7. Janji yang Dibatalkan

Chapter yang ini rada panjang ternyata gais awkwkwk. Moga betah yaakk ๐Ÿ˜…

-oOo-

DI antara sekian banyak orang yang tinggal di desa Pinggala, Tsabita sama sekali tidak menduga bahwa dia akan bertemu lagi dengan Ihatra Kama. Setidaknya itulah yang Bita pikirkan ketika menatap pria itu berdiri di hadapannya, untuk kedua kalinya, di balik konter kasir yang sore ini penuh dengan keranjang anyam berisi gulungan benang sulam warna-warni.

"Selamat datang kembali." Senyum Tsabita mengembang penuh keramahan pada Ihatra.

"Halo. Saya datang lagi buat beli ini." Ihatra nyengir lebar seraya meletakkan satu kemasan popcorn ukuran besar dan sebotol minuman isotonik di atas meja.

"Jauh-jauh ke sini buat beli dua ini aja?"

"Ahaha, sekalian soalnya, mumpung saya lagi jalan-jalan di dekat sini." Ihatra mengusap hidungnya sambil berusaha tidak menampakkan wajah berbohong. Sebetulnya dia sengaja datang ke toko Sanuraga untuk bertemu Tsabita, karena pertunjukan latihan di balai desa kemarin meninggalkan Ihatra dengan sejumput rasa penasaran mengenai wanita ini. Ihatra tidak tahu sejak kapan ada dorongan untuk mencari Tsabita duluan. Namun dia berpikir barangkali cerita putri duyung itu yang membuatnya membayangkan Tsabita terus-menerus.

"Liburan dipuasin buat jalan-jalan ya, Mas," kata Tsabita sambil menyerahkan bungkusan plastik pada Ihatra.

"Iya, saya udah nyusun rencana mau keliling ke beberapa tempat," balas Ihatra. "Termasuk festival panahan yang mau diselenggarakan bulan depan itu."

"Mas jadi datang?"

"Jadi. Kemarin saya sempat nonton latihannya di balai desa."

"Oh, ya?" Tsabita tampak terkejut. "Kok tahu kalau kemarin ada latihan?"

"Saya diajak Pak Ersan buat datang." Saat menatap ekpsresi Tsabita yang lebih terkejut lagi mendengar nama Pak Ersan disebut, Ihatra buru-buru menambahkan, "Beliau orang yang saya titipi buat mengurus kebun. Beliau juga yang bantu saya di sini."

"Wah, kebetulan keluarga kami dekat juga sama keluarganya Pak Ersan." Tsabita tertawa kecil. Ihatra mengiyakan hal itu sambil bersyukur dalam hati bahwa kata-kata Pak Ersan mengenai sepasang saudara ini benar. Ihatra tampaknya bisa percaya kepada Tsabita.

Pria itu menatap patung keramik putri duyung yang ditata berjajar di dalam rak kaca, lalu berkata hal lain, "Oh, ya. Kemarin saya lihat Mbak Bita menari. Bagus sekali."

"Makasih, Mas Iyat. Karena tiap tahun tariannya sama, jadinya gerakannya sudah di luar kepala. Wajar kelihatan bagus dan kompak."

Ihatra sama sekali tidak menyinggung kekompakan dari keenam penari, walau dia tahu gerakannya memang kompak. Pria itu ingin mengatakan bahwa yang terus-terusan diperhatikannya sejak kemarin hanyalah Tsabita, tetapi dia malah bertanya hal lain, "Kayaknya festivalnya bakalan meriah ya, Mbak? Kemarin saya lihat persiapannya banyak banget."

"Meriah, dong. Nanti di malam perayaan bakalan lebih heboh lagi. Ada kembang api, kios makanan, bazar permainan ... kepala desa juga bakal mengundi siapa yang jadi pasangan pertama tahun ini."

"Pasangan pertama? Ada undian begituan?"

Bita mengangguk semangat. "Mengundinya pakai panah keberuntungan. Setiap tahunnya akan ada sepasang nama yang dipilih sebagai penobatan pasangan yang diberkati."

