PROLOG
⋇⋆✦⋆⋇
Cuaca hari itu cerah. Sang surya mulai merangkak naik ke langit yang biru, bersanding bersama gumpalan-gumpalan putih yang menghiasi angkasa. Angin musim semi yang sejuk menerbangkan kelopak bunga aneka warna ke segala penjuru, membawanya ke antah berantah. Para burung berkicau dengan bersahut-sahutan, menyanyikan melodi penuh sukacita ke pelosok negeri seakan ingin mengumandangkan hari penuh keberkahan.
Dalam ruangan bermandikan sinar keemasan sang surya, seorang pemuda bersurai pirang menatap bayangannya di cermin. Ia membenarkan setelan jasnya dan mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya ke lantai beberapa kali sebelum akhirnya memejamkan mata sembari menghela napas. Tatkala menatap pantulan dirinya kembali, ia berusaha mengangkat kedua ujung bibir untuk membentuk senyum bahagia yang tulus.
Namun, pemuda itu― Aether kembali menghela napas. Ia meletakan tangannya di atas dada lalu meremas jas yang membalutnya. Hatinya terasa sakit, sangat.
Hari ini adalah hari yang membahagiakan― sebuah hari penuh sukacita yang akan selamanya terukir sebagai salah satu memori tak terlupakan dalam hidupnya. Karena, hari ini adalah hari di mana saudarinya akan mengikat janji suci dengan pria yang dicintai.
Aether seharusnya turut merasa bahagia, seharusnya. Namun, ia tak bisa merasakan perasaan hangat tersebut hari ini. Daripada sukacita, yang dirasakannya hanyalah kegetiran.
Mengapa? Jawabannya sederhana. Aether mencintai Lumine― adik kembarnya sekaligus sang pengantin perempuan yang akan menikah hari ini.
Cinta di sini bukanlah cinta platonis antara sesama saudara. Perasaannya tidaklah sesederahana itu, namun lebih dalam dan rumit. Afeksi yang tersimpan rapi dalam sanubari Aether terhadap Lumine merupakan perasaan romansa seorang lelaki kepada perempuan.
Aether tidak tahu sejak kapan perasaan tersebut tumbuh dalam hatinya. Mungkin saat dirinya menginjak bangku SMP? Atau mungkin jauh lebih awal lagi? Ia tak lagi ingat. Semuanya telah terlambat saat dirinya menyadari afeksi itu. Sentimen haram terlanjur mengakar kuat, mustahil untuk dilenyapkan dari sanubari.
Sang pemuda berambar emas tahu bahwa cintanya merupakan suatu hal yang tabu di pandangan masyarakat maupun agama. Namun bagaimana lagi, ia sudah terlanjur terpikat― ibarat serangga yang terperangkap dalam perangkap laba-laba, ia hanya bisa menghitung detik hingga hatinya benar-benar dihancurkan oleh realita dan suara gema lonceng gereja.
Suara ketukan beruntun terdengar dari balik pintu kamar, menyadarkan Aether dari lamunan singkatnya.
"Aether, kamu masih di dalam?" tanya suara perempuan yang familier dari sana setelah ketukan di pintu hirap.
Noelle, ya. Aether berdeham sebelum akhirnya menjawab. "Iya. Aku akan keluar sebentar lagi."
Benar katanya. Usai membenahi kerah leher kemejanya, Aether beranjak dari depan cermin dan berjalan ke arah pintu. Tatkala membuka pintu, sang lelaki pirang mendapati seorang gadis bersurai abu-abu pendek dengan gaun panjang berwarna merah muda tengah berdiri di ambang lawang.
Aether tahu betul siapa gadis itu. Noelle― teman sejurusan adiknya saat kuliah dulu yang kini telah merangkap status sebagai tunangannya. Noelle adalah seorang gadis sempurna di mata kebanyakan orang. Tak hanya cantik, perempuan muda tersebut juga baik hati, lemah lembut serta ahli dalam bidang rumah tangga― benar-benar sebuah gambaran seorang calon istri idaman yang paripurna. Setiap pria pasti akan bahagia mendapat pasangan hidup seperti wanita di hadapannya ini.
Namun, Aether tidak. Yang dirasakannya setiap kali menatap sepasang netra zamrud penuh kasih itu hanyalah rasa bersalah dan sedih. Ia merasa Noelle seharusnya layak mendapatkan lelaki yang lebih baik darinya. Seorang pria yang tulus mencintainya sepenuh hati, bukan seorang lelaki bodoh yang menyimpan sentimen tabu terhadap saudari sedarah seperti dirinya.
Terlepas dari segala rasa bersalahnya, Aether berusaha untuk tetap tersenyum dan memperlakukan Noelle sebaik mungkin. Walau dirinya sama sekali tak memiliki afeksi terhadap sang puan berambut kelabu, ia akan tetap memberinya semua bentuk kasih sayang yang pantas didapatkannya.
Aether meraih telapak tangan Noelle, mencium punggung tangannya bak seorang pangeran dari buku-buku dongeng― yang mana membuat pipi si empunya tangan memerah.
