9. Luput Dari Pandangan
-oOo-
TSABITA merapatkan rahang. Tangan masih terjulur menjewer daun telinga Shaka.
"Kebiasaan, kalau enggak ada aku ngomong macem-macem!"
Ihatra, dengan ekspresi tercabik geli, menahan tawa sambil menutup mulut dengan tangan. Dia menyaksikan wajah Tsabita merona merah―barangkali karena marah, malu, atau keduanya. Wanita itu melepas jeweran pada kuping Shaka dengan satu sentakan keras, membuat anak itu nyaris terjungkal ke sungai andai Ihatra tidak cepat-cepat menahan berat tubuhnya.
Shaka menegapkan punggung, selagi mengelus telinganya yang nyeri dan memerah, menggerutu pada Tsabita sambil melotot, "Awas, ya. Bakal kulaporin sebagai percobaan pembunuhan!"
"Bakalan kubunuh sebelum kamu sempet ngelapor."
Shaka langsung mencengkeram dadanya seperti terkejut, lantas merapat pada Ihatra seakan meminta pertolongan, "Mas lihat sendiri, kan? Mbak Bita kayak psikopat kalau obatnya habis!"
"OH! ANAK SIALAN―"
"EH! BAHASANYA! KUADUIN IBU!"
"KURANG AJAR!"
Saat hendak menjewer telinga saudaranya lagi, Shaka refleks bersembunyi di punggung Ihatra. Tsabita tidak sengaja menghalau tangannya dari bahu Ihatra, sehingga wanita itu kehilangan keseimbangan dan hendak jatuh. Ihatra buru-buru menarik Tsabita ke dalam pelukan dan malah membiarkan dirinya tersungkur ke sungai sedangkal betis.
Byur! Insiden itu membuat keduanya diliputi syok. Tsabita dan Ihatra saling berpandangan. Jantung Ihatra berdegup kencang. Dia bisa merasakan tubuh bagian atas Tsabita menempel di dadanya, seperti burung mungil yang terkurung dalam sangkar lengannya. Seketika sekujur tubuh Ihatra merinding. Hatinya tercabik antara malu dan kegirangan.
Namun, suara panik Shaka langsung menamparnya kembali ke kenyataan.
"Mas Iyat!"
Shaka cepat-cepat membantu Ihatra untuk naik ke tepi. Tsabita melihatnya dengan tatapan ngeri seolah baru saja melakukan kesalahan hebat abad ini. Bagian belakang pakaian Ihatra basah kuyup. Air merendam pantatnya, membasahi rambut tembaganya sehingga helaiannya yang lepek menempel di wajah.
"Astaga, Mas Iyat enggak papa?"
"Enggak papa." Ihatra duduk di atas bebatuan dan memeras-meras pakaiannya. Sementara Shaka, tanpa sepengetahuan Ihatra, melirik mencibir pada Tsabita sambil mencolek pinggangnya.
"Saya enggak papa, kok. Kalian udahan ya tengkarnya," ujar Ihatra sambil mendongak. Tsabita hendak membungkuk sembilan puluh derajat untuk minta maaf, tetapi Ihatra menghalau bahu wanita itu dan melayangkan senyum untuk membesarkan hatinya.
Tsabita sejenak terkejut saat melihat ekspresi wajah Ihatra yang tidak tersinggung sama sekali.
"Maaf, ya, Mas," Tsabita berceletuk. "Seharusnya tadi biarin saya jatuh aja."
"Namanya juga refleks menolong, Mbak." Ihatra tertawa, lalu memeriksa pakaian Tsabita. "Mbak basah juga, enggak?"
"Dikit doang, di rok." Tsabita mengusap-usap bagian samping rok selututnya. Rasanya memalukan melihat orang lain basah kuyup menggantikan dirinya. Merasa bersalah, Tsabita mendekat dengan hati-hati, lalu membantu Ihatra memeras pakaian. Tapi malah kikuk melihat punggung Ihatra ketika mengangkat pakaian pria itu terlalu ke atas. Sekonyong-konyong Tsabita menarik tangannya lagi dan langsung membujuk, "Mas Iyat ganti pakaian aja di rumah kami."
"Iya. Pakai baju saya aja. Ukuran kita kayaknya sama," Shaka menyahut.
