I. The Impolite Visitor
*+:。.。 。.。:+*
Sang pagi datang usai malam yang begitu panjang. Sang surya tak tampak di langit, seakan enggan muncul dan lebih memilih bersembunyi di balik awan-awan putih musim dingin yang tebal. Kepingan-kepingan putih terus berjatuhan, menghujani lantai balkonnya yang telah terutup oleh salju.
[ Your name] meneguk kopi hitam dari cangkir keramik di tangannya, membiarkan rasa pahit memenuhi rongga mulut. Hitam pekat dan pahit― benar-benar hal yang menggambarkan suasana hatinya hari ini.
Gadis itu memutuskan bangkit dari duduknya lalu berjalan ke arah pintu kaca pemisah kamar dengan balkonnya. Diputarnya knop pintu itu, membukanya sebelum melangkahkan kaki menapak lantai balkon. Rasa dingin langsung menyengat kulit yang hanya dilapisi gaun tidur panjang dan sandal berbulu. Jika salah satu pelayan atau keluarganya mengetahui hal ini, ia pasti akan diceramahi habis-habisan.
Namun, [Your name] memilih untuk masa bodoh dengan kemungkinan tersebut dan terus berjalan hingga ke ujung balkon. Kedua matanya fokus menyapu pemandangan sekitar. Tak ada yang berbeda hari itu. Hanya ada bentala dan pepohonan yang diselimuti salju, juga langit yang terus menghujam bumi dengan kepingan-kepingan putihnya― benar-benar tak ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya.
Beberapa saat kemudian, pandangannya pun jatuh pada orang-orang yang tengah berjalan beramai-ramai menuju ke arah timur. Mereka berjalan dengan riang tanpa pandang usia. Setelah dilihat dengan seksama, mereka juga membawa berbagai hiasan dan dekorasi yang identik dengan natal.
Perempuan muda itu kembali meminum kopi hitam dalam cangkirnya. Usai menelan cairan pekat tersebut, ia bergumam, "Hm, persiapan untuk perayaan malam natal di alun-alun, ya."
Ia memejamkan mata sambil menghela napas. "Lebih baik aku tak ikut saja kali ini," gumamnya.
[Your name] bukannya tak suka menghadiri acara yang ramai seperti perayaan natal, ia hanya merasa tak nyaman menghadiri acara semacam itu tiga tahun terakhir ini. Tatapan penuh harap yang terpancar dari mata para rakyat, kebaikan tulus yang mereka berikan padanya, pujian yang terlontar dari bibir mereka― semua itu membuat sang gadis [h/c] merasa tak nyaman.
Setelah kopi dalam cangkirnya habis, [Your name] kembali ke kamar dan mengunci pintu balkon. Dirinya sudah terlalu bosan berlama-lama berdiri di serambi berselimut salju nan dingin itu. Kehangatan kamar menyentuh kulit bersuhu rendahnya― yang mana membuat ia menghela napas lega karena rasa nyaman yang dirasakan.
Ketukan beruntun di pintu kamar mengintrupsi, membuat [Your name] spontan menegakkan tubuhnya karena kaget.
"[Your name]? Kau di dalam?" tanya suara perempuan yang melengking dari sisi lain pintu kamar. Suara tinggi dengan nada ceria, ia tahu betul siapa pemilik suara ini.
Walau demikian, [Your name] tak peduli. Ia berniat untuk tidak menghiraukan pertanyaan tersebut dan kembali tidur dalam gelungan selimut hangat, terlelap dalam mimpi-mimpi indah yang membuatnya lupa akan realita. Namun, seakan mengetahui gelagatnya, perempuan dari luar kamarnya berkata, "Hei, aku tahu kau di dalam. Cepat buka pintunya."
[Your name] berdecak. Dengan lesu, ia meraih knop pintu kamar dan membukanya. Setelah pintu terbuka dengan iringan bunyi derit yang nyaring, ia mendapati seorang gadis kecil bersurai cokelat yang tengah tersenyum ramah.
