Part 1
Menjadi anak tidak diinginkan, bukanlah hal yang menyenangkan. Dibedakan, sering diabaikan bahkan sama sekali tak dipedulikan.
Awalnya, aku merasa hal itu sangatlah wajar. Memiliki adik yang diperhatian orang tua kami secara berlebihan, membuatku kala itu berpikir bahwa akulah anak tertua di sini. Harus memaklumi meski sikap mereka sangatlah kentara membedakan kasih sayangnya.
Masih berpikir positif, ketika aku tak boleh melanjutkan sekolahku, setelah lulusan sekolah menengah atas. Bekerja pun, aku tidak boleh. Hanya di rumah, membereskan rumah, segala pekerjaan di rumah selalu aku yang melakukannya.
Dan aku hanya menuruti keinginan kedua orang tuaku, sebagai tanda baktiku sebagai anak.
Aku dan Clara, adik tiriku, hanya terpaut satu tahun. Aku tak pernah merasa iri saat orang tua kami memberikan apa yang adikku inginkan. Bahkan, aku harus terima dengan hati lapang disaat aku hanya diberi pakaian bekas adikku.
"Karna tubuh kamu lebih kecil dari Clara! Bersyukurlah kamu dapat bekasnya!"
Mama selalu mengatakan hal seperti itu, saat aku mengatakan bahwa aku ingin pakaian baru. Papa yang melihatnya hanya diam saja, melirik sekilas lalu bersikap acuh tak acuh.
Semua itu aku masih menganggapnya wajar, tak ingin membuat mereka marah, aku pun akhirnya tak meminta apa-apa. Yah, harusnya aku bersyukur masih memakai pakaian meski semua itu bekas dari adikku.
Tak apa, aku sebagai kakak haruslah mengalah.
Seperti aku yang hanya tamat SMA, sedangkan adikku melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Hingga suatu fakta mengejutkanku. Bahwa, aku anak yang sebenarnya tidak diinginkan. Anak haram dari papaku bersama wanita lain.
Papa terpaksa merawatku karena aku masih darah dagingnya. Orang yang kuanggap sebagai Mamaku, bukanlah Mama kandungku.
Semua terasa menyakitkan saat mendengar fakta itu. Bahwa aku bukanlah siapa-siapa dalam keluarga ini. Aku menjadi tahu, kenapa sikap mereka kepadaku dan pada adikku sangatlah berbeda. Kasih sayangnya, perhatiannya, bahkan tatapan mereka tidak pernah lembut padaku. Karena aku hanyalah anak haram dalam keluarga ini.
Aku hanyalah benalu di rumah ini.
****
"Aku tidak mau menikah Pa! Apalagi sama pria itu!" jerit Clara terdengar di penjuru rumah.
"Jika kamu tak ingin menikah dengan keluarga mereka, perusahaan kita akan bangkrut, Clara!" Papa tampaknya geram, terdengar nada suaranya yang ditekankan.
"Bagaimana bisa kamu menikahkan putri kita yang berharga dengan pria buruk rupa seperti dia, Mas! Aku tak mau anakku menderita!" Mama menolak dengan cepat. Mendukung putrinya.
"Itu hanyalah rumor saja! Apa kamu ingin kita miskin, begitu? Kamu sanggup hidup dalam kemiskinan?" tanya Papa kesal.
Mama hanya menggeleng dan menangis. Rasa tak rela ketika putrinya harus menikah dengan pria yang dikabarkan memiliki wajah buruk rupa. Sehingga diusia yang 30 tahun belum menikah.
Itu yang aku dengar dari percakapan mereka. Aku tidak bermaksud menguping, namun suara mereka terdengar begitu nyaring. Aku segera menyelesaikan menyapuku dan pergi dari sini. Aku tak mau disebut lancang telah mendengar percakapan (pertengkaran) mereka.
"Kenapa aku, Pa? Kenapa bukan Senja saja! Dia juga putri Papa!" ucap Clara mengusulkan ide yang amat menghentikan langkahku.
Apa? Aku?
"Benar, Mas. Dia juga putrimu, bukan. Toh, keluarga mereka tak mengatakan kalau Clara lah yang harus jadi pengantin pria itu."