"Itu kayak ... ritual keagamaan?"

"Oh, enggak serius-serius amat, kok. Cuma perayaan yang mencerminkan simbol kasih sayang di desa kami. Pasangan yang terpilih juga enggak melulu laki-laki dan perempuan. Tahun lalu yang terpilih anak perempuan dan nenek-nenek. Mereka dapat hadiah jimat dan panah keberuntungan. Panah adalah lambang pemburu milik pemuda pesisir yang menjadi leluhur di legenda kami." Lalu Tsabita berhenti sebentar. "Omong-omong, Mas tahu kisah tentang putri duyung di balik tarian Bahar Ajab?"

"Oh, sudah, sudah," jawab Ihatra. "Saya sempat diceritain dongeng putri duyung sama Pak Ersan."

"Dongeng?" Tsabita mengerutkan kening, dan Ihatra tersadar dia salah bicara.

"Maaf, maksudnya bukan dongeng," koreksi Ihatra. "Legenda."

Tsabita tertawa sampai giginya yang rapi terlihat. Senyum wanita ini entah mengapa membuat kaki Ihatra lemas. Rasanya seperti kena serangan diabetes tiba-tiba.

"Mau disebut dongeng juga enggak papa, kok," kata Bita. "Namanya juga kisah masa lalu. Boleh percaya atau enggak."

Saat Ihatra masih menimbang-nimbang untuk memanjangkan topik pembicaraan, lonceng selamat datang tahu-tahu berbunyi. Pintu kaca didorong terbuka dari luar, dan seorang pemuda yang mengenakan seragam SMA masuk sambil menenteng sekantong plastik besar.

"Mbak, ada titipan kue dari ibunya Damar, katanya sekalian dibagikan ke ... loh?" Shaka menatap Ihatra yang berdiri di depan kasir. "Mas Iyat balik lagi?"

"Hai, Shak," Shaka nyengir tipis sambil mengayunkan plastik jajanannya. "Mampir bentar setelah jalan-jalan."

"Wah, enggak kurang cuma segitu, Mas? Ini aku kasih lebih," Lalu Shaka merogoh plastik pemberian ibunya Damar dan mengeluarkan dua potong kue lapis yang dibungkus kertas minyak. Ihatra mulanya menolak karena sungkan, tetapi Shaka malah semakin menjejalkan makanan itu ke dalam plastik belanja Ihatra. "Enggak papa, sama ibunya Damar suruh bagi-bagi juga ke tetangga sekitar. Beliau emang suka bikin kue dan roti kalau lagi gabut. Omong-omong," Shaka mencomot kue lapisnya sendiri lalu mendongak menatap Ihatra. "Mas Iyat lagi jalan-jalan, kan?"

"Mm-hm. Kenapa?"

"Mau saya ajakin ke hidden gem Pinggala, enggak?"

Tsabita menyela, "Shak, udah sore. Nanti Mas Iyat capek."

"Ah, iya, udah sore," kata Shaka.

Namun Ihatra buru-buru menyela, "Eh enggak papa, kok!" Bagi Ihatra, berada di tempat terbuka yang jarang ada orang mengerti siapa dirinya jauh lebih baik daripada di tempat hiburan mana pun di Jakarta. Dia bisa bebas melakukan sesuatu tanpa kuntitan orang-orang di belakang punggungnya. "Kalau tempatnya sepi dan bagus buat foto-foto, saya mau."

"Wah, cocok buat diajak ke sungai belakang rumah, mumpung cuacanya bagus."

"Tapi di sana arusnya lumayan deras," Tsabita meyakinkan Shaka, kesal karena adiknya kelewatan akrab dengan orang lain. Bisa jadi orang seperti Ihatra tidak akan suka dibawa pergi ke tempat blusukan seperti itu. "Tempatnya jauh dan masuk-masuk ke hutan. Nanti Mas Iyat bisa kesasar kalau kamu ceroboh dikit."

"Aduh, Mbak. Aku udah enam belas tahun gini masih aja dinasihatin."

Tsabita berdecak. "Kata remaja umur enam belas tahun yang makan kue aja masih belepotan."

