Part 2
Tidak aku sangka hari demi hari telah berlalu. Hari pernikahan sudah tepat di mata. Mataku terpejam ketika sapuan make up menghiasi wajahku. Dan baru kali ini, aku memakai gaun pengantin yang begitu indah. Tanpa bekas dari Clara.
"Sudah selesai, betapa cantiknya dirimu," pekik bahagia perias pengantin. Seolah telah menciptakan mahakarya begitu indah.
Kutatap pantulan diriku dalam cermin. Rambut di sanggul rapi dengan anak rambut dibiarkan nakal di sisi wajah. Sapuan make up yang sama sekali tidak tebal, terlihat seperti natural degan bibir di poles warna merah muda.
Aku, cantik.
Tidak kusam seperti biasanya. Wajahku sangat cantik dan indah. Tidak apa-apa, 'kan ketika diri ini memuji diri sendiri.
"Calon suamimu pasti akan terpukau dengan kecantikanmu," puji sang perias sambil membereskan alat-alat make upnya.
Aku hanya tersenyum. Rasa berdebar semakin tak karuan. Jantung terus berpacu semakin cepat kala Papa sudah berada di depan pintu.
Jangan menangis Senja, kamu wanita kuat. Ini... pertama dan terakhirnya aku memegang tangan Papa. Melingkarkan tanganku ke tangannya. Papa, mengantarku ke arah pemberkatan akan dilaksanakan.
Rasa haru menyeruak di dada, meski aku tahu Papa terpaksa menggandengku. Tapi aku bahagia hari ini. Mengulas senyum sebaik mungkin agar aku terlihat bahagia. Meski pada akhirnya aku masih melihat tatapan dan ucapan orang-orang yang mengasihaniku karena menikah dengan pria buruk rupa.
JANGAN MENGASIHANIKU! jeritku dalam hati namun bibir ini terkatup rapat. Mencoba mengabaikan orang-orang jahat itu dan menganggap hanya angin lalu.
Dan kini, tatapanku tertuju pada pria yang memakai jas putih, senada dengan gaunku. Tubuhnya tinggi dan tegap. Namun aku tak dapat melihat wajahnya. Wajahnya tertutup rapat. Kaca mata hitam menghiasi matanya, masker hitam menutupi separuh wajah. Bahkan dahinya tertutup rambut yang panjang.
Itu semua terlihat aneh. Namun aku tahu, kenapa dia melakukan hal seperti itu. Sesampai di depannya, aku cukup terkejut melihat uluran tangannya. Tanganku bergetar saat menerima uluran itu. Begitu pas dan juga... HANGAT.
Kami sudah berada di depan pendeta. Tautan tangan kami tak terlepas. Sampai pendeta memulai pemberkatan kami. Hingga dada ini terus berbedar hebat.
"Hari ini, di sini, di tempat ini. Seorang pria dan wanita akan menjadi pasangan suami dan istri. Apakah kalian berdua berjanji saling menyayangi dan mencintai satu sama lain."
"Saya berjanji," jawab Mas Langit dengan suara terdengar tegas. Atau hanya perasaanku saja.
"Saya berjanji." Dan kali ini adalah jawabanku.
"Sekarang, kalian bertukar cincin sebagai tanda cinta." Kami bertukar cincin dan begitu pas di jari manis kami. "Dengan ini kalian berdua telah sah menjadi pasangan suami dan istri. Silakan mempelai pria mencium mempelai wanita."
Entah kenapa tatapan kami seolah bertemu. Jantungku terus berpacu cepat, apalagi saat pria di depanku alias suamiku memajukan wajahnya. Mataku terpejam, begitu siap mendapat ciuman darinya.
Tubuhku tersentak, rona merah menjalari seluruh wajahku. Bukan ciuman di bibir, akan tetapi kecupan di kening namun membuatku merasakan perasaan asing yang menyeruak keluar. Dan aku menjadi salah tingkah. Untuk pertama kalinya, seorang pria menyentuhku, dan dia adalah SUAMIKU.
****
Tidak ada acara repsepsi di pernikahanku. Hanya pemberkatan saja. Namun aku tak mempermasalahkan itu semua. Yang aku inginkan hanyalah pernikahan sakral, hingga aku dan suamiku akan hidup bersama sampai tua nanti. Saling percaya dan mengasihi. Dan pasti kita akan saling setia. Itu keinginan semua orang, termasuk diriku.
Jantungku berdetak cepat, apalagi aku berhadapan dengan kedua orang tua Mas Langit. Senyum hangat terpatri di bibir Mama mertua dan senyum tipis terpatri di bibir Papa mertua.