"Iya, Pa. Senja anak tertua dikeluarga ini, 'kan. Mereka tak akan tahu kalau Senja adalah anak haram!" usul Clara sembari tersenyum lebar.
"Aku juga tak mau Clara menikah muda!" tambah Mama.
"Iya, Pa. Aku masih 19 tahun. Apa kata orang, aku menikah diusia muda dan menikahi pria jelek," ketus Clara dan dibenarkan Mama.
Sungguh kata-kata menyakitkan yang harus aku dengar. Anak haram, dua kata yang sangat tak pantas di dengar oleh anak-anak. Siapapun itu. Begitu pula aku. Tak ada di dunia ini, anak adalah anak haram. Orang tua berbuat salah, tetapi yang menjadi bahan jelekan adalah anak itu sendiri. Anak yang tidak tahu apa salahnya, dan tidak bisa memilih terlahir dalam keluarga seperti apa.
"Sudah diputuskan, Mas. Yang menikah bukan Clara, tetapi Senja." Mama sepertinya tidak peduli dengan pendapatku.
Tapi apa mereka peduli? Mau atau tidak, aku harus menurutinya. Aku juga perempuan lemah, tak bisa membela diri, dan hanya bisa pasrah akan keadaan.
Hal itulah, yang aku benci pada diriku sendiri.
Aku terlalu lemah dan tak berdaya.
Malamnya, aku dipanggil oleh Papa untuk datang ke ruang kerjanya. Aku masuk ke sana, dan melihat ada Papa dan Mama di sana.
Dengan lirikan Papa, aku tahu kalau Papa memerintahku duduk di kursi tunggal, tepat di depan Mama dan Papa.
Dipercakapan mereka sore tadi, aku tidak kaget dengan panggilan ini. Aku tahu apa yang akan mereka bahas. Duduk terdiam, sambil menundukkan kepala, aku mendengar Papa berdeham sebelum di serobot Mama.
Pasti Mama tak ingin berlama-lama melihatku. Aku tahu perasaannya, melihat dan tinggal bersama anak suaminya dengan wanita lain, pasti sangat menyakitinya. Dan aku memaklumi meski aku lah yang menjadi imbas dari kesalahan Ibu dan Papa.
"Minggu depan kamu akan menikah. Persiapkan dirimu," kata Mama.
Aku bersyukur, meski Mama membenciku, beliau tak pernah ringan tangan. Hanya ucapannya yang kadang menyakiti hati. Apalagi sejak Mama tahu, jika aku sudah mengetahui posisi apa aku ini di rumah.
"Dengan siapa?" Aku pura-pura tidak mengetahui perihal aku menjadi pengganti adikku yang seharusnya menikah dengan pria itu.
"Keluarga Mahendra. Langit Mahendra. Aku harap, kamu tak mempermalukan keluarga ini setelah menjadi bagian keluarga Mahendra," jelas dan tekan Papa.
"Kamu harus bersyukur karna kami menikahkanmu dengan pria kaya raya," ketus Mama.
Hanya tersenyum (getir) yang aku lakukan saat ini.
"Baiklah, aku akan menikah sesuai kehendak Mama dan Papa. Aku tahu, kalian pasti memberikan hal terbaik untukku." Senyum palsu aku perlihatkan, menahan air mata yang siap akan tumpah. Setidaknya, ini bakti terakhir yang kupersembahkan pada mereka.
Sebelum aku pergi dari kediaman ini.
Aku anggap, hal ini adalah rasa terima kasihku selama 20 tahun mereka yang sudi membesarkanku.
"Bagus, karena aku tak mau mendengar drama penolakanmu. Syukurlah, kamu sadar diri," sarkas Mama namun aku mencoba tak mempermasalahkan itu semua.
"Keluarlah. Hanya itu yang kami bicarakan."
Mengangguk dan beranjak dari kursi, aku mengucapkan selamat malam pada mereka. Hanya deheman Papa yang terdengar sebelum aku benar-benar keluar dari ruang kerja Papa.
Sesampai di kamar, aku menangis tanpa suara. Menerima perlakuan dan perintah mereka tanpa bisa menolak.
Tapi, dengan pernikahan ini, aku anggap balas budi mereka yang membuatku hidup telah lunas.
