LIMA BELAS
Siera berdandan cantik dengan gaun hitam membaluti tubuh indahnya. Kecantikannya semakin terpancar dengan rambut ia gelung dan membiarkan anak rambut di sisi wajahnya. Riasan tak mencolok dengan bibir merah memperindah penampilannya. Dilihat di sisi mana pun, Siera terlihat sangat cantik dan seksi secara bersamaan. Tak mengherankan banyak pria yang menyukainya bahkan melamarnya, hanya saja di hati Siera sudah ada nama Kalandra sebagai pemiliknya.
Kalandra menghela napas kasar dan mendekati Siera. Apa-apaan dengan penampilan istrinya ini? Bukankah ini akan mengundang pria-pria di luar sana menikmati keindahan miliknya? Rasanya Kalandra tak rela bila itu terjadi. Ia ingin mengurung istrinya saja.
"Sayang, kenapa harus secantik ini?" Kalandra mengutarakan keluhannya.
"Memangnya kenapa? Bukankah istrimu ini sangat cantik?" Siera menatap dirinya di cermin lalu tersenyum puas dengan penampilannya. Siera kagum dengan dirinya sendiri.
"Tak berdandan pun kamu sangat cantik. Tapi malam ini kamu berkali lipat lebih cantik dari biasanya. Bagaimana jika kita tak usah ke sana, aku tak rela banyak pria menatapmu penuh kekaguman," usul Kalandra sesuka hatinya.
Siera menatap malas suaminya. Ia sudah berdandan seperti ini suaminya malah ingin membatalkannya? Sungguh kekanak-kanakan!
"Ayolah, kamu tahu sendiri di mataku pria lain seperti ayam yang lewat. Di hatiku hanya kamu saja, Kalan."
"Oke kita berangkat, tapi berikan aku ciuman." Kalandra mendekat, Siera mundur menghindari Kalandra. Mata Siera memicing pada Kalandra berpikir ada maksud tertentu dari suaminya.
"Kalan, jangan bilang kamu ingin merusak riasanku?"
"Apa salahnya mencium istriku?" Kalandra menahan diri tak tersenyum, karena apa yang dipikiran Siera adalah benar adanya. Ia ingin merusak riasan Siera yang terlalu cantik di matanya.
"Nanti saja kita berciuman, kita berangkat saja sekarang. Ini sudah jam 8, Sayang." Siera tak ingin terlambat diacara mitra bisnis Kalandra.
Akhirnya Kalandra mengalah, membiarkan istrinya berbuat sesukanya. Meski ada sisi tak rela, tapi Kalandra yakin Siera tak akan melirik pria lain selain dirinya.
Mereka berangkat menuju ke tempat pesta di adakan. Mitra bisnis Kalandra adalah pengusaha sukses, Tuan Flore namanya, pria berusia 50 tahun yang merayakan pesta pernikahannya yang ke-25 tahun.
Mobil yang Kalandra kemudi berhenti di hotel bintang lima, tempat acara di adakan. Kalandra menggandeng Siera menuju ke pesta itu. Sebelum masuk, Kalandra menunjukkan undangan lalu setelahnya mereka diperbolehkan masuk.
"Kita menghampiri dulu pemilik acara," bisik Kalandra, tangannya melingkar di pinggang Siera. Sejak mereka masuk, Kalandra manahan dirinya yang cemburu melihat pria-pria diacara melirik istrinya.
"Selamat untuk pernikahannya yang ke-25 tahun, Tuan Flore, Nyonya Flore." Kalandra menjabat tangan Tuan Flore berserta istrinya setelah memberi kata selamat. Siera juga melakukan hal yang sama
Tuan Flore senang dengan kehadiran Kalandra. "Terima kasih sudah datang dipesta kecil ini, Tuan Smith."
"Saya yang harusnya berterima kasih telah diundang oleh anda." Kalandra tertawa kecil mendengar kata 'pesta kecil' dari bibir Tuan Flore.
Nyonya Flore melihat ke arah Siera lalu saling melempar senyum.
"Ternyata istri Tuan Smith sangat cantik sekali. Maaf jika dipesta pernikahan kalian kami tidak datang."
"Tak masalah Nyonya, kami tahu dengan kesibukan kalian."
"Silakan kalian nikmati pestanya." Tuan Flore menepuk pundak Kalandra.
Setelah basa-basi, Kalandra menyingkir karena masih banyak mitra bisnis Tuan Flore mengucapkan kata selamat. Kalandra membawa Siera ke stand makanan, sesekali ia menyapa orang ia kenal di pesta ini.
