8. Di Tepi Sungai yang Deras

Kalian baca chapter ini pas jam berapa di tempat kalian?

-oOo-

SORE yang menyengat. Suara gesekan sayap jangkrik di antara deras sungai yang mengalir. Langit di atas terbentang bersih dan terang.

Ihatra berdiri di hilir sungai sempit bersama deru angin yang menyapu kulit. Sejuk dan begitu rindang. Kapan terakhir kali dia berlibur? Lima tahun lalu? Kalau tidak salah di Nusa Penida, bersama sekelompok teman dan kru syuting dari acara televisi. Namun, rasanya tidak setenang dan sedamai saat dia mendarat di tempat ini. Mungkin karena sekarang Ihatra menemukan kesunyian yang mirip seperti berada di alam bebas seorang diri. Tidak ada kamera untuk keperluan perjalanan, tidak ada tanda-tanda pengenalan dari orang di sekitar, tidak ada aturan-aturan khusus agar dia berperilaku sesuai citra di depan layar. Semuanya benar-benar bebas.

Ihatra menunduk menatap ikan-ikan yang berenang mengikuti arus. Air menyiprati kakinya, membasahi hampir setengah bagian betisnya, membuatnya merasa nyaman di antara bisik semak dan ranting yang menggaruk lembut.

Keresak dedaunan yang diinjak tiba-tiba terdengar. Shaka datang dari belakangnya, menyelinap di antara pepohonan, "Mas Iyat?"

Namun, Ihatra tampaknya terlalu sibuk memperhatikan ikan-ikan sampai tak menyadari panggilan Shaka. Dia malah duduk di bebatuan besar dan memasukkan tangan dan kaki ke dalam aliran sungai, diayun-ayunkan seperti hendak menangkap ikan.

"Eh, enggak kena!" pekiknya sambil terkekeh ketika seekor ikan luput dari genggaman.

Shaka akhirnya turun ke sisi hilir dan ikut berjongkok di samping Ihatra. Saat itulah pria itu menyadari presensinya.

"Shak, ngangetin aja kamu!"

Shaka melihat ekspresi Ihatra yang sumringah dan tanpa sadar ikut terpana. Di matanya, terlepas dari nama panggungnya yang melekat, Ihatra terlihat seperti anak kecil yang girang karena diajak bermain di hilir sungai. Padahal hanya tempat kecil, letaknya di alam liar yang banyak serangga dan nyamuk, bukan wahana liburan istimewa yang biasa dikunjungi artis terkenal dan super kaya, tapi kenapa bisa sesenang ini?

"Di sini sejuk ya, Mas?" tanya Shaka memecahkan sunyi.

"Banget. Padahal pas perjalanan tadi cuacanya panas. Sampai di sini jadi sejuk."

"Saya biasanya main di sini kalau lagi capek." Shaka mengambil batu kecil lalu melempar ke sungai. Ihatra melihat batu itu jatuh dan cipratannya terlontar ke udara. "Karena suara arusnya deras, enggak bakal ada yang denger. Jadi, kadang kala saya nyanyi di sini atau teriak-teriak enggak jelas, hahaha."

"Kamu suka nyanyi, Shak?"

"Lumayan suka. Saya juga suka denger lagunya Mas Iyat."

Ihatra tersipu senang mendengar jawaban itu. "Mau jadi penyanyi juga, enggak?"

"Dulu kepengin banget, sih," kata Shaka. "Tapi sekarang saya lebih banyak pasrah dan ngikut keadaan. Apa sih namanya? Goes with the moment? Ya itu deh. Habisnya kan kalau mau jadi penyanyi zaman sekarang harus punya channel dulu. Atau seenggaknya merantau ke luar pulau buat kerja di dunia entertainment. Sementara saya belum ada modal buat keluar dari pulauโ€•eh, bukan modal sih tepatnya. Maksudnya kesempatan. Saya kan masih SMA, dan nanti setelah lulus, Ibu maunya saya lanjutin usaha panen di kebun dan toko keluarga, atau kalau mau keluar pulau ya buat kuliah sekalian. Jurusan bisnis, misalnya. Biar nanti pas balik ke Pinggala saya bisa bangun usaha buat memajukan desa."

Ihatra mengangguk-angguk paham. "Jadi sekarang kamu udah enggak ambis jadi penyanyi?"

"Enggak, hehe. Dipikir-pikir, nyanyi itu cuma cocok jadi hobi, enggak cocok buat prospek kerja. Toh minat saya masih banyak. Selain suka nyanyi, saya juga suka olahraga tinju." Kemudian Shaka membuat gestur kuda-kuda dan melemparkan tinjuan kosong di udara. "Tapi saya tetep seneng dengerin musik dan kadang nyanyi buat festival di sekolah. Saya juga gabung di klub band sekolah, loh. Role model saya itu Mas Iyat."