Ihatra menyugar rambut sehingga keningnya terlihat. Dia mendongak pada keduanya dengan tatapan berbinar. "Udah sekalian basah gini, kayaknya lebih seru kalau main dulu."
Tsabita dan Shaka saling menatap seolah berbagi pesan khusus.
Ihatra menciduk air sungai dengan kedua tangan lalu langsung membuangnya di wajah Shaka, seketika membuatnya terkejut.
"Yah, malah nantangin!" kata Shaka dengan gaya melotot yang khas. Pemuda itu langsung membungkuk ke bawah dan menangkup air lebih banyak, menyiprati wajah Ihatra tanpa permisi, hingga dia melepehkan air dari mulutnya. Tsabita yang melihat pemandangan itu rasanya hampir cemas. Dia berdiri membeku melihat dua orang turun ke sungai dan saling menyiprati air. Seperti bocah lima tahun.
"Mas Iyat, saya ajak ke tempat yang lebih dalam mau, enggak?"
"Emang ada?"
Shaka mengangguk semangat. "Adaaa! Dekat kok dari sini. Di sana arusnya tenang dan bisa dibuat nyelam."
"Tapi saya enggak bisa nyelam."
"Kalau gitu main di pinggirannya aja. Enggak terlalu dalam."
Ihatra nyengir lebar, "Boleh, deh."
"Yuk ke sana." Shaka menoleh pada Tsabita. "Udah sekalian basah, nih."
Tsabita terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah dia harus pergi atau tidak. Anak sungai yang dalam selalu menjadi favoritnya, apalagi perasaannya saat ini sedang berantakan setelah Egar membatalkan rencana kencannya dengan tiba-tiba. Tsabita terbiasa berenang untuk mengembalikan suasana hati. Namun, kali ini dia lumayan ragu menghabiskan waktu di sana bersama orang asing. Karena, astaga, ini Ihatra Kama! Bukan orang sembarangan! Bagaimana bila terjadi sesuatu dan sepasang saudara ini harus bertanggung jawab?
Selagi masih berpikir, Shaka tiba-tiba saja menyiprati pakaian Tsabita dengan air sehingga wanita itu terkesiap keras.
Pakaian yang dikenakan Tsabita jadi basah kuyup. Dia melotot sambil melongo.
Shaka terkekeh jail, "Tuh, Mbak juga basah, kan? Ayo main sekalian!"
-oOo-
Tsabita harus menahan diri untuk tidak menjitak kepala Shaka.
Sudah bertingkah tidak sopan dengan menyiprati pakaian bersihnya, sekarang Shaka membuatnya menyusuri pelosok pohon-pohon sambil gemetaran. Blus yang dikenakannya tipis sekali sehingga embusan angin membuatnya kedinginan. Dia ingin menolak dan kembali pulang, toh rumah mereka tidak jauh dari sini. Namun, Shaka bilang mereka sudah hampir sampai dan kalau pulang malah sia-sia.
"Mumpung musim panas gini, airnya pasti hangat," kata Shaka agar Tsabita enggan pulang, sementara wanita itu menghalau ranting-ranting pohon yang tumbuh melengkung di hadapannya. Ihatra mengikuti di belakang Tsabita, tidak berkomentar apa-apa lantaran terlalu sibuk memandangi alam di sekitarnya yang tumbuh hijau dan rimbun. Bunga-bunga cantik yang bersembunyi di semak mengalihkan perhatian Ihatra. Langit bersinar cerah di atasnya, dan bunyi serangga amat bising sekaligus menenangkan.
Mereka berjalan beberapa menit sampai akhirnya keluar dari hutan ke sebuah anak sungai. Ada tebing pendek yang mengitari hulu sungai dan airnya tampak tenang dan dalam.
Shaka langsung meloloskan seragam SMA-nya dari kepala tanpa membuka kancing. Kemudian, dia membungkuk dan mengurai tali sepatunya, melepaskan kaus kaki yang sudah basah, dengan sekali loncatan tinggi menceburkan diri ke dalam sungai.
