:: Baik Hati
Aku tidak tahu sejak kapan pandanganku terhadapnya berubah.
Sedari dulu, aku sering memandang Iino sebagai orang yang menyebalkan karena sering menyita barang-barangku sekaligus memberiku bonus ceramah tentang pentingnya menaati peraturan sekolah. Benar-benar tipikal gadis yang sangat merepotkan.
Hei, walau aku menghargai sisi baiknya, aku juga bisa sebal terhadapnya, oke?
Namun, entah mengapa, dia tampak sedikit berbeda belakangan.
Aku tahu bahwa Iino adalah seorang gadis yang baik. Namun, mendapat perlakuan baik darinya sama sekali tidak pernah terpikir dalam benakku.
Habisnya, hubungan pertemanan (itu pun jika bisa disebut begitu) tidak pernah baik. Bisa dibilang, selalu buruk. Ibarat anjing dan kucing yang siap mencakar satu sama lain kapan saja. Sehingga, ketika ia memperlakukanku dengan baik― seperti membelikan sekotak kopi susu, mengizinkanku menggunakan layar lebar di ruang OSIS untuk bermain game, juga makan camilan― aku menjadi terkejut setengah mati.
Walau begitu, aku berusaha berpikir positif. Mungkin ini timbal balik dari perlakuan baikku padanya? Yah, kuanggap saja begitu.
Lalu, keanehan lain terjadi lagi hari ini.
"Apa kau sedang memikirkan Kak Tsubame lagi?" tanyanya penasaran, yang mana membuatku tak bisa menahan diri untuk melirik ke arahnya.
Hari ini pun Iino bersikap aneh.
Biasanya, kapan pun dia bicara, pasti selalu tentang peraturan inilah, moral itulah― segala yang dikatakannya tidak ada kaitannya.
Tapi belakangan ini, Iino menjadi sangat peka.
"Apa rasanya sakit?" tanyanya lagi.
Mengungkit soal Kak Tsubame terasa menyakitkan bagiku, ibarat membuka luka yang masih basah lalu menaburinya dengan garam. Aku tidak suka pembicaraan ini.
Walau demikian, tak menjawab tentu akan membuat Iino merasa tidak nyaman dan mengira dirinya orang yang tak sopan. Selain itu, akan canggung juga jika percakapan ini tak kulanjutkan.
Aku menghela napas, lantas menjawab, "Yah ... kalian semua sudah melihat kondisiku yang paling buruk. Jadi kurasa, tak ada gunanya disembunyikan lagi. Kau benar ... masih belum sepenuhnya hilang. Rasanya sakit."
"Apa yang kamu sukai dari Kak Tsubame?"
"Topiknya jadi cinta, nih?" tanyaku balik. Jujur saja, membicarakan masalah asmara atau percintaan dengan Iino tak pernah terbayangkan olehku. Anak ini kesambet apa sebenarnya?
"Maksudku begini, aku tidak sepenuhnya kenal dengan Kak Tsubame," jawabnya sambil meletakkan kedua tangannya ke belakang punggung. "Ya, memang aku tahu dia itu sangat baik, tapi...."
"Yang kusuka darinya, huh...."
Iino terdengar seperti seorang gadis yang meminta pendapat tentang gebetan dari orang yang disukainya. Tapi, mana mungkin hal tersebut benar terjadi. Maksudnya pasti murni ingin mengenal Kak Tsubame. Mungkin, dia memiliki keinginan untuk berteman dengan Kak Tsubame.
Ya, pasti itu alasannya.
Baiklah, dia tadi menanyakan tentang apa yang kusukai dari Kak Tsubame, ya? Akan terlalu panjang jika kusebutkan semuanya, lebih baik kuringkas saja.
"Dia baik hati, cantik, dan selalu riang gembira. Dia bersinar sangat terang seakan-akan melihatnya langsung itu sangat menyilaukan," ucapku sembari menundukkan kepala. "Dan karena sekarang aku tertolak, aku merasa seperti hidup di dunia tanpa matahari."
Begini kurasa cukup. Mari dengar bagaimana responnya.
"Duh, jij-- jujur, kamu kreatif ya dengan perkataanmu. Aku paham, lagipula dia selalu baik pada semua orang."
Gadis ini memang menyebalkan.
"Barusan kau mau bilang 'jijik' 'kan?"
Iino memalingkan muka, menghindari tatapanku― berpikir seakan hal tersebut dapat menyembunyikan kebohongannya. "Tidak kok."
"Bohong."
"Iya deh, aku bilang begitu."
'Kan!
