.
Aku percaya, badai pasti berlalu. Seperti hidupku tanpa kasih sayang. Lalu sekarang, Tuhan memberikan keluarga yang menerima diri ini yang tak sempurna.
Malamnya, aku dan suamiku berada di kamar sehabis Mama Hana menggoda kami. Aku dan Mas Langit belum membahas malam pertama kami. Dan sepertinya kita tak terburu-buru melakukannya. Namun, jika Mas Langit memintanya, aku pasti tak akan bisa menolaknya.
"Pakailah." Melihat piyama berada di depanku, aku menatap suamiku tak mengerti, awalnya. Tapi setelah dia melanjutkan ucapannya, barulah aku mengerti.
"Aku tahu, tak ada pakain tidur di sana. Kamu bisa memakai piyamaku malam ini untuk sementara. Besok kita membeli pakaian yang kamu suka." Senyum tampan terbit di bibir suamiku. Tatapannya yang hangat, membuatku merasakan euforia.
"Kenapa kamu menangis?" Eh? Mas Langit duduk di depanku, menghapus air mata yang entah sejak kapan keluar. Aku tak merasakannya tadi. Aku jadi malu menangis di depan suamiku sendiri.
"Maaf, aku tidak tahu kenapa begini." Hiks, aku benar-benar malu sekarang. Melirik piyama milik Mas Langit. Aku pun segera menggantinya di kamar mandi.
Piyamanya sangat besar. Bahkan atasannya saja sampai sepaha. Aku tak yakin celananya nanti pas. Pasti kepanjangan dan melorot.
Namun, tak mungkin 'kan aku memakai seperti ini. Hanya atasan saja? Tanpa sadar aku menggigit bibirku sambil bermondar-mandir.
Hah, pada akhirnya aku hanya memakai atasannya saja. Karet celananya tak mau melingkar di pinggangku yang kecil. Tapi mengingat perbedaan tubuh kami sangat jauh, tak mengherankan ini akan terjadi.
"Tak apa-apa, Senja. Kamu tak memakainya, bukan berarti kamu berniat menggoda suamimu."
Pelan-pelan membuka pintu kamar mandi. Kulihat suamiku duduk di ranjang sambil memangku laptop. Eh, laptop? Sepertinya dia sedang bekerja. Dan kini kesempatanku naik ke ranjang tanpa suamiku melihat keadaanku.
"Sudah selesai?"
Ah, aku meringis kecil. Padahal sudah yakin jalan kakiku yang menjijit tak membuat Mas Langit tahu. Tapi ternyata, tetap ketahuan. Dia meihat keberadaanku.
"Sudah, Mas."
Malu rasanya melihatku dengan tatapan tak bisa aku mengerti.
Eh, kenapa Mas Langit mendekat?
.....
12/09/22
PART SELANJUTNYA ADA DI PLAYSTORE ATAU PLAYBOOK.
THANKS YOU.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top