TIGA BELAS

"Aku membencimu!"

"Tak bisakah kamu tak menghalangi kebahagiaanku?!"

"Kenapa kamu tak mau melepaskanku?! Kamu tahu, aku tak pernah bahagia bersamamu!"

"Bersamamu membuatku tercekik, lepaskan aku karena kamu bukan sumber kebahagiaanku!"

"Aku sangat-sangat menbencimu, kehadiranmu membuatku tak bisa bersama dengan wanita yang kucintai."

"Tak bisakah kamu tak menganggu kami?  Kenapa kamu selalu menganggu!"

"Aku membencimu, membencimu, membencimu!"

"TIDAK!"

Siera tersentak dalam tidurnya. Napasnya terengah-engah seolah ia ikut merasa sakit hati dengan ucapan itu.

Suara siapa itu? Kenapa ia tak mengenal pemilik suara itu. Bahkan ia tak melihat jelas siapa orang itu. Wajahnya buram, ia tak bisa mengingatnya.

"Kenapa hatiku ikut sakit?" gumam Siera menyugar rambutnya kasar. Menekan dadanya yang ikut sesak.

"Jangan anggap serius Siera, itu hanya bunga tidur." Siera menyugesti diri jika itu semua hanya mimpi meski entah kenapa ia juga ikut merasakan sakitnya.

Tapi, kenapa air matanya menetes? Kenapa ia menangis? Siera segera menyeka air matanya. Bukannya berhenti, air matanya malah terus mengalir.

Pintu kamar terbuka, sosok Kalandra masuk dengan nampan di tangannya. Kalandra terkejut melihat Siera menangis, dengan buru-buru menghampiri sang istri dan meletakkan nampan itu di meja nakas.

"Sayang, kenapa menangis?" Kalandra duduk di sisi ranjang dan menangkup wajah Siera. Ibu jarinya menghapus air mata Siera dengan perasaan sakit. Ia tak suka jika Siera menjatuhkan air mata. Kecuali air mata kebahagiaan.

"Aku tak tahu kenapa menangis seperti ini, huhuhu," jawab Siera yang ia sendiri saja tak mengerti kenapa bisa begini.

Kalandra membawa Siera ke dalam pelukannya, mengusap punggung sang istri untuk menenangkannya. Perlahan tangis Siera berhenti, matanya memerah karena menangis lumayan lama.

"Sudah tenang?"

"Iya." Siera mengangguk.

"Kenapa tiba-tiba menangis? Mimpi buruk?" tanya Kalandra penuh perhatian. Bahkan Kalandra juga menguncir rambut Siera yang berantakan agar enak dipandang.

Semalam, tiba-tiba Siera terkena demam. Kalandra semalaman tak bisa tidur lelap karena menjaga istrinya.

"Aku tak tahu mimpi apa itu. Wajahnya buram, aku tak melihat jelas siapa dia. Tapi, dia terus mengatakan kata-kata membenci dan berkata orang itu telah merampas kebahagiaannya. Kenapa dia begitu membenci seseorang seperti itu? Apa yang dilakukan orang itu sehingga dia membencinya? Bagaimana bisa aku bermimpi seperti itu? Hatiku tiba-tiba sakit dan sesak, seolah aku yang merasakannya."

Tubuh Kalandra membeku dengan wajah kaku. Mendengar penjelasan Siera berusan, entah kenapa ia merasa ketakutan. Tak mungkin, bukan, Siera mulai mengingat masa lalu mereka?

Tidak!

Kalandra tak ingin Siera mengingatnya. Cukup dirinya saja, jangan sampai Siera juga mengingat semuanya. Kalandra pasti tak sanggup melihat tatapan kebencian Siera padanya. Kalandra tak bisa membayangkan jika di masa kini ia kehilangan Siera lagi.

Ia pun segera memeluk Siera dengan erat. Napas Kalandra tak beraturan, namun Siera tak menyadari kekalutan sang suami.
"Tak usah dipikirkan, itu semua hanya mimpi saja, bukan hal yang nyata." Kalandra berucap meyakinkan. Berharap Siera tak memikirkan tentang mimpinya.

Tuhan, jangan ingatkan Siera pada masa lalu. Aku tak bisa kehilangan Siera dalam hidupku. Aku ingin istriku tak mengingatnya lagi. Kumohon.

"Sekarang kamu makan dulu. Setelah itu minum obat." Kalandra menyuapi Siera dengan bubur yang ia beli. Tubuh Siera masih demam walau tak separah semalam.