Air menyiprat ke udara bagaikan cat yang menggores kanvas langit. Tiba-tiba saja Ihatra menyesal tidak memotret momen barusan. Sayang sekali dia tidak membawa kamera, padahal tempat ini begitu indah, damai, dan tenang. Dia pasti betah berada di sini sambil melukis atau hanya rebahan menikmati pemandangan. Diliputi terang suasana dan keinginan mencicipi air sungai, Ihatra mendekat ke arah bibir tebing rendah. Air di bawah kakinya jernih dan bersih, dasarnya hampir kelihatan. Dia nyaris saja menceburkan diri tetapi tidak jadi.
Sementara itu, Tsabita kegirangan, tanpa mengatakan apa-apa langsung mengikat ulang rambutnya di puncak kepala lalu melepas roknya sehingga menyisakan celana hitam ketat di atas lutut. Ihatra harus memaksa diri untuk tidak terkejut melihat bawahan itu melekat pas di pinggulnya yang melebar dari pinggang. Shaka berteriak dari kejauhan, menyuruh mereka untuk segera turun ke bawah.
Tsabita menanggapi teriakan Shaka, mundur ke belakang, mengambil aba-aba untuk lari dan lompat. Wanita itu menyempatkan diri menatap Ihatra. Nyengir lebar.
"Saya bener-bener enggak tahan kalau lihat air!"
Lalu Tsabita berlari, dan saat mencapai tepi, dia terjun seperti seorang atlet renang.
Air menyiprat ke udara. Ihatra harus mengingatkan dirinya untuk mengatupkan rahang karena terhanyut melihat pemandangan itu seperti orang bodoh.
Sepasang saudara itu kini berenang di sungai. Shaka menyelam―punggungnya tampak bergerak-gerak di bawah air, sementara Tsabita langsung muncul ke permukaan. Sinar yang terang terpapar di rambut hitamnya yang mengilat basah. Kulitnya yang kecokelatan membuatnya jauh lebih menawan di bawah sore yang damai. Wanita itu sungguh mirip dengan bayangan putri duyung di kepala Ihatra―anggun sekaligus lincah, memikat bagaikan makhluk agung dari kedalaman lautan yang misterius.
Pria itu menggucangkan kepala untuk mengusir pemikiran yang semakin liar.
"Mas bisa renang, enggak?" Tsabita bertanya kepadanya dari sungai.
"Mm ... bisa," kata Ihatra, walau sebetulnya tidak terlalu yakin. Setelah mengalami kecelakaan dan harus mendapat serangkaian terapi untuk memperbaiki fungsi tungkainya, dia tidak pernah berenang lagi untuk waktu yang lama. Badannya mungkin kini sekaku kayu dan perlu pembiasaan lagi.
Namun ... Ihatra ingin sekali bergabung bersama sepasang saudara itu. Mereka tampak bersenang-senang dan gembira.
"Mas turun aja dari tepi," kata Tsabita, kemudian Ihatra menurutinya. Dia bergerak ke tepi tebing dan mencelupkan pergelangan kakinya ke air. Benar, rasa airnya hangat. Dia mengayunkan tungkainya dengan lembut. Tiba-tiba, timbul keinginan untuk menceburkan diri ke dalam.
"Airnya enggak dalem kok di sana! Yuk bisa yuk!" Shaka menyahut dari kejauhan. Ihatra menatap air yang begitu jernih dan jantungnya berdebar-debar, terpilin di antara antusias dan takut.
"Satu. Dua." Shaka menghitung.
"TIGA!"
Sambil menutup hidungnya, Ihatra mendorong dirinya menyebur ke sungai, dan rasanya sungguh luar biasa. Air menyentuh kulitnya yang panas karena sengatan matahari. Dia menyentuh dasar dan berdiri di sana, merendam kepala untuk membasahi wajah dan rambut. Saat muncul di permukaan, Ihatra melihat Tsabita berdiri sangat dekat dengannya, tersenyum lebar memperlihatkan sederet giginya yang indah. Dia bisa melihat tetesan air jatuh dari rambut gadis itu.
"Enak, kan?"
"Segar," kata Ihatra, kemudian berjalan di dalam air. Kausnya menggelembung akibat air yang masuk ke dalamnya, dan Ihatra harus berjuang menutupi perut dengan menarik-nariknya ke bawah. Tsabita yang memperhatikannya langsung berceletuk (sambil kelihatan menahan kekehan―mungkin karena dirinya terlihat konyol), "Pakaiannya dimasukin aja ke celana, kayak gini," sambil menunjuk dirinya sendiri yang memasukkan blus ke dalam celana ketat. Ihatra mengikuti saran Tsabita.