"Halo! Lama tak jumpa, [Your name]!" sapanya riang sembari merangkul [Your name] dalam pelukan erat. "Aku sangat merindukanmu, kau tahu!"
"La-Lama t-tak jumpa, Kak Lidya." [Your name] membalas salam dari kakak sepupunya itu sekiranya, mulutnya berusaha meraup oksigen dengan rakus. Pelukan Lidya benar-benar erat hingga membuatnya berpikir bisa mati jika hal ini terus berlangsung.
Beberapa detik kemudian, Lidya akhirnya melepaskan pelukan mautnya― yang mana langsung membuat [Your name] menyebut syukur berulang kali kepada Tuhan. Kedua netra [e/c] miliknya mengikuti gerakan sang sepupu yang langsung menerobos masuk ke kamar dan melihat sekeliling tanpa menunggu persetujuannya.
Sang gadis [h/c] hanya menghela napas dan kembali menutup pintu kamar lalu menguncinya. Lidya merupakan orang yang spontan serta tidak memandang formalitas jika menyangkut soal dirinya, dan [Your name] sudah terbiasa akan hal tersebut.
"Kamarmu sama sekali tak berubah, ya. Masih tetap nyaman dan...," Lidya menghirup napas dalam-dalam sebelum melanjutkan ucapannya, "... Wangi. Aku selalu menyukai aroma kamarmu. Seperti campuran aroma bunga aster dan buah beri dari hutan, aroma yang menggambarkan kebebasan."
Gadis bersurai cokelat panjang selutut itu meraih sebuah sebuah buku dari rak baca di kamar [Your name], menolehkan kepalanya ke samping dan melirik adik sepupunya dari ujung mata sambil tersenyum. "Catatan penting, itu tadi pujian."
"Ya, ya. Terima kasih banyak atas pujiannya," balas [Your name] malas sembari memutar kedua bola matanya.
Respon tersebut membuat Lidya terkikik geli. "Masih sarkastik seperti biasanya, ya."
Perempuan mungil itu pun berjalan mendekat ke arah [Your name], masih dengan senyum andalan yang tersampir di bibir. Kedua mata merahnya menatap lurus ke netra [e/c] milik sepupunya, tatapannya tampak menyelidik― dan hal tersebut membuat yang ditatap menjadi tidak nyaman.
"Apa?" [Your name] akhirnya berceletuk setelah merasakan tatapan menginterogasi dari Lidya. Namun, gadis bermata merah itu hanya melebarkan senyum dan memejamkan kedua matanya― menunjukkan senyum mata tertutup.
"Kau mempunyai masalah bukan," tanya saudari sepupunya yang lebih condong ke sebuah pernyataan. "Kau biasanya tidak sepasif ini. Bahkan kau sama sekali tak mengataiku macam-macam saat meraih buku dari rak tanpa persetujuanmu."
[Your name] menyedekapkan kedua tangan di depan dada, berusaha mempertahankan raut wajah tak berekspresinya. "Itu karena aku sudah terbiasa dengan sikap tak berpendidikanmu, Kak."
"Begitu, ya," balas Lidya dengan tawa renyah, sama sekali tak tersinggung dengan balasan pedas yang diberikan [Your name]. Ia kemudian membalikkan tubuhnya dan berjalan ke sofa panjang yang ada di depan tungku perapian, mengambil duduk di sana. Ditepuknya tempat kosong di sebelahnya. "Kemarilah. Duduk bersamaku."
[Your name] mengangkat sebelah alisnya dengan gurat wajah penuh tanda tanya. "Untuk?"
Sang wanita muda bersurai cokelat hanya tersenyum. "Aku ingin kau mengepang rambutku. Oh, sekalian ingin menjadi pendengar atas semua keluhanmu."
"Sudah kubilang 'kan, aku sama sekali tidak punya masalah." [Your name] menyanggah pernyataan yang keluar dari mulut Lidya dengan nada jengkel. Walau demikian, ia tetap berjalan ke tempat sepupunya berada dan duduk di sebelahnya.
