SATU
"Siera," bisiknya lemah kala matanya menatap gundukan yang bertabur bunga dengan batu nisan bertuliskan SIERA HILL. Ada rasa tak percaya, wanita yang ia anggap selalu menganggu hidupnya, telah pergi meninggalkannya dengan sejuta penyesalan.
Kakinya meluruh ke tanah, menangis pilu, kepergian Siera untuk selama-lamanya bukanlah keinginanannya. Kalandra memang ingin Siera pergi dari hidupnya, tapi bukan cara seperti ini! Bukan dengan kematian istrinya tepat di depan matanya.
"Maafkan aku," ucapnya lirih, meremas tanah yang masih basah. Dada Kalandra terasa sesak, ia tak malu menunjukkan kerapuhan dan juga penyesalan yang amat sangat mendalam. Para pelayat satu persatu pergi, seolah membiarkan ia menderita di sini.
Tarikan kuat membuat Kalandra terhuyung berdiri. Mata merahnya menatap sosok pria tua yang menatapnya penuh amarah, kecewa, dan juga sedih secara bersamaan. Siapa yang tak sedih, disaat cucu kesayangannya pergi meninggalkan dengan cara menyakitkan. Dan semua itu disebabkan oleh pria yang menyandang sebagai suami cucunya.
Plak! Bruk!
Tamparan serta pukulan Kalandra dapatkan dari Kakek Siera. Abercio menatap penuh benci pada suami cucunya. Kakek tua itu merasa pukulan serta tamparan yang ia lakukan tak sepadan dengan kehilangan sosok cucu tersayangnya.
"Untuk apa kau menangis? Untuk apa?! Bukankah ini yang kau inginkan?! Kau ingin cucuku pergi dari hidupmu, bukan? Lalu kenapa sekarang kau menangis, hah? Bukankah kau harusnya bahagia?! Cucuku tak akan mengikatmu dalam pernikahan sialan itu! Siera telah pergi untuk selama-lamanya sesuai keinginanmu!" teriaknya penuh emosi.
"Harusnya saya tak memberikan cucuku padamu, jika pada akhirnya berakhir seperti ini. Saya menyesal menikahkan Siera denganmu! Harusnya saya mencegah Siera menikah denganmu meski Siera memohon terus menerus. Jika saya dapat mencegahnya, cucuku tak akan menderita. Kau seorang pembunuh! Kau membunuh cucu dan juga cicitku! Seharusnya Siera tak menjatuhkan hatinya padamu, sehingga cucuku tak nekat bunuh diri!"
"Begitu besar cinta Siera padamu, tapi apa yang kau lakukan? Kau menyia-nyiakannya, kau menyakitinya! Buang rasa bersalahmu yang tak berguna itu! Hal itu tak akan membuat Siera kembali!"
Abercio meluapkan rasa amarahnya pada Kalandra. Abercio membesarkan Siera penuh kasih dan sayang, bahkan tak sedikit pun Abercio menyakiti hati Siera. Namun nyatanya Siera malah menderita bersama dengan pria yang dicintainya.
"Aku menyesal, Kek," ujar Kalandra pedih. Pria itu menerima pukulan dari Kakek Siera, karena memang ia pantas mendapatkannya.
"Menyesal?" sarkas Abercio lalu tertawa berbahak-bahak. Dua pukulan Abercio layangkan pada Kalandra, seolah tak puas meremukkan Kalandra. "Jika memang kau menyesal, saya harap, kau mati dalam penyesalan! Bahkan kau dihantui oleh rasa bersalahmu itu sehingga hidupmu tak pernah tenang!" Setelah itu, Abercio pergi meninggalkan Kalandra. Hatinya masih tak terima jika ia telah kehilangan cucu tercinta.
Kepergian Abercio, kini Kalandra menerima tamparan dari ibunya. Tatapan ibunya, Adelia, penuh kekecewaan pada sang putra.
"Mama kecewa padamu, Kalan. Siera mencintaimu, tetapi kenapa kau menyakitinya?" Adelia terisak, menyesali kelakuan putranya yang tak pernah baik pada Siera.
Adelia pikir, pernikahan Kalandra dan Siera baik-baik saja, meski mereka menikah karena perjodohan. Cinta akan datang karena terbiasa bersama, apalagi saat Adelia melihat betapa Siera mencintai Kalandra. Ia pikir Siera akan dapat membuat putranya jatuh hati. Namun kenyataannya yang ada, putranya malah menyakiti menantunya, sehingga mengakhiri hidupnya seperti ini.
