Part 3

Malam pertama.

Dua kata yang sangat mendebarkan. Sebuah pernikahan tidak akan terasa sempurna, bila malam pertama tak terjadi pada sang pengantin.

Namun, aku sama sekali tak memikirkan sampai ke sini. Bukankah nanti akan terasa canggung jika aku dan Mas Langit menyempurnakan pernikahan kami.

Saat ini, aku dan Mas Langit berada di hotel bintang lima. Hotel yang pemiliknya masih dalam keluarga Mahendra. Mama Hana yang mengatakan kalau aku dan Mas Langit membutuhkan waktu berdua di kamar hotel ini. Bahkan, Mama Hana menggodaku tentang keinginannya yang ingin segera memiliki cucu.

Syok, tentu saja. Tapi aku hanya tersenyum sopan dan menutupi wajahku yang memerah agar Mama Hana tak semakin menggodaku.
Kami gantian ke kamar mandi.

Dan aku sudah mandi tinggal menunggu Mas Langit keluar dari kamar mandi. Aku deg-degan, rasa penasaran kian bertambah, apalagi hanya ada kita berdua di sini. Apakah Mas Langit memperbolehkan aku melihat wajahnya. Tanpa tertutup seperti saat kita tadi menikah.

Hingga aku mendengar suara pintu kamar tebuka. Segera saja aku menolehkan kepala, agar melihat wajahnya. Namun, rasa kecewa tiba-tiba menyeruak. Mas Langit masih menutupinya dengan masker dan kaca mata hitam. Hanya saja, rambutnya yang basah memperlihatkan keningnya.

Aku merasa kecanggungan dari Mas Langit. Apa aku terlalu terburu-buru? Harusnya aku memakluminya, 'kan. Kita berdua dua manusia yang tidak kenal dan disatukan.

"Mas," panggilku pelan. Meski aku tidak dekat dengan pria manapun, sepertinya aku juga tak bisa terlalu pasif dengan Mas Langit, suamiku. Jika kita sama-sama canggung, mungkin saja kita tak akan dekat.

Akhirnya dengan keberanian diri, aku menghampirinya, memegang tangannya, lalu menariknya ke arah ranjang berada. Kami duduk di tepi ranjang, dan bersyukur Mas Langit tak menyentak tanganku.

"Bagaimana kalau kita berkenalan seperti teman? Namaku Senja." Memperkalkan diri seperti pertama kali bertemu, aku mengulurkan tangan kananku tanda bersalaman.

Awalnya ragu namun Mas Langit membalas tanganku dan mengatakan namanya.

"Langit," katanya. Suaranya besar dan serak. Sampai aku merinding dibuatnya. Tangan Mas Langit sangat besar, sangat pas di tanganku. Aku... tak mau tautan kami terlepas.
Hening.

Setelah perkenalan, hanya ada suara hening di kamar ini. Mas Langit seperti tak ingin bersuara dan aku memikirkan apa selanjutnya yang kita bahas.

Ternyata, tak semudah untuk membangun sebuah percakapan. Aku, bingung.
"Kamu, apakah kamu tak menyesal menikah denganku?"

Kepala ini langsung menoleh saat Mas Langit bertanya hal seperti ini. Menyesal? Untuk apa?
"Tidak, Mas. Dan kamu, apakah kamu menyesal?" tanyaku balik.

Tatapan kami bertemu. Meski dia memakai kaca mata, entah kenapa aku tahu kita saling memandang.

"Tidak, tapi aku takut kamu akan membenciku," ujarnya terdengar sendu.

"Kenapa harus?"

"Apakah kamu tak mendengar beritaku? Aku pria buruk rupa. Perempuan manapun tak mau menikah denganku."

Aku menggelengkan kepala.
"Jangan katakan hal seperti itu," kataku pelan. Sangat sakit saat dia mengatakan hal seperti itu.

"Papa menjodohkan aku dengan anak perempuan teman Papa, namun sebelum bertemu mereka langsung menolakku. Makanya aku cukup terkejut ketika kamu menerimanya. Apakah kamu dipaksa oleh orang tuamu?"

"Aku sama sekali tidak dipaksa. Aku bukan mereka, Mas. Aku akan menerima segala kekurangan dan kelebihan kamu. Begitu juga kamu, Mas. Jadi, jangan mengatakan hal yang akan membuatmu sakit hati."

"Benarkah? Kamu akan menerima kekuranganku?" Suaranya terdengar bahagia. Apakah suamiku sepolos ini? Sangat menggemaskan.

