II. Pendamping

⋇⋆✦⋆⋇

Lumine terus berjalan ke sana kemari dengan raut wajah cemas. Ia menggigiti ujung jarinya sambil terus bergumam, kegugupan kembali menguasai dirinya. Aether yang melihat hal tersebut menghela napas panjang sebelum merekahkan senyum simpul, memaklumi kebiasaan buruk saudari semata wayangnya itu.

Saat ini, keduanya sedang berada di depan pintu katerdal. Noelle dan Klee telah masuk ke dalam terlebih dahulu, meninggalkan Lumine dan Aether di luar bangunan gereja. Melihat banyak mobil dan motor yang telah berjejer rapi di area parkir tadi membuat sang gadis pirang yakin bahwa semua tamu undangan sudah datang. Dan hal itu membuatnya semakin kalang kabut.

"Lumi, tenangkan dirimu," kata Aether dengan nada lembut, berusaha menenangkan saudarinya yang terus mondar-mandir di hadapan.

"Tenang?" Lumine menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Aether dengan cepat. Saking cepatnya, hal tersebut membuat pemuda berwajah serupa itu takut leher adiknya patah. "BAGAIMANA AKU BISA TENANG DI SAAT SEPERTI INI?!"

Aether tersentak saat sang saudari tiba-tiba meninggikan suaranya. Pemuda itu mengelus dada, berusaha menormalkan degup jantungnya. Sedangkan Lumine masih kembali ke fase sebelumnya, terus bergumam sambil mondar-mandir.

Aether yang telah jenuh melihat hal tersebut memutuskan untuk memanggil adik kembarnya. "Lumi."

"Bagaimana jika aku tiba-tiba terjatuh saat berjalan ke altar? Bagaimana jika orang-orang akan menertawakanku?"

Namun ucapannya sama sekali tak digubris oleh Lumine yang sibuk bergumam sembari menggigiti ujung-ujung jemari.

"Lumi."

"Bagaimana jika dia tak menyukai gaunku? Bagaimana kalau dia membatalkan pernikahan kami? Bagaimana kalau--"

"LUMINE!"

Sang pemilik nama langsung tersadar dari lamunannya begitu mendengar pekikan itu. Ia mengangkat pandangan, mendapati sang saudara yang tengah menggenggam kedua pundaknya. Kedua netra kuning kecoklatan tersebut menatapnya dalam, lurus dan serius tanpa keraguan.

"Lumi, dengarkan aku," ucap Aether sambil menguatkan genggamannya di kedua pundak Lumine. "Tenangkan dirimu, jangan memikirkan hal-hal yang buruk. Ini hari istimewamu, kau tidak boleh terus berpikir negatif."

Lumine menggigit bibir. "Tapi, bagaimana jika--"

"Kau tidak akan jatuh saat berjalan menuju altar nanti."

"Lalu, bagaimana jika--"

"Tidak. Aku yakin dia tidak akan membatalkan pernikahan kalian."

"Tapi--"

Aether meletakan jari telunjuknya ke bibir Lumine― yang mana membuat gadis itu langsung bungkam. Mata kuning kecoklatan sang pemuda memandang saudarinya dengan tatapan serius, bibirnya lurus tanpa senyum.

"Sudahi kegugupanmu. Jangan berpikir negatif dan jangan mengira hal-hal tidak masuk akal yang terjadi di light novel-light novel bacaanmu bisa menjadi nyata dan akan terjadi padamu," kata Aether dengan nada yang sama seriusnya dengan raut wajahnya. Pemuda itu kemudian menghela napas. "Inilah mengapa aku tidak suka kau membeli light novel bergenre romansa dengan plot tidak masuk akal."

Mendengar pernyataaan sang kakak yang mengungkit-ungkit barang kesukaannya membuat Lumine menggembungkan kedua pipi. Ia menepis jari telunjuk Aether yang masih menempel di permukaan bibirnya. "Jangan bawa-bawa selera bacaanku di saat seperti ini!" berangnya marah.

"Lagipula, Kakak tidak akan paham betapa menariknya apa yang kubaca!" lanjut Lumine sambil menghentakan kaki beralas sepatu heels putihnya. "Pecandu game sepertimu tidak akan paham menariknya plot dramatis dan menguras emosi dalam sebuah light novel drama-romansa!"

Aether hanya diam dan membiarkan saudarinya meracau tentang seleranya dalam bahan bacaan. Ia tak menyela sedikit pun, hanya berperan sebagai pendengar yang menyimak kemarahan seorang pembaca light novel.