"Sudah, lidahku terasa pahit." Hanya lima suapan Siera sudah tak sanggup makan lagi. Kepalanya masih terasa pusing, sehingga ia ingin istirahat lagi.

"Baiklah, tapi minum obat." Siera menurut lalu meminum obat yang diberikan suaminya. Tak lama kemudian Siera kembali tidur akibat efek obat yang ditelan.

Kalandra mengusap kepala Siera dan wajah sendunya. Ia sangat-sangat mencintai Siera, bahkan sudah sedalam ini.

"Jangan mengingatnya lagi, kumohon. Cukup masa kini saja dan aku akan membahagiakanmu. Biarlah masa lalu menjadi masa lalu, terlalu menyakitkan jika diingat. Untuk kebahagiaan kita, jangan pernah mengingat sikap bajinganku padamu dulu. Aku benar-benar berubah sekarang, aku janji tak akan pernah menyakitimu. Di dunia ini, kamulah satu-satunya wanita yang akan aku cintai. Jadi kumohon jangan mengingat lagi."

Ia berharap Siera tak mengingatnya. Atau ia akan lemah bila Siera tak mau lagi bersamanya.

****

Perasaan Kalandra sejak saat itu sedikit mulai tak tenang. Ada perasaan takut jika nanti Siera sama sepertinya. Apa yang akan ia lakukan nantinya? Apakah Siera tetap bersamanya atau malah memilih pergi meninggalkannya.

Mungkin di masa lalu Siera tetap bertahan dengannya meski sering ia sakiti, tapi di masa sekarang, siapa yang tahu Siera ingin tetap bertahan atau menyerah.

Kalandra mengusap wajahnya kasar. Ia terlalu banyak berpikir padahal sejak Siera sembuh dari demamnya sikapnya tetap seperti biasa, bahkan mereka semakin mesra.

Yah, sepertinya ini hanya ketakutannya saja. Kalandra terkekeh kecil, menipis pikiran negatifnya yang mungkin saja tak pernah terjadi.

"Sayang, ini kopinya." Kalandra mendongak sehingga dapat melihat istrinya yang memberikan secangkir kopi.

"Terima kasih, Sayang." Ia tersenyum dan menikmati kopi buatan Siera. Kalandra menarik Siera hingga jatuh ke pangkuannya. Siera memekik kecil dan menepuk pundak Kalandra karena membuatnya kaget.

"Kenapa selalu mengageti," gerutu Siera namun tak beranjak dari pangkuan sang suami.

Siera terdiam melihat Kalandra menempelkan wajah di dadanya. Pelukan terasa erat namun tak menyesakkan. Siera mengusap rambut Kalandra dengan lembut, dilihat-lihat rambut Kalandra mulai memanjang namun di mata Siera entah kenapa suaminya malah terlihat semakin tampan.

"Apa pekerjaanmu terlalu banyak?" tanya Siera penuh perhatian.

"Dikatakan tidak, tapi pekerjaanku menumpuk-numpuk. Aku hanya lelah saja, Sayang," sahut Kalandra.

"Apa perlu aku pijat?" tawar Siera namun ditolak oleh suaminya.

"Tak perlu. Memelukmu adalah obat yang paling baik. Aku hanya ingin mengisi daya."

Siera tertawa kecil. Makin lama ia bisa saja mual dengan gombalan receh suaminya. Entak sejak kapan bisa mengatakan hal romantis seperti ini. Suaminya seakan tak menyadari istrinya sering tersipu malu akibat ulahnya.

Ia menghela napas pelan, membiarkan suaminya memeluknya erat. Sebagai istri, Siera ingin menjadi obat kala suaminya lelah dengan pekerjaannya. Menjadi teman curhat kala ada masalah pada pekerjaannya.

"Bagaimana kalau kita istirahat di kamar?" ajak Siera tanpa maksud apa pun, tapi sepertinya Kalandra mengartikan hal yang lain.

"Benar, kita istirahat di kamar." Kalandra menggendong Siera menuju ke kamar mereka. Kening Siera mengerut melihat seringai Kalandra. Awalnya bingung, tapi melihat suaminya meletakannya di ranjang lalu menindihnya, Siera hanya bisa tersenyum pasrah saat ia dieksekusi oleh Kalandra.

Suaminya memang nomor satu bila main di ranjang!

**

"Sejak menikah, kulihat kau semakin cerah," goda Livia dengan wajah penuh senyuman. Livia jujur tanpa mengada-ngada

"Apa, sih, kalian ini?!" Siera menangkup kedua pipinya saat digoda demikian.

"Memang benar ya, orang baru menikah auranya tak main-main." Kania mengangguk setuju. Aura Siera terlihat cerah seperti di kelilingi oleh bunga-bunga.

