⧼ 𝐈𝐈𝐈 ⧽

YUUJI BERLARI TERGOPOH-GOPOH menuju arah tengah hutan tempat di mana kuil tua tempat Ryuu singgah. Ia tadi sempat mendengar dentuman keras dari sana; mengindikasikan bahwa itu adalah suara ledakan atau bahkan pertarungan sosok gadis jelmaan naga dengan roh kutukan.

Batinnya mengumpat, gusar. Padahal hari ini ia hendak memberitahu sosok gadis cantik itu perasaannya selama ini — kenapa malah ada pertarungan di sana?!

Kakinya melangkah dengan cepat, ia melesat diantara rimbunnya pepohonan hutan yang lebat, abai dengan ranting semak yang ia terjang dan meninggalkan bekas goresan di kakinya. Napas menderu, terengah karena tak henti-hentinya ia berlari.

Ia terhenyak kala ia menyadari ada tirai yang di pasang di sekitar kuil tua milik gadis naga itu dan suara dentuman sahut menyahut dari balik sana; benar kalau dia kepikiran untuk menembusnya dan Yuuji benar-benar melakukannya.

"Ryuu!"
"Minggir, bocah! Di sini tak aman—"

Ryuu dengan cepat mendekap lelaki berambut merah muda itu dan menjatuhkan diri ke tanah, sesaat sebelum tebasan dari pancaran energi terkutuk akan mengenai mereka.

Debu beterbangan ke segala arah saat angin kencang yang entah asalnya darimana berhembus; terbatuklah mereka berdua.

"Kau ... Tak apa?" Bisik gadis bersurai hitam legam itu, sembari bangkit dari acara jatuh diri demi menghindari serangan dahsyat tadi.

"Apa yang terjadi sebenarnya? S-seharusnya aku yang tanya begitu padamu, Ryuu!" Yuuji menyahut padanya, sepasang manik cokelat itu di penuhi kilauan rasa cemas.

Ryuu terdiam, mata merahnya bergulir ke lain arah. "Aku cuma luka sedikit. Lagian kenapa kau menembus tirai dan nekat masuk ke sini, Yuuji?!"

Yuuji meneguk ludahnya, "Aku ... Aku khawatir padamu—"

Suara dentuman itu terdengar lagi, diikuti desis panjang (yang sepertinya) berasal dari seonggok ular di dekat mereka. Ryuu dengan cepat bangkit dan menarik tangan Yuuji, membawanya bersembunyi di balik pohon beringin yang tak jauh dari kuilnya yang mulai rusak sana-sini.

"Ryuu, benda apa yang sebenarnya kau hadapi?" Tanya Yuuji.

Ryuu menjawabnya, "Pelankan suaramu terlebih dahulu, bocah."
"Aku bukan bocah—"
"Diamlah."

Ryuu menghela, matanya dengan awas memerhatikan gerakan di balik kabut debu di belakang sana.

"Itu namanya Orochi," bisik gadis itu. "Entah kenapa ia datang kemari, padahal, hutang bapakku sudah lunas tujuh puluh tahun lalu."

"Orochi? Bentuknya kaya Orochimaru gitu?" Yuji menambahi, sebelum dahinya di jitak pelan oleh gadis yang 4 inci lebih tinggi darinya.

"Bentuknya itu ular besar, warnanya putih, matanya empat, punya tiga kepala," Ryuu membenarkan.
"Lagian, Orochimaru siapa?"

Desis panjang itu terdengar lagi, bahkan lebih nyaring dari yang pertama kali; Ryuu spontan menarik keluar pedangnya dari sarungnya, mengambil ancang-ancang untuk menyerang.

"Kau tunggu di sini saja, Orochi itu berbahaya," pinta Ryuu.

Karena Yuuji itu mc yang baik dan budiman, tentu saja ia menggeleng dengan mantapnya.

"... Aku akan membantumu, bagaimanapun caranya," balas lelaki muda itu, meraih telapak tangan Ryuu yang halus.

"Aku bisa menjadi umpan, kok." Ia tersenyum, "Lagian ... Apa salahnya membantumu, kan?"

Ryuu terdiam untuk kedua kalinya, jantungnya berdesir pelan saat Yuuji memancarkan senyum manisnya itu, entah kenapa.

Gadis jelmaan naga itu akhirnya mengangguk, menyanggupi permintaan lelaki rupa bebelac tapi badan L-Men ini.

"Oke, kalau begitu. Hati-hati, jangan sampai kena racun."
"Racun?"
Ryuu mengangguk, "Orochi juga masih ular, bukan? Dia bisa menyemprotkan bisa."
Yuuji hanya mengangguk sebagai balasan.

