O.2
Bibir bergerak samar, namun gerutuan tak terdengar. Kening berkerut, bertanya apakah waktu memang berlalu begitu cepat. Rasanya baru kemarin ia liburan, namun mengapa sekarang sudah sekolah saja?
Menghela napas. Dirasa kesal, namun tahu tak akan ada guna. Sang puan hanya mengatur senyum, kemudian menatap pintu. Menenangkan debaran jantung.
Pintu terbuka.
"(Surname)!"
Kepala menenggadah tatkala dua gadis memanggil. Tangan masih setia memegang pintu kelas. Sedikit terkejut sebab Kano bersaudara ada di hadapannya.
Satu berperawakan tinggi, satunya pendek—hanya sedada. Permata tampak gelap namun mengkilap. Untuk sesaat, tak bisa mengalihkan mata. Sementara yang tinggi memiliki surai hitam, gadis yang lebih pendek mengerjap senang, memperlihatkan surai birunya.
"Tunggu," kali ini, (Name) mengerutkan keningnya.
"Ara, kau mewarnai rambutmu?"
Sang surai biru terdiam sesaat. Merasa terkejut, namun kemudian terkekeh. Wajahnya berubah, ada rasa bangga tersendiri di dalamnya.
"Iya, aku cat. Cocok tidak?"
(Name) tersenyum lebar, kemudian mengangguk dengan cepat. Dia akui warna rambutnya cocok dengan kulit Hara.
"Cocok!"
Saga—kembarannya yang biasa dipanggil Aga—memutar bola mata. Merasa jengah dengan sang kakak yang terus memamerkan rambut sejak tadi—apalagi berkeliling kelas hanya untuk bertanya apakah warnanya sudah cocok.
"(Surname), kuberitahu ya. Dia mengecat rambut hanya untuk pamer. Jangan memujinya! Nanti dia besar kepala," si bungsu berucap.
Hara menenggadah, menatap kesal Saga yang menyipitkan mata.
"Apa maksudmu?! Kau iri dengan warna rambutku sekarang?! Kalau mau, kan bisa bilang!" kali ini, Hara tersenyum jahil. "Aku tahu loh, kamu kan mengambil satu bungkus catnya kemarin."
Wajah Saga memerah perlahan. Dirasa pipi memanas tatkala rahasianya dibongkar. Sedikit gelagapan, kemudian mengerutkan kening dengan sebal. Menatap kakaknya yang begitu senang menggoda.
"D-diam! Untuk apa aku mewarnai rambut?!"
Sang surai biru tertawa kecil, lalu sedikit berjinjit guna mengusap kepala Saga. Membuat adiknya itu melotot tak percaya. Mereka sudah kelas tiga, dan bisa-bisanya dia diperlakukan seperti anak kecil?
"Cup cup~ Aga adikku merajuk ya~"
"K-kau! Ara!"
(Name) mendesah pelan. Sudah terbiasa dengan pertengkaran absurd si kembar. Tahun lalu mereka sekelas, membuat sedikit banyak gadis ini mengenalnya. Kano Hara—kerap dipanggil Ara—dan adiknya sungguh tidak bisa sedetikpun damai, walau pada kenyataannya mereka terus saja bersama.
"Oh ya," sang surai hitam menoleh. Kemudian tersenyum tipis. "Kita sekelas lagi, (Surname)."
"Iya, aku senang! Nanti bantu aku kerjain tugas ya?" Hara bertanya dengan nada santai. Seolah itu hal biasa. Sementara Saga hanya mendengus.
(Name) mengangguk. Tersenyum lebar, hendak menyahut namun suara tenggelam dalam badai. Para siswa di sekeliling berbisik, melempar pandang pada dua pemuda yang berjalan.
Berdampingan, dengan sosok tak asing di belakang.
(Name) menoleh, sedikit mengerutkan kening tak percaya.
Entah karena terkejut, atau pun merasa kagum, pandangan tak bisa beralih barang sedetik pun. Terus terpaku pada sosok yang mengenakan heels ke sekolah—
Tunggu.
Rasanya ada yang ganjal.
Belum sempat berpikir dengan jernih, bayangan gelap menelan, membuat kepala tanpa sadar terangkat. Menatap mata tajam yang mengintimidasi.
"Sedang apa berdiri di sana?"
Melirik ke belakang, Kano bersaudara hilang entah kemana. Mungkin takut berurusan dengan mereka, makanya pergi tanpa kata. Ingin mengumpat, tapi juga tidak ada hak.
(Name) tersenyum kaku.
"Ah, maaf—"
"Koko, ada apa?"
Ketukan heels pada lantai. Suara bariton menenangkan. Sungguh asing, namun membuat candu. Hingga batin tanpa sadar berharap untuk terus mendengar.
Disusul pemuda lain dengan surai kuning. Sungguh indah, tampak sempurna dipadukan dengan parasnya yang unik. Ada luka bakar diwajah, memberikan bahan untuk dijadikan buah bibir.
Bingung, dia menatap Hajime dan gadis di depannya.
Kemudian, netranya saling beradu. Lautan disapa oleh alam. Asri, memberi sejuk pada diri. Sementara laut menelannya, berbagi ketenangan dalam gelombang pasang surut.
"Ah. Bisa tolong minggir?"
Mengangguk, kemudian menyingkir. Diam-diam melirik, pada sosok yang terusik. Kepala dengan lancang diangkat, membuat netranya beralih—
"Terima kasih."
—pada orang asing, yang membuatnya tertarik.
•••
25 Juli 2021
agathis_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top