"Kamu ingin makan sesuatu?" tanya Kalandra, sesekali melihat apa yang menggugah selera.
"Aku mau dessert itu." Siera menunjuk dessert kesukaannya. Kalandra mengambil apa yang diinginkan sang istri, setelahnya mereka duduk dan menikmati pesta.
"Rasanya enak, mau mencoba?" Siera memberikan Kalandra satu sendok dessert yang disambut oleh pria itu.
"Terlalu manis." Kalandra mengernyit, namun tetap memakannya.
"Padahal pas di lidah. Ya sudah, aku makan sendiri saja."
Sembari menikmati, mata Siera mengedar ke segala arah. Yang diundang diacara ini sangatlah banyak, bukan dikalangan pembisnis saja tetapi juga kalangan aktris ternama. Hingga tak lama matanya menemukan sosok yang familiar untuknya. Sosok itu menggandeng pria lain dan menebarkan senyuman.
Siera tersenyum sinis melihatnya, syukurlah jika wanita itu mendapatkan pria lain, sehingga ia tak perlu repot-repot menjauhkan dari suaminya. Hidup tanpa persaingan akan sangat damai baginya.
"Aku tak menyangka bisa bertemu di sini. Apa kabarmu, Kalan?" Kirana tiba-tiba datang mengejutkan Siera. Kapan sampainya sosok ini? Tiba-tiba saja sudah ada di depan mata.
Kalandra melirik Kirana sebentar dan mengacuhkannya. Pria itu tampak tak suka dengan kehadiran Kirana, hal itu membuat Kirana menahan emosinya. Dulu ia dipuja-puja oleh pria ini, sekarang jangankan menjawab ucapannya, Kalandra enggan melihat dirinya.
Siera tak dapat menahan diri yang gembira melihat suaminya tak suka akan kedatangan Kirana. Dulu, ia pernah ada diposisi ini, dan sekarang Kirana yang mengalami hal yang pernah ia alami.
Bukankah menyakitkan?
"Apa kabarmu Kirana? Kulihat kau sudah menggandeng pria lain, apa sekarang kau meninggalkan pria itu?"
Kirana menatap sinis Siera yang bertanya padanya. Tujuannya ke sini hanya menyapa Kalandra. Kirana sangat merindukan pria itu. Setiap ingin bertemu, Kalandra tak menanggapinya, bahkan saat ia ke kantornya Kalandra menyuruh sekuriti mengusirnya.
"Sayang, ayo kita pergi." Kalandra mengajak Siera pergi dari tempat mereka. Kalandra benar-benar tak menganggap ada sosok Kirana di depan mereka.
Kepergian keduanya, Kirana menghentakkan kakinya. "Lihat saja nanti!"
"Sayang, kucari di mana ternyatabmalah di sini." Kirana mengubah ekspresinya saat mendengar suara pria yang dikenalnya. Wajah awalnya penuh emosi berganti penuh kelembutan.
"Maaf Sayang, tadi menyapa teman." Kirana menggandeng pria barunya.
****
"Bagaimana perasaanmu saat bertemu dengan mantanmu?" Siera menatap Kalandra penuh tanya. Ingin mengetahui bagaimana perasaan Kalandra setelah didekati Kirana.
"Biasa saja." Tak ada perasaan apa pun dalam diri Kalandra untuk Kirana. Perasaan dulu yang menggebu-gebu untuk wanita itu seolah tak pernah ada.
"Benarkah?"
"Iya, Sayang, aku sudah tak memiliki perasaan apa pun untuknya," jujurnya.
"Aku tak suka dengannya. Setiap melihatnya rasanya aku ingin marah saja," keluh Siera.
"Lalu kenapa kamu berbicara dengannya?" Kalau tak suka anggap saja tak ada, tetapi istrinya malah menanggapi Kirana.
"Apa aku harus menyiramnya?" sinis Siera.
"Kalau ingin, kenapa tidak?" Siera menatap Kalandra tak percaya. Sepertinya suaminya memang sudah berubah. Ah, senang hatinya melihat suaminya sudah tak ada rasa pada mantannya.
"Apa kamu tak akan marah?"
"Kenapa aku marah?" heran Kalandra.
Siera mengendikkan bahunya. "Bukankah dia mantanmu. Siapa tahu kamu tak terima," pancingnya.
"Aku akan marah jika dia menyakitimu." Cukup dirinya saja dulu menyakiti Siera. Ia tak akan membiarkan Siera disakiti oleh orang lain.
"Itulah kenapa aku semakin mencintaimu." Siera mencium pipi Kalandra.
"Aku juga mencintaimu." Kalandra tersenyum manis, menggenggam tangan Siera, lalu mencium tangannya.