"Kau siap?" Ryuu menanyainya, tersenyum tipis.
"Seratus persen." Yuuji mengangkat jempolnya, tepat saat Ryuu menempelkan sebuah kertas mantra di punggungnya.

"Eh, ini apa?" Tanya Yuuji padanya.

"Itu jimat dariku, jangan sampai lepas. Itu bisa menangkal racun, kalau kena," jelas Ryuu.

Yuuji meraba kertas mantra di punggung bawahnya itu; kertasnya sudah usang, sepertinya.

"Kau yakin ini takkan sobek?"
"Percayalah, selama itu tidak tergores, bakalan aman."

Benar saja; Yuuji melesat keluar dari balik pohon setelah briefing rencana dengan Ryuu beberapa menit lalu.

Dengan niatnya sudah bulat, dengan cepat ia berusaha mengalihkan perhatian ular raksasa itu agar Ryuu bisa menghabisinya.

Orochi, ular putih berkepala tiga itu mendesis kuat. Salah satu kepalanya yang berhias dua pasang mata itu mengarah kepada Yuuji yang masih mengelak dari semprotan bisanya.

Yuuji berbelok arah; tajam menukik ke kanan, sebelum menggunakan black flash pada kepala Orochi yang mengejarnya itu, menghempasnya ke belakang hingga bertabrakan dengan kepalanya yang lain.

Ia melanjutkan pukulannya di bagian leher bawah kepala Orochi yang ia lawan selepas ia meloncat ke sana; melancarkan black flash sekali lagi hingga menyisakan lubang seukuran buah semangka di leher Orochi dan meloncat mundur.

Yuuji yang lengah tak sadar kalau ada kepala Orochi yang lain membuka mulutnya di bawahnya. Menganga lebar, siap melahap tubuh Yuuji yang terkesan lebih kecil dari seonggok makhluk melata berkepala tiga itu.

Tepat sebelum taring Orochi mencabik tubuhnya, moncong makhluk itu di tebas duluan oleh energi kutukan yang bukan main intensitasnya dan tubuhnya di bopong dengan cepat menjauhi serangan lain yang mungkin akan datang.

"Jangan lengah, bocah." Suara berintonasi rendah itu mengalun masuk telinganya saat aroma khas kamomil dan kayu manis itu menguar dari tubuh kurus itu.

Yuuji berjengit, wajahnya merona tipis saat menyadari sosok yang membopongnya ini. "... Maaf."

Ryuu menghela, sebelum berjongkok sedikit untuk menurunkan Yuuji dari gendongannya.

"Lain kali, kau harus gerak cepat. Ingat rencana." Ryuu menegurnya, lalu menjitak dahi Yuuji dengan pelan.
"Ayo, mana mungkin Orochi bisa kalah kalau kepalanya tidak di tebas semua?" Sambungnya.

Yuuji mengangguk mantap, kembali mengangkat kepalan tangannya yang dialiri energi kutukan; Ryuu telah mengacungkan katana-nya yang bertahtakan kobaran api merah keunguan.

Ryuu melesat maju, diikuti Yuuji yang mengumpulkan energi kutukannya sebanyak mungkin untuk menyerang dengan black flash sekali lagi.

Tebasan demi tebasan telah mengenai sisik luar Orochi, juga beberapa bekas pukulan dan luka yang melubangi beberapa bagian vitalnya; menghasilkan desisan keras dari ketiga kepalanya.

Salah satu kepala Orochi segera meliuk ke arah Ryuu yang menangkis serangan taring dua kepala yang lain. Dengan cepat Ia memasang kuda-kuda dan merapal mantra.

"Kageryuu: Kan'i Ryōiki."

Dengan melepaskan Simple Domain, Ryuu meminimalisir dampak racun yang disemprotkan oleh Orochi padanya; namun, cairan bening keunguan terlanjur menciprat ke tubuhnya sesaat kemudian. Membuat gadis jelmaan naga itu terhuyung ke belakang selama beberapa saat, sebelum tangannya yang lain mengelap sisa cairan itu dari wajahnya.

Ryuu bergerak maju, mengabaikan rasa pening akibat racun yang meresap di pori-pori kulitnya dengan cepat. Ia tak menyangka efeknya akan fatal seperti ini. Mengayunkan katana miliknya yang berkobar-kobar.

"Yuuji!" Seru Ryuu setelah menghunuskan pedangnya pada salah satu kepala Orochi; melumpuhkannya dengan instan.