"Apa yang kau lakukan di sini, Noelle?" tanya Aether dengan senyum ramah usai melepaskan punggung tangan Noelle dari bibirnya, tangannya masih memegang telapak tangan sang tunangan.
Noelle langsung menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan wajahnya yang tersipu. "Lu-Lumine ingin bertemu denganmu. Ka-Karena itu dia memintaku untuk memanggilmu...," balasnya dengan suara pelan.
"Begitu, ya," gumam Aether sambil menganggukan kepala singkat. "Berarti, persiapan untuk pengantin wanitanya sudah selesai?"
Noelle mengangguk kecil sembari berdeham. "I-Iya, sudah selesai kok."
Perempuan itu kemudian menggenggam erat tangan kasar yang masih ada dalam genggamannya, wajahnya masih menunduk― belum berani melakukan kontak mata dengan sepasang ambar emas yang menatapnya dengan penuh tanda tanya itu. Lalu, ia kembali berucap, "A-Akan aku antar."
Aether mengerjap sebelum akhirnya kembali tersenyum, tangannya menggenggam balik telapak tangan ramping itu. "Terima kasih."
Dengan demikian, keduanya pun berjalan beriringan menuju ruangan di mana sang pengantin wanita berada. Aether melirik Noelle dari sudut matanya, mendapati gadis itu masih menunduk malu dengan senyuman tipis menghiasi perangai ayunya― dan hal itu membuat rasa bersalah kembali membanjiri relung hati si surai pirang.
Maafkan aku, Noelle....
✦✦✦
Setelah berjalan beberapa menit, mereka akhirnya tiba di depan sebuah pintu kayu berwarna putih dengan gantungan nama bertuliskan 'Lumine'. Dari dalam ruangan itu, terdengar suara seorang gadis yang tengah bersenandung. Suara bernada lembut dan halus― Aether tahu betul siapa pemilik suara itu.
Aether menoleh tatkala merasakan genggaman pada telapak tangannya merenggang kemudian terlepas, mendapati Noelle kini tak menjawat tangannya lagi. Gadis itu kini menatapnya dengan tatapan penuh kagum dan kasih. Dan ketahuilah, hati milik lelaki bernetra emas itu terasa sakit bak dihujam ribuan jarum.
"Kalau begitu, aku akan menunggu kalian di gerbang depan," ujar Noelle dengan senyum mata tertutup.
Aether mengangguk. "Iya. Sam--"
Ucapan Aether terhenti tatkala merasakan sensasi hangat di pipi kanannya. Sensasi itu hanya berlangsung singkat. Karena setelahnya, Noelle langsung menunduk dan sedikit membungkukkan badannya ke arah pemuda di hadapan.
"Sampai jumpa di gerbang depan," bisiknya pelan sebelum berlari meninggalkan Aether yang masih terdiam di tempat.
Aether menatap punggung kecil itu menjauh sebelum hilang di balik belokan menuju ruang tamu. Pemuda itu menyentuh pipi yang baru saja dikecup oleh tunangannya tadi. Rasa hangat yang menjalar di pipinya masih terasa― dan hal tersebut membuat si empunya mengulas senyum getir. Entah sudah berapa kali hatinya disayat dengan hal-hal (yang menurutnya) pahit hari ini.
Mungkin ini hukuman dari Yang Maha Kuasa atas afeksi terlarangnya? Bisa jadi. Namun, sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk memikirkan hal krusial tersebut. Berdirinya di sini adalah karena suatu alasan, yaitu untuk menemui saudari kembarnya― gadis yang telah membuatnya jatuh ke dalam euforia nan memabukkan.
Aether menghela napas sebelum akhirnya mengetuk pintu di depannya selama tiga kali. "Lumi? Ini Aether. Boleh aku masuk?"
Setelah kalimat itu terlontar dari mulutnya, alunan senandung yang terdengar di balik pintu seketika hilang. Pada detik selanjutnya, suara yang sama menyahut dari dalam ruangan dengan nada riang, "Kakak? Tentu! Masuklah!"
Aether hanya mengulum senyum masam tatkala mendengar cara adiknya memanggilnya. Daripada nama, saudarinya lebih memilih memanggilnya kakak― seakan-akan menegaskan bahwa hubungan keduanya hanyalah sebatas saudara, tidak lebih.
Sadarlah, Aether! Perasaan menjijikanmu itu tak akan pernah terbalas olehnya, tegas Aether pada dirinya sendiri di dalam benak.
Setelah merasa batinnya telah tertata, Aether pun memutar knop dan mendorong pintu agar terbuka.
Yang terjadi setelahnya, pemuda bersurai itu mematung di tempat. Sepasang mata emasnya lurus menatap sosok adiratna di sisi lain ruangan yang disiram oleh kemilau cahaya sang rawi.
Sempurna. Mungkin itulah kata pertama yang tercetus dalam benak pemuda itu saat ini.
⋇⋆✦⋆⋇
Bersambung...
.
.
.
.
Untuk sementara, prolog dulu, ya. Sisanya akan saya publish lain waktu setelah proses pengetikan selesai.
Mungkin itu saja yang ingin saya sampaikan. Atas waktu dan perhatiannya, saya ucapkan terima kasih.
-Sweet regards,
Aohana Mashiro
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top