Lidya yang tengah membaca paragraf pertama buku di genggaman hanya memandang [Your name] sejenak sebelum memutar tubuhnya hingga membelakangi gadis yang dua tahun lebih muda darinya itu. "Yah, aku sama sekali tidak yakin dengan jawabanmu itu."
"Baiklah, baiklah. Cukup di sini basa-basinya." Lidya mengibaskan rambutnya. "Sebaiknya kau segera menyisir rambut sepupu favoritmu ini."
[Your name] hanya mendengkus kesal sebelum bangkit dari duduknya untuk mengambil sisir. Yah, ia ingin sesi kunjungan ini segera berakhir agar bisa kembali menikmati kesendiriannya.
•••
[Your name] menyisir rambut panjang Lidya yang dibiarkan tergerai. [Your name] selalu mengagumi rambut sepupunya itu sedari dulu. Panjang, lebat dan terasa lembut di sela-sela jemari― sungguh definisi rambut yang diidam-idamkan para kaum hawa termasuk dirinya. Cahaya hangat dari perapian menimpa surai kokoa tersebut, membuatnya tampak berkilauan hingga membuat sepasang manik [e/c] tak bisa berpaling.
Suasana di kamar [Your name] kala itu hening, hanya terdengar suara derak api dari perapian dan gemerisik halaman buku yang dibalik. Merasakan kesunyian yang tak lazim, Lidya akhirnya memutuskan untuk membuka suara, "Hei, bisakah kau berhenti membohongiku? Sandiwara payahmu itu tak akan bisa mengelabuiku."
Tangan [Your name] spontan berhenti menyisir rambut Lidya sejenak, terkejut akan perkataan tiba-tiba dari gadis bermanik rubi itu. Ia kembali menyisir rambut perempuan di depannya sambil menjawab, "Aku tidak mengelabuimu--"
"Aku sudah dengar... soal dirimu yang akan dijodohkan dengan putra dari Keluarga Haiba," sela Lidya tanpa menoleh, kedua mata merahnya masih fokus pada rentetan alfabet yang dibacanya.
Seakan dapat memprediksi kata-kata yang akan keluar dari adik sepupunya, ia melanjutkan ucapannya, "Kau tak perlu bingung dari mana aku mendengar kabar ini. Rumor-rumor perkara putra dari salah satu marquess terkemuka di Moskow yang akan dijodohkan dengan putri viscount miskin dari daerah perbatasan sudah menyebar luas di ibukota."
Senyap kembali menerpa setelah penjelasan panjang lebar Lidya berakhir. [Your name] hanya diam, tangannya kini fokus menjalin rambut cokelat milik gadis di hadapan― membentuknya menjadi sebuah kepang.
"Sudah selesai," kata [Your name] sambil melepaskan ujung kepang Lidya yang telah diikat, membiarkannya menjuntai sepanjang punggung si empunya.
Lidya menutup bukunya, tangan kanan meraba hasil kepangan dari sang sepupu. "Ah, terima kasih."
Gadis itu membalikan tubuhnya, membuatnya berhadapan dengan tungku perapian yang kayunya hampir habis. Diraihnya kepangan rambut, membawanya ke depan lalu mengelusnya. Ekspresi wajahnya tampak puas.
"Seperti biasa, hasil kepanganmu bagus," puji Lidya sembari terus mengelus rambutnya yang telah dikepang. "Sangat rapi dan memuaskan. Aku menyukainya."
[Your name] mengulas senyum tipis. "Akan kuanggap itu sebagai pujian."
"Terserah," balas Lidya sambil memutar kedua bola matanya. Namun setelahnya, ekspresi wajah gadis itu berubah menjadi serius. "Ngomong-ngomong, aku belum mendengar tanggapanmu soal penjelasanku tadi."
