EPILOG
*+:。.。 。.。:+*
"Lumine, aku mencintaimu."
Mendengar tiga kata tersebut membuat kedua ambar madu Lumine membelalak. Hal tersebut hanya berlangsung singkat. Karena setelahnya, kedua ujung bibir sang gadis terangkat― membentuk seuntai senyum manis.
"Aku juga mencintai Kakak," balas Lumine sambil mengeratkan pelukannya pada sang saudara kembar. Hal tersebut sontak membuat iris Aether melebar, terkejut dengan balasan yang diberikan oleh adiknya. "Karena, kita saudara, bukan? Jadi, tidak mungkin jika aku membenci Kakak. Yah, walau Kakak kadang menyebalkan sih."
Aether langsung menutup mata dan tertawa hambar begitu mendengar kelanjutan dari ucapan Lumine. Tentu saja ia akan menganggap ucapanku seperti itu.
Aether pun melepaskan pelukannya. Kedua matanya memandang Lumine yang tengah memasang senyum cerah, dan Aether berbohong jika ia tidak merasa silau akan senyuman itu.
Pemuda berambar madu itu turut menoreh senyum, walau hatinya terasa sakit karena jawaban yang diberikan sang saudari atas pernyataan perasaannya tadi. Aether berusaha menerima, toh ini resiko yang harus diterimanya, bukan?
Aether menjentik dahi Lumine, membuat empunya meringis kesakitan. Sang pemuda memasang seuntai senyum― senyum yang menyebalkan jika kau bertanya kepada Lumine.
"Karena kau menganggapku menyebalkan itulah aku khawatir kau akan melupakanku," keluh Aether sambil memasang wajah lelah. Namun ekspresi itu segera hilang, tergantikan dengan seuntai senyum lembut. "Pastikan kau-- kalian sering berkunjung, ya."
Lumine mengangguk cepat, memeluk Aether sekali lagi. Ia mendongak dengan senyuman mata tertutup, lantas berkata, "Tentu saja! Kami akan sering mengunjungimu!"
"Senang mendengarnya," balas sang kembar lelaki sambil menepuk pucuk rambut adiknya yang berada dalam pelukan.
Lantas keduanya melepaskan pelukan dengan senyuman terpatri di wajah masing-masing. Aether menekuk tangannya, memberi kode pada Lumine agar merangkul lengannya.
"Sudah siap?" tanyanya sembari melirik sang saudari.
Lumine mengangguk mantap, merangkul lengan Aether sambil mengeratkan genggaman pada buket bunga, lantas membalas, "Aku siap."
Pandangan mereka pun beralih ke pintu katerdal di hadapan yang perlahan terbuka, memperlihatkan apa yang ada di dalamnya.
Cahaya matahari menembus jendela-jendela kaca katerdal, menyinari ruangan dengan sinar keemasannya. Pita berwarna putih dan emas menghias tiang dan dinding, karangan bunga cecilia nan apik pun menambah keindahan tempat suci tersebut.
Suara piano nan lembut mulai mengalun, diiringi dengan berdirinya para tamu undangan. Pandangan mereka tertuju ke tokoh utama hari ini― Lumine, sang pengantin wanita yang kini tengah digandeng oleh saudara kembarnya.
Namun, ambar emasnya tak bertemu tatap dengan mereka. Pandangannya hanya tertuju kepada sosok yang berdiri di ujung karpet putih, seorang pria berambut pirang platina yang tengah menunggunya di atas altar. Sepasang manik biru milik lelaki itu menatap sang puan dengan tatapan lembut disertai rekahan senyum di bibir.
Dari tatapan itu Lumine tahu bahwa calon pendamping hidupnya telah menunggu. Kesadaran akan hal tersebut membuat jantungnya kembali berdegup kencang. Sang gadis pirang menghela napas, kemudian menghembuskannya kembali. Genggaman pada buket bunga di tangan pun mengerat.
"Ayo melangkah, Kak," bisik Lumine pelan.
Aether menyahuti ucapan sang adik dengan dehaman dan mulai mengambil langkah bersama Lumine. Keduanya pun berjalan menyusuri karpet dengan langkah pelan.
Suara di sekitar mereka tak terdengar, tertutup oleh bunyi degup jantung yang memenuhi rungu. Jantung keduanya sama-sama berdebar, namun dengan alasan yang jauh berbeda.
✦✦✦
Setiap langkah yang diambil Aether terasa berat. Kedua telapak kakinya terasa perih, seakan-akan ia tengah berjalan di atas hamparan duri. Tak ada lagi melodi piano mengalun, hanya ada suara detak jantung dan langkah kaki yang saling bersahutan.
Altar di ujung lain katerdal yang ditujunya tampak seperti alat pemenggal kepala baginya, dan tatapan orang-orang yang menghadiri ritual sakral saat ini terasa seperti tengah memandangnya dengan pandangan jijik.
Kedua mata emas pemuda itu terus terpaku pada altar di ujung karpet, tempat di mana ia harus merelakan orang yang dicintai― juga tempat yang akan menjadi penyebab hatinya hancur nantinya.
Perjalanan mendampingi yang singkat ini terasa sangat menyesakkan bagi Aether.
Tinggal beberapa langkah lagi....
Benar apa yang dibatin Aether. Lima langkah setelah ia membatin demikian, ia dan Lumine sudah berada di depan tangga altar. Sang saudari meliriknya sekilas, Aether membalas lirikan itu dengan rekahan senyum meyakinkan. Lantas, Lumine mengangguk pelan dan melepaskan gandengannya pada lengan sang kakak.