"Maaf." Hanya kata itu yang mampu Kalandra ucapkan pada sang ibu. Walau di dalam lubuk hati yang paling dalam, Kalandra menangis pilu karena kepergian Siera.
Adelia tak menyahut ataupun memeluk Kalandra yang sedih. Kekecewaannya begitu mendalam pada Kalandra, sehingga Adelia menarik suaminya pergi dari pemakaman.
Kalandra benar-benar sendiri. Bersimpuh di atas makam Siera dan menangis gugu. Bayangan Siera tersenyum padanya telihat di pelupuk matanya. Senyum yang dulu amat ia benci, kini sangat Kalandra rindukan. Akan tetapi semua telah terlambat.
"Siera, kenapa kamu pergi? Kenapa harus dengan cara seperti ini?" isaknya pedih. "Kamu ingin aku menyesal, 'kan? Iya, 'kan?"
"Dan kini kamu berhasil Siera, kamu berhasil, membuatku menyesali perilaku kasarku padamu. Semua yang kulakukan padamu itu seperti duri yang mencekikku. Aku harus apa, Siera, agar kamu bisa kembali padaku? Aku harus melakukan apa, agar aku dapat menebus semua kesalahanku padamu dan memelukmu kembali?"
"Jika kepergianmu terjadi seperti ini dan terasa sangat menyakitkan, aku ingin menarik semua kata-kataku yang menyakitimu. Dan aku akan memelukmu erat agar kamu tetap terus ada di sisiku."
Menangis sampai air mata kering, nyatanya istrinya tak akan kembali padanya. Kalandra menderita, dan perlahan penyesalan menggerogotinya. Entah sampai kapan Kalandra terus menyalahkan dirinya. Yang pasti kepergian Siera berserta calon anaknya menjadi luka yang tak berkesudahan.
****
Tatapan mata menelusuri penjuru kamarnya bersama Siera dengan sendu. Kamar yang jarang sekali ia tempati karena merasa tak mau tidur satu ranjang bersama Siera. Aroma Siera masih membekas di kamar ini, semakin membuat Kalandra merindukan sosok wanita yang selalu ia sakiti.
Sudah beberapa hari Kalandra menempati kamar ini, agar hatinya dapat terobati akibat rindu serta rasa bersalah pada istrinya. Namun, bukan terobati malah hatinya kian sakit. Bagaimana tidak, sikap keterlaluannya pada Siera terus terbayang di kamar ini. Bagaimana ia sering membentak, menyalahkan Siera karena tidak mau melepaskannya dari pernikahan paksa itu. Membiarkan wanita itu menangis sendirian di kamarnya.
"Siera, maafkan aku, aku ingin kamu kembali padaku. Meski rasanya itu sangat mustahil, bukan?" kekehnya merasa miris. Dadanya terasa sesak, bahkan kini ia pun memukulnya keras, agar sesak itu segera menghilang.
"Kamu pergi, pergi selama-lamanya, membiarkanku meratapi semua kesalahanku padamu. Apa kamu bahagia di sana bersama anak kita? Kenapa kamu tak membawaku juga."
"Aku tak bahagia, Siera, sama sekali tak bahagia setelah kepergianmu. Jika waktu dapat di putar kembali, aku akan membalas cintamu, bahkan aku akan mencintaimu seperti kamu mencintaiku. Tapi semua hanya anganku saja, nyatanya kamu tak akan kembali padaku."
Sakit, sesak, Kalandra hidup dalam penyesalan, seperti sumpah Abercio padanya. Kini tatapannya terarah pada foto pernikahan berukuran besar terpasang di dinding kamar.
Foto di mana Siera terlihat bahagia, sedangkan dirinya sama sekali tak menunjukan senyumannya. Raut wajahnya datar, enggan saat tangannya di peluk erat oleh Siera.
Kalandra mengambil bantal milik Siera, lalu memeluknya erat, aroma Siera sedikit membuatnya tenang, seolah ia merasa istrinya berada di sisinya. Hingga tak lama matanya tertutup, berharap dalam mimpinya Siera sudi menemuinya.
**
"Kalandra, sampai kapan kau mengabaikanku?! Kepergian Siera bukanlah salahmu, itu keinginannya!" Kirana jengah pada kekasihnya, yang terus meratap setelah kepergian Siera. Kirana semakin membenci wanita itu meski dia telah mati.
"Tutup mulutmu!" Kalandra membentak Kirana. Tak ada lagi kata-kata lembut yang keluar dari bibir Kalandra, sorot matanya tampak membenci Kirana.