"Makanya kalian juga menikah," sahut Selinda menghentikan godaan kedua sahabatnya pada Siera. Siera walau keras kepala, dia juga wanita pemalu. Hanya saja entah di mana rasanya malunya saat berkaitan dengan Kalandra.

"Aku hanya belum ketemu jodoh saja," alibi Livia. Livia belum siap menikah, mungkin nanti saat umurnya mencapai kepala tiga.

"Aku sebenarnya sih ingin menikah, tapi jodohnya belum kelihatan, sih." Siera, Selinda, dan Livia menatap Kania dengan rasa kasihan.

Diantara mereka berempat, Kania paling apes saat menjalin hubungan. Padahal Kania perempuan cantik, bahkan perempuan sukses diusia muda. Hanya saja untuk percintaan, tak semulus wajahnya. Entah ia yang diselingkuhi atau pria itu hanya modal tampan saja tetapi sering meminta-minta.

"Apa sih, kalian ini. Kesal kalau dilihat tatapan kasihan seperti itu. Padahal aku baik-baik saja." Kania tak menutupi kekesalannya. Apa iya, harus ditatap seperti itu? Padahal ia tak semiris itu.

"Kau ingin langsung mempunyai anak atau menunda kehamilan?" tanya Selinda penasaran.

Siera ditanya hal itu tersenyum kecil.
"Aku tak menunda memiliki anak, tapi semua itu Tuhan yang mengatur. Aku dan suamiku hanya perlu berusaha saja." Lalu tertawa lepas.

"Semoga keinginanmu segera terwujud."

"Terima kasih dengan do'anya."

Mereka menyudahi pertemuan mereka dan keluar dari caffe biasa mereka berkumpul. Langkah kaki Siera berhenti melihat sosok pria yang berdiri tak jauh darinya. Pria itu adalah Kalandra, ternyata suaminya menjemputnya.

"Sayang?" Siera melambaikan tangannya pada ketiga sahabatnya lalu menghampiri Kalandra.

"Kenapa di sini? Padahal aku bawa mobil sendiri." Siera kini berdiri saling berhadapan dengan suaminya.

"Apa salahnya aku menjemput. Aku ke sini juga diantar sopir, jadi kita naik mobilmu." Siera mengangguk, menyerahkan kunci mobilnya pada Kalandra.

Mobil yang mereka tumpangi membelah jalan diiringi hujan rintik-rintik membasahi bumi. Siera melirik suaminya yang masih memakai pakaian kerja pagi tadi. Dua kancing atas dibuka dan lengan kemeja digulung sampai ke siku, tak lupa dengan gelang jam melingkar di pergelangan tangannya yang kekar. Sungguh Siera akui tubuh Kalandra sangat seksi, apalagi wajah tampannya selalu memikat hati. Dan dia adalah suaminya sendiri.

"Aku tahu suamimu ini tampan."

Siera mencebik mendengar kenarsisan Kalandra walau dalam hati mengiyakan.
"Dasar percaya diri sekali."

Kalandra tertawa dan menarik hidung mungil Siera dengan gemas.
"Ayolah Sayang, kamu tak bisa menyangkalnya."

"Iya saja, supaya kamu senang."

"Hari ini kita menginap di rumah mama dan papa ya, lalu besok kita ke rumah Kakek," beritahu Kalandra, seketika menghentikan mobil di rumah orang tuanya.

"Kita menginap?"

"Iya, Sayang. Tak apa-apa, 'kan?" Tentu Siera tak mempermasalahkannya. Ia malah senang bisa ke rumah mertuanya.

"Tapi bagaimana dengan pakaianku?"

"Tenang saja, semua sudah tersedia di rumah mama. Jadi, saat kita menginap, kita tak usah membawa pakaian."

Mereka turun dari mobil dan disambut oleh Adelia. Ibu mertua Siera sangat antusias dengan kedatangan sang menantu, dan mengabaikan Kalandra seolah putranya bagai tak kasat mata.

Kalandra sama sekali tak kecewa, malah merasa sangat-sangat senang melihat betapa istri dan mamanya begitu klop.

Andai saja ia sadar dari dulu.

Yah, menyesali juga tak ada gunanya, ia perlu berusaha lebih baik lagi.

Tak lama, ia menyusul dua wanita kesayangannya.

.....
02/02/24

Maaf ya upnya lama, beberapa hari memang sibuk, dan ide lanjutin cerita ini masih mager. Otak sama tangan gak sejalan wkwkwk.

See you next chapter.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top