:: Rela Berkorban, Namun Juga Menyebalkan

Peringatan!

Chapter ini mengandung spoiler dari bagian manga yang belum diadaptasi ke dalam anime-nya. Apabila kalian belum membaca manga-nya dan tidak ingin terkena spoiler, silahkan tekan tombol kembali.

Terima kasih.

-Aohana Mashiro

**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚ ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

Walau sering terlihat egois dan angkuh, Iino sebenarnya seorang yang rela berkorban demi orang lain.

Contohnya saat perencanaan acara kelas untuk Festival Hoshin.

Ia rela menjadi subjek yang dipasangi mic demi bisa menciptakan suara 3D atau binaural untuk tercapainya keberhasilan proyek rumah hantu gabungan kelas kami.

Aku dengar dia keberatan, namun pada akhirnya pasrah setelah dibujuk oleh teman-teman sekelasnya. Mereka pasti sudah tahu bahwa gadis berambut cokelat itu sulit menolak permintaan orang lain setelah dipuji berulang kali.

Tidak hanya itu. Iino juga rela tidak menikmati festival dan memilih untuk berpatroli di sekitar sekolah demi menjaga keyakinan masyarakat yang telah memberikan sekolah izin untuk melaksanakan api unggun dambaannya.

Iino rela mengorbankan keinginannya untuk melihat acara api unggun demi berlangsungnya agenda tersebut. Aku menghargai sifatnya itu. Merelakan keinginan demi kepentingan orang banyak merupakan sifat yang jarang ditemui di zaman sekarang.

Lalu, pengorbanannya yang paling kuingat dan mungkin tak akan pernah kulupakan selama hidup adalah ketika malam natal.

Saat itu, kami diundang ke pesta natal Kak Tsubame. Bukan kami saja, dia juga mengundang beberapa kenalan kami seperti Onodera dan Osaragi.

Namun, Osaragi tak dapat datang karena kencan dengan pacarnya. Ya, orang yang tidak lagi menyandang status jomblo pasti akan menghabiskan natal bersama pasangannya.

Pesta berlangsung cukup meriah dan kami semua menikmati suasana di malam nan dingin itu. Kami yang cukup umur pun menikmati minuman beralkohol yang disajikan oleh Kak Tsubame selaku tuan rumah.

Kecuali Iino, ia sudah tepar duluan karena memakan permen cokelat yang mengandung alkohol. Tipikal yang tidak imun terhadap alkohol dan mudah mabuk, sepertinya.

Waktu terus berjalan dan tak terasa tengah malam telah tiba. Para tamu mulai berpamitan dan pulang satu per satu. Aku pun hendak melakukan hal yang sama, sebelum Kak Tsubame memintaku untuk tinggal sebentar. Katanya ada yang ingin dibicarakan denganku.

Aku mengangguk, menuruti permintaannya untuk tinggal.

Di saat itulah semuanya mulai kacau. Di luar dugaan, Kak Tsubame― orang yang kusukai― mengajakku ke kamarnya.

Dan kau tahu apa yang dia katakan? Ia mengajakku untuk bersetubuh.

Aku bisa saja mengiyakan ajakannya, membiarkan pikiranku tumpul oleh nafsu dan tenggelam dalam euforia bersamanya.

Tetapi, bukannya nafsu, namun kebingungan yang memenuhi isi kepalaku. Mengapa ia tiba-tiba mengajakku melakukan hal ini? Mengapa ia membujukku― seorang laki-laki yang bahkan tak memiliki hubungan kekasih dengannya untuk bercumbu?

Dengan kewarasan yang masih menguasai pikiran, aku pun menyanyakan alasan mengapa Kak Tsubame mengajakku. Sembari berharap dalam hati, ia melakukan hal ini atas dasar rasa suka sama suka.

Namun, jawaban yang diutarakan olehnya membuatku ingin menertawakan diriku sendiri.

Benar, Kak Tsubame mengajakku bukan karena alasan yang kuharapkan. Tetapi karena rasa kasihan, rasa iba dan tidak tega untuk menolak pernyataanku.

Aku tertawa dalam hati. Apakah aku semenyedihkan itu hingga orang sebaik dirinya tidak mampu untuk menolakku?

Kak Tsubame memang orang yang baik. Namun, jika ia memintaku untuk melakukan hal ini bersamanya atas dasar rasa kasihan, maka aku tak bisa menurutinya.

Serendah apa pun diriku, aku masih punya harga diri. Dan dikasihani orang lain merupakan salah satu hal yang kubenci.