"Iya." Tentu saja aku mengangguk sambil tersenyum lebar. Mas Langit menggenggam tanganku sangat erat, namun sama sekali tak menyakitiku.

"Lalu, bisakah aku melihat wajahmu? Di sini hanya ada kita berdua," ucapku lembut.
Menatapnya penuh harap. Akan sangat baik jika kita tak saling tertutup seperti ini.

"Aku..." Mas Langit sepertunya ragu. Aku pun terus membujuknya. Tapi, jika dia tak mau, aku tak bisa memaksanya.
Tidak akan baik jika terus membujuk namun terdengar memaksa.

"Jangan terkejut, jangan menjauh setelah kamu melihat wajahku," pintanya memelas.

Aku terkekeh mendengarnya. Tentu saja tidak akan. Begitu yakinnya aku.
"Tidak akan."

"Berjanjilah." Mas Langit memberikanku jari kelingkingnya. Aku yang paham menautkan jari kelingking kami.

"Bolehkah aku yang melepasnya?" harapku diangguki Mas Langit.

Deg-degan lagi kurasa. Tanganku terulur melepas kaca mata lalu masker hitamnya. Mataku membulat, terkejut melihat wajahnya dan terjungkal ke belakang. Tingkah yang memalukan, aku meringis kecil.

"Benar, 'kan kalau kamu terkejut melihat wajah burukku." Mas Langit membelakangiku dan menunduk dalam.

"Tak ada yang bisa menerima aku. Aku jelek dan buruk rupa. Semua perempuan akan jijik padaku. Dan kini kamu akan begitu."

"Mas..."

"Jangan katakan apa pun, aku tahu aku buruk rupa. Semua itu kenyataannya. Aku... malu memperlihatkan wajahku padamu."

TIDAK! Bukan ini yang aku harapkan. Mas Langit, kenapa kamu begitu rendah diri. Kenapa kamu bisa berpikir seperti ini?!

"Aku memang tak pantas dicintai."

CUKUP! Kurasa sudah cukup. Bisa-bisanya dia berpikir seperti itu tentang dirinya sendiri.
Aku peluk dia dari belakang sambil mengatakan semua baik-baik saja. Bahwa Mas Langit tak boleh berpikir negatif tentang dirinya dan harus percaya diri.

SUAMIKU TIDAK JELEK. Itu kenyataannya!
Pindah di depannya, aku menatapnya lembut. Kutangkup kedua pipinya agar mata kami bertemu.

"Bagaimana bisa kamu berpikir jika kamu buruk rupa?" tanyaku pelan supaya tak menyakitinya.

"Bukankah itu kenyataannya?" Aku menggeleng. Menolak gagasan itu.

"Tidak sama sekali."

"Ibuku yang mengatakannya."

"Ibu? Mama Hana?" Kini Mas Langit yang menggeleng.

"Ibuku, ibu kandungku. Ibu bilang, wajahku mengerikan, tak enak dipandang sehingga aku harus menutupinya. Dan menjauh dari keramaian."

Astaga, bagaimana bisa seorang ibu mengatakan hal seperti itu. Meski Mas Langit sudah berusia matang, kulihat ada sisi yang seperti anak kecil.

Tanpa bertanya lebih, aku tahu Mama Hana bukan ibu kandung Mas Langit. Tapi melihat sikap Mama Hana, beliau wanita yang penuh kasih.

"Setelah Ibu pergi untuk selamanya, Papa membawaku bersama keluarganya. Mama Hana bukan ibu kandungku, namun dia menyayangiku layaknya anaknya sendiri," jelas Mas Langit yang ternyata tanpa kupinta mengatakan sendiri.

"Mas, ingatlah satu hal. Kamu sama sekali tidak jelek, tidak buruk rupa. Kamu tampan." Ini adalah pernyataan jujur dari hatiku.

Jika Mas Langit buruk rupa, bagaimana dengan pria-pria yang pernah aku lihat dan juga teman kencan Clara? Bahkan mereka tak ada seperempat dari Mas Langit.

Kenapa Mas Langit bisa menganggap dirinya jelek, jikalau dia saja sangat sempurna.
Dia pria tertampan yang aku temui. Wajahnya seperti Papa Jordan, namun sepertinya ada campuran dari mendiang ibu kandung Mas Langit.