Rasanya canggung, pertama kalinya aku melihat keluarga Mahendra. Aku hanya pernah mendengar jikalau keluarga Mahendra adalah keluarga kaya raya dengan perusahaan bercabang di mana-mana.
Bagaimana lagi, pernikahanku dengan Mas Langit tidak ada acara lamaran sehingga tak pernah bertatap muka dengan keluarga Mahendra.
"Namamu, Senja? Kamu cantik sekali, nak," ujar Mama mertua seraya menggenggam tanganku. Terasa hangat dan tutur kata Mama terdengar mengalun lembut.
Berbeda dengan mama tiriku yang sama sekali tak pernah berkata lembut padaku. Membuatku kian terharu dengan sikap Mama mertua.
"Terima kasih, Ma," sahutku pelan namun masih bisa di dengar oleh mereka.
"Selamat datang dikeluarga Mahendra. Semoga kamu betah dalam keluarga kami." Aku hanya mengangguk sopan ketika Papa mengucapkan itu.
Hingga Mama mertuaku yang kuketahui bernama Mama Hana, memberiku sebuah gelang indah di pergelangan tangan kananku. Entah kenapa terasa sangat pas, seolah memang khusus untukku.
"Harganya memang tidak seberapa, Mama harap kamu menyukainya."
Gelangnya memang terlihat simpel, namun aku tahu bahwa harganya tak semurah itu. Apalagi Mama Hana adalah desaigner terkenal dan memiliki toko perhiasan terbesar di kota A.
Bagaimana bisa aku tahu, aku pun mencari tahu di internet. Sayangnya, wajah suamiku sama sekali tidak diperlihatkan. Begitu juga dengan sekarang.
"Terima kasih banyak, Ma. Senja sangat menyukainya."
Aku lirik Mas Langit yang seperti menjaga jarak denganku. Apa ada yang salah? Apakah Mas Langit tidak menerima pernikahan ini? Memikirkannya kian membuat hati ini sedih.
Namun, aku harus memaklumi, bagaimanapun kita tidak pernah berrtemu sebelumnya. Ketika dua insan tak pernah bertemu lalu dipersatukan, pastinya akan seperti ini, bukan?
Pelan-pelan saja. Kurasa nanti kita akan dekat.
Sejujurnya, aku penasaran dengan wajah suamiku. Seburuk rupa seperti apa sehingga tidak melepas masker dan kaca matanya. Padahal, aku tidak mengapa, aku akan menerimanya dengan sepenuh hati. Bagiku, fisik tak penting, yang pasti suamiku akan menerimaku dan mencintaiku tanpa ada kata tetapi.
Mama Hana sepertinya mengetahui keresahanku. Terbukti aku merasakan elusan di bahuku ketika aku menatap sendu suamiku yang bersama Papa Jordan.
"Jangan khawatir, dia bukan tidak menerimamu. Langit pria pemalu, Senja," beritahu Mama dan tersenyum lembut.
"Jadi, Mama harap kamu tidak sakit hati ketika Langit menjaga jarak denganmu.
Sebenarnya, dia tak pernah dekat dengan wanita manapun, kecuali Mama."
"Kuharap, Mas Langit menerima Senja, Ma."
"Pasti, kamu cantik. Bagaimana mungkin dia tidak jatuh hati padamu?"
Wajahku merona. Aku tahu Mama hanya menggodaku saja. Tapi, aku harap memang begitu. Hingga Mama pamit ke arah keluarganya yang datang, dan aku pun berjalan ke arah kamar mandi.
"Bukankah cocok, si upik abu dan si buruk rupa bersatu?" Suara terdengar mengejek dan tawa menyembur keluar. Sosok wanita berdiri di belakangku memakai gaun tak kalah mewah dan juga banyak pernak-pernik menghiasi di sana.
Aku hanya berdiri sambil membasuh kedua tanganku. Tanpa berbalik, aku tahu siapa dia. Siapa lagi kalau bukan Clara, adik tiriku.
"Selamat atas pernikahanmu, Kakak. Semoga pernikahanmu sampai tua sampai ajal menjemput." Kata-katanya terdengar bagus dan seperti doa terbaik untuk seseorang. Andaikan tidak dengan nada suara penuh ejekan itu.
Namun, aku hanya tersenyum tipis. Karena sang Ratu di keluarga Sanjaya sangat tidak suka ada yang menantangnya. Sedangkan aku, aku tak mau mencari masalah dan memilih mengalah. Meski pada akhirnya hanya diinjak-injak tanpa ada harganya.