Pada akhirnya, aku pun pamit dan meninggalkan kamarnya.

Kak Tsubame berusaha menahanku, namun tekadku sudah bulat. Aku pun meminta maaf dan pamit, terus menatap ke depan dan meninggalkan apartemennya.

Ketika keluar, aku bertemu dengan Iino. Ia mengata-ngataiku setelah mengetahui apa yang terjadi. Kami sempat berdebat― lebih tepatnya, Iino mengomeliku yang menolak ajakan dari Kak Tsubame itu.

Namun, aku sudah tidak peduli lagi apa yang sedang terjadi.

Aku bahkan menyuruhnya untuk tidak mengikutiku. Dan ia menurut, membiarkanku pulang sendirian melalui jalan yang berbeda.

Aku pun berjalan menuju tangga. Lift memang tersedia, tapi tujuanku bukan untuk pulang setelah

Saat melihat ke arah tangga yang ada di hadapanku, aku hanya berpikir akan satu hal.

Aku ingin mati.

Aku ingin mati.

Aku ingin mati.

Bunuh aku.

Aku pun menjatuhkan diri, membiarkan tubuhku menggelinding menuruni tangga.

Kukira, tangga itu akan menjadi pemandangan terakhir yang kulihat. Tapi, aku salah.

Aku membuka mata, mendapati tangga menanjak dan langit-langit dengan lampu redup yang menyala.

Kesadaranku kembali tatkala mendengar suara familier yang mengaduh. Menolehkan kepala, aku mendapati hal yang sama sekali tak kuduga.

Iino berada di sampingku dengan tangan memeluk tubuhku.

Saat itu pula, aku sadar apa yang terjadi. Iino berusaha melindungiku saat terjatuh.

"Apa yang kau lakukan, Iino?" Kata itu terucap dari mulutku dengan nada tidak percaya.

Alih-alih menjawab, Iino malah memasang wajah kesal sembari berkata, "Mati jatuh di malam natal ... candaanmu benar-benar kelewatan."

Tangannya kemudian terulur, menyibak rambut yang menutupi sebagian pandanganku. Ia lantas melanjutkan ucapannya, "Beneran deh ... pasti lebih buruk jika aku tidak ada."

Air mataku tiba-tiba meleleh, meluncur membasahi pipi. Entah mengapa, ada rasa lega saat melihatnya memperlakukanku seperti ini. Rasa haru turut menyergap, mengetahui bahwa ia memiliki sedikit kepedulian terhadapku.

"Apa yang kau tangisi?" ujarnya dengan dahi berkerut menahan sakit. "Akulah yang satu-satunya kesakitan di sini."

Hal-hal menjadi sulit sejak itu.

Ayahku memarahiku habis-habisan di rumah sakit dan terus mengucapkan beribu kata maaf atas yang terjadi. Aku pun melakukan hal yang sama, melakukan dogeza sambil memohon maaf dari kedua orang tua Iino.

Ia terluka karenaku, sudah sewajarnya aku meminta maaf. Tidak-- bahkan kata maaf tidak akan cukup.

Maka, usai meminta maaf, aku menawarkan diri untuk membantu keseharian Iino di sekolah selama tangan kanannya yang patah masih belum membaik.

Dan itulah awal debutku menjadi babu-- maksudku, tangan kanan dari Iino.

***

"Ishigami, bawakan tasku."

"Ishigami, tuliskan catatan di papan."

"Ishigami, suapi aku."

"Ishigami, aku haus."

Segala perintah terus terucap darinya, dan aku harus menurutinya layaknya pelayan yang patuh.

Lelah memang, tapi mau bagaimana lagi― aku yang memilih cara ini untuk bertanggung jawab atas cidera yang dialami Iino.

Pandangan yang menganggapnya sebagai seorang yang menyebalkan masih terdapat dalam batin. Walau, tak sebanyak dulu.

**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚ ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

To be continued


Author note :

Gif akan ditambahkan setelah memori saya agak longgar. Kemungkinan akan ditambahkan bersamaan dengan dipublikasikannya chapter ketiga yang sekaligus akan menjadi chapter terakhir.

Saya sebenarnya ingin memublikasikan semua chapter setelah tamat. Namun, eror yang terjadi di book saya yang lain (She Who Loves Euphonium) membuat saya terpaksa mengambil langkah ini agar kejadian tersebut tidak terulang lagi di sini.

Sebelumnya, terima kasih atas pengertian pembaca sekalian.

-Aohana Mashiro

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top