"Kenapa enggak dilepas aja kausnya kayak Shaka?" tanya Tsabita.
Ihatra hanya nyengir tipis. "Saya malu."
Kemudian, Tsabita menarik tangan Ihatra dan mengajaknya untuk berenang mengitari sungai yang tidak dalam. Ihatra hanya mampu berenang di jarak pendek, sehingga akhirnya dia memutuskan berendam saja tepat di bawah tebing melengkung, bersama Shaka yang sedang bersantai dengan merebahkan punggungnya menghadap air. Di tengah kehikmatan itu, Shaka bercerita banyak padanya tentang hal-hal menarik yang jarang diketahui orang-orang, termasuk tempat ini.
"Dulu, almarhum ayah saya yang pertama kali ngajak main ke sini," kata Shaka pada Ihatra. "Beliau ngajarin caranya berenang dan menyelam. Bahkan caranya nangkap ikan di sungai pakai lukah. Pas kami udah jago, tiap sore kami main ke sungai dan pulangnya bawa hadiah ikan."
"Lukah apaan, Shak?"
"Kayak perangkap gitu, dibikin dari bambu, terus dipasang di antara batu. Kadang juga pakai racun alami dari akar tanaman tuba. Nanti ikannya jadi sempoyongan dan bisa lebih mudah ditangkap."
Ihatra manggut-manggut paham, kemudian berpaling lagi menatap Tsabita yang sedang asyik sendiri di kejauhan sana. Punggung wanita itu bergerak luwes. Tangannya yang terentang ke depan benar-benar membuatnya tampak seperti ikan yang lincah. Sejurus kemudian Tsabita muncul ke permukaan dan berenang dengan gaya punggung. Ihatra harus memaksa dirinya berhenti memelototi wanita itu.
"Mbak Bita pandai renang, ya," gumam Ihatra.
Shaka mengguncangkan kepala untuk mengurangi air di rambutnya. "Mas tahu enggak? Mbak Bita tuh punya nama lain di kampung ini. Sama orang-orang di sekitar dia dijulukin Putri Duyung, karena bisa nahan napas di dalam air selama hampir sepuluh menit."
Ihatra ternganga, sungguh-sungguh terkejut. "Serius? Apa enggak masuk rekor, tuh?"
"Enggak, sih," kata Shaka. "Masih ada yang lebih lama. Kayaknya rekor dunia bisa sampai dua puluh menitan, deh."
"Tapi tetep hebat. Saya aja dua menit udah ngos-ngosan." Ihatra tertawa, lalu penasaran dengan hal lain. "Jadi julukannya Mbak Bita beneran Putri Duyung?"
"Iya, eh tapi Mas Iyat kok kelihatan kaget? Enggak nyangka, ya?"
"Enggak nyangka kalau tebakan saya bener," kata Ihatra. Shaka memasang tampang bingung, dan Ihatra langsung tersadar bahwa dia kelewatan bicara. Seharusnya dia tidak perlu mengatakan isi hatinya terus terang begitu.
Akhirnya Ihatra mengganti topik, "Renang lagi, yuk."
"Ayo." Kali ini Shaka ingin mengajak Ihatra pada tempat yang jauh lebih dalam, di mana kakinya tidak bisa menyentuh daratan di bawah.
Tsabita sendiri sudah berenang mencapai tengah-tengah sungai, dan saat gadis itu melihat saudaranya bergerak ke arahnya, dia sedikit berteriak, "Shaka, hati-hati. Di sebelah kanan sana arusnya agak deras."
Shaka mengangkat ibu jari, mengiyakan peringatan Tsabita. Dia menoleh ke belakang dan berkata pada Ihatra, "Mas, dari sini arusnya ternyata agak deras. Jangan jauh-ja―"
"―Mas Iyat?"
Jantung Shaka seperti jatuh ke perut ketika tidak mendapati Ihatra di belakangnya.[]
-oOo-
.
.
.
.
.
Menurut kalian Ihatra di mana? 😂
A. Renang lebih dulu
B. Tenggelam
C. Sejak awal enggak nyusul
D. Jawaban sendiri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top