❛ one

Japan, 2010.

━━━━━━━━━━━━━━━━

TANGIS MERAJALELA HATI SANG FANA. Akan miliknya yang telah pergi dijemput semesta, serta lara yang singgah bersama nestapa. Hantui insan muda, perihal dosa serta hal yang tak seharusnya. Adiratna, sang pelipur lara kini terpampang jelas dalam pigura. Dengan adam kini duduk, menunduk menatap permukaan alas berupa kayu.

Jeritan, tangis, serta doa yang dipanjatkan berupa lagu pengantar. Akan sosok malaikat, yang kini dinyanyikan temaram lara. Syair serta ratapan duka akan laksmi yang tiada. Abadi, sebab Tuhan telah turun tangan menyuruh batara menjemputnya.

Pudar binarnya, tinggalkan buana, kala laksmi telah bersua bentala.

Mereka menangis, akan perginya sosok manis. Yang kini meninggalkan duri dalam daging. Pada hati yang telah retak berkali-kali. Tuan tak dapat mengulang, perihal lara yang bersarang. Sebab bahkan, wajahnya kini muncul dalam angan. Dua eksistensi serupa yang disalah artikan.

Haitani Ran mengangkat kepala. Duduk dengan tenang tanpa tirta pada durja, sementara insan dalam ruang kini menatapnya tak percaya.

Mengapa pria itu tak menangis? Mengapa pria itu bergeming? Dengan datar, duduk tanpa adanya satu tetes air pun yang terjatuh.

"Aniki."

Taruna dengan surai terang berpakaian hitam memandangnya. Tanpa seringai maupun garis kurva, kini bermuram durja kala bibir bertanya.

"Kau tak merasa sedih?"

Ran begitu lihai dalam memalsukan perangai. Wajah datar kentara tak peduli, kendati pandangannya memilih untuk jujur.

Tuan menangis tanpa tirta. Dia menjerit tanpa suara. Dia memberontak dalam diam, tanpa adanya satu orang dalam ruang duka yang mengetahui.

"Dia meninggal."

Rindou memelankan suaranya. Kali ini berbicara lirih, sebab tahu bahwa sambutan serta senyum tak akan lagi dia lihat. Sedih, karenanya juga Rindou tak lagi dapat bersua dengan adiratna. Sosok yang seharusnya lebih ia perhatikan, serta ia beri afeksi yang sesungguhnya adalah salah.

"(Name), istrimu."

•••

Tuhan, ini sungguh tidak adil.

Setelah engkau merebut pelita miliknya, wanita yang ia cinta, kini kau tinggalkan sosok yang mirip dengannya. Juita rupa serta tingkah laku sama. Kendati tak serupa durja, aura yang menguar begitu mirip. Membuatnya kembali nostalgia, perihal hubungan yang tak seharusnya ada.

Kini, kau pulangkan lagi dia.

Meninggalkan garis merah dalam jantung taruna, berisi lara serta tangis yang ada. Hadir disetiap malam, menghantui Ran dengan senyum pada wajah.

Lantas, Ran harus bagaimana?

"Nee-san ... "

Ucapan lirih keluar dari celah labium. Tatkala jemarinya mengusap pigura, berisikan pasangan muda yang tersenyum. Taruna dalam gambar memeluk pinggang puan, menatap dengan sayu ke arah kamera.

Kini, kelopaknya menutup. Sembunyikan jalan pandang lembayung, kala ujung mata merah muda kembali dilapisi tirta.

Lagi.

"Nee-san."

Pria itu lagi-lagi salah.

Tertawa getir, suara serak itu kembali berkata, "(Name), sayangku."

Salah dalam mengartikan siapa sosok (Name) sesungguhnya.

•••

Haitani Rindou merasa muak.

Dengan sosok yang dihormati, kini bersandar pada ranjang dengan surai kusut. Tak ada mata sayu maupun senyum malas yang dipaksakan, semua murni hanya kegilaan.

Pria itu semakin lama semakin kehilangan akal sehatnya.

"Aniki, bangunlah."

Lembayung serupa melirik lewat ekor mata. Bertubrukkan dengan netra taruna, yang kini berkacak pinggang di ambang pintu.

"Pergilah, Rindou."

Sang punya nama menghela napasnya. Lantas melangkah, menuju ruang bernuansa putih dengan lampu padam. Kening berkerut, beserta tatapannya yang memicing. Kala bau anyir menyeruak masuk ke dalam indra penciumannya.

Kakinya berhenti melangkah, kala pigura pecah tergeletak begitu saja, dengan kaca bernoda merah bertebaran. Lembayung menyusut, kala garis lara mengeluarkan darah, terpampang dengan jelas di atas daging. Diukir seolah dirinya adalah kanvas.

"Aniki!"

Panik, Rindou segera berjongkok. Mencengkeram bahu guna menegakkan tubuh.

Mungkin pengaruh gelap, dirinya tak dapat melihat dengan jelas. Namun yakin, bila kakaknya telah melukai diri sendiri.

"Apa kau kau lakukan?!"

"Menirunya."

Rindou memicingkan mata, sebelum akhirnya mendesis. Paham dengan yang disampaikan kakaknya.

"Kau gila?"

Taruna dengan surai panjang terkekeh. Lantas memiringkan kepala, menatap mata sang adik, dengan putih dirambati merah. Semakin ngeri kala kurva terlukis tanpa adanya bumbu kehangatan.

"Ya, Rindou. Aku gila."

Rindou mengerutkan kening. Tangan yang kini meremas bahu sang kakak, sedikit melonggar. Setelahnya bahu melemas, kala diri kehabisan akal harus bagaimana.

"Aku gila karena kehilangan mereka."

Memijat kening, Rindou merasa kepalanya akan meledak. Setelah kehilangan sosok (Name), kakak iparnya, Haitani Ran kini semakin gila.

Mungkinkah karena (Name) mirip dengan wanita tersebut?

Tapi tak benar. Ini sungguh tak benar.

Ataukah, Ran kini merasa bersalah?

"Tapi tak begini, Aniki."

Ran menghapus kurvanya. Kini menatap Rindou tanpa ekspresi, ketika labium itu berujar dengan tatapan memelas.

"Bukan begini caranya. Dan kau pun harus sadar."

"Sadar?"

Senyum miris terukir, kala sosok kakak yang dipuja berubah menjadi bodoh seketika. Hanya perihal wanita, yang telah tiada.

Rindou menyentuh ubin lantai, menyenggol serpihan kaca serta berpijak di atas darah.

"Mereka yang sudah meninggal tidak akan kembali lagi."

Dan (Name) bukanlah nee-sanmu.

Adalah kalimat yang tak dapat Rindou lanjutkan.

Mereka telah tiada. Baik adiratna yang mencintai, maupun wanita bermarga Murakami. Telah pulang dan juga abadi.

Bersama semesta, memperhatikan kehidupan kalian bagai lakon drama.

Di tengah ributnya dunia, serta kematian yang tak berpengaruh, mengapa Ran kini terjebak?

Dunia akan terus berputar bahkan bila salah satu penghuninya pergi. Akan terus bergerak, menelan jejak dan menjadikannya pudar. Sebab itu adalah bagaimana dunia ini bekerja.

Dan tidak seharusnya, mereka terjebak dalam lubang yang menjadikannya neraka.

•••

5 September 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top