Namun dipikir-pikir, pemuda tersebut menyetujui ucapan adik kembarnya. Aether memang sama sekali tak paham dengan apa menariknya plot light novel bergenre drama-romansa tentang pembatalan pernikahan tiba-tiba, menikah karena paksaan keluarga, dan lain sebagainya. Seorang pecandu game serta pembaca manga shounen dan light novel bergenre aksi-fantasi seperti dirinya sama sekali tak paham dengan pemikiran adiknya yang merupakan penggemar light novel bergenre drama-romansa― yang beberapa tahun terakhir memiliki alur tidak masuk akal dan hampir serupa satu sama lain.

Sepasang iris madunya kembali menatap Lumine. Gadis itu tengah mengalihkan pandangan sambil menggembungkan pipi, kedua tangannya bersedekap di depan dada. Pemandangan tersebut membuat Aether tersenyum. Walau akan menikah hari dan segera menjadi istri seseorang, Lumine sama sekali belum berubah― ia masihlah seorang gadis manis yang kekanak-kanakan dan mudah merajuk.

Aether tertawa pelan― yang mana membuat Lumine langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan galak.

"Mengapa Kakak tertawa? Memangnya ada yang lucu?" tanya sang gadis pirang dengan ekspresi kesal.

Saudara kembarnya akhirnya berhenti tertawa setelah ia berkata demikian. Aether kemudian menorehkan senyum, tatapan yang tadinya serius kini berubah menjadi lembut.

"Tampaknya, kau tidak gugup lagi sekarang," balas Aether dengan diakhiri kekehan.

Lumine menelengkan kepala ke samping dengan ekspresi bingung. Beberapa detik setelahnya, kedua matanya melebar― ia menangkap maksud dari kakak berpenampilan serupa dengannya itu. Lumine pun tertawa, yang mana membuat Aether melebarkan senyumannya.

"Aku tak menyangka Kakak akan membuatku marah untuk menghilangkan kegugupanku," kekeh Lumine sembari menyeka air mata di ujung matanya. Ia kemudian merekahkan senyum manis. "Tapi, terima kasih. Berkat itu, sekarang aku menjadi tidak gugup lagi."

"Sama-sama, Lumi," balas Aether, tangannya terulur untuk mengelus puncak kepala adik kembarnya. "Syukurlah jika kegugupanmu telah hilang."

Lumine mengangguk dengan senyum yang masih menghias perangai, membiarkan kakaknya mengelus pucuk rambutnya. Ia sama sekali tak keberatan mendapat gestur demikian, justru ia menyukainya. Elusan di pucuk kepala dari orang tua dan kakaknya dianggapnya sebagai sebuah bentuk apresiasi dan penghargaan.

Beberapa menit kemudian, Aether menarik tangannya. Kedua iris kuning kecoklatannya memandang telapak tangan yang digunakannya untuk membelai kepala Lumine tadi dengan tatapan nanar. Sensasi lembut yang menyusup hingga sela-sela jemarinya terasa begitu nyaman dan hangat. Hanya tinggal menghitung menit hingga pintu katerdal dibuka, selama itulah waktu yang tersisa baginya untuk menikmati momen indah bersama gadis pujaan hatinya sebelum menjadi milik orang lain.

Aether menatap gadis di hadapan yang sedang menatap pintu katerdal di depannya dengan tatapan mantap, senyuman tak lupa tertoreh di bibir plumnya. Sang pemuda mengepalkan kedua tangannya, menimbang-nimbang keputusan yang muncul dalam benak.

Setelah berpikir beberapa saat, Aether menghembuskan napas. Ia telah mengambil keputusan.

Sedikit egois tidak apa-apa, 'kan? batinnya, pandangan terpaku ke arah Lumine yang tengah mengeratkan genggaman pada buket bunga di tangan.

"Lumine," panggilnya dengan suara pelan.

Mendengar namanya dipanggil, Lumine segera menoleh ke arah kakaknya. Ia tersenyum. "Ada apa, Kak?"

"Apa ... aku boleh memelukmu?"

Pertanyaan yang keluar dari mulutnya itu hanya dibalas dengan keheningan. Angin musim semi berhembus, menerbangkan tudung pengantin yang dikenakan Lumine. Gadis itu masih diam dan menatapnya dengan pandangan bingung. Melihat tatapan itu membuat Aether menjadi menyesali keputusan yang telah dibuatnya.