Meski aku mendengar calon suamiku berwajah buruk rupa, aku akan menerimanya dengan sepenuh hati. Bukan karena dia putra orang kaya. Tapi karena pria itulah yang akan menjadi pendamping hidup dan matiku.
Yang aku harapkan, semoga saja calon suamiku tak malu memiliki istri anak haram.
****
"Senja! Kenapa pakaianku lusuh begini?!" Clata tiba-tiba datang ke arahku dengan wajah merahnya.
"Ada apa, Clara?"
"Lihat, pakaian ini akan aku pakai untuk party, lalu kamu sama sekali tak merawatnya?! Apa kamu tak pecus berkerja!"
"Maaf, akan aku setrika lagi." Padahal, aku ingat kalau pakaian itu sudah aku setrika. Tapi kenapa kusut begitu?
"Huh, dasar pemalas. Setrika sampai licin. Awas kalau sampai ada yg kusut." Melempar pakaiannya ke wajahku, Clara pergi menuju ke kamarnya.
Aku tidak mengerti, kenapa Clara begitu suka dengan pakaian terlalu terbuka begini. Berbeda denganku yang hanya memakai kaos lusuh dan rok selutut. Bekas dari Clara yang terlalu terbuka, aku enggan memakainya.
Aku tak percaya diri dan aku merasa aneh saja saat tubuhku ter-umbar. Toh, aku tak pernah ke mana-mana, hanya di rumah saja dan membersihkan rumah. Akan lucu jika aku memakainya.
Pada akhirnya aku segera menyelesaikan menyapu yang tinggal sedikit. Baru lah aku menyetrika pakaian Clara. Supaya adikku itu tak marah-marah terus.
Seusai menyelesaikan setrika pakaian itu. Aku membawanya ke kamar Clara. Saat pintu di buka, aku terkejut melihat kondisi kamar Clara. Sangat berantakan. Padahal aku membersihkannya dengan rapi tadi.
Rasa lelahku bukannya menghilang, malah bertambah saat pakaian Clara berhambur di segala penjuru kamar. Bagaimana tidak kusut saat Clara memperlakukan pakaiannya seperti ini.
"Jangan hanya melihat, segera kamu bereskan!" Clara yang mengutek kukunya menatap sinis padaku. Menghela napas pelan, aku meletakkan pakaian tadi kusetrika di sisi ranjang. Tanganku dengan cekatan membereskan itu semua.
"Lain kali jangan begini, Clara. Kamu bisa memilihnya tanpa dibuang seperti ini," beritahuku tanpa ada maksud apa-apa.
"Ada kamu yang membereskannya, terserah aku mau kuperlakukan apa pakaian itu. Jangan cerewet, dasar anak benalu."
Sabar, Senja, kamu harus sabar. Clara masih belum dewasa. Kamu yang besar harus memakluminya ya.
Setelah selesai beberes, aku keluar dari kamar Clara lalu turun ke bawah.
Memasak adalah tugas terakhirku. Menjamu kedua orang tua. Kadang aku merasa iri ketika Clara bisa makan bersama dengan mama dan papa. Aku hanya mengamati dalam persembunyian, tanpa bisa bergabung.
Padahal, aku sudah biasa seperti ini. Namun, kadang kala aku juga ingin ikut bersama. Tertawa bersama keluarga, berbagi cerita tanpa ada jarak dalam kekeluargaan.
Ibu, ke manakah engkau berada. Kenapa Ibu meninggalkan aku dalam keluarga ini. Kenapa Ibu tega pergi tanpa membawaku bersamamu.
Sayangnya, aku tak tahu bagaimana wajah ibuku. Seperti apa dia. Jika aku tahu, aku akan mencarinya ke manapun itu. Alamat pun, aku juga tidak tahu. Papa dan Mama sama sekali tidak memberitahukanku.
Atau, Ibu sudah pergi ke pangkuan Tuhan sehingga meninggalkan aku di sini.
Tak ingin merasakan sakit, aku memilih ke kamar dan menenangkan diri. Makan di kamar lebih baik, daripada di dapur, namun aku masih mendengar suara tawa mereka bertiga.
Kuharap, saat aku menikah nanti, aku dan suamiku akan bahagia bersama. Menciptakan keluarga harmonis seperti yang selama ini aku inginkan.
Semoga saja.
....
12/09/22
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top