Shaka langsung salah tingkah sambil mengusap bibir yang belepotan dengan krim di bagian ujung. Selagi keduanya diliputi kerikuhan, Ihatra melihat ekspresi Tsabita, lalu menyahuti, "Mbak Bita, jangan khawatirin kami berdua. Saya bisa jagain Shaka kok."

Shaka mengangguk-angguk semangat. "Kita bakal jaga satu sama lain, kok. Ya kan Mas? Iya kan?"

"Iya, boleh ya, Mbak?" Ihatra membujuk lagi, dan akhirnya Tsabita mengiyakan sambil tersenyum pasrah.

Menurut Ihatra, tingkah sepasang saudara ini begitu menyenangkan. Satunya seperti bocah sebelas tahun yang kelebihan energi, satunya seperti pengasuh yang mencemaskan banyak hal. Ihatra nyengir sambil memperhatikan Tsabita yang mengelap bibir Shaka menggunakan jemarinya, sambil mengerutkan kening, mengomel tentang betapa kekanakannya Shaka. Sementara Shaka hanya diam seperti bocah yang dimarahi.

"Kalian rukun banget, ya," kata Ihatra sungguh-sungguh. Tingkah laku Tsabita dan Shaka bagai cerminan pertemanannya dengan Jayden. Namun, posisinya berbeda. Jayden-lah yang punya aura mirip Tsabita, sementara Ihatra dulunya seperti anak macan yang kemana-mana selalu penuh semangat. "Saya jadi rindu sahabat saya kalau lihat kalian berdua."

"Sahabat Mas Iyat juga artis?" Shaka bertanya.

"Haha, ya begitulah." Lalu Ihatra menatap jam tangannya dan berkata, "Omong-omong mau berangkat sekarang aja?"

"Yuk berangkat," Shaka langsung menaruh seplastik kue lapis di atas konter kasir dan berputar membelakangi Tsabita. "Saya bawa vespa, Mas. Kita langsung ke sana aja. Eh iya ...." Shaka teringat sesuatu dan berbalik lagi menghadap Tsabita. "Nanti Mbak Bita pulangnya gimana? Bentar lagi kan tokohnya tutup."

"Gampang. Bentar lagi aku ada janji sama Egar, kok."

"Oh, Mas Egar yang bakalan jemput?" Setelah Tsabita mengangguk, giliran Ihatra yang bertanya siapa Egar. Shaka langsung berbisik-bisik di telinga Ihatra, "Pacarnya yang bucin."

Ihatra terdiam tanpa ekspresi. Entah bagaimana, perasaannya tidak menentu selepas mendengar nama pacar Tsabita disebutkan. Namun dia malah bertanya lagi, "Mbak Bita bakalan nyusul kita berdua, enggak?"

"Saya enggak janji. Kalau enggak capek, saya nyusul, deh."

"Yah, sayang banget," kata Ihatra. "Pasti bakalan seru kalau Mbak Bita ikut juga."

Shaka berdiri berkacak pinggang sambil mengibas-ngibaskan seragam sekolahnya. "Gini aja, nanti bikinin es jeruk pas pulang ya, Mbak."

Tanpa aba-aba, Tsabita langsung menoyor pelan kepala Shaka, membuat anak itu terhuyung ke samping.

"Bikin sendiri, dasar anak enggak sopan," gerutunya, sementara Shaka hanya mengusap-usap kepalanya sambil tertawa.

"Yuk Mas cepet pergi," kata Shaka, secara akrab merangkul pundak Ihatra dan setengah menyeretnya, "Kalau di sini terus, nanti Mas bisa kena toyor juga sama dia!"

"Shaka!"

Tsabita nyaris melempar pukulan di udara, namun Shaka dan Ihatra kabur lebih cepat. Gadis itu mendengar degup tawa mereka melebur bersama dengung kipas angin di udara berat yang panas.