"Wah, Shak," Ihatra menggaruk-garuk lehernya dengan malu. "Emangnya apa yang kamu suka dari saya, sih?"

"Ya banyak. Lagunya bagus, orangnya cakep. Gaya pakaiannya juga keren. Simple tapi kesan rapinya dapet. Padahal cuma gonti-ganti kaus, kemeja, sama celana panjang doang. Kok bisa bagus, sih? Apa gara-gara orangnya udah cakep makanya pakai baju apa pun pantes-pantes aja? Ajarin style fashion dong, Mas. Saya kalau pakai pakaian kayak gitu jatuhnya malah kayak wibu kebanyakan begadang."

Ihatra terkekeh mendengar kalimat terakhir. "Aduh, wibu apanya. Kamu pakai apa aja juga cocok, Shak. Kamunya aja kali yang minder. Soalnya proporsi badanmu tuh sehat dan bagus buat anak SMA. Badannya petinju." Lalu Ihatra meninju lengan atas Shaka, yang dibalas dengan gelak kecil. "Wah, keras banget ototnya. Pas awal lihat kamu, saya kaget loh karena umurmu masih enam belas tahun."

"Maksudnya wajah saya kelihatan tua?" Shaka meledek sambil tertawa.

"Yaa, bukan menua yang kelihatan keriput dan ringkih. Kamu kelihatan lebih dewasa dan seger, kayak anak muda perkotaan, gitulah~"

"Wah, serius? Bisa dong entar saya ikut Mas Iyat balik ke kota, kali aja mau ngasih kerjaan bagus. Kan Mas Iyat artis terkenal!"

Lalu Shaka menepuk-nepuk pundak Ihatra seolah dia adalah kawan lama. Sementara itu, Ihatra tidak membalas apa-apa selain memasang senyum lemah. Pria itu berpaling pada sungai di hadapannya dengan sorot mata menerawang.

"Kamu serius enggak tahu tentang apa yang terjadi sama saya, Shak?"

Shaka terdiam sejenak. Sembari memandangi wajah Ihatra, berpikir-pikir.

"Emangnya ... Mas Iyat kenapa, sih?"

"Saya ini sudah enggak mungkin kembali jadi artis lagi. Karier saya sudah selesai."

Jawaban itu membawa keheningan yang canggung di antara mereka.

"Kok bisa gitu, Mas?"

Ihatra tidak ingin mengingat-ingat insiden masa lalu, jadi dia hanya mengedikkan bahu dan berkata lemah, "Saya lagi enggak mau bahas itu, Shak. Pokoknya ... kejadian itu bikin saya kehilangan karier. Kalau kamu ngikutin saya, mungkin kamu nyadar bahwa dalam dua tahun ini saya enggak pernah muncul di mana-mana lagi. Itu karena saya memang sudah berniat hengkang dari dunia hiburan."

Shaka menggaruk tengkuk seraya memandang sungai di bawah kakinya. Ihatra berpaling sekilas pada Shaka dan tidak sengaja melihat telinga anak itu jadi merona merah.

"Saya bukan penggemar yang baik ya Mas?" tahu-tahu Shaka berceletuk, berkata lebih pelan sehingga Ihatra harus memasang kuping baik-baik untuk mendengarnya. "Selama ini saya memang enggak terlalu mengikuti Mas. Saya emang suka lagu-lagunya Mas Iyat dan bahkan pernah nonton beberapa film atau series yang Mas mainkan, tapi ... saya enggak pernah menaruh penasaran di hal-hal yang Mas Iyat lakukan di dunia nyata. Saya bisanya cuma donwload lagu dan film bajakan dari internet. Saya ini emang penggemar yang enggak modal."

Shaka berusaha menyembunyikan rautnya yang kikuk. Ihatra yang berada di sampingnya langsung membeku seakan baru saja mempermalukan Shaka.

"Santai, Shak. Saya enggak nyinggung kamu, kok. Saya sih enggak peduli kamu kenal saya lewat cara apa."

"Pantesan," kata Shaka tiba-tiba. Ihatra menatapnya dengan kening mengernyit.

"Pantesan apa?"

"Pantesan, waktu pertama kali ketemu Mas Iyat, saya kira ada reaksi atau sikap saya dan Mbak Bita yang keliru. Habisnya rautnya Mas Iyat kelihatan aneh waktu saya ngenalin Mas. Mungkin itu ekspresi enggak suka, tegang, atau mungkin keduanya."

"Kelihatan, ya?"

"Banget."