"Kau ini punya hati tidak sih?! Saat ada yang depresi, biasanya orang akan 'Iya iya' dan sebagainya meski si orang mulai bersajak 'kan?!" teriakku frustasi karena terlampau emosi. Dia ini memang tidak bisa membaca situasi!
Iino tertawa, "Maaf."
"Sungguh, aku minta maaf," lanjutnya.
Berbeda dari sebelumnya, ucapannya kali ini terdengar tulus― terdengar benar-benar merasa bersalah. Aku menjadi tidak enak karena membentaknya barusan.
"Tidak apa-apa, yang berlalu biarlah berlalu--"
"Sebagai permintaan maaf," Aku sedikit tersentak saat merasakan sesuatu menyentuh kepalaku― yang rupanya adalah telapak tangan milik Iino. Sembari menepuk lembut, dia lanjut berkata, "Kemari, biar aku tenangkan."
Dia pun memgelus kepalaku sembari berkata, "Yosh, yosh."
Diperlakukan seperti ini oleh Iino terasa aneh. Mataku terasa hangat, sialan.
Aku memalingkan muka. "Apa? Maksudmu, aku butuh dorongan mental, begitu?"
"Aku hanya menenangkanmu saja, kok," balasnya tanpa menghentikan elusannya. "Di saat seperti ini, hal semacam ini yang kau butuhkan, bukan? Perasaan dari adanya orang di sampingmu ... merupakan pengingat bahwa kau tidak sendirian di sini. Yosh yosh."
"Hentikan," ujarku. Sialannya, suaraku bergetar. "Aku akan menangis kalau kau terus bersikap baik begitu padaku."
Seakan kupingnya tuli, Iino masih terus mengusap kepalaku. Dan parahnya, dia malah melebarkan senyum sembari menatapku dengan tatapan teduh!
"Kamu sudah melakukan yang terbaik, Ishigami. Pasti berat, ya. Tapi, kamu berhasil memberi tahunya apa yang kamu rasakan," ucapnya. Entah mengapa, suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya.
"Sudah kubilang hentikan! Aku menjadi ingin menangis, tahu?!" pekikku dengan air mata berlinang. Ya ampun, semua kebaikan ini membuatku emosional.
Gadis itu terkekeh, lantas berkata, "Apa kamu sungguh ingin aku berhenti."
"Tidak. Sebenarnya, ini membuatku benar-benar lega."
Iino pun melanjutkan kegiatannya― mengelus kepala dan memberiku kata-kata penenang.
Aku merasa malu, menangis di depan orang lain membuatku terlihat lemah. Walau pun begitu, perlakuan hangat ini membuatku senang. Rasa-rasanya, aku tak bisa berhenti menangis― seakan bendungan air mata dalam netraku sudah rusak.
"Jadi, sudah merasa baikan?" tanya Iino beberapa saat kemudian. "Apa menurutmu malam ini bisa tidur nyenyak?"
"Entahlah, belakangan ini aku susah tidur. Jadi, aku tidak tahu."
Jawaban jujur itu meluncur begitu saja dari mulutku. Suasana ini membuatku tak bisa berbohong dan mengungkapkan segala perasaan sakit yang kupendam.
"Begitu, ya," sahut Iino. Dia kemudian menepuk kedua pahanya dan berucap, "Kalau begitu, kenapa kamu tidak tidur di sini saja."
Seakan akalku telah hilang, aku langsung membaringkan kepalaku ke atas paha Iino. Dapat kurasakan tangannya masih mengelus pucuk kepalaku, bibirnya pun masih terus melafalkan kata "Yosh yosh" seperti mantra. Aku sama sekali tak menyangka bahwa hari di mana kami bisa seakur ini akan datang.
Di tengah perasaan tenang yang tercipta dari situasi sekarang, sebuah hal penting muncul dalam kepalaku.
Situasi yang memicu kesalahpahaman ini sudah berlangsung cukup lama. Biasanya, Kak Fujiwara akan datang di waktu-waktu seperti sekarang lalu berbicara tidak jelas perkara cinta ini lah atau perasaan ini lah. Sehingga, absensi senior bersurai merah muda itu memberiku firasat buruk.
"Hei, sepertinya gawat juga jika ada yang melihat kita seperti ini?" celetukku sambil memalingkan muka untuk menatap lantai.
Iino spontan berhenti mengelus kepalaku. "Ah, ya. Kalau ada yang masuk sekarang, aku kurang tahu harus dijelaskam seperti apa."
"Yang seperti ini rasanya seperti momen-momen Kak Fujiwara masuk."
"Aku paham apa yang kau rasakan." Gadis yang meminjamkan pahanya padaku ini pun berdeham setuju. "Harus bagaimana ini, tidurmu juga belum cukup."
