❀ Rupawan Dan Misterius

**✿❀ ❀✿**

Pertemuan keduanya terjadi pada musim gugur. Di antara hangatnya warna kuning dan jingga, presensi perempuan itu ibaratkan kelopak sakura yang mekar di antara guguran daun maple nan jingga.

26 Oktober merupakan salah satu hari paling berkesan dalam hidup Kamisato Ayato. Tak hanya hari di mana Ritual Omiyamairi adiknya yang telah berumur sebulan digelar, namun juga hari di mana ia merasakan suatu debaran aneh yang belum pernah dirasakannya selama hidup.

Hari dirinya bertemu dengan Guuji Yae― sang kepala Kuil Narukami yang disegani, pula orang yang membuatnya jatuh hati untuk kali pertama.

❀❀❀

Pagi itu Kediaman Kamisato sangat sibuk. Matahari baru menampakkan setengah wujudnya di ufuk timur, namun rumah besar dari keluarga paling berpengaruh di Inazuma tersebut sudah ribut dengan para pelayan yang berlalu-lalang di setiap koridor.

Kesibukan memang bukan lagi hal yang asing bagi Kediaman Kamisato mengingat seberapa besar pengaruh keluarga itu pada negeri Archon Electro selama ini. Namun, kesibukkan kali ini tak seperti biasanya. Pasalnya, pada hari nan cerah tersebut Ritual Omiyamairi dari putri Keluarga Kamisato akan digelar di Kuil Narukami. Jadi, tidak heran apabila suasana pada rumah besar itu sudah ramai walau matahari belum beranjak naik ke angkasa.

Ayato menghela napas, sepasang manik biru melihat beberapa pelayan yang tengah sibuk mempersiapkan dirinya. Kuapan sesekali lolos dari bibir, pertanda bahwa sang anak lelaki bersurai biru langit belum puas lelapnya.

Biasanya Ayato baru saja bangun tidur di jam sekian. Ia lalu akan duduk di atas futon-nya yang lembut, mengumpulkan nyawa sebelum mandi dalam pemandian air hangat pribadi. Namun hari ini, dirinya sudah berpenampilan rapi dengan balutan kimono biru pastel, bawahan hakama biru tua, serta haori berwarna putih berhiaskan aksen biru. Rambutnya pun telah disisir, ditata rapi sedemikian rupa.

"Persiapan anda sudah selesai, Tuan Muda," ucap salah satu seorang pelayan perempuan sembari mundur beberapa langkah ke belakang, pelayan yang lain mengikuti tindakannya.

Ayato tersenyum. "Terima kasih. Kalian boleh pergi sekarang."

"Baik," balas salah satu dari mereka dengan penuh hormat.

Dengan begitu, para pelayan itu pun mengundurkan diri dan beranjak pergi dari ruangannya, meninggalkan Ayato seorang diri dalam kamar tersebut. Sang anak lelaki lantas berjalan ke arah cermin, menatap bayangan diri dalam mirat. Pakaian yang tampak sederhana, Ayato menyukainya.

"Jika bajunya hanya seperti ini, seharusnya Ibunda membiarkanku memakainya sendiri. Kenapa pula harus meminta pelayan untuk membantuku?" gumam Ayato kesal. "Yah, di sisi lain, aku bersyukur bahwa baju yang dipakai hari ini bukan pakaian formal."

Terdengar ketukan beruntun sebelum pintu shoji digeser, lantas seorang pelayan wanita masuk ke dalam kamar. Ia berkata, "Tuan Muda, Tuan dan Nyonya Besar telah menunggu anda di ruang tamu."

Ayato mengangguk. Ia pun berjalan keluar dari ruangannya, mendahului pelayan tadi. Usai kembali menggeser shoji untuk menutup ruangan, si pelayan membuntuti sang putra sulung Kamisato dari belakang.

Setelah melangkah beberapa saat, Ayato akhirnya tiba di tempat yang dituju. Di sana sudah ada kedua orang tuanya yang tengah menunggu, adik kecilnya masih terlelap dalam gendongan sang ibunda yang mengenakan kimono berwarna putih salju.

Mendapati semua anggota keluarga telah lengkap, rombongan kecil beranggotakan Keluarga Kamisato serta beberapa abdi dan ajudan yang mengiringi pun berangkat menuju Kuil Narukami.

❀❀❀

Ayato tak henti-hentinya meniup kedua telapak tangannya. Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya, udara seakan-akan menyusup melalui pori-pori kulit 'tuk menusuk tulang. Selarap manik lazuardi melirik ibunya yang berjalan beriringan dengannya, mendapati bahwa jemari-jemari tangan perempuan tersebut jug bergetar samar seperti miliknya.

Ayato heran bagaimana sang ibunda masih dapat tersenyum di tengah suhu udara yang sangat dingin pagi itu.

Rombongan Keluarga Kamisato kini tengah menapaki tangga menuju Kuil Narukami. Semakin menanjak, udara terasa kian dingin. Bahkan hembusan napas hangat dari mulut pun tak lagi dapat menghangatkan barang sejenak.

Pandangan Ayato kini kembai tertuju ke depan, mendapati sesosok wanita asing mengenakan atasan kimono putih dengan bawahan hakama merah. Dari penampilannya, jelas sekali bahwa perempuan itu merupakan seorang gadis kuil.

"Selamat datang, Keluarga Kamisato. Nyonya Guuji telah menunggu kedatangan anda sekalian," sambut perempuan itu sembari membungkuk hormat tatkala rombongan Keluarga Kamisato tiba di ujung tangga. Ia menegakkan tubuhnya kembali. "Mohon ikuti saya."