Lelaki berambut merah muda itu sudah dalam keadaan terlilit ekor Orochi yang salah satu kepalanya sudah dilumpuhkan oleh Ryuu dengan kobaran api pedangnya tadi.

Yuuji mengerang, tubuhnya serasa remuk di lilit oleh ekor Orochi yang sisiknya cenderung lebih tebal. "Ryuu-! Tebas kepalanya sekarang!"

Ryuu terhenyak, sebelum mengeratkan genggaman tangannya pada pegangan pedangnya, merapal mantra sekali lagi.

"Mutsu-ryuu no shita: Jigoku."

Api yang menyelubungi bilah katana di genggamannya menggila, berkobar-kobar seperti api yang di beri minyak dan di tiup angin kering.

Ia menarik nafas, mengambil ancang-ancang sebelum bergerak cepat menebas salah satu kepala Orochi; meloncat menjauh, giliran memotong ekor ular putih itu untuk membebaskan Yuuji dari cengkeramannya.

Ular putih raksasa itu memekik kesakitan, namun Ryuu tak memberinya ampun sedikit pun.

Ryuu menggoreskan ujung jarinya di bilah katana miliknya, mengoleskan darah yang keluar dari luka di pucuk telunjuknya di bilah panjang berwarna perak kehitaman itu.

Api di sana berubah warna; menggelap, hingga mencapai titik di mana kita tak bisa membedakan itu merah tua ataupun hitam karena saking gelapnya.

Gadis bermanik merah garnet itu mengayunkan tangannya, memenggal kepala terakhir Orochi yang tersisa. Membuat makhluk itu musnah memeluk bumi dibawahnya.

Darah keunguan menciprat kemana-mana, bahkan lebih mirip seperti pancuran — hujan berwarna ungu tua.

Tirai yang terpasang mulai turun, kembali menampilkan langit yang semula biru muda ke jingga kemerahan.

"Ryuu! Kau- kau tak apa?" Yuuji bergegas ke arahnya, setelah melepas diri dari lilitan lemah ekor raksasa Orochi yang telah mati itu.

Ryuu mengibaskan pedangnya, sebelum memasukkannya kembali dalam sarung kayu yang diikatkan pada sabuk bajunya; Ia mengangguk, "Aku ... Tak apa. Cuma agak pening," ucapnya. "Kau tidak kenapa-kenapa, kan, Yuuji?"

Yuuji mengangguk menanggapinya, "Cuma lecet sedikit."

Ryuu menghela nafasnya lega, sebelum memandangi langit sore diatasnya.

"Terima kasih sudah menolongku," ucapnya sembari tersenyum tipis.

"Itu bukan masalah bagiku!" Yuuji menyahut, membalas senyuman Ryuu dengan senyuman seribu matahari; cerah sekali. "Lagian, apa salahnya melindungi dan membantu gadis seperti dirimu, kan?"

Ryuu tertegun, sebelum terkekeh pelan. "Is that supposed to be a compliment or a flirting style, hm?"

Yuuji mengedikkan bahu, sebenarnya di dalam hatinya, Ia cukup kaget mendengar Ryuu yang bisa bahasa Inggris. Lebih-lebih lagi, dia itu naga.

"Entahlah? Pikir sendiri." Yuuji tertawa usil, menyenggol pelan lengan Ryuu.

Si empu yang barusan di sikut lengannya ini hanya menggelengkan kepala, masih tersenyum, sebelum mengambil langkah mendekat ke arah Yuuji; merapatkan jarak.

Yuuji yang mengetahuinya seketika tersadar akan jarak antara mereka berdua — beberapa jengkal lagi, Ryuu sudah bisa mengecup jidatnya.

Kedua pasang mata itu bertemu di bawah semburat jingga petang yang temaram, di sela angin musim semi yang mulai mendingin di malam hari.

Yuuji seketika teringat hajatnya untuk ke kuil Ryuu hari ini dan berdehem sejenak.

"Kau tahu, Ryuu? Anu ... Begini," tuturnya dengan agak gugup, warna merah mulai menyembul di wajahnya.

"Aku mendengarkan, kenapa? Wajahmu agak merah. Kau alergi serbuk sari bunga atau kepanasan tadi?" Ryuu semakin mendekat, bukan karena ingin modus, tentunya.

Tubuh Yuuji seketika merinding (dalam arti yang baik) saat wajah Ryuu sudah dekat dengan miliknya, membuat wajahnya merona merah. Menggelap bagai warna kepiting rebus yang matang sempurna.

"... Kau- kau cantik," cerocosnya secara tiba-tiba.