Setelah membiarkan dua orang itu pergi, beberapa saat kemudian giliran Egar yang datang ke toko Sanuraga. Pria itu berjalan tegap menghampiri Tsabita di konter kasir sambil merentangkan tangan seperti minta dipeluk. Suaranya yang dalam dan berat terdengar seperti pengisi preview film yang jantan dan maskulin, "My sweetheart, come to me, please."

Tsabita sedang tidak mood memeluk orang di tengah cuaca panas begini, jadi dia hanya melengos ke keranjang anyaman dan menarik keluar dua gulungan benang, "Lagi sibuk."

"Biasanya kamu heboh kalau ketemu aku." Egar mencolek pipi Tsabita. "Ada apa, sih?"

"Yang suka heboh sendiri kamu tahu," Tsabita terlihat agak kesal, sebab Egar selalu saja memberi kesan kepada semua orang bahwa Tsabita-lah yang selalu mengejar-ngejar cintanya seperti kucing birahi. Padahal selama ini yang menempelinya ke mana pun adalah Egar. Berusaha melupakan fakta itu, Tsabita mengurai gulungan benang dan menyulamnya menjadi bentuk gelang, sementara Egar langsung menatap ke arah pintu seolah tengah memikirkan sesuatu.

"Karena cowok itu ya, makanya kamu jadi cuek gini?"

"Ha?" Tsabita langsung mengerutkan kening, dicabik antara heran dan terkejut. "Jangan mulai, deh. Cowok mana yang kamu maksud?"

"Tadi aku di jalan papasan sama Shaka yang motoran sama cowok. Kelihatannya mereka temenan. Dan kalau dia temannya Shaka, kemungkinan besar dia temennya kamu juga, kan?"

"Bukan, kok," kata Tsabita.

"Tapi wajahmu bilang sebaliknya, tuh."

"Ya udah kalau enggak percaya."

Egar menekan permukaan meja kasir seraya mengembuskan napas. "Aku percaya kok. Kamu kan enggak bakalan selingkuh dariku."

"Selingkuh?" Tsabita memandangi Egar dengan cengiran jail.

"Iya. Ada yang salah?"

"Emangnya kita pacaran?"

Egar membisu. Untuk sejenak saja, ekspresi datarnya seperti menerangkan maksud lain. Namun sebelum Tsabita dapat meresapi apa pun, pria itu langsung merundukkan wajah dan mencuri ciuman di pipi Tsabita dengan singkat. Tsabita langsung melompat mundur selangkah. Wanita itu menatap Egar dengan tatapan malu sekaligus kaget. "Egar, apa sih?"

"Kok bisa sih kamu bilang kita enggak pacaran? Jelas-jelas setiap hari aku perhatian sama kamu."

"Kamu ...." Tsabita kebingungan bagaimana menata perasaannya yang langsung carut-marut. Di sisi lain dia memang senang diberi perhatian lebih oleh Egar, tetapi terkadang dia merasa sikap Egar kelewatan. Sampai soal ciuman di pipi ini ... walaupun hanya kecupan singkat, Tsabita tidak pernah membayangkan Egar melakukannya semendadak ini. "Kamu enggak pernah minta kita buat pacaran, Gar," kata Tsabita, yang seketika dirudung kebingungan.

"Tapi kamu tahu kan kalau aku suka sama kamu?"

Tsabita diam saja, dan Egar melanjutkan, "Kan enggak perlu ditegaskan dengan kata-kata kalau kita pacaran. Jalanin aja hubungan ini, Bita. Kamu enggak usah khawatir kalau sama aku." Lalu Egar meraih tangan Tsabita dan mengecup punggung tangannya dengan lembut. Wanita itu tampaknya masih belum bisa bereaksi lebih ekspresif, jadi Egar tersenyum ramah sambil menenangkannya. "Ya udah, kalau kamu memaksa. Kamu mau kan jadi pacar aku?"

"Terserah," kata Tsabita, berusaha terlihat kalem di tengah bunyi jantungnya yang berdegup cepat. "Lagi pula sikapmu bakalan sama aja kayak biasanya. Nempelin aku ke mana-mana kayak bocah kecil yang kelupaan bekal makannya."

