O.4

Rasa takut menyelimuti hati. Insan muda takut setengah mati, dikala suara yang membuat ngilu terdengar. Rembulan yang menjadi saksi, kini menyorot dengan sinar samar. Menerangi gelapnya jalan, hingga merahnya terlihat dengan jelas.

Bau besi menyeruak. Disusul cairan merah yang menetes setelahnya.

Pupil sebiru lautan melebar. Menatap pemuda yang mengigit bibir—mencoba menahan rasa sakit. Bibir sempat mengatup kaget, namun kembali berteriak setelah pulih dari keterkejutan.

"I-Inui!"

Seishu menggeram tertahan. Dirinya sedikit terhuyung ke belakang. Kemudian, dia menoleh, menatap pelaku yang memukulnya dengan kayu.

Rembesan darah menetes lewat celah jari. Seishu mengumpat dalam hati. Bahunya terasa sakit setengah mati. Sial sekali. Mungkin akan sulit berkelahi jika dia masih menggunakan sepatu hak. Ditambah sedang terluka.

"Brengsek!" Seishu mengerutkan keningnya. Emosi sebab tidak dapat menghindar tepat waktu.

Pemuda lain dengan tubuh kekar tersenyum. Ia menatap balok kayu yang ternoda darah. Terkekeh sejenak.

"Wah wah. Ternyata hanya segini ya kemampuan bawahan Black Dragon?"

Seishu mengerutkan kening. Dirinya bersiap menghindar dari pukulan balok kayu. Pemuda dengan badan kekar itu menyeringai, dengan cepat mengayunkan tangan.

Semua terjadi dalam sekejap. Sebab sepasang netra hijau menatap punggung rapuh yang menghadang. Pupil menyusut. Harap-harap cemas gadis ini menghindar.

"(NAME), MENYINGKIR—"

Nyatanya tidak. Gadis ini dengan keras kepala memejamkan mata. Tidak memiliki satu persen niat pun untuk mundur. Tekadnya membuat rasa hangat menjalar dalam hati. Samar, sebab muncul disaat yang salah. Ada degupan yang tidak wajar. Seishu tidak tahu apakah ini sebab panik atau yang lain.

Luka pada bahu diabaikan. Seishu dengan segera menarik pergelangan tangan (Name). Mendekap erat, melindungi dari pukulan yang mendatang. Mengorbankan tubuh demi gadis asing yang mengetuk pintu hati. Membuat akal sehat terasa berhenti, diganti hati yang beraksi.

Balok kayu diayunkan.

(Name) melebarkan mata.

Pukulan telaknya mengenai luka yang sama.

Sedikit meringis. Sakitnya terasa berkali-lipat.

"Inui ... ?"

Netra biru itu gemetar. Menatap darah yang tak henti menetes. Keduanya oleng ke belakang bersamaan. Mundur beberapa langkah hingga menubruk dinding.

(Name) merasa tubuhnya gemetar parah. Baru kali ini terlibat perkelahian.

"Lukamu!"

Seishu tersenyum meski keningnya berkerut. Mencoba memberikan rasa tenang bagi gadis yang panik di belakangnya.

"Aku baik-baik saja. Ada baiknya kamu mundur dulu."

Dirasa skeptis. Namun sayangnya sang adam menyadari itu. Kembali mengukir kurva. Menatap hangat demi meyakinkan dirinya tak apa.

Kemudian, sang gadis mengangguk. Tahu diri hanya akan mengganggu.

"Berhati-hatilah."

Seishu maju selangkah. Melindungi tubuh sang puan dengan punggung yang tegak. Suara ketukan hak pada permukaan bumi terasa begitu jelas tatkala rahang mengeras. Suasana hening. Dalam sunyi menatap pemuda yang tak berekspresi. Tak ada kelembutan dalam raut, hanya kekejaman tanpa ampun.

Menahan umpatan, pemuda itu kemudian melangkah. Permata hijaunya berkilat, disinari pula oleh bulan. Akan nikmat apabila melihat.

"Kalian ... musuh Black Dragon ya?"

Seishu bertanya. Tepat sebelum melangkah maju. Membuat pemuda berbadan kekar menubruk tanah hanya dengan satu tendangan.

(Name) sebagai saksi dapat bersumpah.

Di tendang sekuat tenaga, oleh seorang Inui Seishu, ditambah dengan sepatu hak ... bisa dipastikan tidak main-main.

Apalagi suaranya sangat ngilu.

"Itu pasti sakit. Aku bertaruh itu sangat sakit."

Seishu mendesis dingin. Menatap dengan kilat laksana serigala buas di tengah badai. Yang mendapati mangsa tengah terkulai lemah tak berdaya. Melahap iba. Meski tahu ia pun makhluk bernyawa.

"Mari selesaikan di sini."

Sedetik, tak berjeda. Satu anak pukul seketika tumbang terkena tendangan telak di ulu hati. Belum habis akal mencari tahu apa yang tengah terjadi, Seishu dengan bringas menarik kembali salah satu kerah, mengunci sendi, lantas melenting tinggi membanting satu lagi.

Manik hijau semakin menyala dalam temaram pucat rembulan.

"Maju sini."

Insan di hadapan bergetar tak keruan.

Manik Seishu kini tertimpuk akan beberapa botol bir yang berserakan di bawah dinding.
Dan tanpa banyak bicara jemarinya menyambar, menghantam ujungnya ke batuan.

"Maju sini," ia mengulangi kata. Sedikit menurunkan dagu seraya memicingkan mata.

Sementara gadis di belakangnya berdecak kagum. Dalam hati berucap bersyukur. Sosok pemuda yang tengah bertarung tampak seperti dewa perang yang baru saja turun. Sungguh memanjakan mata. Sebab bercak darah bahkan tak melunturkan sinarnya.

"Dia keren."

Ada semburat samar pada pipi. Memberi rasa hangat pada hati. Serta festival kembang api, yang terus meletup tanpa henti.

Apakah ini tandanya dia telah jatuh hati?

"Inui ... Seishu," diri bergumam seraya mengulas senyum.

Ada hangat yang terus bersemayam dalam diam, bersembunyi dibalik paras menawan.

Agaknya dewa laut pun tahu bahwa tidak bisa bersatu dengan daratan. Namun apabila untuk menyerahkan, putri semata wayangnya, apakah bisa?

Sebab tampaknya, sosok yang yang tengah mengayunkan botol kaca telah merebut hati putrinya.

(Name) tidak yakin, namun juga tidak dapat menyangkal.

Dirinya telah tenggelam, dalam asmaraloka masa muda.

•••

28 Juli 2021
agathis_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top