Aether pun turut menurunkan lengan, membiarkannya jatuh ke sisi tubuh. Telapak tangan mengepal, netra madunya menatap sosok perempuan bergaun serba putih itu selama sekilas untuk terakhir kali. Ia kemudian beranjak pergi, berjalan ke tempat duduk kosong yang telah disiapkan oleh tunangannya.
Butiran kersik halus dalam jam pasir yang masih tersisa kini telah jatuh ke dasar seluruhnya.
✦✦✦
"Bersediakah kamu― Albedo Kreideprinz menerima Lumine Viatrix menjadi istrimu untuk hidup bersama dalam pernikahan suci? Akankah kamu menghibur, mencintai, menghormati serta menjaganya? Akankah kamu tetap setia kepadanya, baik dalam keadaan sakit maupun sehat dan dalam keadaan kaya maupun miskin selama kalian berdua hidup?"
Pemuda berambut pirang keabuan bernama Albedo itu mengangguk, kedua matanya birunya menatap dalam sepasang ambar emas di hadapan. Ia kemudian tersenyum dan menjawab, "Saya bersedia."
Sang pastur lantas menoleh ke arah sang mempelai wanita dan mengucapkan kembali kalimat yang dikatakannya sebelumnya.
"Bersediakah kamu― Lumine Viatrix menerima Albedo Kreiseprinz menjadi suamimu untuk hidup bersama dalam pernikahan suci? Akankah kamu menghibur, mencintai, menghormati serta menjaganya? Akankah kamu tetap setia kepadanya, baik dalam keadaan sakit maupun sehat dan dalam keadaan kaya maupun miskin selama kalian berdua hidup?"
Lumine mengangguk, genggaman pada buket bunga di tangan mengerat bersamaan dengan senyum yang merekah di wajah jelitanya. Ia pun menjawab, "Saya bersedia."
Setelah bertukar sumpah, Albedo dan Lumine pun bertukar cincin sebagai bukti dari pernikahan mereka.
"Lumine Viatrix, saya memberimu cincin ini sebagai tanda sumpah saya, dan dengan semua diri saya serta semua yang saya miliki, saya menghormati Anda; dalam nama Bapa, dan Putra, serta Roh Kudus," kata sang jejaka bermata biru sembari menyelipkan cincin ke dalam jari manis perempuan di hadapan.
"Albedo Kreideprinz, saya memberimu cincin ini sebagai tanda sumpah saya, dan dengan semua diri saya serta semua yang saya miliki, saya menghormati Anda; dalam nama Bapa, dan Putra, serta Roh Kudus," ulang sang puan sambil memakaikan cincin pada jemari manis pasangannya.
Setelah itu, pastur menoleh ke arah Albedo dan memberikan senyuman lembut. "Kau boleh mencium sang pengantin wanita sekarang."
Albedo menanggapi ucapan sang pastur dengan anggukan. Ia pun melangkah mendekat ke arah Lumine, kedua tangannya terulur untuk mengangkat tudung putih transparan yang menutupi paras gadis itu.
Lumine mengangkat wajahnya, menatap pengantinnya dengan rona merah menghias kedua pipi. Ia spontan menutup mata, menanti ciuman dari pemuda di depannya.
Sedetik kemudian, ciuman yang dinanti pun terjadi. Lumine merasakan kelembutan bibir laki-laki yang kini telah resmi menjadi suaminya. Jantungnya kembali berdegup kencang akan kebahagiaan yang memuncak, air mata pun turut mengalir dari pelupuk mata.
Suara gema lonceng gereja yang bergema di udara, sorak sorai para tamu undangan, serta taburan kelopak mawar putih dan kuning yang menghujani mereka― benar-benar hari yang sempurna.
Bagi Lumine, hari itu adalah hari paling bahagia dalam hidupnya.
✦✦✦
Bagi Aether, hari itu adalah hari paling menyedihkan dalam hidupnya.
Tak hanya mendengar sumpah yang dilafalkan oleh keduanya, ia pun juga menjadi salah satu orang yang menjadi saksi akan pembuktian cinta― ciuman― mereka.
Hati Aether serasa disayat berulang kali. Perih dan menyakitkan, semua itu ia pendam di balik senyuman. Walau telah berusaha sekuat, hal tersebut gagal. Ia tetap menangis tersedu-sedu dengan air mata yang terus mengalir dari pelupuk mata.
Mungkin bagi orang-orang yang melihatnya sekarang berpikir bahwa tangisan itu adalah tangisan haru karena ditinggal oleh saudari, atau tangis bahagia sebab adiknya mendapatkan seorang pendamping hidup.
Namun, Aether lebih tahu apa yang dirasakan oleh dirinya sendiri. Alasannya menangis hari ini biarlah hanya ia dan Yang Maha Kuasa yang tahu.
⋇⋆✦⋆⋇
Fin.
•
•
•
Halo! Saya Aohana Mashiro selaku author mengucapkan banyak terima kasih kepada kalian yang telah membaca cerita ini sampai akhir.
Jujur, ini chapter yang paling sulit saya tulis karena harus bolak-balik membuka internet untuk mencari kalimat pemberkatan pernikahan dalam agama kristen.
Saya tidak terlalu tahu soal upacara pemberkatan pernikahan dalam agama nasrani. Jadi, jika ada yang salah, silahkan mengoreksi di kolom komentar.
Sekian dan terima kasih.
Salam hangat,
Aohana Mashiro.
[P.S : Gif untuk chapter ini akan saya tambahkan setelah penyimpanan internal saya longgar.]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top