Ihatra menarik napas, beralih memandang sungai yang mengalir begitu deras di bawah kakinya. Dalam kenyataan itu, bertanya-tanya, apakah selama ini dirinya mudah sekali ditebak dari sikap dan ekspresi? Apakah selama ini orang-orang, bahkan mungkin segelintir penggemar yang tersisa, mengetahui betapa berat depresi yang dibawanya? Ihatra tidak pernah menyangkal bahwa selama beberapa pekan terakhir, dia menjadi lebih mudah tersinggung karena sesuatu. Bahkan ada segelintir penggemar yang melayangkan pesan agar terus menjaga kesehatan mental, walau sebetulnya itu sia-sia, karena kenyataannya Ihatra tidak pernah merasa terhibur.

Ihatra hanya ingin ... terlepas dari beban ini ....

"Shak," katanya lirih. "Dokter saya menyarankan saya buat rehat dari dunia hiburan. Dia bilang, akan terlalu memberatkan bagi saya bila terus memaksa bertahan di Jakarta atau Jogja. Jadi, saya pergi jauh-jauh kemari untuk sembunyi dari dunia luar, menghindari tatapan orang-orang yang selalu membuat saya merasa menyedihkan. Saya ingin melarikan diri untuk waktu yang sangat lama ... sampai orang-orang melupakan siapa Ihatra Kama, sampai enggak ada lagi umpatan dan sumpah serapah yang diludahkan pada saya. Saya berusaha menyembuhkan diri di sini, menata hidup, hati, dan pikiran, walau kenyataannya itu enggak gampang. Sebab setiap kali ada orang lain yang mengenali saya, walaupun orang itu biasa aja, saya selalu gelisah seolah-olah mereka tahu tentang keburukan saya dan ingin meledek saya."

Shaka tertegun dan menatap Ihatra dalam waktu yang lama. Merenung memikirkan masalah apa yang sedang dihadapi artis ini hingga bisa sebegitu takut menghadapi kariernya. Apakah itu adalah hal yang buruk? Skandal yang memalukan? Memori yang traumatis? Mata Ihatra tengadah menatap puncak tinggi pepohonan. Pria ini tersenyum, tapi ekspresinya menyiratkan ironi yang segar dan memilukan.

"Jadi, Shaka," kata Ihatra. "Tentang pertemuan pertama kita, kalau sebelumnya kamu merasa sikap saya enggak ngenakin, tolong dimaklumi, ya. Saya bukannya enggak suka ketemu penggemar. Saya hanya mencoba untuk beradaptasi dengan hal-hal yang terasa berbeda semenjak sebuah kejadian besar datang dan mengubah hidup saya selamanya."

Shaka mengangguk. Ihatra tersenyum lalu mengajaknya tos kepalan tangan. "Makasih, Shaka."

"Mas Iyat," kata Shaka. "Kalau ada sesuatu yang memberatkan hati, datang ke sini aja. Sungai ini kan deras, enggak akan ada orang yang bakal dengar. Kalau merasa muak dan marah, Mas bisa berteriak sepuasnya di tempat ini."

Ihatra termenung-menung sejenak.

"Ayo, coba aja deh sekarang. Teriak apa aja. Sebut nama binatang atau umpatan kurang ajar! Saya enggak akan bilang siapa-siapa!"ย 

Ihatra justru merasa ini lucu. Dia meledak dalam tawa ketika melihat Shaka yang menggerutu dan hampir melonjak-lonjak tidak sabar seperti anak kecil.

Shaka hanya menatapnya bingung, lantas meracau sambil bersungut-sungut kesal, "Mau saya ajarin gimana cara ngomong kotor? Boleh, sini! Tapi cepetan, dan jangan bilang siapa-siapa. Nanti kalau Mbak Bita tahu, saya bisa mampus. Saudara saya itu walau kelihatan ramah, aslinya orangnya disiplin dan kayak nenek sihir kalau marah!"

Tepat selepas mengatakannya, tahu-tahu terdengar keresak semak di belakangnya. Sebelum Shaka bisa menoleh untuk mencari tahu, kuping kirinya ditarik ke atas oleh seseorang hingga membuatnya memekik kesakitan.

"Siapa yang kamu sebut nenek sihir, hah?"[]

-oOo-

.

.

.

.

.

.

.

Gais, kayaknya novel ini bakalan slow burn romance, hahaha. Dan aku juga lagi pengin bangun interaksi manis + complicated di antara para tokohnya. Semoga kalian bukan kaum penuntut adegan baper yakkk awkwkwk. Takut banget kalau suatu saat kalian komen, "KOK UDAH 50+ CHAPTER TAPI NGGAK ADA ADEGAN KISSING ATAU SEMLEHOY??" ๐Ÿคฃ๐Ÿคฃ๐Ÿคฃ

YANG SABAR BUND, NIKMATIN AJA~

Btw adegan semlehoy apaan dah awkwkwk

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top