Egar tertawa dan hendak mencium pipi Tsabita lagi, tetapi gadis itu buru-buru mundur, "Dan aku enggak nyaman kalau kamu mendadak cium-cium kayak tadi."

"Oke, oke," Egar mengangkat kedua tangannya seolah memberi tanda menyerah. Kemudian dia kepikiran sesuatu, "Tapi kamu serius enggak ada hubungan apa-apa sama cowok itu, kan?"

"Siapa? Yang tadi kamu lihat boncengan sama Shaka?" Tsabita mengerjap. "Enggak ada, kok. Sumpah. Dia cuma wisatawan yang kebetulan cepat akrab sama Shaka."

"Rasanya aku kayak kenal cowok itu, deh." Egar menggosok-gosok dagunya dengan penasaran. Tsabita mengeryit dan mendesak Egar di mana dia mengenalnya, lantaran takut identias Ihatra yang seorang artis langsung ketahuan secepat ini.

"Dia mirip orang ... tapi aku lupa siapa."

"Mirip temanmu kali," kata Tsabita.

"Enggak tahu, deh," ujar Egar, masih mengerutkan kening berpikir. "Dari gaya pakaiannya, dia dari kota, ya? Sayang banget, terlalu banyak yang kukenal sampai aku gampang lupa sama wajah orang. Kayaknya sih cowok itu pernah datang ke pertandingan tinju dan minta tanda tanganku. Kamu tahu, kan?" Menatap Tsabita seperti meminta pembelaan, "Semi final tiga tahun lalu waktu aku berhasil bikin K.O pemain dari Sukabumi itu, loh. Iya kan? Pasti dia penggemar yang nonton waktu itu!"

"Ya, ya, atau bisa aja dia justru orang yang ngalahin kamu dalam pertandingan."

"Ya enggak mungkin! Dilihat dari postur tubuhnya, udah jelas dia bukan petinju." Seketika pikiran Egar teralihkan oleh sesuatu, "Omong-omong, Bit. Nanti kayaknya kita enggak jadi makan malam, deh."

"Loh, kenapa?"

Egar menggaruk kepala sambil mendesis, "Biasalah, urusan klub tinju. Ada anak yang mau keluar dari klub, dan aku harus pastiin apa masalahnya. Kamu tahu kan sepenting apa keutuhan klub itu buatku?"

Tsabita terdiam sejenak. "Oke, enggak papa. Diundur besok aja, gimana?"

"Besok juga enggak bisa karena aku ada rapat di balai desa buat tampil aktraksi bulan depan."

"Ya udah, kapan-kapan aja."

Egar tertawa, lalu mengusap puncak kepala Tsabita dengan sayang. "Aku tahu kamu paling memahami aku. Tenang aja, kapan-kapan kita janjian lagi."

"Kapan-kapan itu kapan?"

"Enggak tahu, pokoknya secepatnya." Lalu Egar mengetuk-ngetuk jemari di permukaan meja sambil berpikir. "Atau kalaupun kita enggak janjian bareng, kan aku masih bisa ketemu kamu setiap hari~"

Tsabita membuka laci di bawah konter dan mengambil seperangkat kunci untuk menutup toko. Sore ini, bunyi dengung kipas angin meredam suara hati Tsabita yang menggerutu kesal lantaran Egar membatalkan acara secara tiba-tiba dan tidak meninggalkannya dengan kepastian. Dia ingin marah karena waktu yang telah dipersiapkannya sore ini terbuang sia-sia.

Di tengah kejengkelan ini, Tsabita tahu ke mana dia harus pergi saat merasa terpuruk. Dia juga tahu siapa yang sedang menunggunya di titik yang sama.

Shaka dan Ihatra udah sampai di sungai, kan?[]

-oOo-

.

.

.

.

.

Kalian suka yang cintanya ugal-ugalan kayak Egar atau yang malu-malu kayak Ihatra?

Btw kemungkinan chapter depan aku mau post biodata cast awkwkwk. Udah siap kenalan lebih jauh sama Bita-Shaka-Iyat-Egar? ๐Ÿ˜ฝ

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top