Kalandra telah membuka flashdisk pemberian Siera padanya. Dan di sana ada beberapa video kecurangan Kirana di belakangnya. Bagaimana wanita itu mengkhiatinya, sedangkan Kalandra pada saat itu tengah berjuang agar mereka bersatu. Namun, tak ada rasa sakit di hati Kalandra kala melihat video menjijikan itu, hatinya baik-baik saja kecuali merasa jijik pada wanita yang pernah ia cintai. Bahkan karena wanita itulah, Kalandra malah menyakiti sang istri. Harusnya setelah menikah, Kalandra menyudahi hubungannya dengan Kirana, bukan malah terus berhubungan.
Namun Kalandra tahu, bahwa ia adalah pria bodoh yang hanya menyesali sikapnya di saat ia sadar jikalau Siera adalah wanita yang berharga. Bukankah ini yang dinamakan penyesalan datang di belakang? Dan, sekarang Kalandra lah yang merasakannya.
"Kalandra, kau membuatku terluka," pedih Kirana, entah itu sungguhan atau hanya sekadar sandiwara saja. Yang pasti, Kalandra sudah tak peduli.
"Maka pergilah dari hidupku."
"Ada apa denganmu! Hubungan kita menjadi buruk karena kepergian wanita itu. Sudahi saja rasa bersalahmu itu. Dengan kepergian Siera, tak ada lagi yang menganganggu hubungan kita! Lihatlah aku, Kalan, aku—"
"Pergilah Kirana, kehadiranmu di sini tak aku harapkan. Pergilah, aku ingin ketenangan." Kalandra menahan rasa amarahnya. "Dan juga, hubungan kita berakhir di sini saja, aku sama sekali tak mencintaimu."
"Kau bercanda, 'kan? Bilang padaku kalau kau hanya bercanda saja!"
Kalandra tak menanggapi Kirana yang tak terima diputuskan begitu saja. Pikiran Kalandra terasa kosong, bahkan ia hanya terus menikmati gelas demi gelas berisi alkohol, agar melupakan masalahnya sejenak.
"Jika kau tak mau pergi, maka aku yang pergi." Berjalan sempoyongan, Kalandra keluar dari Bar menuju ke mobilnya berada.
Dalam keadaan mabuk, Kalandra memaksa diri tetap menyetir. Bahkan ia sama sekali tak menanggapi Kirana yang mengikutinya dan berusaha merampas kunci mobilnya. Ia bahkan mendorong Kirana yang kekeuh bersamanya. Rasa khawatir Kirana ia abaikan. Kalandra hanya ingin sendiri, tanpa ada yang mengganggunya. Kesepian adalah temannya, dan ia merasa baik-baik saja akan hal itu. Siapa tahu, setelah ini Kalandra akan bertemu dengan Siera. Memikirkan hal itu, Kalandra terkekeh sendiri.
Kalandra mengemudikan mobilnya tak tentu arah. Kadang lambat, kadang cepat, tak peduli jika bisa saja nanti ia akan kecelakaan akibat mabuknya itu. Jika dengan kecelakaan ini ia dapat bertemu kembali dengan Siera, maka Kalandra berharap semua itu cepat terjadi.
Dan sepertinya do'anya dikabulkan oleh Tuhan. Kecelakaan terjadi begitu dengan cepat. Mobil yang dikendarai oleh Kalandra hancur dikarenakan menabrak beberapa mobil, hingga korbannya bukan hanya dirinya saja, melainkan beberapa orang.
Kalandra terkekeh miris, di sisa akhir hayatnya hanya ada nama Siera di dalam pikirannya. Bahkan di mata Kalandra, ada bayangan Siera tersenyum ke arahnya lalu mengulurkan tangannya, seolah mengajaknya untuk pergi bersama.
"Siera," ujarnya tersendat, dadanya sesak sekali, kepalanya pusing dan rasanya sakit sekali saat tubuhnya terjepit.
"Maafkan, aku, Siera," isaknya.
Selain hidup dalam penyesalan, Kalandra sekarat dengan kecelakaan yang mengenaskan. Tak lama kemudian mata Kalandra perlahan tertutup dengan erat, napasnya pun tak lagi terasa. Malam saat itu juga, Kalandra dinyatakan telah meninggal dunia.
....
11/11/23
Akhirnya bisa up juga. Gimana dengan part ini? Garing nggak?
Makasih sudah menunggu, and see you next chapter!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top