Dan perkataannya selanjutnya, membuatku tersipu dan salah paham akan semua tindakannya.
"Kalau begitu, kenapa kita tidak pergi ke suatu tempat di mana kita bisa sendirian ... atau semacamnya?"
Ini buruk ... aku akan menjadi semakin salah paham dengan gelagat dan ucapannya.
Sedetik kemudian, ponsel Iino tiba-tiba berdering. Dia pun mengangkatnya dan berbincang sejenak dengan si pemanggil sebelum pamit untuk keluar ruang OSIS. Aku pun kembali mendudukkan diriku, membiarkannya berdiri dan berjalan keluar.
Aku menghela napas. Selalu saja ada halangan di saat-saat seperti ini.
Tunggu ... mengapa aku terdengar kecewa?
Aku spontan menampar kedua pipiku. Sadarlah, Yuu. Memang, sikap Iino belakangan ini aneh. Tapi, itu bukan berarti bahwa dia menyukaimu.
Bahkan kalimat tadi pun ... mungkin, dia hanya berusaha membantuku agar bisa tidur lelap tanpa ada niatan lain di dalamnya.
Derit pintu membuatku menoleh, mendapati Iino yang telah kembali. "Aku kembali," ucapnya sembari menutup pintu.
"Siapa yang menelepon?"
"Ayahku," jawabnya sembari duduk di sampingku. "Katanya, dia akan kerja malam lagi. Dan ibuku pun masih sibuk di luar negeri. Jadi, tak akan ada siapa pun di rumah malam ini."
Dia menghela napas sejenak, lalu melanjutkan, "Yah, aku memang bilang malam ini, tapi seperti itulah yang biasa terjadi."
Begitu, ya. Jadi, selama ini Iino berada di rumah sendirian saat malam. Ayahnya yang seorang jaksa sibuk bekerja mengadili kasus-kasus yang ada di pengadilan, lalu ibunya pun tak ada di rumah sebab sedang di luar negeri.
Kasihan sekali, dia pasti kesepian. Dan tatapannya yang tampak kosong memperjelas bahwa pradugaku itu benar.
Aku pun mengangkat tanganku, mengelus Iino dengan lembut. "Yang kau alami pasti berat, ya," kataku sembari terus mengusap kepalanya.
Iino telah membantuku menenangkan diri beberapa saat lalu. Maka, kini giliranku untuk menghiburnya.
"Kau selalu sendirian di rumah. Dan di sekolah, kau selalu peringkat pertama di kelas meski disibukkan dengan OSIS juga komite kedisiplinan. Aku tahu seberapa kerasnya kau memaksakan dirimu," kataku tanpa berhenti mengusap kepalanya. "Pasti berat, ya."
Setelah aku mengatakan kalimat tersebut, Iino tiba-tiba memegang telapak tanganku yang ada di kepalanya.
"Iya ... berat sekali," katanya dengan suara bergetar. Tunggu, apa dia menangis?
Iino menoleh, memperlihatkan wajah yang berlinang air mata. "Berat sekali, tapi aku masih terus diam selama ini."
Iino lalu berdiri, melangkah menuju pintu keluar. Sambil berjalan, dia berkata, "Kau selalu peka dalam menyadari segalanya. Lantas, mengapa kau tidak sadar juga?"
Pintu pun tertutup dan sosok Iino hilang di baliknya. Kini aku sendirian dengan suara detik jam yang mengisi keheningan dalam ruangan. Otakku berusaha memproses semua perkataan dan gelagat Iino yang berubah drastis hari ini.
"Sadar akan apa?" Aku lantas memegang kepalaku, seakan hal itu dapat menjernihkan pikiranku yang berkecamuk. "Ah ... rasanya aku bakal salah paham dengan hal ini."
Ini buruk.
Jika Iino terus bersikap baik kepadaku seperti barusan, bisa-bisa aku berpikir bahwa dia menaruh rasa padaku.
**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚ ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*
Halo! Aohana Mashiro di sini.
Dengan dipublikasikannya chapter ke-3 ini, maka buku ini saya nyatakan selesai.
Ya, saya tahu. Akhirnya terkesan menggantung, namun saya tak ingin membuat kalian terspoiler lebih jauh.
Oh ya, saya ucapkan terima kasih kepada para pembaca sekalian yang mau meluangkan waktu untuk membaca buku ini. Terima kasih juga kepada para pembaca yang telah meninggalkan votes maupun komentar.
Sekian dan terima kasih. Sampai jumpa di lain waktu.
Salam manis,
Aohana Mashiro
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top