"Terima kasih atas doanya," sahutku tanpa mengendurkan senyuman.
Senyuman adalah yang terbaik, bukan?
Clara berdecih sinis dan menatapku tajam. Sudah biasa, aku tidak kaget lagi dengan sikapnya ini. Papa dan Mama selalu memanjakannya, sehingga tak hanya di rumah, di luar pun dia akan bersikap semena-mena.
"Aku bersyukur kamu lah yang menjadi istrinya. Kalian cocok sekali. Aku tak bisa membayangkan akan hidup bersama orang jelek. Meski kaya, buat apa punya suami jelek. Itu membuatku jijik."
Aku hanya diam dan terus memberikan senyuman terbaikku. Aku tak mau meladeninya, karena jika itu terjadi, akan menjadi panjang dan aku akan menjadi pihak yang salah. Meski aku merasa sakit hati saat suamiku diperolok olehnya.
"Sudahlah, bicara denganmu hanya membuatku kesal saja." Clara berbalik dan pergi dari kamar mandi. Seolah mainannya tidak menarik untuknya.
Menghela napas pelan, aku pun keluar dari kamar mandi. Sampai pada akhirnya aku melihat Papa yang menghampiriku. Kupikir, akan ada kata-kata mengharukan untuk anak dan Papa, apalagi aku akan pergi dari rumah dan memiliki keluarga baru. Tapi ternyata ekspetasiku tak sesuai dengan kenyataan.
Hampir saja aku meneteskan air mata, dan bersyukur masih bisa kutahan. Meski hati ini terasa sakit, aku mencoba menghilangkannya dan mengabaikan ucapan Papa yang kian menyakitkan.
"Kini kamu sudah menjadi bagian keluarga Mahendra. Jangan mempermalukanku saat kamu menjadi menantu di sana. Jangan sampai kerja sama dengan keluarga mereka terputus karena sikap liarmu di sana. Jika semua itu terjadi, kamu lah yang aku salahkan. Jadilah anak yang tahu diri akan balas budi!"
Inikah aku, di mata Papa?
"Baik, Pa." Hanya ini jawabanku.
"Baguslah kamu sadar diri. Kami menghidupimu bukan secara gratis." Mama tiba-tiba datang, kian menambah sakit hatiku.
Kenapa Tuhan, kenapa mereka tidak bisa menyayangiku seperti menyayangi Clara. Kepergian mereka, tangisku tak bisa kutahan. Dadaku terasa sesak, sampai-sampai aku memukul dadaku supaya sesaknya segera menghilang.
Isak tangis lirih terdengar di bibirku. Rasa ingin menjerit tapi tak bisa aku tumpahkan di sini. Aku merasa, kesepian.
"Ka-kamu menangis?" Suara ini...
Mendongakkan kepala. Mataku menatap pada sosok pria menjulang tak jauh di depanku. Bibirku bergetar dan lagi-lagi tangisan mencoba lolos lagi di mata. Entah keberanian dari mana yang mendorongku untuk mendekat, aku memeluknya, meluapkan emosi bercampur aduk dalam pelukan ini.
Tidak ada balasan darinya, namun itu sudah cukup dengan dia tidak mendorongku yang lancang memeluk tubuhnya. Aku terus melimpahkan tangisan di jasnya.
"Jangan tinggalkan aku, hanya kamu satu-satunya yang kupunya." Mulutku dengan lancar mengatakan itu. Tak ada malu lagi, karena memang Mas Langit lah tempat aku berlindung. Satu-satunya orang dalam keluargaku saat ini hingga nanti.
Aku ingin bergantung dengannya, begitu pula sebaliknya. Sehingga tak lama aku merasakan balasan darinya sampai tubuhku tersentak.
"A-aku ke-keluargamu." Dua kata sederhana namun bermakna untukku. Bibirku tersenyum saat mendengar detakan jantungnya yang bedetum cepat.
"Terima kasih, suamiku." Tubuhnya tersentak meski reaksi itu tak lama. Kami, sama-sama tak pernah dekat dengan wanita atau pria manapun. Aku rasa, kecanggungan kami adalah hal yang wajar.
Mas Langit, aku pasti menerima segala kekuranganmu. Akan aku buktikan bahwa, aku bukanlah wanita yang menilai semua dari fisik.
Kita keluarga sekarang.
Aku dan kamu.
Hanya kita berdua.
....
12/09/22
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top