Alisnya tebal, hidungnya mancung, rahangnya tegas. Bibirnya tak tipis dan tidak tebal, berwarna merah alami. Dia sempurna, ada tahi lalat kecil menghiasi di bawah matanya dan juga di dagunya.

Bagaimana bisa ini dikatakan JELEK!!
Entah mau menangis atau tertawa diri ini.
Harusnya aku bisa menduga dari postur tubuh sempurnanya.

"Benarkah? Kamu tak takut padaku?"
"Tentu saja. Kenapa harus takut. Kamu tampan, tak menakutkan. Percayalah."
Aku bisa menebak, jika Clara melihat wajah asli Mas Langit, pasti dia tak akan menolak dan menyesalinya.

Haruskah aku bersyukur ketika Clara menolak keras, yang menjadi istri Mas Langit adalah aku.

Aku ingin Mas Langit tak dilihat oleh wanita manapun. Tetapi, jika aku melakukan hal itu, pasti menyakiti Mas Langit. Aku ingin suamiku percaya diri tanpa rendah diri. Dia tampan, tidak buruk seperti kabar burung.

Rumor hanyalah rumor. Jangan percaya jika kamu tidak melihatnya sendiri.
"Jadi, kamu tak akan meminta cerai?"

"Tidak."

"Terima kasih," katanya pelan. "Terima kasih telah menerima kekuranganku." Aku terkejut saat Mas Langit memelukku.

Membalas pelukannya adalah hal yang kulakukan saat ini.
"Aku harap Mas Langit juga menerima kekuranganku," bisikku pelan masih di dengar olehnya.

"Ya. Akan kulakukan."

****

Tak ada malam pertama untuk malam ini. Tapi kurasa ini adalah hal yang terbaik. Kita masih tahab berkenalan layaknya teman, meski kenyataannya kita adalah suami dan istri.

Suamiku, Mas Langit, aku tak menyangka bahwa dia akan sepolos itu. Aku hampir tertawa melihat kecanggungannya ketika kami dalam satu ranjang.

Di sini, aku malah merasa aku menjadi wanita tak punya malu. Aku seperti wanita yang agresif karena suamiku yang pasif.

"Kenapa kamu melihatku seperti itu?" tanya Mas Langit saat memergokiku menatapnya penuh binar.

"Apakah tidak boleh?" tanyaku balik dan mendapati gelengannya.

"Aku hanya mengagumi ketampanan suamiku. Aku bersyukur yang menhadi istriku adalah aku. Bukan wanita lain." Perkataanku terdengar lebay dan menggombal sekali. Tapi inilah kenyataannya. Aku mengagumi ketampanan Mas Langit yang tak pernah aku duga.

Seolah, permata yang telah disembunyikan dengan rumor-rumor tak mendasar dan tanpa ada bukti nyata. Dan orang-orang pun mempercayainya tanpa membuktikannya sendiri.

Wajah Mas Langit memerah dan terlihat lucu. Astaga, kenapa Mas Langit terlihat menggemaskan?

"Mas," rengekku sambil mencubit kedua pipinya. Apalagi wajahnya bertambah memerah.

Hah, aku tak menyangka akan bersikap seperti ini. Di mana kah sikap lembutku, lemahku, dan maluku? Kenapa seolah sikap itu menghilang di depan Mas Langit.

"Apakah aku benar-benar tampan?" tanyanya malu-malu.

"Iya, itu benar sekali." Anggukku.
Jarak antara kami sekarang sangat dekat. Mas Langit sepertinya lupa dengan kecanggungannya tadi.

"Entah kenapa, aku bahagia mendengarnya."
Mata kami bertemu, tanganku terulur membelai wajahnya dari pelipis ke rahangnya. Mata abu-abu Mas Langit terlihat indah, menambah kian ketampanannya.

Tanganku semakin nakal saat Mas Langit memejamkan matanya. Menelusuri wajah Mas Langit yang indah dan sempurna. Aku... apakah aku pantas bersanding dengannya?
Dia terlalu sempurna untukku yang seperti upik abu.

"Senja, kamu cantik."

Deg.

Jantungku berdebar, wajahku memanas. Pujiannya menggetarkan hatiku. Senyumku mengembang dan tanpa kusadari, aku memeluknya.

"Terima kasih, kamu orang pertama kali mengatakan jika aku cantik," haruku.

"Kamu juga. Orang kedua yang mengatakan jika aku tampan setelah Mama Hana."
Mas Langit, mari kita obati luka kita bersama-sama. Kamu dan aku.

.....
12/09/22

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top