Siera tersenyum manis dan keheningan terjadi. Tak lama kemudian mobil yang dikemudikan Kalandra sampai ke rumah. Mereka pun turun dan memasuki rumah untuk istirahat.
Sesampai di kamar, Siera melepas sepatu hak tingginya dan memijat kakinya yang terasa sakit. Kalandra melihatnya segera menghampiri sang istri.
"Kenapa? Lecet?" Kalandra berjongkok guna melihat kaki kecil Siera yang memerah.
"Hanya merah saja, tapi kakiku juga pegal," jawab Siera manja.
"Harusnya kamu memakai sepatu yang nyaman," nasehat Kalandra sembari memijat kaki Siera. Seira melihatnya tersenyum haru karena suaminya memperlakukannya dengan manis seperti ini.
"Iya, lain kali tak akan begitu lagi."
Setelah memijat kaki Siera, mereka membersihkan diri sebelum tidur. Siera yang merasa lelah langsung menjatuhkan diri di ranjang dengan nyaman. Kalandra menyusul istrinya, memeluknya dari belakang. Mengingat pertemuan dengan Kirana, Kalandra merasa kesal. Untung saja istrinya tak cemburu berlebihan. Ia berharap wanita itu tak menganggu rumah tangganya.
Pagi menyapa, Siera bangun lebih dulu. Ia melirik ke arah suaminya yang masih tidur terlelap. Hari ini adalah hari minggu sehingga ia maupun sang suami tak bekerja.
Siera mengusap wajahnya kasar, menghela napas beberapa kali. Semalam ia bermimpi lagi, tapi lagi dan lagi ia tak tahu siapa orang-orang yang ada dimimpinya. Kenapa mimpi itu tak memperlihatkan wajah dan memperjelas suara siapa itu, kenapa terasa samar hingga dirinya tak tahu siapa orang-orang itu. Kenapa juga ia harus bermimpi hal itu berulang kali. Siera merasa lelah, dan tak ingin memimpikannya lagi.
"Pagi." Suara serak pria di sampingnya membuat Siera terperanjat.
"Pagi, Sayang." Siera memeluk Kalandra dan menyandarkan kepalanya dengan nyaman di dada bidang Kalandra. Dalam pelukan suaminya, Siera melupakan sejenak mimpi yang selalu mengganggunya.
Meski sudah bangun, Siera merasa malas beranjak dari ranjang. Apalagi saat mendapatkan pelukan hangat dari suaminya, Siera ingin tidur kembali.
Kalandra membiarkan Siera bermanja padanya, ia merasa senang dengan kedekatan mereka. Semakin hari, Kalandra merasa tak ingin kehilangan Siera di dalam hidupnya. Keserakahannya semakin menjadi, tak akan membiarkan Siera meninggalkannya.
Entah cinta atau obsesi, Kalandra akan terus menahan Siera di sisinya.
"Sayang?" Kalandra tersentak mendengar panggilan Siera.
"Ada apa?"
Siera menghela napas pelan. "Bagaimana kalau nanti kita ke rumah Kakek?"
"Aku maunya menghabiskan waktu bersama denganmu, tapi kalau kamu ingin ke sana, nanti kita pergi mengunjungi kakek." Kalandra mengusap pipi Siera sebelum membubuhkan kecupan di bibir seksi istrinya.
"Aku merindukan kakek." Seharusnya diusia tua sang kakek, Siera berada di sisinya, menemaninya. Sayangnya Siera sudah menjadi istri orang, sehingga harus mengikuti ke mana suaminya berada.
"Kita nanti ke sana, aku tak akan menganggu ketika kamu menghabiskan waktu bersama kakek," ucap Kalandra pengertian.
Siera tersenyum terharu, ia menghambur memeluk suaminya erat.
"Terima kasih sudah menjadi suamiku. Beruntungnya aku menjadi istrimu."
Kalandra membalas dengan erat. "Aku yang harusnya beruntung memilikimu," gumam Kalandra.
Benar, jika dibandingkan dengan Siera, Kalandra lah yang harusnya merasa beruntung. Dicintai oleh wanita yang ada didekapannya ini adalah anugerah yang terindah. Sayang sekali dulu Kalandra menyia-nyiakan wanita yang mencintainya dengan tulus meski caranya yang salah. Sebagai pria seharusnya ia memahami dan tak mendahulukan emosi.
Akan tetapi semua itu hanyalah masa lalu, meski terkadang teringat namun yang pasti ia harus melihat ke masa depan. Membahagiakan istrinya adalah satu cara menebus semua dosanya.
....
21/02/24
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top