Sang kepala keluarga mengangguk, ia menoleh dan dibalas dengan anggukan dari sang istri. Kelompok kecil tersebut pun kembali berjalan dengan si gadis kuil sebagai pemandunya.

Sepanjang perjalanan, Ayato tak berhenti memerhatikan sekitarnya. Terakhir kali ia mengunjungi kuil adalah kala musim semi lalu, di mana bunga sakura merekah dan gugurannya mewarnai pelataran tempat suci dengan warna merah muda nan cantik. Sekarang, bunga sakura tak lagi tampak, hanya ada dedaunan jingga di pepohonan yang akan gugur begitu saja tatkala ditiup angin.

Tak seindah saat musim recup, tapi Ayato tetap menyukai pemandangan kuil yang dilihatnya saat ini.

Suara derap langkah yang berhenti membuat Ayato kembali mengalihkan pandangan ke depan. Tak jauh dari tempatnya berdiri, terdapat seorang wanita bersurai merah muda panjang yang diikat di ujungnya. Rok merah panjang menjuntai dari sebalik rambutnya, pula terdapat sebuah ornamen berwarna keemasan yang tampak apik di belakang kepala dan di antara― telinganya? Ayato akan asumsikan demikian.

Ah, mungkin dia yang dimaksud Nyonya Guuji, batin Ayato setelah mengamati gestur membungkuk hormat gadis kuil tadi pada wanita berambut merah jambu itu sebelum melenggang pergi.

Usai kepergian sang pengantar, perempuan itu berbalik dan menunjukkan rupanya. Dan seketika waktu terasa berhenti bagi sang anak berambut biru langit.

Wanita itu berwajah rupawan, rambut merah muda bagai kelopak sakura membingkai rupa dengan sempurna. Kedua mata violetnya terlihat begitu indah, seakan dapat membuat seseorang tak jemu untuk memandang. Lalu senyum yang merekah layaknya kuncup mawar itu ... Ayato benar-benar tak bisa berpaling. Sungguh pesona yang begitu misterius.

"Kalian sudah datang rupanya. Selamat datang," sapa sang wanita Guuji dengan nada ramah― yang mana membuat Ayato tersadar dari lamunan. Si anak lelaki lantas mengangkat pandangan dan tak sengaja bertemu tatap dengan sang pemilik nayanika lembayung. Perempuan bermahkota merah sakura itu mengembangkan senyum. "Lama tak berjumpa, Tuan Muda Kamisato. Kau tumbuh dengan cepat, ya."

Ayato berdeham, berusaha mengusir kegugupan yang menyelimuti hati sebelum menyunggingkan senyum ramah. "Senang bertemu dengan anda, Nyonya Guuji. Jika saya tak salah ingat, ini adalah pertemuan kita, bukan begitu?"

Kekehan merdu terdengar bersamaan dengan telapak tangan yang menutupi mulut, Guuji Yae tertawa pelan tanpa melunturkan keanggunan.

"Sungguh anak yang sopan," puji Yae usai puas tertawa. "Kau tidak salah, Nak. Aku pertama kali melihatmu saat umurmu masih satu tahun. Jadi, ini memang pertemuan pertama kita secara langsung."

Ayato hanya membalas ucapan tersebut dengan senyuman mata tertutup. Ia akui, suara dari pemimpin Kuil Narukami itu terdengar begitu lembut dan enak didengar. Ayato tak akan bosan mendengar suara wanita itu seharian apabila diberi kesempatan.

"Baiklah. Kurasa kita bisa memulai ritualnya sekarang," ujar Yae sembari menatap lurus ke arah sang Kepala Keluarga Kamisato, yang mana langsung dibalas dengan anggukan senyum.

Ritual Omiyamairi untuk putri Keluarga Kamisato― Kamisato Ayaka― pun dimulai. Sepanjang ritual, Ayato sama sekali tak bisa fokus. Bukan hanya karena presensi Guuji Yae yang amat menarik perhatiannya, namun juga aroma sakura yang terus menusuk penghidu membuat anak lelaki itu terdistraksi berulang kali.

Ritual pemberkatan tersebut berjalan lancar tanpa hambatan hingga akhir― yang mana diakhiri dengan Ayaka kecil dipotret bersama sang ibunda. Sang putra sulung bersyukur bahwa tak ada kendala apa pun selama ritual dilaksanakan, namun ada sedikit rasa nyeri di hati kala hendak meninggalkan Kuil Narukami.

Ayato menoleh ke arah tempat sakral itu, seuntai senyum tipis tersungging di bibir sebelum kaki menapak ke anak tangga― turun dan meninggalkan kuil di puncak bukit.

Mungkin aku akan lebih sering ke sini ke depannya.

Hari itu, ambisi baru tumbuh dalam sanubari Kamisato Ayato, sebuah ambisi yang didasari akan rasa ingin tahu pula perasaan jatuh suka pada sosok wanita berambut merah muda layaknya rumpun sakura di musim semi.

**✿❀ ❀✿**

Halo! Dengan Aohana Mashiro di sini.

Syukurlah saya bisa menyelesaikan cerita ini tepat sebelum deadline.

Oh ya, cerita ini hanya terdiri dari satu chapter. Memang rencana saya dari awal demikian.

Saya berterima kasih kepada para pembaca yang telah mau meluangkan waktunya untuk membaca karya ini. Saya harap, kalian menyukainya.

Apabila ada kesalahan pengetikan, tolong jangan sungkan untuk mengingatkan.

Sekian dan terima kasih.

Salam hangat,
Aohana Mashiro.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top