"Maaf? Bisa ... Di ulang lagi?" Ryuu yang terkejut menjadi lemot, otaknya telat merespon akibat ucapan Yuuji barusan.

Yuuji menarik nafas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian sebelum menatap Ryuu lekat-lekat.

"Kau cantik, Ryuu. Sangat cantik. Maksudku, kau sangat indah, seperti langit sore ini." Yuuji berucap, suaranya agak bergetar karena malu yang ditampungnya di balik komuk sok kuatnya itu. "Apalagi mata merahmu; itu juga cantik. Seperti ... Permata garnet atau rubi."

Ryuu terdiam, sebelum tersenyum, "... Terima kasih, ku rasa?" Ia terkekeh canggung, menggaruk tengkuknya.

"Lalu, kau tahu? Meskipun kita baru berjumpa seminggu yang lalu, aku merasakan ada sesuatu yang tumbuh di dalam hatiku," sambung Yuuji, menatap tanah yang dipijaknya.

"Memang aku kurang sopan memasuki kuilmu tanpa izin dulu, bahkan, sampai membuatmu takut."

"Tapi, semenjak pertemuan kita yang cenderung aneh itu, aku merasakan ... Afeksi tersendiri bagimu."

Tangannya meraih tangan ramping Ryuu yang berhiaskan cat kuku hitam itu, sementara si gadis naga masih terdiam mendengarkan ucapannya.

"Maaf kalau ini terdengar sangat terburu-buru, karena aku tak pandai mengungkapkan perasaan."
Yuuji menaikkan tatapannya, menuju sepasang iris berwarna garnet itu.

"Aku menyukaimu, Ryuu Shinigami. Romantically into you. Meskipun kita terhalang ras, entah kenapa, aku malah jatuh cinta padamu." Ia terkekeh, malu-malu.

"Aku tahu, mungkin usia kita berjarak berpuluh-puluh atau bahkan beratus-ratus tahun, tapi ... Aku terlanjur menyukaimu." Lanjutnya, meremat tangan Ryuu dengan lembut.

Ryuu tak memberikan respon, sesaat sebelum Ia memeluk lelaki yang 14 sentimeter lebih pendek darinya itu dengan erat.

"... Pernyataan cintamu ku terima."
"Tunggu, apa?"

Ryuu membenamkan wajahnya di bahu Yuuji, menghirup aroma pewangi pakaian Yuuji yang mirip aroma stroberi.

"Kau menyukaiku, kan? Pernyataanmu ku terima sepenuh hati, jiwa, dan raga. Lemot sekali kau ini." Ryuu membalasnya, dengan seringai tipis.

"Sungguh?!" Bagaikan sehabis memakai ekstasi, gejolak euforia membuncah dalam hatinya. Matanya berkilauan.

Ryuu mengangguk, mengeratkan pelukannya. "Mana mungkin aku menolak bocah seimut dirimu, kan? You're too precious, little sun."

Yuuji tersipu lagi dan memeluk balik figur kurus gadis di depannya ini.

"Terima kasih, Ryuu."
"Sama-sama."
"Jadi ... Bolehkah aku mengatakannya sekarang?"
Ryuu mengangguk.

Yuuji tersenyum lebar, matanya membentuk kurva seperti bulan sabit.

"Aku mencintaimu, Ryuu."

Ryuu, dengan semburat merah tipis berucap balik, "Aku juga mencintaimu, bocah pink."

Di senja itu, pada akhirnya Yuuji dapat mengutarakan isi hatinya dan mendapat akhir bahagianya seperti dalam novel romansa.

Begitu pula dengan Ryuu; dia akhirnya takkan membujang untuk sisa hidupnya.

OMAKE !

"Ryuu, kau beneran nggak apa-apa?" Yuuji menatapnya dengan tatapan khawatir.

Ryuu membalasnya, dengan senyum konyol di wajahnya.

"Sebenarnya, aku tadi kena racun Orochi. Tapi karena aku pakai Simple Domain, jadi—"

"Kenapa kau tak bilang dari tadi?! Wajahmu pucat, tahu! Ayo, aku bawa ke dokter sekolahku." Yuuji bergegas membopong gadis jelmaan naga itu dan berlari menuju SMK Jujutsu.

"Hey, turunkan aku!"
"Tidak mau! Kau harus sampai di sana dengan cepat, aku tak mau kau meninggal besok di kencan pertama kita!"

"Dasar, kau ini dramatis sekali!" Ryuu tergelak, membiarkan Yuuji membawanya pergi ke dokter sekolahnya.


31 Desember 2023, menjelang Tahun Baru 2024. Pukul 23.59.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top