"Ah, tidak jadi. Kau tidak perlu--"

"Hap!"

"Eh?"

Kedua bola mata Aether membelalak begitu menyadari posisinya saat itu. Kedua tangan lentik nan mungil itu melingkari punggungnya, tubuh kecil berbalut gaun putih milik sang gadis kini bersentuhan langsung dengan sosok berjasnya. Kedua netra madu miliknya tersembunyi di balik pelupuk mata, bibir berpoles perona bibir semerah mawar tersebut merekahkan senyum― tersenyum manis dengan mata tertutup.

Aether yang masih kaget akan pelukan tiba-tiba itu hanya bisa berdiri kaku. Namun, hal tersebut tak berlangsung lama. Sambil mengulas senyum, sang pemuda pirang melingkarkan kedua tangannya ke pinggang Lumine― membalas pelukannya. Ia meletakkan kepalanya ke pundak sang saudari dan menutup mata, menikmati kehangatan yang membekap diri.

Bagi Aether, pelukan itu terasa begitu istimewa. Kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuhnya mengingatkannya pada kenangan-kenangan manis masa lampau. Memori tentang dirinya dan Lumine ketika masih kecil― di mana afeksi tabu mulai tumbuh dalam hatinya―  saat mereka menceritakan cita-cita, saat mereka belajar bersama untuk olimpiade, hingga saat di mana sang saudari memperkenalkan kekasihnya padanya― Aether mengingat semuanya dengan jelas.

Sebulir air mata menetes dari pelupuk mata, turun dan membasahi pipinya. Isakan pelan lolos bersamaan dengan tangan yang mengeratkan pelukan pada sang gadis. Lumine yang mendengar sedan sedu Aether hanya mengulas senyum, tangan lentiknya mengelus punggung tegap sang kakak dengan penuh kasih.

Lumine terkekeh. "Aku tidak menyangka Kakak akan menangis seperti anak kecil. Jangan khawatir, Kak. Hanya karena aku hidup bersama suamiku kelak, bukan berarti hubungan saudara kita terputus."

Aether semakin mengeratkan pelukannya. Bukan seperti itu maksudku, Lumine.

Tentu, ikatan persaudaraan kita akan tetap ada. Namun, walau demikian ... kau akan menjadi milik orang lain. Kau tidak akan hanya menjadi adikku, namun juga teman hidup orang yang akan mengikat janji denganmu.

Tangis Aether pecah, pemuda itu terisak dengan air mata yang mengalir deras dari pelupuk mata. Dan kenyataan itu membuat hatiku sesak.

Bagaimana pun, Aether masihlah seorang laki-laki yang menaruh hati pada wanita― walau wanita yang menjadi perenggut hatinya adalah adiknya sendiri. Aether juga masihlah manusia yang tak bisa menentukkan ingin jatuh cinta pada siapa.

Cinta, entah mengapa Aether membenci kata lima huruf itu. Karena hal tak berwujud tersebutlah ikatan suci saudara antara ia dan Lumine menjadi ternoda. Terlebih lagi, dirinyalah yang menyimpan emosi menjijikan dan terlarang itu dalam diri. Aether sangat membenci dirinya yang demikian.

Dan kebenciannya tersebut akan semakin tumbuh setelah mengatakan kalimat yang diucapkannya setelahnya.

"Lumine, aku mencintaimu."

⋇⋆✦⋆⋇


Small notes :

Kata 'aku mencintaimu' yang dipakai Aether di sini adalah 'aishiteru'― yang merupakan kata untuk mengekspresikan cinta (romantis) kepada lawan jenis atau kekasih.

-------------------------------------------
Halo! Lama tak jumpa!

Ehem, kali ini saya memutuskan untuk double update. Walau dikejar deadline di project sebelah, saya memutuskan untuk menggarap book ini terlebih dahulu atas keinginan hati saya. Kebetulan saya sedang haus asupan kapal ini jadi akhirnya memutuskan untuk memasak makanan sendiri.

Oke, kembali ke topik utama. Ini merupakan chapter terakhir sebelum epilog. Awalnya, saya berencana untuk mempublikasikan dua bab ini bersamaan dengan epilog, namun saya berubah pikiran. Saya memutuskan untuk mempublikasikan epilog agak nanti agar terkesan menggantung /slap.

Baiklah, sekian dari ocehan saya. Sampai jumpa di lembaran terakhir!

Salam manis,
Aohana Mashiro.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top