Si mata [e/c] menaikkan sebelah alis dengan tatapan bingung. "Penjelasan yang mana?"
Lidya berdecak. "Yang soal rumor perjodohanmu tadi."
"Oh...."
"Hanya itu?" [Your name] menanggapinya dengan anggukan.
Lidya membuang napas panjang, tangan kanannya memijit pelipis. Ia tahu bahwa [Your name] memiliki sikap yang acuh tak acuh akan banyak hal, tapi dirinya benar-benar tidak menyangka sikap tidak mau tahu sepupunya itu sampai ke tingkat separah ini. Gadis itu bahkan tak peduli perihal masalah perjodohannya sendiri!
"Aku tak perlu memberi tanggapan. Lagipula, rumor itu memang benar, 'kan?" tanggap [Your name] dengan santai. "Dan kau tak perlu khawatir. Aku menerima perjodohan ini murni atas keputusanku sendiri."
Lidya menghela napas, tidak menyangka bahwa sepupunya akan mengambil keputusan yang dianggapnya tak mungkin dipilih. Namun, yang dibicarakan di sini adalah [Your name]― gadis yang lebih sering mementingkan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri.
Walau demikian, Lidya tetap saja terkejut. Sebab, [Your name] tidak segan-segan mengorbankan kebebasannya hanya demi orang-orang yang tinggal di wilayahnya― yang mungkin tak tahu-menahu maupun peduli dengan keadaannya saat ini.
Yah, mau bagaimana lagi. Jika, itu memang benar keputusannya, aku bisa merasa lebih lega sekarang. Lidya mengulas senyum tipis. Ia kemudian berdiri, menyerahkan buku yang dibacanya pada [Your name]. "Terima kasih atas pinjaman bukunya. Kalau begitu, aku akan pergi dulu."
"Ke mana?" tanya [Your name] sembari menatap Lidya yang berjalan ke arah pintu. Ia tidak menyangka kunjungan sepupunya itu akan berakhir lebih awal dari biasanya.
Gadis berkepang itu berbalik, menunjukan sebuah senyuman― yang menurut [Your name] tampak menyebalkan. "Eh... kau berharap aku tinggal lebih lama?" goda Lidya dengan cengiran pongah.
"Tidak, aku hanya heran," jawab [Your name] dengan nada datar. "Aku malah senang kunjunganmu kali ini berakhir lebih cepat."
Lidya bersenandung, sama sekali tidak terganggu dengan balasan tak ramah dari sepupunya. "Begitu, ya."
Ia kemudian membuka pintu, menoleh ke belakang sebentar untuk mengucap pamit. "Kalau begitu, sampai jumpa nanti!"
Dan, [Your name] hanya membalasnya dengan dehaman. Setelah itu, pintu ditutup dengan suara keras diiringi langkah kaki yang terdengar semakin jauh. Namun tak lama kemudian, suara derap langkah tersebut terdengar mendekat.
Di detik selanjutnya, derit pintu yang terbuka terdengar disusul dengan kemunculan wajah seorang gadis bermata merah― Lidya, tepatnya. Ia berkata, "Jangan lupa berbaikan dengan Bibi Anna!"
Usai mengatakan hal tersebut, pintu kembali ditutup. Lidya pun telah pergi, [Your name] dapat memastikannya dari suara langkah sepatu yang semakin menjauh.
[Your name] bangkit dari tempat duduknya, meraih beberapa kayu yang tersedia lalu melemparnya ke perapian. Ia kemudian duduk di sofa, membuka buku yang dibaca Lidya tadi dengan pencahayaan dari api anglo.
"Akan kucoba, itu pun kalau berhasil."
Pada akhirnya, [Your name] memutuskan untuk berniat meminta maaf kepada sang ibu. Ia sudah merasa tak nyaman dengan situasi perang dingin antara ibunya yang sudah berlangsung sejak kemarin malam.
Kulakukan nanti malam saja.
*+:。.。 。.。:+*
Scroll to continue
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top